Keesokan harinya Xavier pergi ke sekolah ditemani beberapa pengawal. Seperti janji ayahnya penjagaan hari ini tak terlalu ketat. Setidaknya kini ia dapat lebih leluasa bergerak. Ajudan kepercayaan sang ayah tetap setia berdiri satu langkah tepat di sampingnya.
Seperti biasa, ketika ia sampai di sekolah, murid-murid lain memberi hormat dengan membungkuk kepadanya. Xavier mulai membiasakan diri dengan rutinitas sekolahnya kali ini. Ia sampai di kelasnya, dan tak lupa menyapa teman-teman sekelasnya.
Xavier meletakkan tasnya di bangkunya. Tak lama kemudian Louis datang dan duduk di bangku depan Xavier seperti kemarin. Menurutnya, Louis memang sosok yang dingin namun senang sekali bercanda dan entah kenapa ia tak mudah tersenyum. Seperti halnya kini, Louis hanya langsung duduk tanpa basa-basi menyapanya yang jelas duduk tepat di belakangnya.
"Hai Louis! Selamat pagi!" Ucap Xavier sembari menepuk pundak Louis di depannya.
"Pagi." Balas Louis. Suaranya terdengar lesu daripada kemarin.
"Suaramu terdengar lesu, apa kau sakit?"
"Tidak Yang Mulia, aku hanya mengantuk. Biarkan aku tidur sebentar." Jawab Louis yang kini menidurkan kepalanya itu di atas meja.
"Baiklah." Ucap Xavier samar-samar.
Beberapa menit kemudian bel masuk berdering, menandakan pelajaran akan dimulai. Seorang guru muda yang tampaknya berusia pertengahan tiga puluhan itu masuk dan menyapa yang lain, "Selamat pagi anak-anak!"
"Selamat pagi profesor!"
Guru itu mengeluarkan buku paket pelajaran matematika. Ia pun membulak-balik halaman bukunya,
"Baik, buka buku paket kalian halaman 22. Kita akan coba kerjakan latihan soal."
Asal kalian tahu, walau dirinya yang lebih condong ke arah seni, tapi matematika adalah pelajaran favorit Xavier. Ia lebih menyukai pelajaran hitungan daripada hapalan seperti pelajaran sejarah. Tapi berbeda dengan Louis, ia lebih memilih menghapal daripada mengerjakan hitungan yang menurutnya lebih membuat kepalanya pusing tujuh keliling.
Tak ada yang spesial selama pelajaran berlangsung, hanya profesor tersebut yang tampak sangat handal saat menjelaskan. Setelahnya bel berdering, tanda pergantian kelas. Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran olahraga, pelajaran favorit banyak murid di sekolah. Para murid bergegas untuk pergi ke toilet tuk berganti pakaian, dan menaruhnya di loker mereka yang ada di lantai bawah.
Semua bergegas berlari ke tengah lapang di mana seorang guru berkalungkan sebuah peluit sudah menunggu mereka. Cuaca hari ini rupanya sangat pas untuk berolahraga. Semua murid kelas 2-A berbaris rapih di lapangan olahraga yang luas itu.
Setelah pemanasan dilakukan, mereka semua berlari mengelilingi lapangan sebanyak dua kali. Pelajaran olahraga kali ini adalah permainan baseball. Bukan rahasia lagi jika Zinnia sangat unggul dalam permainan baseball. Usut punya usut, sejarahnya berawal dari mendiang raja yang sangat menyenangi permainan ini, hingga jadi populer di kalangan masyarakat.
Semua bermain dengan gembira dan semangat. Suara sorak dari bangku penonton membuat pertandingan semakin seru tuk diikuti. Semuanya tertuju pada permainan itu, hingga tak sadar jam pelajaran sudahlah usai. Guru yang mengajar kini membubarkan pelajaran. Semua murid kembali ke kelas, berganti pakaian kemudian bergegas tuk makan siang.
Xavier kini berjalan dari kantin setelah membeli sekotak susu vanila dan roti isi daging favoritnya. Saat menuju kelas, langkahnya terhenti ketika melihat Louis yang duduk termenung di bangku penonton di lapangan olahraga. Xavier pun berniat menghampirinya.
"Tak istirahat?" Tanya Xavier penasaran.
"Oh Yang Mulia." Ucap Louis yang tersentak dari lamunannya.
"Sudah kubilang tak perlu memanggilku 'Yang Mulia' jika di lingkungan sekolah, cukup panggil aku Xavier."
"Ah iya, maksudku Xavier." Louis mengangguk.
"Mengapa kau melamun? Ada yang dipikirkan?" Tanya Xavier sembari meminum susu yang ia beli.
"Tidak ada. Hanya saja, terbesit di benakku untuk menjadi pemain baseball ketika dewasa nanti."
"Wah... Kau ingin menjadi atlet?"
"Entahlah, toh ayahku pastinya tidak akan pernah mengizinkan."
"Hei... Ini hidupmu, mengapa harus meminta izin orang lain. Kau bisa jadi apa saja yang kau inginkan, dan ya kulihat kau cukup berbakat saat permainan tadi. Sayang sekali jika kau menyia-nyiakan bakatmu, bukan begitu?"
"Ku harap begitu." Ucap Louis yang terdengar murung.
"Mengapa ayahmu tak mengizinkanmu tuk jadi atlet?"
"Ayahku ingin aku jadi pegawai pemerintah, menjadi seorang menteri, seperti dirinya kelak."
"Menteri?"
"Ya, ayahku kini menjabat sebagai menteri pertahanan."
"AH! Maksudmu Tuan Morgan?"
"Ya, dia ayahku"
Benar seperti apa yang Xavier tebak, Louis termasuk keluarga bangsawan. Ia datang dari keluarga bergengsi.
Tak lama kemudian, terdengar suara seorang gadis kecil yang memanggil ke arah Louis.
"KAK LOUIS!" Ucap gadis itu sembari melambaikan tangan. Gadis itu kemudian berlari ke arah nama yang dituju.
"Oh Eveline, jangan berlarian seperti ini, kau bisa terjatuh."
"Hehehe, kenapa kakak ada di sini? Sudah makan?"
"Tentu saja sudah, dan ya perkenalkan teman sekelas kakak." Louis memperkenalkan Xavier kepada adiknya.
Eveline tampak menilik-nilik orang di hadapannya, wajahnya tampak tak asing di benaknya.
"Eveline beri hormat, dia Pangeran Xavier." Bisik Louis di telinga Eveline.
"HAH DIA PANGERAN??! YAAMPUN MAAFKAN SAYA YANG MULIA." Eveline terkejut bukan main, bisa melihat pangeran dari dekat rasanya seperti mimpi. Kini ia hanya bisa tetunduk malu.
"Tidak apa." Xavier terkekeh, menurutnya gadis di hadapannya ini cukup lucu, sangat berbeda dengan Louis yang menurutnya tampak garang.
"Xavier, perkenalkan dia adikku, Eveline Alexandra Gilbert. Dia dari kelas 1-A."
"Hormat saya, Yang Mulia." Ucap Eveline sembari melakukan curtsy.
"Salam kenal, Eveline."
Mereka saling tersenyum kepada satu sama lain. Tapi tak lama, terdengar suara seorang gadis lain yang memanggil-manggil Eveline, "EVELINE! EVELINE! Di sini kau rupanya." Ucap gadis itu sambil terengah-engah sehabis berlari.
"Oh, Oliver. Ada apa kau kemari?" Tanya Louis penasaran.
"Kami baru saja dari kantin, tapi Eveline tiba-tiba pergi ke mari dengan berlari sangat cepat, dan aku mengejarnya." Ucap Oliver yang kini masih kelelahan.
"Hei Oliver, beri hormat padanya." Ucap Eveline sambil menunjuk Xavier dengan kelima jarinya.
"Hormat?"
"Dia Pangeran Xavier, kau lupa?"
"Pangeran?" Kini Oliver memperhatikan Xavier dari ujung sepatu hingga kepala.
"Penampilannya tidak seperti pangeran-"
"Sudah sudah cepat beri hormat." Ucap Eveline sambil memukul-mukul punggung Oliver pelan.
"Hormat saya, Yang Mulia."
"Maafkan dia, Yang Mulia. Kadang orang ini memang tak tahu sopan santun."
"Hei! Apa kau bilang???!"
"Sudah sudah tak perlu berkelahi. Xavier, dia teman sekelas adikku, namanya Oliver Luxia de Mauren." Ucap Louis yang kini memperkenalkan Oliver kepada Xavier.
"Salam kenal, Oliver."
"Ngomong-ngomong, apa yang kakak dan pangeran lakukan di sini?" Tanya Eveline penasaran.
"Kami hanya berbincang-bincang sambil memperhatikan lapang. Kau sendiri? Ada urusan apa menghampiri kakak?"
"Tidak ada, aku hanya lewat saja tadi hehe."
"Bohong, bilang saja kau ingin bertemu pangeran bukan? Ya kan???" Ucap Oliver sambil meledek Eveline yang kini mukanya memerah seperti udang rebus.
"MANA ADA!"
"Dasar kalian ini, sudahlah ayo kembali ke kelas. Lagipula jam istirahat sudah mau selesai."
"Ah iya kak."
"Ayo Xavier, kita ke kelas." Ajak Louis kepada Xavier.
"Ohh, baiklah."
"Sepulang sekolah nanti kau langsung pulang, jangan kemana-mana. Aku dan supir tidak akan menunggu jika kau telat, kau mengerti Eveline?" Ucap Louis.
"Siap kak!."
"Kalau begitu kakak duluan."
Louis kini pergi menuju kelasnya bersama Xavier. Disusul dengan Eveline serta Oliver yang juga kembali menuju kelasnya.
"Hei Louis, adikmu lucu juga. Ia punya mata yang mirip denganmu."
"Benarkah? Menurutku juga dia memang manis. Namun sayangnya sedikit menyebalkan." Louis terkekeh saat membahas adiknya.
Kelas pun dimulai. Sisa jam pelajaran hari ini tak begitu menarik diikuti. Sehingga para siswa hanya menantikan bel pulang berdering. Sama halnya dengan Xavier, ia tak begitu paham mengenai seni.
Sesampainya Xavier di istana, seperti biasanya para pelayan menyambutnya. Liam, pengasuh sekaligus asisten pribadi sang pangeran juga membantunya berganti pakaian seperti biasa. Tak ada yang berubah, hanya suasana istana yang tenang atau bisa dibilang sepi seperti biasa.
Xavier kini duduk di taman samping, tempat favoritnya untuk bersantai selepas pulang sekolah. Ditemani beberapa camilan dan buku sejarah favoritnya. Semilir angin yang berhembus dari barat menyentuh pipi putihnya, memberi suasana sejuk yang pas untuk bersantai.
"Pangeran, Baginda Raja datang." Bisik Liam yang sedari tadi berdiri di samping kursi taman.
"Oh ayah, ada apa yah?"
Raja Arthur kini duduk di samping Xavier, "Tampaknya kau sedang bersantai? Bagaimana sekolahmu hari ini?" Tak ada satu hari pun sang raja tak mengkhawatirkan putra bungsunya, terlebih kini Xavier pergi ke tempat yang baru dan cukup asing baginya.
"Tak ada yang spesial, hanya belajar dan belajar... Oh iya yah tadi aku bertemu dengan putri bungsu keluarga Gilbert, dia adiknya temanku yang kuceritakan kemarin yah, Louis."
"Benarkah? Jadi putri bungsunya juga bersekolah di sana?"
"Iya yah, dia sangat cantik. Namanya Eveline, matanya berwarna ungu seperti berlian amethyst."
"Ayah jadi penasaran seperti apa teman-temanmu ini."
"Dan juga aku berkenalan dengan temannya Eveline, mereka sekelas. Ia gadis berambut pirang dari keluarga de Mauren, Oliver namanya."
"Ayah pernah mendengar nama keluarga de Mauren. Namanya terdengar indah."
"Memang apa artinya yah?"
"Arti yang mana? Arti Oliver?"
"Iya yah"
"Oliver berarti simbol perdamaian, kebanggan dan kecantikan. Digambarkan sebagai sosok yang baik dan penuh kasih sayang."
"Oh wow sangat indah yah. Lantas apa arti namaku yah??"
Maklum, pangeran muda ini masih di usia yang penasaran akan semua hal.
"Xavier berartikan sosok yang selalu diberkati, tenang, cemerlang, penuh semangat, pekerja keras, dan megah. Ayah dan ibumu dulu berharap kau akan menjadi orang yang selalu diberkati, cemerlang dan jadi panutan banyak orang. Nama tengahmu, Hellen disamarkan dari nama marga ibumu, dan yang terakhir dari marga ayah, Rayton."
"Aku tak pernah terpikir namaku sebagus itu yah."
"Tentu saja. Setiap nama memiliki arti, penuh dengan harapan orang yang memberikan nama tersebut. Kau tahu sejarah nama kerajaan kita Zinnia?"
"Aku pernah membacanya di buku, nama Zinnia berasal dari nama bunga. Begitu kan, yah? Bunga Zinnia dapat ditemui dengan mudah di negeri kita."
"Benar anakku. Zinnia diambil dari nama bunga yang banyak mekar di negeri kita. Bunga Zinnia dapat tumbuh dengan cepat dan mekar dengan lebat. Zinnia memiliki arti penghormatan dan pujian, dengan harapan kerajaan kita dapat dihormati dan dipuji oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Zinnia juga berartikan kasih sayang, pertemanan, kenangan, dan cinta abadi. Leluhur kita menamainya Zinnia agar siapapun yang pergi dari negeri ini dapat mengingat Zinnia sebagai tempat yang penuh kasing sayang dan kenangan, layaknya sebuah salam perpisahan yang manis."
"Wah keren sekali yah."
"Tak hanya itu bunga ini banyak manfaatnya, di manapun bunga ini ditanam, mereka akan selalu memberikan keindahan dan kemeriahan oleh warna-warnanya yang beragam. Tak heran jika bunga ini menjadi sahabatnya kupu-kupu. Indah bukan?"
"Indah. Sangat indah yah!" Seru Xavier yang terkagum-kagum mendengar penjelasan sang ayah.
Bukan hanya Xavier saja, tetapi Liam, Elthon si sekretaris raja yang berdiri tak jauh dari sana dan beberapa pelayan yang ada juga terkagum mendengar penjelasan dari Raja Arthur. Penjelasan dari sang raja membuatnya terdengar beratus kali lipat mengagumkan.
"Bukan hanya arti dari nama Zinnia saja yang indah, tapi juga negeri ini. Lihatlah bentang alam yang kita miliki, benar-benar indah. Namun sayangnya, banyak orang-orang dari negeri lain yang menginginkan negara kita, nak. Akibatnya perang dingin masih banyak terjadi hingga saat ini."
Xavier termenung. Benar, sejak dulu banyak negeri sekitar yang ingin merebut Zinnia. Bukan hanya karena keindahan alamnya saja, tapi sumber daya alam dan teknologi yang sudah maju membuat Zinnia menjadi rebutan banyak orang.
"Kelak, giliran mu dan kakakmu, Nathaniel lah yang akan bertugas melindungi Zinnia kita ini. Jangan sampai mereka merusak keindahan Zinnia yang sudah berabad-abad kita jaga. Kau mengerti, Xavier?"
"Aku mengerti, ayah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Ilham Risa
udah aku masuki rak ya kak, semangat terus Kak😀
2022-05-30
1
Sasa
Suka deh kalo udh cerita soal kerajaan ginih apalagi tentang sejarahnya, berkesan banget>.<
2022-05-14
1