Part 4

...Ketika Ku Melangkah...

"Suuuutttt... mohon tenang, jangan membuat kegaduhan di sini!" ketus petugas perpustakaan, yang sontak menghentikan acara cekikikan Deva dan Devi yang mulai clinguran mengganti ekspresi mereka.

"Ach kalian... udah yok keluar.. jam berapa ni? harus masuk kelas nanti telat". Sambil memasukkan buku ke tas ku dan beranjak berjalan mendahului Deva dan Devi.

"Yuuukk, Deva mengikuti capcus.." tambah langkahku.

"Ech Ca, tadi kak Fikri bilang apa?" Devi ternyata masih penasaran " mau tau aja?, apa mau tau banget?.. hem" jawabku sambil nyengir meledek.

"Ach, aku srius ca!" tambah Devi merengek.

Karna aku yakin yang sesungguhnya dihadirkan olehNya akan lebih indah tanpa aku mencarinya. sampai akhirnya aku melihatnya seorang laki-laki yang sempurna dimataku. Dia sopan, santun, cerdas, aktif dan pengertian. Dia kak Fikri seniorku, dekat dengannya aku merasa nyaman dan aku pikir rasa nyaman itu adalah cinta. Ternyata aku salah mengartikan itu, sampai akhirnya David datang dalam kehidupanku.

"Bisa! Ayo berangkat sekarang" jawab Deva Devi serentak yang membuat ku bingung dan kaget memandangan mereka berdua bergantian. Yang menunjukkan wajah binar mereka.

"Hey! Kalian kita kan ada kelas sekarang, nanti aja abis kelas kita selesai" jawab ku kesal dan meneruskan langkahku.

"Hem, kalau nanti keburu habis acaranya Ca!" pinta Deva merengek sambil menarik-narik tangan kiriku.

"Memang kenapa kalau selesai... kan masih ada acara lagi kapan-kapan gak harus sekarang kan?" jawabku santai.

"Tapi, kalau besok-besok belum tentu kak Fikri ikutkan" bantah Devi. Yang membuatku terhenti dan berbalik memandang mereka.

"Haduh, teman-temanku sayang, kalian mau ikut seminar untuk ketemu kak Fikri atau mengambil ilmunya?"

ooOoo

"Ketemu kak Fikri!" Serentak mereka menjawab keras sampai semua orang yang ada di sekitar kami memandangi kami.

Yang membuatku terkejut dan melihat kesekelilingku, ya Deva Devi sukses membuat kami dijadikan perhatian. Deva dan Devi menutup mulut mereka dengan tangan masing-masing, aku memandang mereka tersenyum heran kepada mereka sambil berjalan meninggalkan mereka.

"Ca tunggu, kamu si Va keras- keras"

"Yee, kok aku si kamu juga kan iya" mereka berdebat saling menyalahkan.

Aku hanya tersenyum melihat mereka saling meenyangkal. Aku keluar kelas dan tiba-tiba Deva dan Deevi menarik tangan kanan dan kiriku berlari menuruni tangga.

"Hey!... kalian kenapa si? Mau kemana? Pelen-pelan

donk!" pintaku dengan ekspresi heran yang mereka

sambut dengan senyum santai mereka.

"Udah ayo ikut keburu telat!"

"hem untung belum selesai, ayo duduk!" pinta Devi menarikku duduk di tengah mereka berdua.

Beberapa perasaan tak ingin diabadikan. Mereka hanya ingin dititipkan dan dilepaskan di waktu yang baik. Bukan, bukan karena kata sementara itu menyenangkan, hakikatnya, yang singkat tak akan pernah sepadan.

Bukan juga karena kata selamanya terdengar mustahil, sejatinya taka ada yang bisa terjadi di bumi, kalau kau bertanya kenapa, sebenarnya aku juga tidak tahu.

Aku bukan perasaan. Aku hanya berada di tubuh seorang perempuan yang tiap langkahnya berhadapan dengan perasaan. Dan sejujurnya tak enak, membosankan, mudah senang, mudah kecewa, mudah sedih, tapi juga mudah memaafkan.

Kadang ingin sekali aku hidup di dalam pikirannya, iya dia seorang laki-laki yang dari tadi cuma mendengar, cuma membaca, tapi tak pernah merasa.

Aku masih keheranan melihat Deva dan Devi bergantian, yang ternyata membawaku ke seminar yang di tawarkan kak Fikri.

"hem ... dasar modus kalian, bilang aja mau liat kak Fikri pake buru-buru... pelan-pelan kan bisa"

"suuuuuttttt!" serentak Deva Devi memotong omelanku menyuruhku diam tanpa menoleh kearahku.

"Hem, subhanallah kak Fikri santunnya kalo ngomong, gaya bicaranya lembut"

Devi sambil menyanggah dagunya dengan tangan kanannya tanpa berkedip memandangi kak Fikri yang sedang memimpin diskusi.

"Betah dech sampai besok di sini" tambah Deva dengan ekspresi yang sama.

Aku tengak tengok sesekali melihat mereka dengan tersenyum heran, heran karna melihat mereka begitu terpesona dengan sosok kak Fikri.

Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis?

Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana?

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?

Jarak terkadang membuatnya menjadi asing, membuat seseorang tak percaya akan kekuatan cinta. Silangit yang sama kamu berada, namun belum kamu temukan satu sosok pilihan-Nya.

Bagiku hidup hanya selalu hitam dan putih, kebahagiaan akan selalu berbanding lurus dengan kesedihan. Kita hanya menunggu waktunya bergiliran bukan?

Begitupun dengan kesunyian.

Hari ini terasa ramai, mungkin esok kita akan berdialog lagi dengan kesendirian.

Meski dalam keramaian aku masih merasa kesepian, entah kenapa sunyi sepi ku rasa tanpa seseorang yang bisa menemani ku di kesendirian ini, tak terasa sudah semakin jauh aku berjalan sendiri.

ooOoo

Terpopuler

Comments

amora

amora

knp ini d ulang2 trus.?

2024-12-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!