Hafidz tak henti memandang kalung berlian itu beserta bedong berwarna biru muda. Meski sudah belasan tahun bedong itu nampak masih bagus, mungkin karena hanya dipake sekali setelah itu disimpan rapi di lemari oleh Ibu.
Bapak menceritakan kejadian tujuh belas tahun lalu saat pertama kali Hafidz ditemukan. Sedangkan Ibu hanya bisa menangis sambil menggenggam tangan Hafidz. Sungguh tak ingin Hafidz meninggalkannya, dia sudah pernah kehilangan anak dan tak mau itu terjadi untuk kedua kalinya.
Hafidz mendengarkan cerita Bapak dengan air mata yang menetes. Tak menyangka ternyata dirinya adalah anak yang terbuang, entah siapa yang sengaja membuangnya? Apakah mungkin ibu kandungnya sendiri, atau orang lain? Dia berharap bukan ibunya yang membuangnya secara sengaja.
"Apa mungkin aku terlahir dari hubungan terlarang, hingga mereka membuang ku? Aku memang tak diinginkan oleh mereka," lirih Hafidz, tak terbayang jika memang dirinya terlahir dari hubungan gelap yang terlarang.
Mendengar ucapan Hafidz, Bu Nurul langsung memeluk putranya. Tak pernah sekalipun terbayang dalam benaknya, jika Hafidz terlahir dari hubungan terlarang, tak pernah. Tapi Hafidz justru berfikir seperti itu. Tak masalah menurutnya, Hafidz terlahir dari hubungan terlarang atau tidak, yang dia tahu bayi yang baru lahir itu suci tak memiliki dosa sedikitpun.
"Meskipun ucapan kamu benar adanya, buat ibu itu tidak masalah, kamu anak yang baik dan berbakti sama orang tua. Orang tua kandungmu pasti sangat menyesal membuang kamu dulu kalau tahu anaknya sekarang jadi anak yang sholih, berbakti dan anak yang pandai," ucap Ibu masih dengan tangisnya.
Hafidz membalas pelukan sang ibu, "Aku enggak mau tahu mereka Bu, orang tua ku adalah bapak dan ibu, mereka mungkin tak pantas di katakan orang tua karena tega membuang ku," perih sekali hatinya saat mengatakan hal itu. Memang seperti itulah yang dirasakan Hafidz, dia sudah bahagia dengan orang tua angkatnya, tak terbesit dibenaknya untuk mencari orang tua kandungnya.
Bu Nurul melepaskan pelukannya, sambil menggelengkan kepala, "Kamu enggak boleh ngomong gitu nak, meskipun mereka sengaja membuang mu, setidaknya ibu kamu sudah berjuang mengandung selama sembilan bulan dan melahirkan kamu yang pasti bertaruh dengan nyawa. Meskipun Ibu menginginkan kamu tetap di sini jadi anak ibu, tapi ibu harap kamu cari tahu kejadian sesungguhnya, apakah benar ibumu sendiri yang membuang mu atau orang lain? Kamu harus tahu itu,"
"Jika yang terjadi kamu di buang oleh orang lain, betapa sakitnya ibumu Nak, dia pasti menderita selama ini kehilangan anak kandungnya. Kamu harus cari orang tua mu, ibu sama bapak akan merestui, tapi nanti setelah kamu lulus SMA," ucap ibu panjang lebar. Dia merasakan bagaimana hancurnya seorang ibu saat kehilangan putranya, apalagi kalau putranya hilang diculik orang. Bu Nurul juga pernah merasa kehilangan sang putra dan sakitnya masih sama saat mengingat bagaimana putranya meninggalkannya.
"Benar kata ibumu Fidz, Bapak sama Ibu akan mendukung kamu dan merestui kamu untuk mencari keluarga kandungmu, mungkin mereka tinggal di kota besar, dan orang berada. Tapi anehnya memang tak pernah ada yang merasa kehilangan bayi selama ini," ucap Pak Ahmad.
"Makasih Pak, Buk, nanti aku akan coba cari mereka," ucap Hafidz tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, sebenarnya dia enggan bertemu dengan keluarga kandungnya, karena mereka sudah tega membuangnya.
"Sekarang kamu yang menyimpan ini baik-baik, Ibu serahkan semuanya padamu." Bu Nurul memberikan dua benda itu yang sudah dimasukkan kedalam kotak pada Hafidz, dan Hafidz pun menerimanya
Setelah itu Hafidz berpamitan untuk kembali ke kamar, karena malam sudah larut. Besok pagi dia harus ke sekolah.
*****
Sejak mengetahui kenyataan jika dirinya bukan anak kandung Bu Nurul dan Pak Ahmad, Hafidz lebih giat mencari pundi rupiah untuk di tabung. Bahkan uang jajan dari sang Ibu, jarang sekali dia gunakan. Uang itu sengaja dia kumpulkan untuk kuliah nanti, meski mungkin tak mencukupinya, tapi setidaknya dia punya modal untuk daftar kuliah lebih dulu, setelahnya bisa dipikirkan nanti.
Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan. Hafidz sudah mencari tahu kampus yang menawarkan banyak beasiswa di ibu kota. Sesuai permintaan kedua orang tuanya, dia akan mencari keluarga kandungnya di sana, meskipun soal kuliah dia belum berbicara sedikitpun dengan Ibu dan Bapaknya.
"Kamu serius mau kuliah di Jakarta Fidz?" tanya Ali, saat ini mereka masih berada di sekolah, setelah ke luar dari ruang masing-masing.
"Insyaallah Al, seperti yang aku ceritakan kemarin, aku mau cari kelurga kandungku Al, sesuai permintaan Bapak dan Ibu," jawab Hafidz.
"Kalo gitu aku dukung deh, tapi apa Bik Nurul setuju kamu kuliah di sana Fidz?" Ali merasa jika Ibu Hafidz tak menyetujui anaknya jauh darinya.
"Belom tahu Al, moga aja Ibu setuju aku kuliah di sana," Hafidz juga tak begitu yakin jika sang ibu menyetujui keinginannya.
"Aku doakan semoga Bik Nurul setuju deh. Sayang juga kalo kamu enggak kuliah, kamu kan cerdas enggak kaya aku yang otaknya pas-pasan,"
"Jangan berlebihan Al, kamu juga cerdas, buktinya kamu lebih pandai dalam hal agama. Mungkin karena aku kurang berusaha kali ya, kamu juga kalo usahanya maksimal pasti bisa, semuanya kan tergantung usaha kita, gitu kan?"
"Udah lah, kita pulang aja sekarang. Yang terpenting aku selalu dukung kamu, tapi ingat kalau orang tua kandung kamu orang kaya raya, jangan lupa sama upil ini,"
Hafidz terkekeh mendengar Ali menyebut dirinya upil, padahal dia selalu marah saat teman-temannya memanggil dengan sebutan itu. Kenapa bisa Ali di panggil 'upil' karena pemuda itu selain hitam dia juga pendek, bahkan pendeknya hanya sebahu Hafidz. Bisa dibayangkan, seperti apa kedua sahabat itu. Yang satu tinggi putih, yang satu pendek hitam.
"Malah ketawa," protes Ali.
"Lucu aja Al. Ngomong-ngomong kamu beneran mau ke pesantren Al?" tanya Hafidz.
Ali mengangguk, "Iya Fidz, semua kakak ku masuk pesantren semua, tidak mungkin aku diijinkan untuk kuliah, tapi memang aku males kuliah juga sih Fidz, males mikir pelajaran," ucapnya.
"Emang di pesantren kamu mau ngapain? Tidur?" tanya Hafidz yang tak habis pikir dengan ucapan Ali.
"Eh buset! Ya ngaji lah, hafalan Al-Qur'an,"
"Nah itu juga belajar, kan Al?"
"Hehehe, iya ya," Ali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Tak terasa keduanya sampai di bengkel tempat Ali menyervis motornya yang tadi pagi sempat ngambek sebelum berangkat ke sekolah. Untung saja mereka berangkat lebih pagi.
"Eh ini Hafidz, anaknya Pak Ahmad? Makin ganteng aja Fidz, makin keliatan kalo bukan anaknya si Ahmad," celetuk seorang ibu, yang tak lain istri pemilik bengkel tersebut.
"Buk!" pemilik bengkel itu menatap sang istri tajam.
"Enggak usah dengerin omongan bini gue Fidz, dia emang ceplas-ceplos kalo ngomong enggak dipikirin dulu," pemilik bengkel itu tak enak hati dengan Hafidz.
Hafidz tersenyum, "Enggak apa-apa Bang, aku juga udah tahu," ucapnya.
Pemilik bengkel itu justru terkejut mendengar penyataan Hafidz, selama ini mereka mengetahui asal usul Hafidz, tapi tak ada yang berani mengatakan langsung pada Hafidz.
"Bagus kalo udah tahu, berarti kamu juga tahu kalau kamu anak haram?" si ibu lagi-lagi mengatakan hal yang sangat tak pantas, dan pemilik bengkel itu kembali menatap sang istri, dan menyuruhnya untuk pulang saja dari pada di bengkel mengganggu.
Sebenarnya Hafidz merasa sakit dan sangat tersinggung, tapi dia tak ingin berdebat dengan orang tua. Dia juga tak punya bukti untuk menyanggah ucapan menyakitkan itu, yang dia lakukan hanya diam.
Sedangkan Ali, hanya bisa memberi semangat pada sahabatnya itu. Dia saja merasa sakit hati mendengar ucapan istri pemilik bengkel, apalagi Hafidz, pasti lebih menyakitkan.
Bersambung....
🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Miss Typo
semangat Hafidz,,,
apa saat dah dikota Hafidz ketemu saudara kembarnya dan saling jatuh cinta????
2024-07-15
1
Imam Sutoto
top deh
2024-07-10
0
Anonymous
.
2024-07-07
0