Bab 3 bagian 2: Analogi

Terkadang aku ingin meminta pendapat Fay tentang sikap dan kata-kata Ken belakangan ini. Namun, itu tidak mungkin. Jika aku menyodorkan pembahasan tersebut, artinya aku menyalakan api yang telah padam.

“Kenapa, Mas? Katanya sudah mau tidur.” Tiba-tiba Fay muncul dari balik pintu.

“Mas tunggu kamu, Fay.”

Fay pun duduk di sampingku. Aroma harum menyeruak dari tubuhnya. Sesekali ia menatapku dengan manja nan menggoda. Mungkin hari ini dia ingin bermain-main lebih lama. Tapi pikiranku sedang kacau sehingga begitu mengurangi mood bercinta malam ini.

Perlahan Fay membelai leherku hingga ke pangkal paha. Aku biarkan dia begitu, melakukan penetrasi. Aku berusaha menikmati starting yang dia buat, tetapi aku tak bisa menikmati sepenuhnya.

Fay semakin agresif. Dia menciumi pipi kiriku dengan membuat pola circle. Tangan kanannya mulai menyelinap di antara selangkanganku. Sementara kakinya yang kanan ditumpangkan di kedua kakiku. Aku masih belum bisa membalasnya sedikit pun.

“Kamu sedang memikirkan sesuatu, Mas?” Fay men-delay aksinya saat kurasakan bibirnya sudah mendekati bibirku. Dia berkata sambil memandang wajahku. Posisiku masih seperti awal, hanya bertumpu pada bantal.

“Tidak. Tidak ada. Ayo lakukan lagi!” jawabku sambil menancapkan bibirku di bibirnya yang merona.

Saat kuajak bibirnya menari, Fay tiba-tiba melepaskan. Ada apa ini? Bukankah tadi dia tampak meminta oral?! Ketika aku sudah mulai bisa meladeni permainannya, dia malah menunda.

“Mas, jujur padaku! Kamu sedang memikirkan seseorang?”

Kontan aku terkejut. Fay bisa menerka pikiranku dengan tepat. “Fay, kenapa bertanya seperti itu?” Aku mengapit kedua pipinya dengan dua tanganku.

“Tidak. Aku tidak mau ada orang lain di pikiranmu saat kamu sedang menikmati tubuhku. Aku tak ingin pikiran itu justru membuatmu membayangkan aku orang tersebut.” Nada bicaranya naik seketika.

“Fay, Mas tidak mengerti maksudmu. Di dalam pikiran Mas ya cuma kamu.”

“Mas, aku ini istrimu. Aku tahu kamu. Aku juga bisa merasakan saat pikiranmu terselimuti orang lain.” Fay memalingkan muka dan mengubah semua posisi yang tadi memberikan kehangatan.

Wanita memang lebih peka dibanding pria soal perasaan. Sulit memanipulasi gerakan untuk menghambat kepekaan nalurinya.

Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk lebih jujur dan terbuka kepada istriku. “Maaf, Fay. Mas memang sedang memikirkan seseorang.”

“Pria itu?” Fay langsung memalingkan wajah. Aku tak perlu menjelaskan siapa seseorang itu. Dia sudah tahu bahwa orang yang sedang menyelinap dalam pikiranku adalah Ken.

“Ya. Tadi siang Ken datang ke kantor. Tapi hanya sebentar kok.” Aku berusaha mengendalikan alur cerita supaya Fay tidak bisa menyela. “Mas sudah bilang kita tidak usah bertemu lagi. Tapi dia tampak sedih. Mas tidak tahu apa yang dia rasakan.”

“Lalu? Apa yang Mas lakukan?” Fay tampak penasaran.

“Setelah mengatakan itu, Mas tinggalkan dia. Hanya sebentar saja kok kita bertemu. Itu pun di jam makan siang. Tak banyak yang dibicarakan. Intinya, Mas sudah menyampaikan ke dia untuk tak perlu menemui Mas lagi.”

“Apa benar seperti itu?” Fay sepertinya masih meragukan kejujuranku.

“I swear. Lagi pula, jam makan siang kan sebentar. Mas tidak mau melewatkannya tanpa menikmati suap demi suap bekal yang kamu siapkan.” Kucubit pipinya agar suasana tak terlalu tegang. Aku takut Fay mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan klasik seperti waktu itu.

“Mas…” Bicaranya mulai terasa lembut, namun tampak ingin mengatakan hal yang serius.

“Iya.”

“Di dunia ini tak ada wanita yang ingin cintanya dibagi. Ketika suaminya jatuh cinta kepada wanita lain, dia akan sangat terpukul dan merasa gagal. Ia terpukul, karena seolah tidak bisa memberikan yang suaminya inginkan, meski segalanya telah diserahkan. Ia merasa gagal, karena tak bisa mempertahankan suaminya sehingga harus ada orang lain yang masuk dalam kehidupan rumah tangganya.” Fay menyandarkan kepalanya di bahuku. “Apalagi jika yang masuk sebagai orang ketiga dalam rumah tangganya seorang pria. Wanita mana yang tidak hancur perasaan dan pikirannya atas kegagalan tersebut.” Fay seolah memberi penegasan tentang posisi Ken.

“Fay, Mas kan sudah berkali-kali menjelaskan jika Mas dan Ken itu hanya bersahabat,” pungkasku dengan halus. Aku tak ingin sharing ini menjadi debat.

“Mungkin awalnya begitu. Tetapi seperti yang Fay pernah sampaikan ke Mas, jika Ken memiliki atau menganggap rasa itu lebih dari sahabat, bagaimana? Bukan Fay tak percaya kepada Mas.”

“Lalu?” Jika dia memang percaya kepadaku seharusnya dia tak menanyakan hal tersebut lagi, lagi, lagi.

“Mas tahu kan batu yang begitu keras jika terus menerus ditetesi air, maka akan membentuk cekungan. Juga batu karang yang terkikis, karena diterjang oleh ombak setiap hari. Padahal batu-batu itu begitu kokoh. Sama dengan kedekatan Mas dan pria itu.” Fay tampak sangat menghindari menyebut nama Ken. “Persahabatan kalian begitu dekat seperti saudara. Mungkin Mas merasakannya begitu. Tapi jika dia justru memiliki hasrat lebih dari itu, akan bagaiamana selanjutnya? Karena kedekatan yang kalian jalin terlalu intim, dia merasakan kenyamanan dan terbentuklah utopia.

Fay membelai rambutku. “Apa dia akan bisa melepaskan Mas dari dunianya begitu saja? Cinta itu terkadang hadir dari kenyamanan yang rutin terjalin. Ketika waktu terbangun Mas lebih banyak dihabiskan dengan dia, bukankah Mas lama-lama akan lebih nyaman di sana juga? Kemudian, ketika tidak bertemu akan muncullah rasa kehilangan. Di situlah Mas tidak sadar sudah larut dalam perasaan cinta, karena kenyamanan yang setiap hari dia berikan. Walaupun awalnya Mas hanya merasa kasihan, namun ibarat seekor burung yang masuk perangkap.

Aku serius mendengarkan semua perkataannya.

“Pemburu menjeratnya dengan iming-imingi makanan yang biasa ia makan. Ia tidak tahu itu jebakan sampai ia tertangkap. Di hutan, ia hidup beratap angkasa yang luas, menentukan nasib dengan bebas tanpa perlu terikat pada tuan. Tetapi setelah dimasukkan ke dalam sangkar, ia dipaksa mengakui itu rumahnya. Ia memang tak perlu capek mencari makanan lagi di alam bebas, tetapi ia justru sudah kehilangan kebebasannya. Akhirnya, ia lupa hutan beserta keluarganya. Ia tak lagi punya tempat untuk pulang. Aku tak mau kamu lupa bagaimana semestinya kamu menjalani rumah tangga ini,” lanjutnya.

Aku mengerti maksud analoginya. Sekali lagi, statusku dengan Ken hanya sahabat.

Aku anggap hal yang wajar jika Fay belum move on dari prasangkanya kepada aku dan Ken.

Setelah menghela nafas sejenak, Fay lanjut bercerita “Kamu telah meminta aku dari orang tuaku. Di hari itulah aku yakin untuk kamu jadikan pendamping hidup. Aku yakin untuk hidup bersamamu, bukan hanya karena aku begitu mencintaimu dari paras dan kebaikan yang aku lihat. Tetapi bersamamu, aku yakin mati pun aku bisa tersenyum.” Butiran air matanya mulai membasahi pundakku.

Aku terenyuh dengan kata-kata terakhirnya. Ingin rasanya menyampaikan sesuatu untuk membalas pembahasan awal yang dia sampaikan, namun bibir ini kesulitan merangkai kata-kata. Cinta tak harus selalu disampaikan. Akan selalu aku tunjukkan dalam perangai.

“Aku pun punya sahabat.” Rupanya masih ada sambungan yang ingin dia utarakan. Malam ini, aku menjadi pendengar yang setia saja.  “Setiap orang dalam hidupnya pasti punya sahabat. Sahabat yang dia kenal dari kecil, saat usia sekolah, dan ketika kuliah. Sahabat yang dikenal dari taman bermain maupun tempat bekerja. Semua orang punya sahabat, kan?” Aku jawab dengan mengangguk. “Tapi kehidupan manusia itu selalu berkembang, bukan? Dari lahir hingga mati, ada banyak fase yang dilewati. Fase di gendongan ibu, fase bimbingan dari bangku pendidikan, lalu menikah untuk mempunyai keturunan dan melengkapi kehidupan. Begitu, kan?”

Aku diam menunggu kelanjutan ceritanya.

“Bukankah sahabat itu adalah seseorang yang Tuhan pertemukan dengan kita sebagai pelengkap dari jamaknya ruang interaksi manusia. Dia orang di luar keluarga yang menjadi teman di kala suka dan duka. Ketika sahabatnya sudah bahagia atau menemukan kebahagiaan, maka dia pun akan turut bahagia. Bukankah prinsip persahabatan adalah sharing?! Berbagi tentang nilai-nilai semangat kehidupan agar dia bisa menjalani ruang kehidupan utamanya dengan penuh gairah. Lalu bagaimana dengan yang katanya sahabat, tetapi berusaha menghancurkan sahabatnya ketika si sahabatnya sedang menata hidupnya yang baru? Kehidupan manusia terus bergerak, ia pun membentuk ikatan dengan manusia lain yang ditemuinya seperti istri atau suami, sahabat, teman, rekan kerja, atau hanya selewat. Semua punya makna kepemilikian waktu dan hak kebersamaan yang jelas, kan? Aku, orang yang kemudian kamu pilih untuk dijadikan istri. Aku ingin mati di sampingmu tanpa ada istilah istri yang lainnya, bisa kan?”

Ucapannya begitu panjang. Aku mendengarkan, memahami setiap penekanan yang dia buat. Ada bagian yang ingin aku timpali secara mendetil, tetapi melihat dari caranya berbicara tergambar bahwa dia sedang tidak ingin menerima sanggahan.

Suasana hening untuk beberapa waktu. Sesekali dia memejamkan mata seperti kelelahan, Mungkin dia juga merasa agak kecewa, karena gagal menyalurkan syahwat.

Kucium rambut di kepalanya yang begitu wangi. “Tidur yuk. Kita sambung yang tadi dulu.” Dia pun mengangguk. Hanya saja gairahnya kentara sudah berkurang drastis. Meski begitu, aku yakin sisanya masih cukup untuk membuat tidur menjadi lebih nyenyak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!