Terlihat bus tingkat merah sudah datang dari kejauhan, berhenti di halte tempatku saat ini berdiri, beberapa penumpang yang sudah menunggu kedatangan bus satu persatu masuk, aku? Hanya diam, masih berdiri tak berniat menaiki transportasi yang biasa mengantarku sehari-hari itu.
Bus melaju meninggalkanku seorang diri, kulirik jam di layar ponsel yang kugenggam, lumayan siang, pukul 9 pagi, dan sinar mentari yang semula hangat sudah mulai terasa panas.
"Sseett!" mobil yang kutunggu datang.
"Menunggu lama, Nona?" Tuan Leonel bicara dari dalam mobil, dengan kaca pintu yang ia buka.
Aku mencebik kesal, tak menanggapi dan berjalan berputar membuka pintu jok belakang, sebelah Tuan Leonel.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan kota London yang ramai lancar.
Panas yang tadi kurasa kini berganti dengan hawa sejuk nan dingin dari AC mobil mewah Tuan Leonel.
"Tuan?"
"Hem?"
"Apa kau yakin, jika adikmu, Erdhan Dankar bersedia untuk bertanggung jawab?" aku membuka suara, mengajaknya bicara memecah keheningan.
"Jika dia masih ingin hidup, maka dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya," jawab Tuan Leonel santai, aku mengangguk percaya, sepertinya cukup mudah bagi Tuan Leonel untuk mengendalikan adiknya.
"Itu pun jika terbukti janin yang dikandung temanmu itu adalah anak dari adikku." lanjut Tuan Leonel menegaskan.
Yah, kami telah membuat perjanjian semalam sebelum aku diantar pulang. Tuan Leonel akan membantuku dan bahkan dia akan memaksa adiknya, Erdhan, untuk bertanggung jawab jika memang terbukti benar janin yang dikandung Crishtie adalah anaknya Erdhan.
Dengan kata lain, kami akan melakukan tes DNA prenatal, ralat, bukan kami, tapi Crishtie, Erdhan, dan janin yang masih berada di dalam kandungan Crishtie.
Dalam perjanjian itu, ada sesuatu yang harus kusetujui, hitam di atas putih, aku harus datang ke rumahnya setiap hari setidaknya selama dua jam, kapan pun, jam bebas terserah aku, untuk mengajari putra Tuan Leonel, yang belum pernah kutemui. Dan masih ada bayaran yang akan aku dapatkan.
"T-tu tuan?"
"Hem?"
Gaya Tuan Leonel saat naik mobil tak pernah berubah, selalu terlihat anggun berwibawa, penuh kharisma, bersandar pada punggung jok dengan tenang, menyedekapkan kedua tangan di bawah dada, dan kaki kanannya yang panjang menyilang di atas kaki kiri, menjuntai indah dengan sepatu hitam yang mengkilap dan pasti mahal.
"Ehm,,,, Tuan?" lirihku mengulang.
Tuan Leonel menoleh, menatapku tajam membuatku berdebar, gugup. Segera kuputus tautan mata kami dengan menghadap lurus ke depan.
"Boleh kutanyakan sesuatu?"
"Kau sudah cukup membuang waktu," jawabnya.
Aku menghela napas kasar, selalu begitu.
"Tuan, aku sudah datang ke mansion anda dua kali, tapi aku belum pernah menemui istri anda, bahkan anda selalu tidur seorang diri di kamar, dan anda bisa membawa saya_?" aku menjeda, teringat malam di mana aku menyerahkan diri.
"M-ma maksudku?"
"Mommy Darren?" sahut Tuan Leonel sangat tenang, sama sekali tak terganggu oleh pertanyaanku.
"I-i iya," lirihku. Aku ingin menanyakannya karena itu cukup mengganggu pikiranku, Tuan Leonel memiliki seorang putra bernama Darren Dankar, tapi tak pernah kulihat ada seorang wanita yang menemaninya. Bahkan dia bisa membawaku tidur di atas ranjangnya dengan bebas.
"Kerjakan saja tugasmu dengan baik, aku akan membayarmu, dan jangan terlalu ingin tahu pada hal yang bukan urusanmu,"
DEG.
Ada sedikit nyeri yang terasa di dalam sini, iya, di sini, di dalam hati, saat Tuan Leonel memberikan jawaban itu, agar aku diam tak menanyakan apa yang bukan menjadi urusanku.
Kulihat raut mukanya berubah, tak setajam tadi, bahkan matanya mulai nampak merah dan sendu, iya memejamkan mata sesaat, menghela napas kemudian mendongak, masih dengan kedua matanya yang terpejam. Seolah ada sesuatu yang begitu berat menumbuk dadanya untuk bisa ia tahan.
Apakah aku salah bicara? Apakah wanita yang kutanyakan adalah orang yang telah meninggalkannya? Yang telah menggores hatinya begitu dalam? Atau wanita itu sudah meninggal? Dan Tuan Leonel belum bisa melupakannya?
Ada begitu banyak pertanyaan yang berputar dalam otak kecilku, seperti sebuah pepatah, larangan adalah perintah, ia memintaku untuk tidak ikut campur, namun rasanya justru aku ingin tahu lebih banyak.
***
Mobil memasuki halaman sebuah apartemen besar bintang lima, berhenti di depan latar utama, aku turun dari mobil, Emilio yang tadi mengemudi keluar, membukakan pintu untuk Tuan Leonel. Kemudian ia kembali masuk ke dalam mobil membawa kendaraan mewah itu memasuki basemen bawah tanah.
Tuan Leonel berjalan cepat memasuki apartemen tanpa memberi aba-aba, aku terkejut namun segera berlari mengejar langkahnya yang berjalan lebar dengan kaki panjangnya yang seksi. Seksi?
Setiap petugas apartemen, mulai Scurity, Resepsionis, bahkan manager apartemen yang ada di loby utama langsung memberikan salam penghormatan pada Tuan Leonel yang datang, dengan menundukkan sedikit kepala kemudian mengucapkan selamat pagi.
"Tuan Dankar? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Manager saat Tuan Leonel berhenti di depan lift yang belum terbuka. Aku? Hanya diam mengekor seperti anak kucing.
Tuan Leonel tak menjawab, mengangkat tangan, menggerakkan jari untuk mengusirnya pergi.
Lift terbuka, Tuan Leonel masuk, dan aku ikut.
Kami terjebak dalam keheningan, sesekali kulirik Tuan Leonel yang hanya diam dengan raut muka datar, pandangan lurus ke depan tanpa berniat mengajakku bicara, ia seperti manusia dengan seribu karakter yang berbeda, kemarin marah, hari ini ramah , besok dia bicara dengan sopan, kemudian hanya diam seperti batu. Selalu berubah, benar-benar manusia dengan seribu karakter.
'Ting!' denting lift yang berbunyi menyadarkanku dari lamunan, melamun menyelami karakter Tuan Leonel.
Pintu lift terbuka, Tuan Leonel melangkah, aku mengikuti dari belakang. Kami terus berjalan melewati koridor apartemen yang terang dengan nuansa putih benderang, dan berhenti di depan pintu satu apartemen paling ujung.
Tuan Leonel tidak menekan tombol bel pintu, tapi ia langsung menggerakkan cepat jari telunjuknya untuk menekan kode, hingga pintu itu terbuka.
Kami masuk begitu saja tanpa permisi.
"Tuan? Apakah sopan masuk ke dalam rumah seseorang tanpa permisi?" protesku pada Tuan Leonel yang tak mendapat tanggapan.
"Ouh s.h.i.t, what are you doing here, Dude?" teriak seorang pria muda yang tengah mengenakan celana, menarik resleting dan dia belum memakai baju, sehingga mataku yang polos ternodai oleh tubuhnya yang berotot kecil. Kecil, karena baru mulai terbentuk, maksudku, dia sepertinya masih anak remaja.
Aku tercengang, mematung dengan kedua mata melebar dan mulut menganga.
Tuan Leonel menarikku cepat ke dalam pelukannya, menelusupkan wajahku ke dalam dadanya, kepalaku sedikit berusaha untuk kembali mendongak mencari celah, ingin melihat kembali pria muda itu.
Apa dia Erdhan Dankar? Semuda itu? Apa Crishtie tidak salah orang? Atau, apakah Crishtie melakukannya dalam keadaan tidak sadar? Dia masih bocah.
"Diam!" seru Tuan Leonel menekan kepalaku yang ingin bergerak dengan lebih kuat.
Aku menurut, diam dalam dekapan Tuan Leonel.
Tuan Leonel memelukku, menciptakan desiran halus dalam dada yang membuat wajahku terasa menghangat.
***
Kami duduk di sofa ruang tamu, pria muda itu, Erdhan, menuang wine ke dalam gelas, menggoyang pelan gelas kristal cantik dalam genggaman jemarinya kemudian menyesapnya dengan gaya mahal.
Tuan Leonel belum mengeluarkan sepatah kata pun, menatap datar Erdhan yang terlihat cengengesan. Khas anak ABG.
Erdhan menaruh gelas di atas meja, bersandar dengan kedua tangannya yang merentang di sandaran sofa, sedangkan Tuan Leonel? Gayanya masih sama, seperti saat ia duduk di sofa mobil. Anggun dan berkharisma.
"So, apa yang membuatmu datang ke mari? Apa kau merindukanku?" celoteh Erdhan menatap santai Tuan Leonel kemudian berpindah melirik ke arahku, dengan sorot matanya yang? Nakal?
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Tuan Leonel.
"Hah?" Erdhan nampak terkejut dengan pertanyaan Tuan Leonel.
"Ehm,,,, entahlah, aku lupa, mungkin,,,, 17, 18, entahlah, aku tak ingat. Kita tidak pernah merayakan ulang tahun, itu tidak penting," jawab Erdhan, ia kembali menuang wine ke dalam gelas, lalu menenggaknya sekali teguk.
"Ck," Tuan Leonel berdecak pelan.
"Kau masih terlalu muda untuk menjadi seorang ayah, tapi mau bagaimana? Cara mainmu buruk, kenapa kau mengeluarkannya di dalam? Jika belum bisa bermain, tahan hasratmu sampai kau bisa bermain cantik." ucap Tuan Leonel bernada sindirian.
Aku melongo mendengar kalimat yang Tuan Leonel ucapkan, apa itu wejangan yang benar dari seorang kakak pada adiknya? Benar-benar kacau.
Bagaimana aku bisa lupa, Tuan Leonel sendiri adalah maniak.
Raut muka pria muda itu seketika berubah, ia nampak gugup, terkejut, mungkin takut.
"Dia bukan anakku," tukasnya bernada serius.
"Dari mana kau tahu?"
"Dia sudah biasa bermain dengan para pria lain di luar sana, bagaimana bisa dia mengakui anak itu sebagai anakku?"
"Kau?" teriakku tidak terima mendengar pernyataan Erdhan tentang sahabatku.
Suasana berubah tegang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
VS
Khas tuan leonel😝😂
2022-11-27
0
Nurjayani Yani
main cantik !! ya ya yaaa
seperti permainan leonel dan re dong,,, main berkali² dlm semalam, tetap aman😁😁
2022-08-09
0
mama yuhu
😂😂😂😂🤣kaget ya
2022-08-04
1