Seperti biasa, aku ke warung Bi Muti sambil tanya resep. Hari ini masakan sederhana aja, tumis kangkung dan telor balado. Lagi-lagi aku memesan bahan-bahan untuk satu resep lengkap, jadi sampai rumah tinggal ku olah dengan kesotoy-an maksimalku. Selagi Bi Muti menyiapkan belanjaanku, kami berbasa-basi membahas hal-hal remeh. Bagaimana kabar hari ini, betapa cuaca akhir-akhir ini sangat terik, Hingga cucian yang tidak butuh waktu lama untuk kering. Aku belanja memang sedikit lebih siang, sehingga sudah tidak banyak ibu-ibu lain yang belanja. Aku dan Bi Muti jadi lebih leluasa untuk ngobrol. Waktu-waktu seperti ini terasa menyenangkan. Ngobrol dengan orang yang bisa terbilang asing, tanpa beban, dan tidak ada perasaan dihakimi. Rasanya aku masih ingin lama-lama saja di warung ini, tapi Bi Muti sudah menyerahkan seluruh belanjaanku lengkap. Aku bayar dan aku langsung pamit pulang. Bersyukur, ini melegakan. Seperti refreshing yang melepas penat. Sederhana sekali bukan liburan dan hiburanku?
Hari ini, Desi akan datang ke rumah. Kita akan membahas tulisan baru dia. Sebenernya dia sama sekali tidak butuh pendapatku, itu hanya salah satu bahan obrolan saja. Kebetulan aku memang suka membaca dan dia adalah penulis. Tentu saja, topik itu adalah pilihan paling tepat. Jika kalian tidak lupa, kita pun bisa kenal berkat tulisan Desi dan hobby membacaku. Tapi, sebenernya aku tau, Desi tentu sudah tidak sabar untuk cerita tentang inspirasi dibalik tulisan terbarunya. Dia sedang naksir cowok! Ini spoiler dariku, hanya jika kalian penasaran aja sih. Hihihi...
Masakan selesai, cucian piring beres, cucian baju? Sudah masuk laundry tentu saja. Aku berpikir, ada baiknya mas bahri marah. Aku jadi ga perlu nyuci baju lagi. Ini adalah hikmahnya. Oh! Bagaimana bisa aku bersyukur Mas Bahri marah. Jika dia mengadu pada ibu, itu hanya akan membuat ibu merasa semakin ga nyaman. Aku memarahi diriku sendiri agar bisa lebih menahan diri lain kali. Jangan sampai terulang.
Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 WIB. Tidak lama lagi Rosi akan pulang. Dia sudah tidak perlu ku jemput. Aku bisa bersantai sedikit sekarang. Aku duduk diam di depan tv yang menyala. Pikiranku melayang ke rumah. Bagaimana keadaan ibu? Apakah dengan aku menahan diri di sini bisa sedikit mengurangi beban pikiran ibu? Apakah dengan aku berusaha untuk kuat, bisa membuat ibu merasa sedikit lebih baik? Ya, semoga saja. Aku lelah sekali. Aku rindu. Aku tidak sengaja tertidur.
***
Ketukan pintu dan ucapan salam membangunkan aku. Terdengar suara Desi dan Rosi bergantian. Mereka datang bersamaan rupanya. Sambil membuka pintu untuk mereka, aku berpikir, apakah mereka sudah berkenalan? Apakah harus aku perkenalkan lagi? Rumit sekali pemikiranku ini. Aneh dan melelahkan. Kenapa tidak ku permudah saja? Bagaimana aku bisa bertahan dengan pemikiran rumit yang tidak penting ini? Aku terus membatin.
"Ran.. Ini adikmu ya? lucu sekali loh dia.."
Rosi disebut lucu oleh Desi, langsung tersenyum malu-malu.
"Kalian sudah berkenalan?"
"Ini adikku des, namanya Rosi, kelas 5 SD."
Aku terus berbicara sambil mempersilahkan mereka masuk. Aku sedikit menceritakan siapa Desi kepada Rosi dan begitu pula sebaliknya. Mereka terlihat sedikit berbasa-basi. Desi terlihat sangat menyukai Rosi. Baguslah.
"Rosi ganti baju ya, terus langsung makan siang bareng.."
Rosi berjalan ke kamar. Aku mempersilahkan Desi dan memintanya untuk merasa senyaman mungkin. Mas Bahri masih di kampus, jadi kita bisa lebih leluasa tanpa merasa sungkan sama sekali. Bukan berarti Mas Bahri jahat, hanya terasa sungkan saja. Kalian mengerti bukan perasaan seperti itu?
***
Rosi sedang menggambar di depan tv. Aku dan Desi di dapur. Aku mencuci piring bekas makan siang barusan. Desi bersandar di meja dekat kompor sambil bercerita bagaimana dia sangat suka dan kagum sama laki-laki itu. Sebenernya aku pun kenal dengan laki-laki yang ditaksir Desi. Sebelum aku tau Desi suka, aku pun juga suka sedikit. Walaupun, disaat yang sama aku juga tidak berani berharap apa-apa. Jadi, setelah aku tau Desi juga suka, aku membiarkan saja Desi yang maju.
Namanya Raffi, kita satu club pencinta buku. Tidak lama ini, Desi mengajakku untuk bergabung di 'book lovers club'. Saat ada gathering member club, Desi mengundangku untuk datang. Di sana, untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan Raffi dan beberapa teman lainnya. Raffi beberapa tahun lebih tua dariku, dia ramah, terlihat cerdas dan suka melucu tapi sama sekali ga berlebihan. Ngobrol sama Raffi memang menyenangkan, dan dia sangat baik denganku. Dari awal, dia sudah membimbingku banyak hal tentang club ini. Di sana, aku sama sekali Tidak menyadari jika Desi naksir Raffi. Desi juga tidak terlihat cemburu jika aku banyak ngobrol bareng Raffi. Aku tau perasaan Desi pada saat membaca draft novel terbaru Desi. Dari ceritanya, penggambaran tokohnya, semuanya terlihat sangat jelas.
Aku baik-baik saja. Maksudku, begitu tau Desi menyukai laki-laki yang sama denganku, aku merasa itu bukan masalah besar. Bahkan, aku bersedia mundur. Aku sama sekali tidak ada niat bersaing. Saat ini, aku tidak punya banyak keberanian untuk membuka diri terhadap siapapun. Aku senang memiliki teman. Akhirnya aku punya teman. Tapi, sejujurnya, aku sama sekali tidak menceritakan apapun tentang diriku kepada mereka. Jika aku adalah rumah, maka mereka hanya kuizinkan melewati pagar rumah. Kita cukup ngobrol di halaman rumahku. Mereka hanya kuizinkan mengetahui batas sisi terluarku. Bukan karena aku tidak percaya dengan mereka. Aku percaya mereka adalah teman yang baik. Aku hanya merasa belum siap saja.
Desi bercerita bagaimana dia bisa suka dengan Raffi. Betapa Raffi sangat mengagumkan. Dan seterusnya. Desi bercerita dengan mata berbinar. Aku menanggapinya dengan serius dan antusias. Aku senang. Tentu saja, aku senang. Perasaan senang dari Desi sangat menular. Aku sama sekali tidak bilang jika aku suka. Kurasa, Desi tidak perlu tau itu. Aku juga akan segera melepaskan perasaanku.
"Menurutmu, jika kau menerbitkan buku ini, apakah dia ga akan curiga tentang perasaanmu?"
"Ah tidak apa-apa. Aku senang jika dia akhirnya tau perasaanku."
Sejujurnya, aku kagum dengan keterbukaan Desi. Dia jujur dan sangat terbuka dengan perasaannya. Itu sangat berbeda dengan diriku. Aku ikut senyum senyum sendiri melihat wajah Desi merona-rona saat mengenang Raffi. Aih anak muda, kau benar-benar sedang jatuh cinta rupanya. Itu bagus sekali.
Hari semakin sore, sepertinya Mas Bahri juga ga akan pulang hari ini. Desi berpamitan. Aku berbasa-basi untuk menawarinya menginap. Sebenernya, aku berharap dia menolak. Karena jika dia setuju, artinya aku harus minta izin Mas Bahri. Aku bukan merasa takut Mas Bahri akan menolaknya, Aku hanya merasa malas untuk membuka obrolan dengan Mas Bahri. Aku ini masih kekanakan sekali. Untungnya Desi menolak. Mungkin dia juga tau jika aku hanya berbasa- basi saja. Bagus Des, kit sudah saling memahami. Ah bukan! Kurasa, kau yang cepat tanggap. Dan aku masih saja merasa bodoh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments