"Tuan, kumohon kasihani Kak Harry, saya, saya bersedia melakukan apa saja agar Tuan mencabut laporannya. Saya mohon!" isakku sambil bersimpuh, memohon di hadapannya yang kemudian tertawa sumbang.
"Apa yang bisa dilakukan gadis kecil sepertimu? Ah, aku memang sedang membutuhkan mainan di ranjang, tapi aku tidak yakin jika kau bisa memuaskanku dengan tubuh kecilmu ini, terlebih kau harus bersertifikat perawan. Untuk lolos tahap seleksi."
DEG
Aku mendongak tajam, dari sekian banyak kemungkinan, tak terpikirkan jika dia mengarah pada pembahasan ranjang.
***
"Pulanglah! Waktuku terlampau mahal untuk kubuang-buang!"
Tuan Leonel berdiri dari kursi mewah berwarna gold dengan ukiran naga itu, aku yang mematung terpaku usai mendengar pernyataannya terakhir tentang pembahasan ranjang tersadar jika ini kesempatan terakhir untuk menyelamatkan kak Harry dan tak boleh kusia-siakan.
"Tunggu," aku berlari menghadang jalannya yang hendak pergi, ke arah lain, entah kemana, ruangan ini sangat luas dengan begitu banyak pintu menuju ke tempat lain.
Tuan Leonel menyipitkan matanya, menatapku penuh tanya.
"B-ba baik, s-sa saya bersedia_"
"Ha ha ha ha ha ha ha...." tawa Tuan Leonel menggema ke seluruh penjuru ruangan.
Tubuhku semakin gemetar dengan degup jantungku yang semakin kencang, kedua tangan yang saling meremas di bawah ujung baju terasa sangat dingin, aku hanya menunduk tak berani mendongak melihat wajah angkuhnya.
"Sampah!" ujarnya sempurna melukai hatiku. Tapi apa yang ia katakan memang benar, wanita yang bersedia menyerahkan dirinya pada lelaki yang tak berhak menjamahnya adalah sampah.
Kurasakan sentuhan tangan kuat Tuan Leonel menyentuh daguku, mengangkat wajahku agar mendongak melihatnya.
Bulir-bulir bening itu semakin deras membanjir lewat sudut-sudut mataku. Aku takut, tapi aku tak memiliki jalan lain.
"Apa kau masih perawan?" tanya Tuan Leonel dengan nada rendah. Manik tajamnya sama sekali tak terlepas menatap intens kedua mataku yang terus berair.
Cukup sulit untuk bisa mengangguk, dan tenggorokanku tercekat untuk sekedar mengatakan, ya, di saat seperti ini.
"Hm," hanya itu suara yang keluar dariku.
"Berapa umurmu?"
"De-de delapan belas tahun," jawabku lirih hampir tak terdengar setelah kukumpulkan seluruh tenaga untuk bisa menjawabnya.
Bola mata Tuan Leonel bergerak pelan mengamati setiap inci dari wajahku, seolah mencari sesuatu untuk mencari cacat yang mungkin akan membuatnya menolak diriku.
"Datang kembali nanti malam jam 7," ia melepaskan cengkraman tangannya di pipiku dengan sedikit kasar, membuat tubuhku sedikit terhuyung, atau aku memang benar-benar gemetaran sehingga begitu mudah tercampakkan.
Tuan Leonel melangkah menuju satu pintu kaca dan keluar meninggalkanku begitu saja. Isak tangisku tak dapat kucegah membayangkan nanti malam aku yang harus kembali menemuinya, menyerahkan diriku sebagai ganti atas kebebasan Kak Harry.
***
Langkah kakiku melangkah gontai menyusuri trotoar jalanan kembali ke rumah, beberapa orang yang berpapasan denganku nampak memperhatikan sesaat kemudian tak peduli kembali.
Pastilah diriku saat ini terlihat sangat kacau. Kedua mata bengkak dengan lingkaran hitam panda karena tak tidur semalaman, wajah sembab, rambut amburadul dan juga tubuh lemas. Andai ada jalan lain yang bisa kulakukan?
Aku duduk di kursi panjang di bawah lampu trotoar, kembali menangis sedih, betapa mengerikannya harus menyerahkan kesucian yang selama ini telah kujaga sepenuh hati pada orang yang sesungguhnya tak benar-benar kukenal, seseorang yang tidak mencintaiku dan juga tak kucintai, itu pasti akan menjadi kenangan hitam yang akan terus terbayang seumur hidupku.
"Retania?"
Kudengar suara seseorang menyerukan namaku, aku mendongak, melihat ke arah jalan dari asal sumber suara.
Benar, di depanku berhenti sebuah mobil hitam, dan di jok kemudi tengah duduk seorang wanita yang cukup kukenal, Kak Naina, dia adalah teman Kak Rachel dulu, namun hubungan mereka merenggang semenjak Kak Rachel tahu jika Kak Naina ternyata juga mencintai Kak Harry.
Kak Naina adalah gadis keturunan India-Inggris berkulit Tan, berambut hitam panjang. Dia cukup baik dulu setiap main ke rumah.
"Kak Naina?" lirihku lemah.
***
Kak Naina memintaku masuk ke dalam mobilnya, ia melajukan kendaraannya membelah jalan menuju rumahku.
"Apa?" teriak Kak Naina setelah aku menceritakan semua yang terjadi padanya.
"Tuan Leonel? Aku lumayan mengenal orang itu, dia CEO di tempat papa bekerja,"
Dadaku semakin sesak mendengarnya, itu artinya harapanku untuk meminta bantuan pada Kak Naina pun pupus sudah. Bahkan papanya yang kutahu kaya berada di bawah naungan Tuan Leonel.
"Re, bersabarlah. Aku tahu ini tidak mudah, tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Jika urusannya sudah pada Tuan Leonel langsung, bahkan uang ganti tak akan mampu menutupi kesalahan Harry."
Aku mengangguk pelan, apa yang Kak Naina katakan benar. Tuan Leonel bukanlah tanding yang bisa dilawan.
"Jadi, Rachel sakit? Dan sekarang Harry ditahan di kantor polisi?" terdengar nada penyesalan dari Kak Naina, ia sepertinya turut sedih dengan apa yang menimpa kami.
Perjalanan kami berlanjut dengan terus membicarakan banyak hal, terutama Kak Harry yang berada diambang kehancuran.
"Maaf, Re. Bukannya Kak Naina tidak mau membantu, tapi Kak Naina tidak sanggup!"
Mobil telah berhenti di depan rumahku, kami telah sampai setelah 10 menit berlalu.
"Iya, Kak. Retania tahu, terimakasih karena telah mengantar Re pulang,"
Aku dan Kak Naina saling berpamitan sebelum aku keluar dari mobilnya, melangkah masuk ke dalam rumah saat mobil Kak Naina sudah melaju menjauhi jalan depan rumahku.
***
Pukul 2 siang aku datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Kak Rachel, masih sama, tidak ada perkembangan, kedua mata Kak Rachel masih terpejam sempurna dengan wajah pucat dan badan yang semakin kurus, dia hanya bertahan hidup oleh bantuan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Setelah melihat kondisi Kak Rachel, sekitar pukul 4 sore aku ke kantor polisi, untuk menemui Kak Harry, hampir saja aku tidak diperbolehkan bertemu karena jam besuk telah usai. Tapi aku terus memohon dan memelas, hingga polisi itu memberikanku sedikit waktu.
"Bagaimana Kak Rachel, Re?" tanya Kak Harry terlihat mencoba menahan tangisnya.
Aku sama sekali tak berani mendongak menatap wajah Kak Harry, ia begitu sangat mencintai kakakku, di saat kondisinya sendiri seperti ini yang ia pikirkan hanyalah Kak Rachel.
Cinta Kak Harry sungguh besar, hingga ia rela mengorbankan dirinya sendiri demi kesembuhan Kak Rachel, namun yang diperjuangkannya justru tak menunjukkan perubahan. Mungkin inilah wujud cinta dari Tuhan untuk Kak Rachel, diuji oleh kesehatan dan diberikan kenikmatan mendapatkan banyak ketulusan.
Perlahan aku menggeleng, tak mampu untuk menjawab dengan kata.
Isak tangis Kak Harry pecah, kami menangis bersama. Namun, tak lama polisi yang menjaga datang, untuk membawa Kak Harry kembali ke dalam.
"Kak Harry bersabarlah, ini malam terakhir kakak di sini, kakak akan segera keluar! Retania janji!" teriakku sesenggukan. Tak ada jawaban yang kudapatkan, mungkin semua juga percuma bagi Kak Harry jika sesuatu yang buruk terjadi pada Kak Rachel. Karena Kak Rachel adalah hidupnya.
***
Aku melanjutkan langkah menuju tempat tujuan utama. Mansion Tuan Leonel. Bukan seperti kemarin saat aku pertama kali datang ke tempat itu dengan perasaan takut, malam ini aku datang dengan seluruh keberanian. Menepis semua malu dan membuang harga diriku demi Kak Harry dan Kak Rachel.
Selain meminta Tuan Leonel untuk membebaskan Kak Harry, aku juga akan meminta padanya untuk membiayai pengobatan Kak Rachel setelah ini.
Gila? Ya, anggap saja begitu, tapi itu memang harga diriku, nyawa kedua kakakku. Dan Tuan Leonel harus setuju. Harus.
***
Aku duduk di sebuah sofa hitam panjang di salah satu ruangan besar mansion Tuan Leonel yang dominan dengan warna dark. Perasaan gugup mulai menyelimuti padahal tadi aku sangat PD sekali. Namun entah kemana keberanian diriku itu kini tiba-tiba pergi.
Detik demi detik terlewati, menit demi menit, jam demi jam, dan waktu demi waktu.
Kulirik jam besar mewah di dekat dinding yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali. Dan kini jam besar berwarna coklat mengkilat itu berdentang sebanyak 10 kali. Menandakan jika saat ini telah pukul 10 malam.
Aku semakin tidak tenang, entahlah, atau senang, mungkin, Tuan Leonel belum kunjung datang, dan wanita bertubuh subur yang pernah membukakan gerbang untukku waktu itu datang.
"Ikut aku, Tuan Leonel sudah menunggumu di kamarnya!" ucapnya sinis dengan sorot mata penuh kebencian.
"Ah? I-i i iya!"
Aku berdiri, gugup, mengikuti langkah kaki besar wanita bertubuh subur itu yang akhirnya kutahu namanya adalah Nyonya Lorena.
Nyonya Lorena terus melangkah dan aku mengekor di belakangnya seperti anak kucing yang ketakutan, kami menaiki tangga mewah berkarpet merah menuju lantai atas yang terkesan lebih megah, masih dengan nuansa dark yang kental. Dengan lukisan-lukisan besar beberapa bintang buas seperti harimau sebagai hiasan.
"Tok tok,,,, Tuan! Nona Retania sudah datang!" ucap Nyonya Lorena yang menghadap pintu agung kamar Tuan Leonel.
Terdengar bunyi beep dari pintu dengan lampu kecil yang menyala merah, setelah itu Nyonya Lorena menatapku sinis.
"Masuklah, ja.lang!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Ⓤ︎Ⓝ︎Ⓨ︎Ⓘ︎Ⓛ︎
untung kamu cantik sesuai selera tuan Leonel re, kalo gk sesuai selera mau gimana nolongin kakak2 kamu 🤭
2023-02-01
0
Nini Andriani
Semoga pengorbanan nya sesuai dgn yg diharapkan. Buat pembantu nya semoga makin gembrot aja 😃😃
2022-09-29
0
ida fitri
kasian retania kamu harus kuat re demi kaka kamu😭😭😭
2022-08-09
0