Dasar playboy!

Empat tahun Jihan mengenyam pendidikan di Surabaya dan lulus sebagai dokter umum. Lalu dengan kepintarannya, ia memilih melanjutkan ke spesialis neurologi atau saraf selama tiga tahun. Lepas dari itu, ia tertarik menangani kasus-kasus kerusakan jaringan saraf para pecandu narkoba, hingga ia masuk ke dalam lembaga swadaya masyarakat yang mengabdikan diri tanpa bayaran.

Ketertarikan Jihan semakin dalam tatkala ia mengetahui dari sang ibu bahwa ayahnya adalah seorang pengedar kelas kakap. Rasa ingin membantu para pecandu itu membawanya menjadi dokter spesialis adiksi dan ikut membantu menangani pasien-pasien ketergantungan obat di bawah naungan badan anti narkotika yang dibangun pemerintah. Hampir seribu lima ratus pasien yang sembuh di tangan Jihan. Dan, saat ini ia berada di Itali untuk memenuhi misi itu, misi menggagalkan rencana Wiliam yang akan memasok barang haram itu ke negaranya dalam jumlah yang sangat besar serta mencari kebenaran perihal sang ayah biologisnya itu.

Saat misi ini dibentuk, Jihan menawarkan diri untuk bergabung. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampui, itu prinsip Jihan bergabung dalam misi ini. Selain bertujuan untuk menyelamatkan negaranya, ia juga mempunyai misi untuk dirinya sendiri.

Jihan tertarik untuk menelisik kehidupan sang ayah ketika Lastri bercerita bahwa dirinya pernah akan diambil oleh pria itu saat berusia dua tahun. Namun, setelah dilindungi keluarga Adhitama, pria itu pun tak lagi menganggu dan mencoba mengambil Jihan hingga kini.

“Ji, kamu sudah siap? Malam ini kita akan ke club GX,” ucap Fiona yang disapa Fio.

Oknum intel lulusan akademi polisi wanita yang hampir delapan tahun tergabung dalam satuan reserse dan kriminal jaringan internasional.

“Iya, aku siap, Fi.”

“Menurut informasi, akan ada pertemuan di sana malam ini. Dan kebetulan club itu adalah miliknya. milik putra dari gembong besar itu.”

Jihan kembali mengangguk.

Menurut informasi Wiliam mempunyai anak laki-laki yang saat ini menjalankan bisnis sang ayah. Wiliam sendiri pun sudah tidak memiliki kesehatan yang baik. ia terpaksa duduk di atas kursi roda setelah insiden kecelakaan lima tahun lalu, tepatnya saat mobilnya di pasang bom oleh rivalnya dalam bisnis gelap itu, tapi ia tetap selamat. Wiliam sudah tidak lagi menganggu keluarga Adhitama, karena hidupnya sendiri sudah rumit. Ia juga ingin melepas bisnis gelap ini dan menjadi warga normal di Indonesia, lalu mengelola bisnis legal yang ada di sana. Namun anak laki-laki Wiliam masih berambisi untuk mengelola bisnis yang untungnya bisa mencapai trilyunan dalam satu transaksi besar.

Dalam waktu yang bersamaan, Wiliam mengetahui fakta bahwa ia memiliki anak dari dua wanita berbeda. Giorgio anak dari salah satu selir yang dimiliki Wiliam di itali. Ia baru mengetahui kehadiran Gio yang sudah berusia empat tahun ketika ia hendak mengambi Jihan. Ketidakmampuannya mengambil Jihan dari tangan keluarga Adhitama teralihkan dengan kehadiran Gio dan akhirnya ia menikahi ibu kandung Gio. Selang beberapa tahun, Ibu Gio pun harus mati di tempat karena terembak saat ia diincar oleh kubu lawan. Hal itu membuatnya dan sang putra pindah ke Indonesia, tepatnya ke kampung ibu Wiliam yang berdarah Jawa dan tetap mengoperasikan bisnisnya walau ia terlihat seperti rakyat biasa. Kemudian, Wiliam kembali ke itali untuk melebarkan jaringannya saat Gio remaja.

Gio mewarisi darah kelicikan dan kekejaman Wiliam muda sehingga ia mampu mengambil alih bisnis gelap ini dan menjadi satu-satunya yang terdepan dari geng yang lain.

“Pa, lusa akan ada dokter ahli saraf untuk melanjutkan terapi Papa,” ucap Gio di kediamannya yang mewah itu.

Gio adalah kakak Jihan beda ibu.

Wiliam mengangguk. Kini, ia sudah tak lagi muda. Sudah banyak kerutan di leher dan keningnya. Ia pun tak lagi gagah seperti dulu walau wajahnya masih tetap terlihat tampan. sebenarnya, ia masih ingin mencari LAstri, masih ingin bertemu dengan Jihan, tapi apalah daya karena semua akses ditutup oleh Kenan. Terlebih saat ini keluarga Adhitama semakin jaya.

Gio memperhatikan sang ayah yang menatap foto gadis kecil berusia dua tahun. Foto itu diambil dari orang suruhannya yang kala itu mengintai Jihan dan kedua orang tua Lastri yang ada di kampung.

“Pa, please! Jangan lihat foto ini terus.”

“Ini adikmu, Gio.”

“Yes, I know. Tapi setiap kali Papa melihat foto ini, Papa akan sedih,” sahut Gio.

“Kamu sudah mencari keberadaan adikmu?” tanya Wiliam.

Gio menggeleng. “No.”

Kekuasaan Kenan, mampu menutup akses biodata Jihan dari luar.

“Gio, sudahi bisnis ini. Papa ingin hidup tenang. Papa juga tidak ingin kehilanganmu. Cukup ibumu yang menjadi korban dari bisnis terlarang ini.”

Gio menggeleng. Sang ayah memang sering berkata demikian. “Tidak, Papa. Bisnis kita sekarang semakin besar. Gio sudah pegang beberapa wilayah penting.”

“Tapi bisnis ini akan membawamu pada kematian,” ucap Wiliam.

“Mengapa Papa tidak bilang seperti itu dari dulu? Mengapa baru sekarang?” tanya Gio.

“Karena Papa sudah banyak kehilangan orang yang Papa cintai. Termasuk Papa sendiri. Papa seperti ini karena bisnis itu. Papa tidak ingin kehilanganmu.”

Gio tersenyum sinis dan memandang ke arah lain. akhir-akhir ini ia dan sang ayah memang kerap bertengkar. Ambisi dan kegarangan sang ayah menghilang seiring usia yang tak lagi muda.

“Kita tinggalkan bisnis ini di sini dan kembali ke Indonesia. Kita tidak akan miskin di sana. Perusahaan Papa di sana masih berjaya.”

Gior tertawa. “Perusahaan yang untungnya hanya ratusan juta perhari. Tidak sebanding dengan bisnis ini Papa.”

“Tapi kita bisa hidup tenang di sana,” sahut Wiliam.

“Tenang, Pa. selagi masih ada Gio. Kita juga akan tenang,” jawab Gio dengan penuh keyakinan.

****

“Kean, wake up. Sudah jam berapa ini? Kamu masih saja tidur,” teriakan Chintya memekikkan telinga Keanu yang masih terlelap di atas ranjang.

Saat musim pertandingan usai, Keanu menjadi orang pengangguran. Ia tak memiliki banyak aktifitas dan serig bangun siang seperti hari ini. Chintya sengaja datang ke apartemen sang kekasih dan membuka semua tirai hingga sinar matahari menyilaukan pandangan Keanu yang baru saja terjaga.

“Hmm …” Keanu melenguh sambil merenggangkan otot-ototnya. Lalu, ia dudu dan bersandar pada dinding ranjang. Ia melihat Chintya yang masih membuak semua tirai sambil mengoceh.