Matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Embun menggeliat ketika cahaya terang yang menyelinap melalui celah jendela terasa menyilaukan. Baru akan mencari posisi nyaman untuk melanjutkan tidur, ia sudah merasakan perutnya seperti mendapat beban berat.
Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Wajah Aby yang masih terlelap menjadi sambutan pertamanya pagi itu.
Tunggu! Embun baru menyadari sesuatu. Aby memeluknya seperti bantal guling.
"Kamu sudah bangun?"
Embun terlonjak mendengar sapaan bunda. Gerak tubuhnya turut membangunkan makhluk di samping. Aby yang baru sadar segera melepas belenggu tangannya di tubuh Embun. Keduanya pun bangun dalam keadaan terkejut bercampur malu.
"Bunda sudah datang?" tanya Aby. Mengucek matanya demi mengurai rasa kantuk yang mendominasi.
"Iya. Bunda sudah di sini sejak satu jam lalu. Cuma nggak enak membangunkan kalian. Tidurnya enak banget sambil pelukan," jawab bunda santai.
Semakin merah saja pipi Aby dan Embun. Bagaimana mungkin mereka tidak menyadari kedatangan bunda.
Mengurai rasa malu, Embun melirik ke arah ranjang pasien. Ia tersenyum lega. Ayah mertuanya tengah duduk bersandar sambil menyantap bubur dengan disuapi bunda. Embun segera bangkit meninggalkan Aby yang masih terduduk di sofabed. "Ayah sudah baikan?"
"Sudah, Nak," jawab sang mertua.
Bunda lalu melirik jam dinding. Arah jarum pendek telah melewati angka tujuh.
"Aby, bukannya kamu mau berangkat kerja, ya? Embun juga ada kuliah pagi, kan?" tanya bunda, lalu disambut anggukan oleh keduanya. "Kalian berangkat aja. Biar bunda yang jaga ayah di sini."
"Iya, Bunda."
.
.
.
Mobil yang dikemudikan Aby melaju di tengah keramaian jalanan pagi itu. Sebelumnya, ia dan Embun pulang untuk berganti pakaian, lalu langsung berangkat setelahnya.
Sudah sepuluh menit lalu mereka meninggalkan rumah. Dalam waktu singkat itu, entah sudah berapa kali ponsel milik Aby berdering.
"Kenapa nggak dijawab?" Embun membuka suara. Ia yakin yang menghubungi suaminya tak lain adalah Vania, dan ia sudah menebak bahwa Vania ingin meminta dijemput.
"Lagi malas jawab telepon."
Embun terdiam mendengar jawaban santai suaminya. Dahinya berkerut ketika mereka melewati kompleks perumahan Vania. Namun, mobil terus melaju. Padahal, Embun pikir Aby akan menyempatkan diri menjemput kekasihnya itu.
"Nggak jemput Vania?" tanya Embun datar.
"Nggak," jawab Aby, tanpa menyebutkan sebuah alasan yang membuatnya melewatkan ritual pentingnya selama ini. "Kamu lapar, nggak? Di depan ada kedai makanan. Sarapan dulu, yuk," tawarnya kemudian.
"Boleh."
Kebetulan setelah mandi dan berganti pakaian tadi, keduanya langsung berangkat tanpa sarapan. Padahal Bik Rita sudah menyiapkan sarapan di meja makan.
Keduanya duduk berhadapan di meja dengan pemandangan laut. Kedai makanan itu menjadi favorit Aby, jika sedang bosan dengan masakan rumahan.
"Apa-apaan ini, Aby?" Suara bernada marah yang tiba-tiba muncul berhasil mengalihkan perhatian Aby dan Embun. Vania berdiri tepat di samping meja.
"Vania?" Aby tampak terkejut melihat kehadiran Vania di tempat itu.
"Jadi karena ini kamu nggak menjemput aku?"
Tangan Vania mengepal. Karena Aby tak kunjung menjawab telepon dan tak juga menjemputnya, ia pun terpaksa berangkat dengan menyetir mobil sendiri dan tanpa sengaja melihat Aby dan Embun tengah sarapan berdua di kedai itu.
"Pelankan suara kamu, Van! Kamu nggak lihat orang-orang ngeliatin kita?"
"Aku nggak peduli!" pekik Vania. "Kamu sudah berubah, By. Kamu mengabaikan aku dan memilih makan di sini sama dia." Ia menatap Embun dengan amarah meluap-luap. "Dan kamu, Embun! Muka kamu aja yang sok alim. Padahal sebenarnya kamu hanyalah perempuan murahan!"
Embun menarik senyum. "Siapa yang kamu maksud perempuan murahan di sini? Aku atau diri kamu sendiri?"
Seolah tak terima dengan kalimat hinaan yang terlontar dari mulut Vania, Embun segera bangkit meninggalkan tempat duduknya. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, tamparan keras sudah melayang di pipi kanan Vania.
"Perempuan murahan itu, adalah perempuan yang nekat menjalin hubungan dengan laki-laki beristri."
Mata Vania berkilat marah. Napasnya menjadi sangat cepat. Satu tangannya mengusap pipi yang terasa kebas, sementara tangan satunya terkepal dengan sempurna. Embun telah mempermalukannya di depan umum.
Sorot mata menuntut ia layangkan kepada Aby. Namun, kekasihnya itu sama sekali tak membela. Bahkan Embun tampak masih tenang setelah telapak tangannya mendarat sempurna di pipi kanan Vania.
"Kamu berani menampar aku?"
"Tamparan itu untuk menyadarkan kamu."
Baru saja tangan Vania terangkat untuk membalas perbuatan Embun, tetapi Aby bergerak lebih cepat dengan menahan lengan wanita itu.
Lagi-lagi Vania dibuat terbelalak dengan reaksi Aby. Apalagi laki-laki itu segera menarik istrinya untuk berlindung di balik punggung tegapnya.
"Stop, Vania! Kamu sudah keterlaluan!"
Vania meringis kala merasakan kuatnya cengkeraman tangan Aby. Sekuat tenaga ia berusaha untuk terbebas, namun usahanya sia-sia.
"Auh, lepas! Tangan aku sakit, By! ujarnya.
"Kamu tahu, Van ... hari ini kamu benar-benar membuat aku kecewa. Aku nggak pernah berharap kamu akan bersikap seperti ini."
Tanpa memerdulikan air mata yang mengalir di pipi Vania, Aby merangkul Embun meninggalkan kafe.
...........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Adhe Ayori
vania sikapnya kelewatan jg mulutnya gk filter sama sekali. dsini yg gk kena ya Aby, gk tegas dn gk punya pendirian.
ngomong lah yg tegas, sama embun dan Vania. bener yg d bilang mbun laki2 gk punya pendirian,
2024-11-09
1
Fareza Gmail.Com
ga gentle banget si abi. udah gaya2 punya kekasih.. pacarnya gelud sama istri malah cuma jadi penonton doang. plin plan mmng. jangan sampai jadi suami embun lama2 mending ma orang lain
2024-10-27
0
Wani Ihwani
duh Vania tinggal kan aja Aby, ikhlas kan aja dia harga diri kamu kemana??
2024-05-27
1