Sudah seminggu Fay pulang ke rumah orang tuanya. Setiap kali aku ke sana, dia selalu menolak menemuiku. Bahkan ibunya memintaku untuk membiarkan dia sendiri dulu. Aku tidak tahu apakah istriku sudah menceritakan kejadian saat aku menamparnya atau tidak. Tetapi melihat sikap ibu dan ayahnya tak menyinggung soal pertengkaran kami, rasanya Fay belum cerita.
Berkali-kali aku telepon pun tak pernah dia respon. Apa Fay sangat marah? Dia masih belum mau melihat wajahku. Batinku terus berkecamuk.
Aku bingung memikirkan cara supaya Fay – setidaknya – mau mendengarkan penjelasanku dahulu tentang kejadian waktu itu. Aku menyesal telah kehilangan kendali hingga membiarkan telapak tanganku mendarat di pipi manisnya.
Sepulang kerja aku langsung merebahkan diri di kasur, bersiap tidur untuk melupakan sejenak kepenatan ini. Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Aku berharap itu telepon dari Fay. Harapanku tak sejalan, ternyata Ken yeng menelepon.
“Sorry kalau aku ganggu,” katanya setelah kutempelkan ponsel di telinga.
“Ada apa, Ken?”
“Fay, masih belum pulang?” tanyanya dengan suaranya melemah.
“Belum,” jawabku datar.
“Aku minta maaf ya. Mungkin ini semua karena salahku.”
“Sudahlah, Ken. Ini masalah rumah tanggaku. Kamu tak perlu memikirkannya.”
“Tapi….” Ken terdengar tak menerima.
“Kita nggak usah bahas itu dulu ya, Ken. Aku mohon!”
“Iya, Dave. Sekali lagi, aku minta maaf. Oh iya, besok kita ketemu yuk. Banyak hal yang ingin aku bicarakan?”
“Nggak bisa, Ken. Besok aku berencana menemui Fay kembali,” tolakku dengan halus.
“Kalau begitu, aku ikut denganmu. Bagaimana? Mungkin aku bisa membantu menjelaskan.”
“Maaf, Ken. Aku pergi sendiri saja.” Aku tak yakin jika Ken ikut situasi akan menjadi lebih baik, justru hal sebaliknya lebih sangat mungkin terjadi. “Maaf Ken, aku capek baru pulang kerja. Aku mau istirahat dulu.” Sambungan telepon pun aku akhiri.
Masalah kali ini sangat rumit. Selama setahun menikah, ini pertengkaran pertama hingga Fay memilih kembali ke rumah orang tuanya. Aku semakin teringat ucapannya yang meminta aku memilih antara dia atau Ken. Haruskah seperti itu?
Aku pikir Fay memintaku mengundang Ken untuk makan siang bersama, karena ia ingin memperbaiki hubungannya dengan sahabatku itu. Nyatanya, dia begitu brutal menunjukkan ketidaksukaan terhadap Ken. Keinginanku agar Fay mau berteman dengan Ken sepertinya hanya akan menjadi angan-angan.
Aku bangun kesiangan, karena semalaman tidurku terus terganggu oleh banyak pikiran. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 lebih. Aku segera bersiap untuk menemui Fay. Aku tak akan pernah menyerah untuk mengajaknya kembali ke rumah ini.
Semoga hari ini Fay mau menemuiku. Harus! Aku harus bisa berbicara dengannya. Aku tak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut. Fay, ketahuilah aku begitu tersiksa tanpamu. Aku sangat mencintaimu.
Saat hendak mengeluarkan mobil dan siap untuk pergi, seseorang terlihat di depan rumah. Orang yang sangat tidak asing sehingga mengharuskanku turun sejenak.
“Ada apa, Ken?” tanyaku terkejut.
“Aku ikut ya?” pintanya dengan wajah sedikit pucat.
“Ken, sorry, kemarin kan aku sudah bilang bahwa aku pergi sendiri saja.”
“Aku merasa sangat bersalah, karena aku ada andil dalam masalahmu ini.” Dia ngeyel dan memohon sambil memegang tanganku, seperti seorang anak yang merengek ingin ikut dengan orangtuanya. Genggaman tangannya membuatku merasa sedikit canggung.
“Ken, lebih baik kamu pulang saja dan istirahat ya. Aku rasa kamu butuh istirahat.” Aku masih berusaha menolak dengan halus. Jika Ken ikut, Fay malah bisa semakin salah paham.
Aku tinggalkan Ken yang tertegun. Dia menatapku sendu. Namun beberapa langkah kemudian, aku berhenti. Kedua tangan Ken secara mendadak menyelinap di pinggangku. Itu sangat membuatku kaget. Dia juga menempelkan wajahnya di bahuku. Ada apa ini? Aku berusaha melepaskan pelukannya, tetapi ia semakin kencang memelukku.
“Ken, bisa tolong lepaskan tanganmu sebentar!” Aku meminta dengan halus sambil berusaha melepaskan tangannya yang saling bertautan satu sama lain di tubuhku. Ini bukan pertama kali dia memelukku, tetapi ini pertama kali aku merasa begitu tidak nyaman.
Ken pun melepaskan pelukannya. “Aku tidak pernah menyangka istrimu begitu cemburu padaku. Namun, aku juga tidak mau kehilanganmu.”
Saat kubalikkan badan, air mata terlihat jelas di kedua sudut matanya. Ah, kenapa jadi begini? Mengapa Ken mendadak seperti ini. Jangan-jangan…. Tidak, aku belum sanggup memikirkan hal tersebut. Fokusku saat ini yaitu mengajak Fay kembali ke rumah ini.
“Kita sudah sangat lama bersahabat. Bahkan katamu, aku sudah seperti saudara kandungmu, kan? Kamu pun berjanji jika menikah nanti kamu tidak akan pernah meninggalkanku. Kita tetap sahabat sampai kapan pun. Iya kan, Dave?” ucapnya lirih.
“Ken, saat ini aku hanya ingin menyelesaikan masalahku dengan istriku dulu. Itu saja.” Kupegang pundak Ken sebagai isyarat memohon dia mengerti dan lebih baik pulang saja.
“Apa kamu akan meninggalkanku?” Ken masih saja melontarkan pertanyaan yang membuatku justru menjadi risih.
“Aku belum tahu, Ken. Aku sudah mau pergi. Kamu pulang saja, please!.”
“Bagaimana jika aku benar-benar mencintaimu?” Dia sedikit berteriak.
“Maaf, aku sudah harus pergi.” Aku tak ingin mengulur waktu untuk menemui Fay.
Saat aku menyalakan mobil, Ken tampak masih enggan beranjak dari rumahku. “Ken, untuk saat ini, aku mohon jangan temui aku dulu ya. Thanks!”
Aku tak menunggu persetujuan Ken atas permintaanku itu. Segera saja kuinjak pedal gas dan lepas kopling. Kecepatan mobil kunaikkan perlahan. Aku hanya ingin menyelesaikan masalah yang menyapa hidupku satu persatu.
Sesampai di rumah mertuaku, ternyata Fay tidak ada. Kata ibu mertuaku dia sedang pergi ke rumah temannya. Aku putuskan untuk menunggu hingga dia pulang.
“Maafkan sikap Fay ya, Dave! Kami terbiasa memanjakannya. Jadi ketika dia sudah berumah tangga pun, sikapnya masih sedikit kekanak-kanakan,” ucap ibu mertuaku sambil menyodorkan kopi.
“Dave juga minta maaf Bu kalau belum bisa sepenuhnya membimbing Fay.” Aku merasa malu kepada ibu mertuaku. Tampak jelas Fay memang tidak menceritakan tragedi “penamparan” kepada orang tuanya.
“Ibu dan Bapak setiap hari selalu menasehati Fay supaya pulang. Namun, Fay mengatakan butuh waktu di sini dan ingin menenangkan diri dahulu. Ibu tahu kamu suami yang baik. Fay saja yang memang terkadang sangat keras kepala.” Nada bicara Ibu Fay membuatku merasa bersalah. Beliau justru lebih memihak kepadaku.
“Fay mungkin sedikit salah paham saja. Kamu begitu tampan, pintar, dan baik sehingga tidak heran banyak wanita yang mendekati, meskipun mereka tahu kamu sudah beristri. Tapi Ibu dan Bapak yakin, kamu setia dan tak mungkin mempermainkan anak kami.” Sekarang aku dipuji. “Saat kamu datang meminta anak perempuan kami satu-satunya, kami tak ragu menitipkannya padamu. Karena Fay pun mengatakan begitu mencintaimu, dan kamu pun begitu katanya.”
Aku merasa malu, karena tak bisa menjaga Fay. Jika mertuaku tahu aku sudah menampar anaknya, mungkin mereka pun tak akan mau menemuiku. Di titik ini aku merasa gagal dalam menjalankan kepercayaan.
Tak ada balas kata yang bisa aku ucapkan. Hanya gelisah menanti istriku pulang.
“Ibu sedang masak. Kamu tunggu saja dulu ya! Nanti Ibu bicara lagi sama Fay kalau dia sudah pulang.” Dari tadi aku hanya mengangguk dan mengangguk. “Tadi Fay bilang cuma mau pergi sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga.”
“Iya, Bu. Dave akan menunggu Fay pulang.”
“Atau Ibu telepon saja ya supaya Fay cepat pulang?”
“Nggak usah, Bu. Nanti kalau Fay tahu Dave ada di sini justru dia tidak mau pulang.”
“Sudah, tenang saja! Ibu nggak akan memberitahu kamu di sini.” Aku pun menurut saja. Aku sangat terharu melihat kebaikan beliau.
Selama seminggu pisah ranjang dengan Fay, ibu mertuaku setiap hari menelepon atau mengirimkan pesan menanyakan kondisiku. Mereka sudah percaya kepadaku untuk menitipkan putrinya agar aku jaga dan bimbing. Aku tak ingin mengewakan mereka (lagi).
Kemudian, aku tak sadar tertidur di sofa, dan terbangun karena mendengar suara mobil terparkir di depan rumah. Sepertinya itu Fay. Aku langsung beranjak ke sumber suara, memastikan yang datang adalah benar istriku tercinta. Aku harus bisa menghalaunya sebelum dia masuk ke kamar untuk menghindariku lagi.
Terlihat ibu mertuaku sedang menarik Fay supaya segera masuk ke dalam rumah. “Ada apa sih Bu nyuruh aku cepat pulang?” Tanya Fay dengan wajah yang bingung. Aku sendiri tidak tahu apa yang dikatakan ibu mertuaku agar Fay cepat pulang.
Saat Fay berbalik badan, dia terkejut aku ada di depannya. Dia membuang muka dan berusaha lari.
“Fay, Ibu tak ingin kamu terus menghindar seperti ini. Apa pun masalah dalam rumah tanggamu, kamu harus bicarakan baik-baik dengan suamimu.” Ibu mertuaku berusaha keras agar Fay mau berbicara denganku.
Aku pun langsung menghampiri istriku dan memegang tangan kanannya, “Fay, aku mohon beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”
Fay tidak menggubrisku. Lalu, ibunya menimpali ucapanku. “Fay, setiap hari suamimu ke sini. Dia menunggu kamu agar mau mendengar penjelasannya. Ibu mohon bicarakanlah baik-baik masalah kalian!” Kedua mata ibu mertuaku tampak berlinang. “Fay, anak Ibu yang baik. Fay nggak boleh begini. Fay sudah punya suami. Fay harus bisa lebih dewasa. Fay harus mau mendengarkan penjelasan suami dahulu sebelum memutuskan suatu masalah. Ibu mohon sekarang ajak suamimu ke kamar. Kalian perlu berbicara dengan tenang dari hati ke hati.” Saat ibunya berbicara, sesekali aku melihat Fay berusaha menyeka air yang jatuh di kedua sudut matanya.
Fay bersedia mengajakku ke kamarnya untuk berbicara. Setidaknya, aku mulai lega.
“Jadi apa keputusanmu, Mas?” Baru saja masuk kamar, Fay sudah agresif bertanya.
Aku tak menjawab pertanyaan itu, karena aku tahu yang dia maksud aku harus memilih antara dia atau sahabatku. Aku tak mau larut terus menerus dengan pembahasan tersebut.
Aku berusaha memeluk Fay untuk mencairkan kerinduan. Namun, dia berusaha melepaskan. Aku sangat rindu aroma tubuhnya. Aku rindu mencium bibirnya yang lembut.
Setelah bergelut cukup lama untuk mempertahankan pelukan, Fay pun membalas pelukanku. Wajahnya bersandar di dadaku. Hangatnya air mata terasa menembus kulitku. Itu berarti egonya sudah mulai mencair.
“Aku sangat mencintaimu, Mas,” ucapnya sedikit terisak.
Air mata yang menetes di tubuhku dan lirihannya membuat aku teringat kejadian tadi pagi. Tidak, aku tidak boleh memikirkan Ken dulu. Aku sedang bersama istriku.
“Mas pun sangat mencintaimu, Fay,” balasku sambil mencium keningnya.
Kuangkat kepalanya. Kubersihkan sisa tangisan di wajahnya. Lalu, kusentuh bibirnya dengan bibirku. Dia tampak pasrah dan menikmati ketika aku menghancurkan lipstik di bibirnya. Dengan perlahan dan lenbut, tanganku mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu.
Dia memelukku dengan penuh kehangatan. Semakin erat dia memeluk, semakin aku tak ingin melepaskannya.
***
Kehidupan sudah mulai berjalan normal kembali. Senyum dan canda mewarnai hari kami seperti sedia kala. Aku pastikan tak akan ada lagi pertengkaran sehebat kemarin. Tidak mungkin aku melepaskan wanita secantik dan sebaik Fay.
“Nanti malam mau makan apa, Mas?” tanya Fay sambil menata piring untuk sarapan.
“Hmmm, apa pun yang kamu masak itu yang aku makan,” godaku.
Fay melemparkan senyum menanggapi jawabanku. Betapa bahagianya melihat senyumannya di pagi hari. Tandanya, dia sudah lupa kejadian waktu itu. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, dan aku tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku akan selalu berusaha untuk menghindari sesuatu yang bisa memicu konflik dalam rumah tangga ini. Rumah tangga yang kuharap menjadi pelabuhan terakhir hidupku.
Aku sudah jelaskan kepada istriku bahwa waktu itu aku bukan sedang membela Ken. Aku justru tengah membela dia. Aku tak mau dia memiliki pikiran negatif terhadap orang lain. Namun, caraku memang salah. Tak semestinya aku memberikan cap tangan untuk menunjukkan rasa sayang kepadanya.
***
Jam menunjukkan waktunya makan siang. Perputaran jarum jam tak terasa ketika bekerja dengan penuh semangat. Asik, sebentar lagi pulang. Tak sabar rasanya menikmati makan malam berdua dengan Fay yang beberapa hari kemarin tak kurasakan.
Dering ponsel memecah imajinasiku. Aku sudah tahu siapa yang menelepon.
“Sayang, makanan yang aku buatkan jangan lupa dimakan ya!” Pintanya manja dari balik layar virtual.
“Aku pengen kamu yang suapin.” Sudah lama tak bermanja seperti ini.
“Pas sudah mau makan video call lagi, nanti aku suapin. Hehe…” Terdengar suara tertawa kecil yang begitu renyah.
“Hem….”
Saat aku menikmati masa bermanja kembali dengan istriku, seorang office boy memanggil. “Pak…. Mohon maaf, Pak.”
Aku pun memberikan kode dengan mengayunkan bibir tanpa suara kepada office boy tersebut agar menunggu sebentar.
“Sebentar ya, Sayang!” Aku tahan sambungan telepon dengan Fay.
“Ada yang mau bertemu dengan Bapak. Orangnya menunggu di lobby kantor,” tutur OB tersebut.
“Oke. Terima kasih!”
Setelah menyampaikan pesan tersebut, sang OB berlalu pergi.
“Sayang, nanti aku telepon lagi ya.” Aku terpaksa memutus sambungan telepon dengan istriku. Bisa saja seseorang yang dimaksud OB sedang menungguku adalah klien yang penting.
“Iya. Tapi makanannya dihabiskan ya, Sayang!”
“Iya.” Telepon pun aku tutup.
Ketika sudah sampai di lobby, aku tak menemukan orang yang tampak sedang menunggu. Kulayangkan pandangan ke sudut lain. Terlihat seseorang yang sudah sangat kukenal berdiri dengan gesture yang gelisah. Dia berdiri sambil membuat putaran langkah kecil.
Langsung saja aku menghampiri dan menyapanya, “Ada apa?”
“Aku mau ngomong sesuatu.” Raut wajahnya melukiskan persekutuan antara kecemasan dan kesedihan.
“Ya, silakan!.”
“Tapi tidak bisa di sini, Dave.” Dia berusaha meraih tanganku, tetapi aku berhasil menghindar. “Kita ngobrol di tempat biasa ya. Sambil makan siang. Aku mohon!”
“Kalau begitu, aku minta maaf, aku tidak bisa.” Aku sudah berjanji kepada Fay untuk membatasi pertemuanku dengan Ken. Ken satu-satunya sahabatku, tetapi saat ini Fay menjadi prioritas utamaku. Aku bisa saja berbohong kepada dia, namun suatu saat dia akan tahu juga. Itu justru akan memperburuk lagi hubungan rumah tangga kami.
Tak ada pilihan lain, selain menjaga jarak dengan Ken. Sejujurnya, aku tak nyaman melakukan hal ini. Tetapi inilah hidup, kita akan selalu dihadapkan pada pilihan.
“Kenapa begitu, Dave?” Ken perlahan mulai menitikkan air mata. Kulihat sekeliling, untung saja para karyawan sedang makan siang di kantin. Kenapa Ken jadi se-sensitif ini? Tidak, aku harus bisa mempertahankan keputusanku.
“Sorry ya, Ken. Sepertinya kita tak perlu bertemu lagi. Aku sudah punya kehidupan baru. Bukan aku tak mengganggapmu. Tapi ya itu tadi, kita tak perlu bertemu lagi.” Cukup berat untuk mengatakan hal tersebut.
“Kenapa? Istrimu yang memintanya? Istrimu yang melarang, karena dia begitu benci kepadaku? Kenapa jadi begini? Kesalahan apa yang aku lakukan?” Ken justru membabi buta menyodorkan pertanyaan.
“Tolong ya Ken jangan bawa-bawa istriku. Ini keputusanku.” Aku berusaha tak menatap wajahnya. Aku tak bisa melihat seseorang menangis di depanku. “Semoga kamu mengerti jika kita sudah tidak bisa bertemu seperti dulu. Aku sudah punya kehidupan baru. Mohon maaf, jika tak ada hal lain yang ingin kamu bicarakan, aku kembali ke ruang kerjaku.”
Aku langsung memutar langkah tanpa menunggu konfirmasi dari Ken, karena sejatinya kalimat yang kulontarkan hanyalah formalitas. Aku tak mau terlibat percakapan yang sifatnya pribadi di kantor. Namun selang beberapa langkah aku berjalan, Ken berteriak, “Jadi kamu memutuskan hubungan ini?”
Kalimat yang ia teriakkan membuatku sejenak terpaku. Hubungan? Hubungan persahabatan kan yang dia maksud?! Bagiku tak ada kata putus dalam hubungan persahabatan, hanya saja kehidupan selalu berputar dan menempatkan kita dengan prioritas yang baru.
Aku mantap meninggalkannya sekalipun sayup-sayup namaku masih bergema hingga aku masuk ke dalam lift. Ini di kantor. Aku tak ingin menjadi tontonan rekan-rekanku di sini.
Kusandarkan badan di kursi kerja dan meluruskan kedua kaki ke kolong meja. Baru kemarin aku sudah merasa tenang dan mulai lupa, tetapi Ken malah tak memberiku ruang untuk rehat dari situasi ini.
Pertanyaan yang selalu istriku lontarkan tentang Ken semakin menguat dalam benakku. Benarkah Ken memiliki perasaan yang lebih dari sekadar sahabat kepadaku? Jika benar demikian, mungkin selama ini aku sendiri yang menimbulkan perasaan itu? Jadi, Ken itu….? Tidak, aku tak boleh berprasangka kepada sahabatku. Biarlah nanti waktu yang menjawab kegelisahan ini.
Waktu makan siang sudah hampir habis. Kubuka bekal yang Fay siapkan. Ah, seleraku sudah berkurang drastis. Fay pasti marah jika aku tak menyantap bekal yang ia buat. Aku memang bisa saja membuang dan mengatakan bekalnya aku habiskan tanpa tersisa, namun aku tak mau terbiasa dengan kebohongan. Terlebih berbohong kepada orang yang sudah tulus mencintaiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Jasma Ryadi
Semoga betah membacanya. 😇
2022-12-10
0
the loyal reader
untuk sementara aku percaya sama dave yg akan setia sama fay. mari kita ikuti kisahnya lagi
2022-12-10
1