"Dia bukan anakku," tukasnya bernada serius.
"Dari mana kau tahu?"
"Dia sudah biasa bermain dengan para pria lain di luar sana, bagaimana bisa dia mengakui anak itu sebagai anakku?"
"Kau?" teriakku tidak terima mendengar pernyataan Erdhan tentang sahabatku.
Suasana berubah tegang.
***
Sontak aku berdiri sambil mengarahkan jari telunjukku ke muka Erdhan, Tuan Leonel memegangi tanganku dan menariknya sedikit kuat, agar aku duduk kembali.
Kulirik Tuan Leonel yang tak merubah posisi, masih duduk dengan tenang, kemudian melihat Erdhan yang menyunggingkan senyum sinis memalingkan muka.
Aku kembali duduk, seperti yang sudah Tuan Leonel katakan, dia yang akan menyelesaikan masalah ini, aku tidak boleh terpancing emosi.
"Kita akan mencari tahu kebenarannya, setelah kau melakukan tes DNA, dan biarkan hasil itu yang mengatakan kebenarannya, apakah kau adalah ayah biologis janin itu, atau bukan."
Aku mendengarkan dengan perasaan yang sudah terlanjur kesal.
Suasana hening, tak ada perdebatan yang dilontarkan Erdhan, sepertinya pria muda itu cukup mengerti karakter dari kakaknya yang tak dapat dibantah.
***
Kami pergi dari apartemen Erdhan setelah pembicaraan yang diperlukan selesai, Tuan Leonel akan mengantarku ke rumah sakit sekarang, menemui Crishtie, dan Erdhan mengikuti kami dengan mengendarai mobilnya sendiri dari belakang. Tes DNA prenatal akan dilakukan hari ini juga.
"T-tuan?"
Tuan Leonel sedikit melirikku dari ekor matanya.
"Terimakasih," ucapku lirih, tulus. Sekali lagi dia membantuku menyelesaikan masalah, meski ada harga yang harus kubayar.
Tak ada jawaban, Tuan Leonel justru memejamkan kedua matanya dengan sedikit mendongak.
Apakah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan? Sesuatu yang mungkin sangat besar. Entahlah.
***
Kami berjalan bertiga melewati koridor rumah sakit, menuju ruang rawat Crishtie, Nory yang tadi sempat kukirim pesan, mengatakan jika uncle dan aunty, orang tua Crishtie juga ada di sana.
Semua berjalan cepat, aku menemani Crishtie sebagai sahabat yang baik untuknya, ia masih terus menangis dan Erdhan menatapnya jengah.
Andai Crishtie bukan gadis yang begitu lemah, ingin rasanya aku memarahinya, kenapa harus terlibat urusan dengan pria semuda Erdhan. Dia masih bocah.
"Tidurlah, kau harus banyak istirahat," ucapku pada Crishtie usai ia melakukan tes.
Aku keluar dari ruang rawat Crishtie, ikut bergabung dengan Dokter yang berbicara dengan Tuan Leonel, Erdhan, dan kedua orang tua Crishtie, Nory menjaga di dalam kamar rawat.
"Hasil tes akan kita ketahui setelah 14 hari ke depan," jelas Dokter sebelum ia pergi meninggalkan kami.
"Terimaksih, Dokter," ucap aunty yang terisak.
"Kami permisi," ucap Tuan Leonel pada kedua orang tua Crishtie, ia kemudian pergi disusul Erdhan yang melangkah di belakangnya.
"Re, aunty benar-benar berterimakasih, kau sudah menyelamatkan nyawa Crishtie dua kali, ini memang salah kami, tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang benar sebagai orang tua, aunty menyesal," aunty menggenggam erat tanganku, aku sedikit membencinya karena sikapnya yang buruk sebagai ibu selama ini, lebih mementingkan kesenangan diri sendiri dan tak mempedulikan anaknya, tapi aku juga tidak berhak untuk menjudge siapapun, semua orang memiliki pilihan hidupnya masing-masing.
Aku mengangguk, menarik tangan yang digenggam aunty.
"Re pamit dulu, aunty. Re masih ada jam kuliah," aku berpamitan, kemudian pergi, sebelum meninggalkan rumah sakit, aku melihat keadaan Crishtie terlebih dulu di ruang rawat, sahabatku itu nampak lelap dengan wajah yang masih pucat, sembab dan mata membengkak. Semoga dia kuat.
***
Tak kudapati mobil Tuan Leonel maupun Erdhan, sepertinya mereka memang benar-benar sudah pergi.
Aku berjalan menyusuri trotoar, menuju kampus, jarak rumah sakit dan kampus tak begitu jauh, hanya dengan berjalan kaki beberapa menit lagi, aku pasti sampai.
Di tengah jalan perutku berbunyi, aku sampai lupa jika sedari pagi tadi aku belum sarapan.
Kulangkahkan kakiku memasuki sebuah restoran sebelum nanti aku ke kampus, mengisi perut terlebih dulu menjadi pilihan terbaik.
Aku duduk di kursi dekat dinding kaca, membuat pesanan, memainkan ponsel sembari menunggu makananku datang.
Bass
"Nanti datang apa tidak?"
Kubalas, "Datang,"
Kak Rachel
"Pulang nanti nitip pembalut, punya kakak sudah habis, Kak Harry ke luar kota, pulang besok."
"Okay,"
Erick
"Sayang, aku merindukanmu, kapan kau punya waktu?"
Aku mengulas senyum membaca pesan Erik, di akhir kalimatnya ia menyematkan banyak emoticon cinta yang patah. Karena merindukanku.
"Hari ini aku ke kampus, tapi aku belum punya waktu untuk menemanimu, maaf, aku selalu sibuk," centang dua abu-abu, Erick belum online dan chatku belum dibaca.
Tn. Leonel
"Jam berapa kau akan datang mengajar putraku?"
Sontak kedua mataku membulat, hampir saja aku lupa dengan perjanjian yang dibuat andai tak kuterima pesan dari Tuan Leonel.
Segera kugerakkan kedua jari jempol dengan cepat untuk membalas.
"Sepulang kuliah, pukul 3 sore," balasku yang langsung berubah centang biru, membuatku sedikit terkejut padahal tadi ia tidak sedang online.
"Tunggu di kampus, Emilio akan datang menjemput,"
"Ok,"
Kuletakkan ponsel di atas meja setelah membalas sekian banyak pesan, makananku datang dan aku siap melahap habis mengisi perut yang keroncongan.
***
Aku keluar dari restoran setelah usai makan, berjalan lebih cepat menuju kampus, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, kelasku sebentar lagi dimulai.
Aku mulai berlari kecil melihat waktu yang semakin mepet, namun saat sebuah mobil melewatiku dengan laju lumayan pelan, langkahku sontak terhenti, kaca pintu mobil itu terbuka lebar, menampakkan penumpang di dalamnya. Erick dan Pricsilla.
Mobil itu memasuki halaman restoran di mana tadi aku makan, ingin rasanya aku mendatangi mereka, menanyakan pada Erick apa hubungannya dengan Pricsilla, namun aku dikejar waktu, dan kuliah lebih penting untukku saat ini, karena kemarin aku sudah bolos, jangan sampai nilaiku buruk dan aku bisa kehilangan beasiswaku.
Kutenangkan hati yang mulai terusik, merasa tidak nyaman dengan pemandangan yang mengilukan hati, kembali melanjutkan langkah berlari menuju kampus.
***
Menunggu adalah hal yang membosankan, sudah lima belas menit lewat aku berdiri di bawah pohon trotoar jalan depan kampus, tahu begini aku lebih baik naik bus tingkat merah untuk pergi ke mansion Tuan Leonel.
"Seett," mobil mewah Tuan Leonel berhenti di depanku, Emilio, si es batu tak mengeluarkan sepatah katapun. Dan aku mengabaikannya.
Kubuka pintu masuk ke dalam, duduk di jok belakang.
"Brak!" mobil melaju lumayan kencang menuju mansion Tuan Leonel.
"Ehm,,,, tuan, apa kau tadi nyasar? Aku sudah menunggumu cukup lama tadi," celotehku membuka suara memecah keheningan, tapi Emilio hanya diam, tak ada tanggapan yang kudapatkan.
"Tuan, kau marah padaku? Tapi kenapa? Kau selalu diam setiap kali kuajak bicara, apa aku melakukan kesalahan? Apa aku semengesalkan itu?"
Diam, tanpa jawaban.
"Ehm,,,, tuan, apa Tuan Leonel di rumah? Atau, apakah dia masih di kantor?"
'Ciiiiiiittt,'
"DUGH!"
"Aahh?"
Tubuhku terhuyung ke depan kemudian ke belakang, menabrak punggung jok dengan lumayan keras. Kaget, sumpah aku terkejut dengan tindakan rem mendadak yang dilakukan Emilio, dia menakutkan. Kesal karena aku banyak mengeluarkan pertanyaan.
Mobil kembali melaju lebih kencang, kini aku hanya diam tanpa kata, tak berani mengeluarkan suara meski hanya sebuah deheman. Mengajak Emilio bicara adalah pilihan yang buruk.
***
Pria tua yang memintaku untuk memanggilnya Paman Butler mengantarku ke kamar Tuan Muda Darren, yang berada di sisi sebelah kiri mansion, dengan nuansa warna putih gading yang mendominasi, sama mewahnya, hanya saja di sini terasa lebih damai. Tenang.
Hampir sama dengan designe mansion utama, kami berjalan melewati koridor panjang untuk memasuki ruang tengah yang sangat luas dan mewah, ada sebuah tangga berkarpet gold untuk menuju lantai atas, kamar Tuan Muda.
"Silahkan, Nona," Paman Butler membukakan pintu kamar.
"Terimakasih, paman." seruku mengulas senyum semanis mungkin yang dibalas anggukan dan senyum bersahaja dari Paman Butler.
Paman Butler pergi, aku memasuki kamar dengan Langkah perlahan.
Sebuah kamar yang sangat luas, bernuansa putih gading dan nampak lapang, tak banyak perabot mengisi kamar ini, hanya ada sebuah ranjang berukuran besar, satu lemari besar, dan,,,,
Aku terpaku, melihat anak laki-laki berwajah lugu yang sangat tampan, duduk di kursi roda menatapku, ada seorang suster yang duduk berjongkok di hadapannya memegang gelas berisi air putih, dan obat.
Dia lumpuh?
"Siapa kau?" tanya anak laki-laki kecil itu.
"Darren?" lirihku menebak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Elizabeth Yanolivia
waktu pertama kali ke cafe, bukannya emilio yang pesan 2 minuman espresso dan retania mencatat barulah tuan leon bicara hingga membuat retania terkejut
2022-08-09
0
mama yuhu
kena kau re😂😂
2022-08-04
1
mama yuhu
kena jau re☺☺😁
2022-08-04
0