"Tok tok,,,, Tuan! Nona Retania sudah datang!" ucap Nyonya Lorena yang menghadap pintu agung kamar Tuan Leonel.
Terdengar bunyi beep dari pintu dengan lampu kecil yang menyala merah, setelah itu Nyonya Lorena menatapku sinis.
"Masuklah, ja.lang!"
***
Pintu kamar Tuan Leonel terbuka dengan sendirinya, menampakkan kemewahan di dalamnya, Nyonya Lorena sudah melangkah pergi usai ia mengataiku ja.lang.
Aku ragu, namun perlahan memasuki kamar super mewah Tuan Leonel dengan perasaan berdebar, gugup, dan juga rasa takut yang tadinya kutepis perlahan kini mulai datang.
Pintu kembali menutup rapat saat aku sudah berada di dalam kamar Tuan Leonel, membuatku sedikit kaget hingga berjingkat menoleh ke belakang melihat pintu yang sudah mengunci otomatis.
"Menunggu lama, Nona?"
Tuan Leonel berjalan ke arahku, dengan dua gelas minuman cantik berisi wine di kedua tangannya, ia hanya mengenakan bathrobe putih selutut dengan belahan dadanya yang terbuka, mengekspose dada bidang matang itu yang ditumbuhi bulu halus menambah kesan seksi.
Ia mengulurkan tangannya memberikan satu gelas minuman itu untukku, kuterima satu gelas wine dari tangan Tuan Leonel, kemudian ia mempertemukan gelas kami hingga menimbulkan bunyi dentingan ringan yang lumayan nyaring.
"Cheers," serunya santai sambil tersenyum, ia menenggak minumannya dan aku mengikutinya, menghabiskan wine tersebut dalam sekali teguk.
Setelah gelas kosong, Tuan Leonel mengambil gelas itu dari tanganku.
"Mandilah, aku masih memiliki waktu untuk menunggu," perintahnya sambil berbalik meninggalkanku.
Kuamati diri sendiri yang memang kucel dan mungkin bau matahari, belum sempat mandi setelah seharian mondar mandir ke sana ke mari.
"Apa yang kau tunggu? Jangan sampai moodku rusak dan aku tak bernaf su lagi untuk menyentuhmu," tegasnya sedikit melirik tajam dari sudut matanya ke arahku.
"T-ta tapi, s-sa saya tidak bawa baju ganti, Tuan!"
Tawa Tuan Leonel menggema, ia duduk santai di kursi depan sebuah meja, menuang lagi wine ke dalam gelasnya yang kosong.
"Kau tidak membutuhkan pakaian ganti, Nona, karena kau akan menemaniku bermain tanpa busana."
Kedua mataku terbelalak mendengar pernyataannya. Aku hampir lupa oleh tujuan utamaku datang ke mari adalah untuk menyerahkan mahkotaku.
"Apa kau masih akan tetap berdiri di sana?" suaranya terdengar meninggi, tak selembut tadi.
Aku menggeleng cepat, gugup, panik, takut, entahlah, semua rasa campur aduk.
"B-ba baik, saya mandi dulu!" aku berhambur masuk ke dalam pintu yang kuyakin itu adalah kamar mandi.
Benar, aku masuk ke dalam kamar mandi yang super mewah, bersih dan indah, mungkin besar kamar mandi ini jauh lebih luas dari rumahku. Begitupun setiap barang mewah di dalamnya pasti lebih mahal dari perabot di rumahku.
Tapi itu semua tak mempengaruhiku saat ini, aku sangat gugup, takut, mungkin aku akan sangat mengagumi tempat ini andai dalam situasi yang berbeda.
***
Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, dengan keadaan rambut basah yang kubiarkan terurai tanpa handuk, air-air sisa keramas itu berjatuhan membasahi lantai.
Tuan Leonel melirikku, mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung kepala, untunglah aku menemukan kemeja putih bersih yang tergantung, pasti milik Tuan Leonel, dan aku mengenakannya, tanpa seizinnya, setidaknya aku tidak keluar dari kamar mandi dalam keadaan polos meski kemeja putih ini sangat kebesaran dan kedodoran.
"Kemarilah," seru Tuan Leonel yang masih duduk di kursi.
Aku mendekat perlahan, degupan jangtung semakin lama semakin kencang, bahkan kurasa aku sendiri bisa mendengarnya dengan jelas.
"Duduklah," ujarnya sambil menepuk sebelah paha, sebuah instruksi yang memerintahku untuk duduk di atas pangkuannya.
Aku berdiri diam mematung, sangat ragu, haruskah aku menuruti kemauannya? Duduk di pangkuannya, itu terlihat? Risih.
"Aahh,,,," Tuan Leonel menarik tanganku begitu saja, karena aku hanya diam mematung, hingga aku benar-benar jatuh dalam pangkuannya. Ini adalah posisi terdekat seumur hidupku dengan seorang laki-laki, berada di pangkuan Tuan Leonel.
Ia terus melihatku dengan tatapan matanya yang sayu, lembut, tapi membuatku takut dan merinding.
Aroma musk yang menguar semakin kuat dari tubuhnya memanjakan penciumanku, tapi tetap saja aku takut, dia pria dewasa yang berpengalaman sedangkan aku hanya gadis biasa yang baru lulus sekolah.
"Aahh,,,," de.sahku kala satu tangan kekar Tuan Leonel melingkari pinggangku sampai ke perut depan. Mempererat tubuh kami. Ia terus melihatku, sama sekali tak melepas tatapannya itu barang sedetik pun dari wajahku.
"Minumlah," perintahnya menyodorkan segelas wine ke arah bibirku, dan aku menurutinya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, hingga botol wine itu kosong dan aku merasa pusing.
"Apa kau tidak akan menyesali keputusanmu, Nona?" ia menjeda.
"Karena saat aku telah memulai menyentuh tubuhmu," jemarinya mengelus pipiku, turun ke bawah hingga ke leher, dengan gerakan sangat pelan dan sensual, sempurna membuat seluruh bulu kudukku meremang.
"Maka tak akan ada yang bisa menghentikanku dari mendesakmu," tangannya yang semula mengelus tubuhku berpindah merengkuh kembali pinggangku dengan lebih erat.
"Sampai aku merasa bosan," lanjut Tuan Leonel menyelesaikan kalimatnya yang penuh makna.
Pandanganku mulai tidak fokus, bahkan aku tak bisa mengendalikan diri untuk tidak tersenyum pada Tuan Leonel, senyum? Kenapa? Mungkin aku sedikit mabuk, atau aku memang mabuk.
"Jika dengan merelakan kesucianku yang selama ini kujaga bisa menyelamatkan kakakku, maka aku rela melakukannya, Tuan,"
Mabuk ternyata cukup membantu, aku terbawa suasana dan perasaan takut serta gugup yang semula mendera perlahan mulai menghilang.
"Jangan pernah menyesali keputusan yang telah kau buat, Nona. Bagiku, kau sama saja seperti yang lainnya, MAINAN RANJANGKU!"
"Aaahh,,,,"
Tuan Leonel menggendongku ala bridal tiba-tiba, membawaku mendekati tempat tidurnya, dan dia merebahkan tubuhku secara perlahan di atas ranjang empuknya yang super besar, lembut dan wangi.
Ia menin.dihku, berada di atas tubuhku tanpa menyakitiku.
"Apa kau pernah berciuman, Nona?" tanyanya, jari jempolnya mengelus bibirku.
Aku menggeleng pelan, melihat sayu wajah Tuan Leonel yang kini nampak sangat tampan di mataku.
Ia mendekat, semakin dekat hingga aroma nafas kami bertabrakan.
"Tunggu," ucapku sedikit mendorong dadanya. Meski aku sudah tak sepenuhnya bisa mengontrol diri, namun aku masih mengingat tujuan utamaku datang ke mari, Kakak-kakakku.
"Ada satu permintaan lain yang harus kau sepakati, Tuan," ucapku lirih.
Kedua matanya menyipit dengan dahinya yang mengernyit, aku bahkan sudah merasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana mengenai tubuhku sedari tadi. Dan aku tahu itu adalah jagoan Tuan Leonel yang sudah siap berperang.
"Apa? Jangan membuang waktu dan cepat katakan!" geram Tuan Leonel terdengar tidak sabar.
"Setelah kau selesai, selain Kak Harry yang harus kau bebaskan, kau juga harus membiayai pengobatan Kakakku, dia terbaring di rumah sakit karena kanker, jika kau tidak bersedia, maka lepaskan aku dan biarkan aku pergi,"
"Omong kosong, kau pikir siapa kau bisa memerintahku, dan pergi dari sini? Dalam keadaan seperti ini? Bahkan kau tidak bisa keluar dari kamarku tanpa seizin diriku."
"Eemmpphh!" Tuan Leonel menautkan bibir kami tiba-tiba, menciumku dengan sedikit kasar, aku sempat memberontak mendorong dadanya, karena ia belum menyanggupi syaratku, tapi apa dayaku, ia kuat dan aku lemah.
Tuan Leonel terus menciumku dengan brutal, merentangkan kedua tanganku ke sisi kiri dan kanan, hingga semua terjadi dan aku benar-benar kehilangan kesucianku. Oleh penyatuan tubuh kami, aku dan Tuan Leonel.
***
Sesuai aturan Noveltoon, sebelum bab 20 dilarang menulis adegan ranjang, jadi diskip dulu. Tapi scene ini telah ditulis di bab 21.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Fiony Rina
sedih liat pengorbanan re
2023-04-11
0
Nini Andriani
udah gak sabaran nih 😆😆😆😆
2022-09-29
0
Rose_Ni
oh,kukira gak akan ad adegan 21+ nya
2022-08-08
0