Aku bertemu dengan Nory, ia menangis kencang saat aku datang, kucercah Nory dengan berbagai pertanyaan, dan dia menjawab dengan sesenggukan.
Nory menemukan Crishtie tak sadarkan diri di bathtub kamar mandi-tak berisi air-setelah ia masuk ke dalam kamar membawakan sarapan, karena semalam Crishtie tidak makan.
Nory melihat Crishtie di dalam bathtub kamar mandi dengan luka goresan di lengan, darah bersimbah di lantai juga dalam bathtub, mengenai paha, dan gaun yang Crishtie kenakan.
Ini memang bukan kali pertama Crishtie mencoba mengakhiri hidupnya, dia sudah pernah mencoba untuk bunuh diri dulu saat kedua orang tuanya bercerai, namun aku berhasil menyelamatkan nyawanya, dan sejak hari itu, kami bersahabat dekat.
Namun kali ini, apa lagi yang menjadi alasan dirinya ingin kembali mengakhiri hidup? Sedangkan ia telah menerima keputusan kedua orang tuanya bercerai usai kami bercerita bersama mengenai kehidupan kami.
"Bagaimana dengan uncle dan aunty, Nory? Di mana mereka?" tanyaku mengenai kedua orang tua Crishtie.
"Tuan dan Nyonya masing-masing ada di Jerman dan Brazil, Nona Re."
Yah, begitulah hidup Crishtie, ia dilimpahi Tuhan dengan karunia bergelimang harta, namun tidak dengan kasih sayang orang tua dan kehangatan keluarga, sering terjadi di tengah kalangan anak-anak maupun remaja dalam naungan broken home.
Dokter keluar, beserta para perawat, aku lekas berjalan cepat menghadangnya, menanyakan keadaan Crishtie dan apa-apa selanjutnya.
Pendarahan berhasil dihentikan, dan sekarang Crishtie sedang menjalani transfusi darah, sebentar lagi ia akan dipindahkan ke ruang rawat. Aku berterima kasih pada Dokter, kemudian ia pergi.
***
Seharian aku menunggui Crishtie ditemani Nory, hingga sahabatku itu mulai membuka kedua matanya lamat-lamat saat tengah malam.
"Re?" gumamnya lirih memanggil namaku, yang tak menyadari jika Crishtie telah bangun karena aku sambil mengerjakan tugas.
"Baby?" seruku antusias, senang melihat Crishtie kembali sadar.
Kutinggalkan tugasku di atas meja dan berjalan menghampirinya, Nory yang semula sudah tidur di sofa terbangun dan turut mendekat.
Crishtie mulai menangis, aku memeluknya hangat, mencoba memberikan energi positif dan semangat, berusaha mengerti perasaan dan keadaannya saat ini.
"It's okay, semua akan baik-baik saja," ucapku lirih, aku tak menanyakan padanya apa alasannya kali ini ia ingin mengakhiri hidupnya, karena aku tahu itu tidak baik, sebelum keadaannya benar-benar memungkinkan untuk mengajaknya bicara. Atau Crishtie sendiri yang ingin bercerita.
Aku hanya menenangkannya dengan meyakinkan dirinya bahwa aku selalu ada, untuknya.
"Re?"
"Iya, sayang?"
Crishtie melepas pelukan kami, kuusap pelipisnya yang basah karena air mata.
"Aku,"
"Iya?"
"Aku,"
Nampak jelas jika Crishtie ingin bercerita, tapi ia ragu. Dan aku akan bersabar sampai ia mengatakan semuanya.
"Aku hamil,"
Hening.
***
Crishtie menangis semakin kencang, aku tak memberikan komentar, memeluknya lagi, mengelus punggungnya.
Ia kini dalam posisi duduk, memegangi perutnya yang masih terlihat rata.
"Siapa?" tanyaku sangat pelan, takut melukai hatinya yang rapuh.
Crishtie menyebut satu nama, pria yang sama sekali tak kukenal, tapi nama belakangnya sangat familiar. Dankar.
"Dia tidak mau mengakui anak ini, Re. Dia tidak mau bertanggung jawab, aku tidak memaksanya untuk menikahiku, aku hanya ingin agar dia mengakui anakku, tapi dia tidak mau, aku takut, Re. Bagaimana dunia akan melihatku jika aku hamil tanpa ada pria yang mau mengakuinya sebagai anak, aku tidak mau hidup dengan tatapan hina semua orang, Re. Anak-anak kampus akan menjauhiku, mereka akan menertawakanku, aku tidak mau, Re. Itu memalukan!"
Tangis Crishtie benar-benar pecah. Aku menciumi seluruh wajahnya. Memberikan cinta sebanyak yang aku punya.
"Tidak akan ada yang memandangmu rendah, semua orang akan tetap melihatmu sebagai Crishtie yang sama. Ingat, ada aku, kita pasti bisa melalui ini semua dengan baik bersama, kau kuat, dan kau mampu."
Kau tahu apa yang lucu? Terkadang kita memberikan semangat pada seseorang seolah kita hebat dan kuat melewati suatu masalah yang berat, namun kita sendiri sedang terpuruk dan rapuh.
Seperti juga yang terjadi pada diriku dan Crishtie saat ini, aku sendiri tak dapat membersihkan namaku, harga diriku yang terlanjur jatuh di mata Tuan Leonel, tapi aku memberikan motivasi untuk Crishtie jika dirinya pasti bisa melewati ini.
"Aku takut, Re. Bagaimana kalau Mommy sama Daddy tahu? Mereka akan membunuhku," raung Crishtie dalam tangisan.
"Itu tidak akan terjadi, sayang! Kau adalah segalanya bagi mereka, mereka akan tetap menerimamu dan juga bayimu, percayalah!"
Nory menangis di dekat dinding, sedikit menjauh dari kami, ia membekap mulutnya sendiri agar tak mengeluarkan suara.
Setelah kami banyak berbincang, kuminta Crishtie untuk tidur dan istirahat, dengan bantuan obat yang disuntikkan perawat ke dalam tubuhnya, Crishtie tertidur dengan lelap.
"Nory, tolong jaga Crishtie 24 jam, aku harus pergi sekarang."
Nory mengangguk masih dengan tangisan. Kulirik sesaat wajah Crishtie yang pucat, sembab dan kuyu, tak terasa setetes air mataku pun terjatuh. Kasihan.
***
Aku meninggalkan rumah sakit, menghubungi Erick memintanya untuk menjemputku, lalu mengantarku ke mansion Tuan Leonel, dan untunglah Erick bisa memenuhi permintaanku.
"Kau tidak datang ke kampus hari ini, dan kau juga tidak membalas pesanku, apa ada sesuatu yang buruk terjadi?"
Erick bertanya, namun aku tidak fokus dengan pertanyaannya, sibuk membalas pesan Bass yang menanyakanku kenapa tidak masuk kerja hari ini. Mobil melaju sedang membelah jalanan kota London di malam yang sepi lengang.
"Babe?" seru Erick menyadarkanku.
"Ah? Iya, aku sibuk hari ini," jawabku singkat.
"Siapa yang sakit?" tanya Erick mengulang pertanyaan yang tadi sudah ia tanyakan saat menjemputku di depan rumah sakit. Pertanyaan yang belum sempat kujawab.
"Crishtie,"
"Crishtie? Sakit apa?"
"Ehm,,, itu, dia,,,, lambung," bohongku.
Kubaca balasan pesan dari Bass, ia sudah pulang dan cafe juga sudah tutup, tapi satu kalimat dari sekian banyak deretan pesannya menarik perhatianku.
"Tuan tampan yang kemarin mengawasimu, ia kembali datang, menanyakanmu dan kujawab kau tidak datang, ia bertanya kenapa? Dan kujawab aku tidak tahu."
Tuan Leonel mencariku? Untuk apa? Dia yang mengantarku ke rumah sakit, mungkin tidak akan mengira jika aku akan tinggal cukup lama hingga bolos kerja.
"Babe? Kau berbalas pesan dengan siapa? Sampai begitu serius dan tak mempedulikanku?" Erick protes. Mobil melaju semakin mendekati mansion besar Tuan Leonel.
"Ah, maaf, Erick, aku benar-benar minta maaf, hari ini pikiranku sedang sangat kacau,"
Erick mengangguk, menggenggam tanganku kemudian mengecupnya pelan.
"Kita sampai," ujarnya, mobil berhenti di tepi jalan depan gerbang mewah mansion yang dominan dengan warna hitam.
"Rumah siapa ini, Babe?" tanya Erick menyadari tempat yang kudatangi bukanlah tempat sembarangan. Sangat mewah, besar, luas.
"Ini,,, rumah keluarga Crishtie," lagi, aku harus berbohong.
"Iya, keluarga Crishtie," ujarku mengulang, meyakinkannya, takut jika Erick mengetahui kebohonganku.
"Ehmm, baiklah, terimakasih karena sudah mengantarku, kau, pulanglah, ini sudah sangat malam,"
"Kamu?" tanya Erick.
"Aku? Bisa menginap atau meminta antar supir keluarga Crishtie, nanti,"
"Baiklah, cium aku dulu, aku sangat merindukanmu," Erick mendekat, menarik tubuhku kemudian menautkan bibir kami, ia bahkan memberikan sesapan kecil dan aku mendorong pelan dadanya agar ia berhenti.
"Maaf," lirihku.
Erick terlihat kecewa, namun aku memang tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya.
Aku sudah bersiap untuk membuka pintu, sampai ingatanku tertuju pada postingan Instagram Pricsilla.
Kulirik ke belakang, bantal Minion itu masih ada di jok sana.
"Erick?"
"Hemm?"
Haruskah aku bertanya sekarang? Tidak, ada hal lain yang lebih penting harus segera aku selesaikan.
"Tidak, m-ma maksudku, terimakasih," ucapku terbata, kuputuskan untuk tetap diam, akan menanyakannya nanti saat waktunya tepat.
Aku melambaikan tanganku pelan pada Erick sebagai salam perpisahan, dan dia membalasku dengan seutas senyuman.
Aku berbalik, berjalan ke arah gerbang besar tinggi menjulang, menekan tombol bel. Butuh kesabaran ekstra hingga seseorang datang membukanya.
"Kau lagi? Apa yang membawamu ke mari?" Nyonya Lorena datang membukakan gerbang. Masih sama seperti waktu itu, ia menyambutku dengan galak dan ketus.
"Tuan Leonel." jawabku berusaha tenang.
Tatapan matanya semakin menyalak tajam. Membuka gerbang semakin lebar, memberikan jalan padaku untuk masuk.
"Ja.lang!"
Masih bisa kudengar gertak Nyonya Lorena di belakangku yang mengumpat saat aku melangkah cepat memasuki halaman, tapi aku tidak peduli, toh itu memang nyatanya, aku datang ke mari pertama kali ke mansion ini untuk menyerahkan tubuhku pada Tuan Leonel.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
VS
Orang yg samakah🤔
2022-11-27
0
ida fitri
lanjut thor 💪💪❤
2022-08-09
0
mama yuhu
kayakx bu lorena cemburu atw gimana nih
2022-08-04
1