Sebuah Kisah Dari Zinnia

Sebuah Kisah Dari Zinnia

Bagian 1 : Perkenalan

"Kak Ashton!!!" Terdengar suara lelaki belia yang memanggil sambil berlari ke arah si pemilik nama.

"Sudah kakak bilang kan kau tidak boleh berlarian begini di istana, bahaya jika kau terjatuh" ucap sang kakak sambil menghampiri adiknya.

"Sedang apa kakak disini? Apa yang sedang kakak perhatikan?" Tanya sang adik penasaran.

Kini mereka berdua sedang berdiri di balkon lantai 3 istana, menghadap mentari terbenam dengan pemandangan rumah rumah warga yang tampak dari tembok istana.

"Memperhatikan negara kita" jawab Ashton

"Eyy bukankah itu membosankan? Kakak sudah sering memperhatikan pemandangan yang sama berkali-kali" celetus sang adik.

"Xavier, dengarkan kakak, kelak suatu hari kau akan menjadi raja negeri ini. Raja yang baik adalah raja yang selalu memperhatikan dan mengkhawatirkan rakyatnya." Ashton berucap lembut kepada adiknya baru saja menginjak usia 8 tahun.

"Toh lagipula aku tidak mau menjadi raja, lebih baik kakak saja yang jadi raja negeri ini. Jika aku jadi raja, aku tidak bisa lagi bermain dan harus berkutat dengan dokumen dokumen yang tiada habisnya di ruang kerja seperti ayah." Celoteh Xavier membuat Ashton tertawa kecil.

"Sejak kapan kau jadi pandai berbicara seperti ini, hah? Kau sudah besar rupanya."

"Tentu, aku juga akan jadi lebih tinggi daripada kakak" ejek Xavier sambil berlari meninggalkan kakaknya.

"Hei kemari sini! Bukankah harusnya kau belajar di perpustakaan? Xavier kemari!"

Kedua kakak beradik ini berlarian di lorong istana, usia keduanya yang terpaut berbeda 9 tahun tidak menjadi alasan hubungan mereka renggang. Ashton sangat menyayangi adiknya, Xavier, begitu pula sebaliknya. Keadaan istana menjadi lebih berwarna dengan kehadiran dua pangeran bersaudara ini. Meski tingkah mereka yang usil terkadang membuat para pelayan kewalahan, semua orang di istana sangat menyayangi kedua pangeran ini.

"Xavier kemari!" Teriak Ashton di sepanjang koridor istana Cassania.

Langkah mereka terhenti ketika sekretaris raja berdiri menghadang mereka "Yang Mulia kenapa berlarian disini?"

"Oh Paman Elthon?" Ucap keduanya serempak

"Hormat saya Yang Mulia Pangeran Nathaniel dan Yang Mulia Pangeran Xavier." Ucap Elthon sambil membungkuk. Kedua pangeran itu membalas salam Elthon.

"Ada apa paman? Tak biasanya paman berkunjung ke sayap istana." Tanya Ashton penasaran.

"Yang Mulia Paduka Raja menyuruh hamba menemui Pangeran Nathaniel, paduka bilang ada yang ingin ia sampaikan kepada Yang Mulia." Jelas Elthon

"Oh benarkah? Apa yang ingin ayah sampaikan? Sepertinya sangat penting hingga menyuruhmu kemari."

"Maaf Yang Mulia, hamba kurang tahu. Lebih baik Yang Mulia segera pergi menemui paduka di aula kerajaan."

"Baiklah kalau begitu. Xavier kembalilah ke perpustakaan, kita bermain lagi nanti." Ucap Ashton kepada adiknya

"Selalu saja ayah mengganggu waktu kita bermain. Baiklah...." Jawab Xavier dengan ketus.

Ashton pergi ke aula untuk menemui ayahnya disana. Ia melihat ayahnya yang sudah berdiri dari kejauhan. Saat ini ayahnya sedang menghadap ke jendela, entah apa yang sedang ia pikirkan di benaknya.

"Ayah... Ku dengar kau memanggilku, ada apa?" Ashton bertanya dengan lembut

"Nathaniel Ashton Rayton... Berapa umurmu tahun ini?"

"17 tahun yah, memangnya kenapa?"

"Sudah waktunya kau masuk pelatihan militer."

"Pelatihan militer?! Bukankah itu terlalu cepat ayah?" Tanya Ashton yang tidak percaya apa yang ayahnya katakan

"Nathaniel... Kau akan menjadi raja suatu hari kelak, kau putra mahkota negeri ini maka dari itu kau harus bisa melindungi rakyatmu. Pikirkan baik baik, negara kita masih dalam keadaan berperang, dan ayah akan sangat senang jika kau bisa menjadi komandan pasukanmu." Jelas sang ayah dengan panjang lebar

"Ayah tapi aku baru saja menyelesaikan pelatihan dasarku tahun lalu, bukankah ini terlalu cepat ayah?"

"Nathaniel, ini permintaan ayah kepadamu. Kau tidak pernah tahu kapan musuhmu menembakkan pelurunya kepada kita, tidak ada salahnya untuk bersiap. Pikirkan olehmu Nathaniel, ayah akan merekomendasikanmu untuk masuk angkatan udara, bukankah sedari kecil kau senang dengan pesawat tempur nak?"

"Aku mengerti ayah, akan kupikirkan."

"Kau punya waktu hingga akhir bulan depan, pikirkanlah matang-matang."

Ashton keluar dari aula dengan langkah yang berat, banyak hal terbesit di benaknya. Sedari kecil ia dididik dengan cara militer oleh ayahnya. Disipilin, tegas dan bertanggung jawab. Meski begitu, ia mewarisi sifat lembut ibunya, mendiang Ratu Issabela. Permintaan ayahnya seringkali menyesakkan dadanya, ketika anak-anak lain bermain dengan riangnya di taman, ia berkutat dengan buku sejarah kerajaan di perpustakaan istana. Ia terlahir dengan mahkota di kepalanya, ia mengerti akan tanggung jawab yang ada di pundaknya sebagai pewaris takhta kerajaan.

Kelahiran Xavier, sang adik setelah 9 tahun layaknya angin segar bagi Ashton. Ia yang tidak memiliki teman di istana, akhirnya memiliki kawan untuk bermain dan belajar bersama. Sehingga itulah yang membuat Ashton termat sangat menyayangi adiknya.

Berbeda dengan Ashton, sang ayah tidak terlalu mengekang Xavier. Sudah menjadi rahasia umum di istana bahwa kedua pangeran ini memiliki sifat yang bertolak belakang. Ashton mewarisi sifat ibunya yang lembut dan tak pernah menolak apa kata ayahnya, sedangkan Xavier lebih memberontak dan terbuka. Kemiripan kedua bersaudara ini hanya terletak pada warna mata biru safir mereka yang begitu indah, mewarisi sang ayah.

"Kak Ashton! Apa yang ayah katakan tadi?" Xavier berlari menghampiri kakaknya yang sedang termenung duduk di bawah pohon. Namun ashton hanya tersenyum kepada adiknya dan berkata,

"Kurasa ayahmu menginginkan kakak untuk belajar tentang pesawat tempur."

"Pesawat tempur? Bukankah itu sangat keren kak?" Ucap Xavier dengan mata yang berbinar-binar.

"Benarkah? Apa kau juga suka pesawat tempur?"

"Tidak, aku lebih suka kapal tempur. Aku melihat foto kakek mengenakan baju militer angkatan laut dan itu terlihat sangat keren."

"Apa kau mau masuk angkatan laut kelak?"

"Entahlah, lagipula aku masih kecil, mereka tidak akan menerimaku." Ucap Xavier sambil tertawa

"Xavier... Apa kau tak apa jika berjauhan denganku untuk waktu yang lama?"

"Memangnya kakak mau kemana?"

Benar. 4 tahun lalu, Ratu Issabela meninggal akibat sakit parah. Xavier masih berusia 4 tahun saat itu, ia yang sadar bahwa ibunya sudah tiada mengalami demam tinggi selama 5 hari. Sejak saat itu, Ashton menjadi sosok kakak juga ibu untuknya. Bagi Ashton, berpisah dengan Xavier bukanlah hal yang mudah. Adiknya ini masih belum mengerti akan banyak hal.

"Ayah meminta kakak untuk ikut pelatihan militer angkatan udara, dan kurasa itu akan memakan waktu 4 tahun."

"Itu... Permintaan ayah?"

"Ya, ayah memintanya langsung."

"Kalau begitu ikut saja kak, pasti ada alasan kenapa ayah meminta kakak untuk ikut pelatihan, bukan begitu? Lagipula kakak terlihat keren mengenakan seragan militer." Ucap Xavier sambil tersenyum menampakkan giginya.

"Kau ini mudah sekali mengambil keputusan ya sepertinya?"

"Kalau itu hal baik, tidak perlu waktu lama untuk memutuskan kak."

Meski masih belia, Xavier seringkali terkesan lebih dewasa daripada kakaknya. Ketika Ashton kebingungan, Xavier kerap kali memberikan jalan untuk masalah masalahnya. Ashton bersyukur memilik Xavier sebagai adiknya, orang yang akan selalu mendukung keputusannya.

"Baiklah, kakak akan masuk angkatan udara kalau begitu!" Seru Ashton sembari beranjak dari duduknya.

Satu bulan kemudian

Sesuai perkataan ayahnya, pelatihan dimulai bulan ini. Di aula istana, Ashton sudah bersiap untuk pergi ke pangkalan militer bersama para ajudannya.

"Lakukanlah pelatihanmu dengan baik"

"Baik ayah."

Pintu aula terbuka, dan terdengarlah suara si pangeran bungsu.

"KAK ASHTON!!!" dengan suara yang terengah engah, siapapun tahu Xavier berlari kemari.

"Kakak sudah mau berangkat? Benarkah?" Suara Xavier mulai terdengar pilu dan bulir bulir air matanya sudah menumpuk di matanya.

"Xavier... Kau menangis? Seorang Xavier Hellen Rayton menangis? Kakak tidak akan lama dan kakak pasti akan kembali. Selama kakak tidak ada, dengarkan apa kata ayah dan jangan merepotkan para pelayan, kau mengerti?" Ucap Ashton sembari berlutut memeluk menenangkan adiknya.

Xavier mengangguk kecil, hatinya terasa berat melihat kakaknya pergi. Meski ia yakin kakaknya akan kembali, tetapi tetap saja 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar.

"Jangan lupa untuk menyelesaikan pembelajaran filial dan sejarah kerajaan. Berjanjilah kau tidak akan nakal selama kakak pergi."

"Baik kak, pulanglah dengan selamat."

"Pastinya. Oh dan ini, pakailah gelang ini, jagalah baik-baik. Kau mengerti ini?" Ashton memakaikan sebuah gelang merah di lengan savier.

"Bukannya ini gelang dari ibu kak?"

"Betul. Sekarang kau yang menjaganya, oke?"

"Hm." Xavier mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ashton kemudian bangkit dan mengusap rambut sang adik.

"Yang Mulia, mobilnya sudah siap." Ucap salah satu ajudan.

"Baiklah ayah, Xavier, aku pergi."

Ashton dengan kedua ajudan pribadinya beranjak dari aula istana. Mereka pergi menuju markas besar militer angkatan udara kerajaan untuk mendapat pelatihan selama 4 tahun. Sudah menjadi tradisi bagi anggota laki-laki keluarga kerajaan untuk mengenyam pendidikan di akademi militer, biasanya saat berusia 16 atau 17 tahun. Sang ayah, Raja Arthur mengambil pendidikan militer di angkatan udara. Sedangkan mendiang kakeknya menjadi komando angkatan laut kerajaan.

Meski menjalani pendidikan militer adalah tradisi, pihak Kerajaan Zinnia tidak melarang anggota keluarga kerajaan untuk mengenyam pendidikan di bidang lain. Ini dilakukan agar para penerus memiliki pengetahuan seluas mungkin. Seperti halnya Pangeran Ashton yang sembari menjalani pendidikan dasar kemiliteran yang dimulainya pada usia 14 tahun, ia juga mempelajari tentang ilmu kesehatan di sekolah kerajaan semenjak menginjak usia 12 tahun. Berbeda dengan sang adik yang lebih condong ke arah seni liberal dan tata hukum kerajaan.

Berpendidikan tinggi dan memiliki tata krama yang baik merupakan hal penting bagi para penerus takhta. Sehingga sudah hal wajar bagi mereka untuk mendapatkan bermacam-macam pendidikan dari usia dini.

Ketidakhadiran Ashton di istana sangat terasa oleh Xavier. Istana Cassania yang begitu luas amat terasa hampa untuknya. Ia tidak bisa seenaknya keluar dari tembok istana atau sekadar mengajak ayahnya bermain. Ayahnya terlalu sibuk dengan tugas negara dan dinas keluar. Hanya pelayan dan bibi pengurusnya lah yang menjadi temannya saat ini.

Hingga suatu hari Xavier berpikiran untuk meminta kepada ayahnya untuk bersekolah formal di luar tembok istana. Selama ini ia hanya mendapat pendidikan dari pengajarnya di dalam istana saja. Cukup sulit baginya untuk bersosialisasi.

Suatu malam ketika sang ayah sudah selesai dengan pekerjaannya, Xavier datang ke kamarnya.

"Ayah, apa kau ada di dalam?" Ucap Xavier sambil mengetuk pintu kamar ayahnya

"Masuklah nak."

Kemudian Xavier membuka pintu kamar ayahnya dengan tangan mungilnya itu. Meski sudah larut malam, terlihat bahwa Raja Arthur masih bergelut dengan tumpukan kertas yang tak ada habisnya di meja kerjanya.

"Ayah belum tidur?"

"Belum, masih ada dokumen yang harus ayah baca. Kau sendiri kenapa belum tidur?"

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan yah."

"Ada apa? Tak biasanya kau datang ke kamar ayah selarut ini?"

"Aku ingin sekolah formal yah."

"Sekolah formal? Maksudmu di sekolah kerajaan Helling Rosé?"

"Iya yah, memangnya dimana lagi."

"Apa kau tak suka pengajarmu? Ayah dapat mencarikan yang lain jika perlu."

"Bukan begitu yah, aku juga ingin pergi ke sekolah formal seperti Kak Ashton. Belajar dengan teman-teman di kelas, bukan hanya dengan pengajar di perpustakaan istana yah."

"Begitukah? Apa ada bidang pelajaran yang kau senangi saat ini?"

"Aku tertarik dengan seni liberal dan tata hukum kerajaan yah."

"Benarkah? Itu bukan bidang yang umum disukai keluarga kerajaan."

"Tapi aku sangat menyukainya yah. Bolehkan aku bersekolah disana? Bolehkan???" Rengek Xavier kepada sang ayah.

Paduka raja hanya tertawa mendengar rengekan anak bungsunya ini.

"Tentu saja boleh. Asalkan kau harus belajar dengan giat dan tetap berhati-hati disana."

"Tentu saja yah, aku akan belajar dengan giat!"

"Ayah akan menghubungi mereka besok pagi, sekarang kembalilah ke kamarmu, ini sudah larut kau harus tidur."

"Baik yah, Xavier sayang ayah!" Seru Xavier sambil mengecup pipi sang ayah kemudian berlari menuju kamarnya.

Sekolah Kerajaan Helling Rosé merupakan sekolah swasta yang didirikan oleh pihak kerajaan puluhan tahun silam, sekolah ini sepenuhnya dibiyai oleh pihak kerajaan. Tujuan didirikannya yaitu untuk para anggota kerajaan. Tak banyak yang bisa masuk kesini jika bukan anggota keluarga kerajaan, bukan masalah biaya masuknya, melainkan tes masuk yang sangat sulit bahkan untuk jenjang pendidikan dasar. Selain itu juga terdapat penilaian sikap serta tata krama. Meski begitu, tak banyak anggota kerajaan yang bersekolah disini. Mereka lebih memilih untuk menggunakan pengajar pribadi dan belajar di dalam tembok istana. Alhasil sekolah tersebut lebih banyak diisi oleh anak para bangsawan maupun anak-anak pejabat negara, sebagian besar dari mereka akan berakhir menjadi pegawai di instansi-instansi pemerintahan.

Keesokan paginya, Raja Arthur secara pribadi menghubungi pihak sekolah perihal anaknya yang akan bersekolah disana. Merupakan sebuah kehormatan bagi sekolah untuk mendidik penerus takhta.

"Elthon, panggil Xavier kesini"

"Baik, Yang Mulia."

Elthon pergi menuju perpustakaan istana, tempat favorit Pangeran Xavier untuk menghabiskan harinya. Ia melihat Pangeran Xavier sedang membaca buku dengan serius di salah satu kursi.

"Hormat saya Yang Mulia" ucap Elthon menghaturkan salamnya.

"Oh Paman Elthon! Ada apa gerangan hingga kau jauh jauh kemari?"

"Paduka raja meminta Yang Mulia menemuinya di ruang kerja pribadinya."

"Oh benarkah?"

"Ya... Yang Mulia." Belum sempat Elthon selesai menjawab, Xavier sudah berlari dari kursinya.

"YANG MULIA ANDA TIDAK BOLEH BERLARI!" teriak Elthon sambil mengejar pangeran muda itu.

Tak butuh waktu lama, Xavier sudah sampai di ruang kerja pribadi sang ayah.

"Ayah memanggilku?"

"Kau sudah disini rupanya. Ayah sudah menghubungi pihak sekolah, dan katanya kau bisa mulai bersekolah minggu depan."

"Benarkah yah?" Tanya Xavier dengan mata yang berbinar, ia benar-benar tak sabar dengan kehidupan di sekolah barunya.

"Benar, ayah akan menyuruh para pelayan untuk mempersiapkan hal-hal yang kau butuhkan nanti."

"Asik!!! Ayah memang hebat! Aku sayang ayah!"

Terpopuler

Comments

Ilham Risa

Ilham Risa

aku mampir kak, salam dari "bangkitnya pria terhina" 😄👋

2022-05-30

1

🌹♛JunA_Ruto🪐

🌹♛JunA_Ruto🪐

mampir kak, semangat up😄

2022-05-30

0

A

A

Aku mampir bawa hadiah nih, Thor. Semangat terus. Di terima hadiahnya, ya

2022-02-17

3

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!