Seorang remaja laki-laki baru saja ke luar dari kelas disambut sapaan dari sahabatnya yang berbeda kelas. Selalu setia menunggu saat akan pulang sekolah.
"Fidz, nonton pertandingan dulu yuk," ajak temannya itu.
"Enggak bisa Al, aku harus ngelesin anak-anak sore ini, kalau kamu mau nonton sendiri aja enggak apa-apa, kan? Biar aku pulang jalan kaki," tolak Hafidz, tak mungkin dia meninggalkan kewajibannya hanya untuk menonton pertandingan sepak bola.
"Oh yaudah, aku antar kamu pulang dulu, sekalian mau ganti baju, nanti tak ajak si Adi aja," timpal Ali sahabatnya.
"Maaf ya Al," sesal Hafidz.
"Enggak apa-apa Fidz, santai." Ucap Ali sambil tersenyum.
Sejak SMP Ali selalu memberi tumpangan pada Hafidz saat berangkat dan pulang sekolah, sebenarnya Hafidz merasa tak enak hati karena tiap hari harus merepotkan Ali, padahal jarak sekolah dengan rumah hanya sekitar setengah kilometer saja, menurut Hafidz masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi Ali tak pernah membiarkan sahabatnya berjalan kaki sendiri.
Rutinitas harian Hafidz memang berbeda dengan teman-teman lainnya, karena setiap dua hari sekali dia harus mengajar atau les untuk anak-anak SD dan SMP di desanya. Dengan mengajar les anak SD dan SMP, setidaknya Hafidz bisa menabung uangnya untuk kuliah nanti, karena ibunya tak pernah mau menerima uang itu dan selalu menyuruh Hafidz untuk menabungnya.
"Makasih Al," ucap Hafidz setelah turun dari motor Ali.
Ali hanya mengacungkan ibu jari lalu kembali menyalakan motornya menuju kediamannya yang hanya berjarak dua rumah dari rumah Hafidz.
"Assalamualaikum," ucap salam Hafidz, tapi tak ada seorang pun yang menjawab salamnya.
Tak seperti biasa rumahnya sepi dijam saat ia pulang sekolah. Baru saja dia akan mengucapkan salam untuk kedua kalinya saat samar-samar mendengar suara orang di dalam rumah, tapi tak sengaja dia mendengar ucapan ibunya yang membuatnya terkejut.
"Bagiamana Pak? Benar kata Bu Lurah tadi, kalau Hafidz tidak kuliah itu sayang banget, dia itu cerdas. Tapi gimana apa kita mampu? Atau kita jual aja berlian yang kita temukan dulu, itu pasti milik keluarga Hafidz, mungkin yang punya juga sudah lupa," ucap Nurul.
"Jangan Buk, kalung berlian itu sangat penting, dengan kalung itu Hafidz bisa menemukan keluarganya. Meskipun Bapak tak rela jika Hafidz harus kembali ke keluarga kandungnya, dia udah seperti anak sendiri," Pak Ahmad membayangkan saat menimang Hafidz yang masih bayi, mereka begitu bahagia.
"Apa semua yang dikatakan Bapak sama Ibu itu benar? Kalau aku bukan anak kandung kalian?" tanya Hafidz sendu. Tak pernah terbayangkan sedikit pun akan kenyataan ini.
Pantas saja, wajahnya tak ada miripnya dengan Bapak atau pun Ibu, tapi dia tak pernah berfikir jika dirinya bukan anak kandung mereka.
Bu Nurul dan Pak Ahmad terkejut, melihat Hafidz sudah pulang dan mendengar perkataan mereka. Sebenarnya belum ingin memberitahu akan hal ini ada Hafidz, tapi jika sudah seperti ini mereka terpaksa harus menjelaskan semuanya tanpa terkecuali.
Bu Nurul mendekati Hafidz, lalu memeluk erat tubuh remaja yang sudah dia asuh sejak bayi, air matanya mengalir begitu saja. Tak rela jika anaknya ini harus kembali ke orang tua kandungnya.
"Hafidz anak Ibu, meskipun enggak lahir dari rahim ibu, tapi Hafidz tetap anak Ibu sama Bapak," lirihnya.
Hafidz membalas pelukan sang ibu, dia juga ikut menangis, sekaligus terkejut akan kenyataan ini.
"Hafidz akan tetap jadi anak Ibu sama Bapak, Ibu tenang aja ya, meskipun aku sudah bertemu orang tua kandungku, aku akan tetap sama Ibu dan Bapak," ucap Hafidz.
Pak Ahmad pun ikut memeluk putranya. Ketiga orang itu menangis bersama. Entah tangis bahagia atau sedih.
"Sudah Buk, jangan nangis lagi. Hafidz akan tetap di sini sama Bapak dan Ibu." Hafidz melepas pelukannya lalu menghapus air mata sang Ibu.
Bu Nurul mengangguk.
"Sekarang aku mau makan siang dan mandi dulu Buk, sebentar lagi harus ngajar anak-anak, nanti kalau terlambat dimarahi Bu Lurah lagi." Hafidz sebenarnya penasaran dengan cerita yang sesungguhnya, dia juga belum bisa menerima kenyataan ini, tapi saat ini yang lebih penting adalah anak didiknya yang sudah menunggu di rumah Bu Lurah. Dia akan menanyakan semuanya nanti malam setelah semua kegiatan usai.
Meski banyak sekali hal yang dia pikirkan, Hafidz tetap mengajar dengan baik tak ada keteledoran yang dia lakukan sedikit pun. Seperti itulah Hafidz, akan selalu bersikap profesional meski banyak sekali masalah yang dia pikirkan. Menurutnya masalah pribadi tak boleh diikut campurkan dengan masalah lain.
"Fidz, ini sebagian iuran anak-anak bulan ini, yang lain besok katanya." Bu Lurah menyerahkan amplop berisi uang dari orang tua muridnya.
"Makasih Buk, sisanya buat kebersihan aja Buk, seperti biasa," Hafidz selalu seperti itu, ia membagi uangnya untuk Bu Lurah yang rumahnya sudah rela dijadikan tempat belajar, tapi Bu Lurah selalu menolak, karena menurutnya aula itu justru bermanfaat, tidak seperti dulu yang tak terurus.
"Oh ya jangan! Itu hak kamu, ibu enggak butuh protes atau penolakan seperti biasa, besok akan ibu kasih sisanya. Berkat kamu Hari anak ibu jadi rajin belajar, enggak seperti dulu males-malesan," selalu seperti itu penolakan yang Bu Lurah lontarkan.
"Makasih banyak ya Buk, saya selalu merepotkan. Kalau gitu saya permisi Buk,"
Setelah dipersilakan Hafidz pun kembali ke rumahnya yang jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar seratus meter saja.
Malam hari setelah belajar, Hafidz yang biasanya langsung tidur, kini justru menghampiri kedua orang tuanya di dalam kamar Mengetuk pintu kamar orang tuanya, setelah dipersilakan dia pun masuk ke dalam kamar itu dan sepertinya Bapak dan Ibunya sudah menunggu.
Hafidz duduk di sisi kasur berdekatan dengan Ibu dan Bapaknya.
"Sebentar Ibu akan ambil sesuatu." Bu Nurul turun dari tempat tidur menuju lemari yang sudah terlihat usang dimakan usia. Mungkin umurnya lebih tua dari umur Hafidz. Mengambil sebuah kotak kecil berwarna kuning, sepertinya kotak bekas roti.
"Ini kalung berlian yang Ibu katakan tadi, sama bedong bayi saat pertama kamu ditemukan. Hanya ini saja petunjuknya, tidak ada yang lain lagi." Bu Nurul menyerahkan dua benda itu pada Hafidz.
Dengan tangan bergetar, Hafidz menerima dua benda tersebut dan memandangnya dengan hati tak menentu. Padahal dia belum tahu seperti apa cerita sesungguhnya.
"SH? Apakah ini nama keluarga atau simbol apa ya?" Hafidz meneliti liontin bertulisan dua huruf SH itu dengan teliti, dan dibelakang liontin dia menemukan kode dengan tulisan angka. Seperti tanggal lahir seseorang, mungkin benar itu tanggal lahir pemilik kalung berlian tersebut. Jika di lihat dari tanggal dan tahun itu, si pemilik kalung saat ini sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, yang artinya lebih muda dari Ibu angkatnya, Bu Nurul.
"Kami juga tidak tahu Nak," jawab Ibu dan Bapak serempak.
Bersambung...
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Imam Sutoto
semangat thor lanjut
2024-07-10
1
Yus Nita
misyeri pembuangan Bayi akan kah segera twrungkap..???
2024-06-25
1
Aqua_Chan
ah seru
2023-04-07
0