Lampu sudah dipadamkan. Aku langsung memeluknya. Berharap malam ini bisa menggantikan malam-malam sebelumnya yang lelah sehingga tak sempat menyapa bibirnya. Aku kira dia pun sudah siap, karena aroma tubuhnya yang wangi sudah sedari tadi menggoda. Namun tak disangka dia malah melepaskan pelukanku. Kupeluk lagi dengan erat. Mungkin dia butuh penetrasi yang lebih kuat. Lagi, dia melepaskan pelukanku. Sepertinya ada yang salah.
Lampu kamar kembali kuhidupkan. Tanganku meraba posisi kacamata yang tadi aku letakkan di atas meja. Ini tak biasa. Dia yang sudah berbaring mengapa tiba-tiba setengah duduk.
"Ada apa? Lagi capek?" tanyaku halus. Tetapi dia malah menjawab dengan membuang muka. Lalu, kucoba belai rambutnya yang begitu lembut. Namun, entah kenapa dia malah menghardik tanganku. Aku tanya sekali lagi sambil sedikit menggoda. "Kenapa sih? Malam ini aku siap sampai pagi."
Hening beberapa menit hingga kemudian dia mau bersuara. "Selama ini kamu pulang malam terus bukan karena lembur, kan?" tanyanya tanpa ancang-ancang.
"Kenapa tiba-tiba tanya itu? Kamu tahu kan di kantorku lagi audit tahunan. Semua karyawan diharuskan lembur. Kamu sebenarnya kenapa sih?"
"Kamu bohong." Nadanya meninggi. Aku tak mengerti maksudnya menuduhku berbohong.
"Kalau kamu tidak percaya, besok kamu ikut aku ke kantor. Kamu bisa tanya kepada teman-temanku atau bahkan bosku." Aku harus sangat berhati-hati meladeni pertanyaannya.
Dia terdiam selama beberapa menit. Kulihat wajahnya masih tak enak dipandang. Tapi ya sudahlah. Dia tetap istriku yang paling cantik. Mungkin malam ini mood-nya sedang tidak bagus saja.
Kulepaskan lagi kacamata dan menyimpannya di dekat lampu tidur. Bukan tak mau berusaha menelaah maksud dan tujuan pernyataannya, namun ini sudah tengah malam. Lebih baik tidur. Masih ada pagi untuk melanjutkan pembicaraan ini. Pikirku.
Aku matikan lampu kembali, menarik selimut, dan menjatuhkan kepala di atas bantal, tetapi dia malah menarik bahuku.
"Sudah berbohong, bukannya menjelaskan dan meminta maaf, ini malah tidur." Aku pikir tak ada lagi yang ingin dibicarakan. Sedari tadi aku menunggu, dia hanya membisu. Sekarang, malah melemparkan sarkasme.
Aku hidupkan lagi lampu kamar. Dari posisi telentang, kini aku sudah duduk. Namun, posisinya justru membelakangiku. Aku pegang perlahan bahunya dan meminta dia memfokuskan pandangan kepadaku.
"Ada lagi yang ingin disampaikan? Menghadaplah ke arah sini!" pintaku dengan lembut didahului sebuah tarikan nafas panjang. Ternyata tak mudah menahan emosi sembari menahan rasa kantuk.
"Iya, aku tahu pekerjaanmu di kantor banyak. Selama seminggu ini kamu lembur terus. Tetapi selama seminggu itu juga kamu bertemu dengan Ken, kan? Makan siang, makan malam, hingga mengantarnya pulang. Setiap diajak makan malam kamu menjawab sudah makan dengan teman-teman di kantor. Tapi nyatanya apa?" Matanya mulai berair. Sebenarnya aku tak tega, tetapi mungkin menangis akan membuatnya lega.
"Kamu tahu dari mana?" tanyaku dengan tenang agar bisa menepis kecurigaannya.
"Jadi benar, kan?" Jawabannya justru pertanyaan untuk memastikan. Dia juga memukul dadaku cukup kencang. Mungkin karena dalam pukulannya ada cinta, jadi tidak terasa sakit.
Aku diam beberapa saat. Sesekali kutatap wajahnya. Ah, aku tak bisa lagi berakting. Aku memang tak berbakat menjadi aktor. Dari pelipis mata hingga pipinya, aliran kekecewaan dan kekesalan terlukis dengan satir. Entah dari mana dia tahu perihal ini.
"Ya, aku memang seminggu ini bertemu Ken. Tapi kita cuma sekadar makan, nongkrong, atau ngobrol sebentar." Aku mencoba untuk menjelaskan.
Aku sebenarnya tak bermaksud berbohong mengenai hal tersebut. Jika aku cerita dari awal, dia pasti marah. Namun benar kata orang, tak ada kebohongan yang sempurna. Kebohongan atas nama kebaikan ibarat mencinta demi nafsu. Hanya menyimpan api dalam sekam.
"Kamu bisa menyisihkan waktu istirahatmu dengannya. Kenapa tidak denganku? Aku ini istrimu. Istrimu yang sah. Jangankan untuk makan siang bersama. Setiap malam aku menunggu agar kita bisa duduk bersama di meja makan pun, kamu lebih memilih tidur. Kenyang lah, capek lah. Ternyata kamu bukan makan bersama teman-temanmu di kantor. Kamu makan romantis berdua dengan sahabatmu itu, mungkin di sebuah kafe atau restoran mewah." Wajahnya seperti mengeluarkan bara api. Kata-katanya tampak penuh amarah kepadaku. Dia bahkan tak sungkan memberondong pertanyaan terkait kedekatanku dengan Ken. Apa maksudnya? Entahlah! Aku hanya bisa menahan amarah dan mencoba menenangkan dia yang sepertinya berpikir terlalu jauh.
"Kamu terlalu jauh berpikir. Ya, memang aku makan siang dengan Ken dan malamnya kami berjumpa untuk makan malam. Setelah itu, aku juga mengantarnya pulang. Jika aku cerita hal tersebut kepadamu, apakah kamu tidak akan marah?" Aku coba tawarkan pertanyaan tertutup.
"Lalu, menurutmu dengan berbohong akan bisa mengurangi dan menutupi kemarahanku?" Fay semakin emosional.
Sialan! Siapa yang telah menceritakan pertemuanku dengan Ken?! Aku tak pernah merasa ada yang memata-matai belakangan ini. Nyatanya, aku kecolongan.
"Fay.... " Ah, terlalu banyak kata dalam pikiranku, tetapi sulit untuk mengeluarkannya menjadi rangkaian penjelasan.
Saat kami baru awal menikah, aku bercerita tentang Ken kepada Fay. Dia justru mengatakan iri, karena aku memiliki sahabat dari SMA yang masih dekat. Namun, sejak empat bulan yang lalu Ken kembali ke Jakarta - dan aku kenalkan langsung kepadanya - sikap istriku mendadak berubah. Dia mengatakan tidak suka jika karibku berkunjung ke rumah kami. Maka dari itu, kami pun lebih sering bertemu di luar.
Ya, setiap Ken berkunjung ke rumah, Fay selalu menunjukkan ketidaksukaannya. Aku tak mengerti ada apa sebenarnya di antara mereka. Padahal aku lihat Ken selalu berusaha bersikap baik, sekalipun tahu Fay tidak menyukainya.
Ketika aku mencari penjelasan, Ken mengatakan tidak ada apa-apa. Padahal aku tahu ada hal yang disembunyikan. Namun dia hanya menyangkal dengan alasan istriku tidak suka jika dia bertandang, tanpa menjelaskan permasalahannya.
Aku sempat sangat ingin tahu dan berusaha menyelidiki masalah yang membatasi ruang interaksi antara mereka berdua. Akan tetapi, aku selalu disibukkan dengan pekerjaan hingga akhirnya lupa dan tak tertarik lagi untuk mengetahuinya. Lagi pula, aku sudah cukup mengenal karakter istriku dan Ken. Biarkan waktu yang nantinya memperbaiki hubungan mereka. Harapku kala itu.
Istriku pernah secara tegas mengaku cemburu jika aku dekat dengan karibku itu. Berkali-kali aku menjelaskan kepada Fay jika Ken adalah sahabatku dari sekolah menengah atas hingga di universitas. Kami bersahabat sudah cukup lama sehingga hubungan kami pun layaknya saudara. Aku pun bisa membagi waktu untuk istri dan sahabatku. Prioritasku, tentu saja sang istri.
Setelah lulus kuliah, Ken kembali ke Bali. Alasannya untuk mengurus bisnis resort orang tuanya di sana. Hampir empat tahun kami tidak bertemu. Jadi, aku rasa wajar jika kami menjadi dekat kembali untuk melepas rindu. Ken juga kembali ke Jakarta untuk menenangkan diri paska ditinggal ibu dan ayahnya untuk selamanya. Sebagai sahabat, sudah sepatutnya aku ada di saat dia membutuhkan sandaran untuk meringankan duka yang dihadapinya.
Namun, Fay malah melihat sisi yang lain dari Ken. Dia mengatakan sahabatku kemungkinan besar menyukaiku. Katanya, tatapan Ken kepadaku seperti menyimpan perasaan yang lain. Ah, aku rasa istriku terlalu berlebihan melihat persahabatan kami.
Aku dan Ken sudah bertahun-tahun bersahabat. Kami teman seperjuangan selama menempuh pendidikan. Hal yang wajar jika ikatan kami cukup kuat, meski pernah terpisah bertahun-tahun.
Bercerita tentang Ken, dia sosok yang introvert. Bahkan semasa kuliah sering dijuluki “The Exclusive Man”. Dia tak mudah bergaul dengan banyak orang. Jika Ken menyukaiku, mana mungkin dia meninggalkanku dan kembali ke kampung halamannya tanpa banyak memberikan kabar. Fay sangat berlebihan menyikapi hal ini, menurutku.
"Fay, sudah berapa kali kita membahas hal ini?" tanyaku setelah cukup mengingat masa lalu. Terus terang, aku sangat lelah.
"Ya, sudah sangat sering. Tapi sepertinya kamu mudah sekali lupa sehingga harus terus diingatkan." Kata-katanya terdengar begitu sinis.
Aku menarik nafas lebih dalam dari sebelumnya. Fay meminta Ken tidak datang ke rumah ini lagi, itu sudah dituruti. Namun ketika dia memintaku menjauhi Ken juga, aku tak bisa menjanjikan hal tersebut. Alasannya sudah sangat jelas berkali-kali kuungkapkan. Aku dan Ken hanya bersahabat. Salahkah jika aku membagi sedikit waktu untuk menghiburnya?
Aku berusaha tenang dan menjelaskan lagi kepada Fay. "Fay, aku dan Ken bersahabat sejak SMA. Kami seperti saudara. Di Jakarta, hanya aku temannya yang paling dekat. Lagi pula, aku dan Ken hanya mengobrol sebentar. Mengertilah, Fay! Dua tahun lalu ibunya meninggal, aku tak ada di sampingnya. Setahun yang lalu ayahnya meninggal, saat itu kita baru saja menikah, dan aku baru tahu beberapa minggu yang lalu kabar tersebut. Sekarang usaha keluarganya sudah collapse, makanya dia pindah ke Jakarta untuk menenangkan diri sekaligus mencari pekerjaan di sini. Dia sedang membutuhkanku untuk bisa bangkit dari semua masalah yang terus menimpanya."
"Lalu, cuma dia yang butuh kamu?" Fay mencoba membalikkan perkataanku. "Waktu sehari kamu habiskan bekerja, sisanya berdua dengannya. Aku ini istrimu yang setiap hari menunggumu di sini. Menunggu untuk makan bersama sambil bercerita. Apa aku juga tidak butuh kamu? Apa karena dia sahabatmu dari SMA, jadi dia lebih penting dari aku?"
"Fay...." Aku berusaha menahan tangannya yang hendak memukulku dengan bantal.
"Untuk apa kamu menikahiku jika cuma dijadikan hiasan? Rumah ini hanya tempatmu tidur dan menunggu pagi." Aku semakin tak mengerti arah pembicaraannya.
"Fay, jangan over thinking!" Aku naikkan nada bicara sedikit.
"Persahabatan kalian layaknya saudara, benarkah? Atau itu hanya menurutmu saja. Aku percaya kamu setia dan bisa menjaga rasa. Tetapi, kekhawatiranku yaitu kepada Ken. Dia selalu berusaha merebut perhatianmu dengan iming-iming persahabatan. Padahal Ken itu suka kan sama kamu?”
"Fay!!!" Aku spontan membentaknya, karena dia sulit memahami kondisi yang secara gamblang sudah aku jelaskan. Untungnya, pikiranku masih kuat untuk menghalau semua lahar emosi.
"Hebat! Sekarang kamu berani membentakku demi membela sahabatmu itu." Air mata Fay semakin deras sama seperti pertanyaannya. Padahal sebelum ini kami sudah berjanji tak akan pernah membahas hal ini lagi.
Percakapan mulai tak tentu arah. Aku pusing. Rasanya ingin keluar kamar saja, meninggalkannya sejenak hingga angin meredam panas di antara kami berdua. "Terserahlah! Aku sudah menyerah untuk menjelaskan."
"Oke, kalau begitu. Sekarang lebih baik kamu tentukan saja pilihan. Aku atau dia?"
Aku tak menduga Fay sampai menyodorkan pilihan seperti itu lagi, lagi, lagi. Bagaimana aku harus memilih antara dia dan Ken? Selama ini aku berusaha menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Punya istri yang sangat aku cintai dan sahabat sebagai kawan bermain di luar rumah. Bukankah ini lumrah?
"Sudahlah, Fay. Jangan buat aku pusing!"
"Membuatmu pusing? Aku yang udah membuatmu pusing? Antara aku dan sahabatmu itu, jadi kamu lebih mencintai dia. Ternyata benar kecurigaanku." Ujarannya semakin memekik pekatnya malam.
"Fay!" Aku membentaknya lagi, meski tak sekeras sebelumnya. Tahan! Suasana semakin panas. "Ya, aku sangat mencintai dia. Juga sangat mencintaimu. Bagaimana bisa aku memilih, sementara rasa cintaku ke kamu dan dia berbeda?! Aku mencintaimu sebagai istriku, dan mencintainya sebagai sahabatku."
"Tapi dia mencintaimu tidak seperti itu?"
"Dari mana kamu tahu?" Aku heran Fay bisa berpikir seperti itu.
"Dia mencintaimu layaknya seseorang yang ingin menjadikanmu pasangannya."
Pernyataan Fay tersebut membuat emosiku *******. "Fay, stop berpikiran seperti itu terhadap Ken."
"Terus saja kamu bela dia. Jangan-jangan sebenarnya kamu...."
Aku tahu yang dia maksud. Maka dari itu, tak kuberi dia kesempatan melengkapi kalimat tersebut. "Aku sudah tak tahan dengan percakapan ini. Jika itu yang kamu pikirkan terhadapku. Coba sekarang kamu bayangkan dari awal kita bertemu hingga akhirnya kita menikah. Semuanya yang kamu minta aku turuti. Tidak hangout bareng teman-teman, menghabiskan weekend bersamamu dan teman-temanmu, olahraga di rumah. Semua aku lakukan, karena aku cinta sama kamu, Fay." Akhirnya, aku pun tak kuasa lagi membendung air mata.
Tidak bisakah aku menjalani kehidupan tanpa harus meninggalkan salah satu? Aku tak mungkin begitu saja meninggalkan Ken. Dia sangat berarti bagiku. Aku mencintainya. Aku anggap dia sebagai bagian dari keluargaku.
"Lalu, kenapa begitu sulit bagimu untuk meninggalkan Ken? Aku tak masalah kamu berteman dengan siapa pun, tetapi please jangan sama dia."
Aku kira Fay sudah paham. Nyatanya penjelasanku tak membekas sedikit pun di pikirannya.
Jika diteruskan, percakapan ini tak akan kunjung selesai layaknya debat kusir. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mendinginkan kepala. Namun, Fay menarik tanganku. Aku berusaha melepaskan, tetapi dia semakin kuat mencengkramnya. Lalu, kupeluk saja dia.
Fay terkejut. Dia diam beberapa waktu hingga akhirnya memutuskan untuk membalas pelukanku. Mungkin dia sudah puas menyampaikan uneg-unegnya.
"Fay, aku tidak bisa mencegah seseorang untuk mencintaiku. Apalagi melarangnya untuk mendekatiku. Tetapi, aku sudah memilikimu. Kamu yang selalu ada di setiap langkahku. Kepercayaanlah yang bisa menjaga kita, Fay."
Perlahan aku usap air mata di pipinya. Dia tampak sudah lebih tenang. Meski malam ini birahi gagal tersalurkan, aku berharap tak akan ada lagi gangguan seperti ini di malam-malam berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
the loyal reader
othornya pinter ya, padahal isi ceritanya baru sedikit tapi dituangkan lewat tulisannya jadi panjang banget, hehehe, kalo yg ga suka baca pasti kabur baru baca 1 bab doank juga
2022-12-10
1
Mommy Tresna
Apa Ken cowok? Kok aku curiga🤭
2022-10-19
1