"Hari ini, kita kedatangan murid baru yang akan menempati kelas 3C," ujar Pak Gurdyn, dijawab oleh keramaian bisik-bisik dari mereka yang menempati ruang makan. Aku mengangkat sebelah alis, kalau sampai heboh begitu, pasti Xylone jarang kedatangan murid baru.
Ah, dan sekadar informasi, sistem asrama ini menggunakan sistem usia—tidak jauh berbeda dengan akademi pada umumnya. Dimulai dari murid berusia tiga belas tahun yang akan masuk ke kelas 1, empat belas tahun yang masuk ke kelas 2, dan seterusnya hingga sampai ke kelas 6.
"Namaku Varrelisa Arianel, usiaku 15 tahun." Suaraku terdengar cukup lantang ketika aku memperkenalkan diri. Syukurlah, telapak tanganku sudah keringatan sejak tadi.
Sebelum memutuskan untuk melompat dari podium untuk menghindari tatapan-tatapan yang dilemparkan ke arahku, Pak Gurdyn mendadak bertanya, "Apa yang membuatmu masuk sini?"
Apa dia memancing?! Aku mengerang dalam hati, tetapi apa boleh buat? Semua tatapan ini harus disingkirkan secepat mungkin. "Aku ... aku pemilik sihir hitam."
Ruang makan seketika menjadi tak ubahnya acara lomba bersorak-sorak. Siapa yang berteriak, "Bohong!" paling kencang sambil menunjuk-nunjuk hidungku niscaya akan menjadi pemenangnya.
"DIAM!" Pak Gurdyn mengambil langkah cepat dan tepat untuk berseru menghentikan kehebohan. Wajahnya merah padam dan memercikan api. Tak lama selepas itu, warna kulitnya kembali berubah normal. "Varrelisa memanglah pemilik sihir hitam setelah pemilik sebelumnya, Frestuen, memindahkan sihir hitam padanya."
"Apa buktinya?" Salah satu murid bertanya lancang.
Pak Gurdyn melirikku, matanya berbinar menantang. Sial. Tidak seharusnya seorang kepala sekolah merasa terprovokasi. "Buktikan."
Aku ragu beberapa saat. Kekuatan ini belum pernah kugunakan sama sekali! Namun, sebab sudah ikut terprovokasi (terima kasih atas ulah Pak Gurdyn), aku memutuskan tidak ada salahnya mencoba sekarang. Kupejamkan mata, berkonsentrasi agar kekuatanku bertumpu di satu titik—di jari telunjuk; gerakan dasar bagi penyihir yang ingin melakukan sihir biasa.
Atap asrama menjadi targetku. Entah dari mana datangnya, api hitam muncul di tengah atap dan merayap cepat ke arah dinding. Para murid sontak berdiri dan menjauhi meja masing-masing, mengambil posisi untuk melidungi diri sekaligus bertahan dari serangan apa pun yang hendak datang.
Aku diam-diam bersiul kagum. Tidak heran Asrama Xylone menjadi asrama sihir terbaik. Jika ini di sekolah lain, barangkali para muridnya sudah kocar-kacir.
Api kemudian padam setelah Pak Gurdyn menyuruh seorang guru untuk memadamkannya lewat sihir air.
"Mau bukti lagi?" tanya Pak Gurdyn, semakin terdengar menantang dari sebelumnya. "Apa kalian baru percaya ketika asrama ini hancur?"
Keheningan menjawabnya. Akhirnya, akhirnya, Pak Gurdyn mempersilakan aku turun dari podium dan duduk di mana pun yang kusuka.
Sayangnya, sepertinya tidak ada yang suka jika aku duduk di mana pun.
Dengan hati-hati aku berjalan di antara meja-meja makan berbentuk bulat yang menampung kurang lebih lima orang murid. Tatapan yang kuterima tak jauh-jauh dari kebencian, seolah aku baru meninju wajah ibu mereka—atau kesinisan, yang kuputuskan untuk menafsirkannya sebagai rasa iri.
"Pasti dia bohong."
"Mana mungkin api dari sihir terkuat dan paling mematikan bisa dipadamkan?"
"Ha! Aku lebih cocok jadi pemilik sihir hitam."
"Bahkan aku bisa mengeluarkan api lebih hebat tadi."
Aku bukan orang yang tergolong sabar, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan cibiran-cibiran para murid asrama. Ugh, ini mimpi buruk buat murid baru.
Set!
Refleks aku berjengit, terkejut dan sakit, ketika sebuah bilah pisau menggores lenganku. "Hei, apa-apaan?!" bentakku.
"Oh, jadi benar-benar pemilik sihir hitam, ya?" Gadis bersurai merah yang tak lain adalah pelakunya melirik jijik darah hitam yang mengucur dari lenganku.
"Kalau bukan, aku takkan masuk sini," gerutuku sambil lalu, berjalan menghentakkan kaki menuju meja kosong di ujung ruangan. Hampir bersamaan dengan itu, guru penyihir yang tadi menyiram sihir apiku datang menghampiri. Tanda pengenal di dadanya tertulis Walter.
Bu Walter menyerahkan jadwal pelajaran kepadaku.
"Terima kasih," ujarku. "Um, maaf, nanti saya tidur di kamar mana, ya?"
"Kamar nomor 218 di lantai tiga," jawab Bu Walter dingin. "Masing-masing kamar ditempati tiga orang, di sana ada dua orang lagi. Kamu melengkapi kamar itu."
"Oh ... baiklah. Terima kasih." Lagi.
Bu Walter meninggalkanku begitu saja tanpa bicara lebih lanjut, padahal aku yakin omonganku sudah cukup kencang.
Aku menghela napas. Ah, aku baru sadar, koperku masih tertinggal di ruang kepala sekolah. Pak Gurdyn yang menyuruhku menaruhnya di sana untuk sementara. Akhirnya, setelah acara makan berakhir, aku pun kembali ke ruang Pak Gurdyn.
Suatu kejadian tak terduga terjadi ketika aku melintas di hadapan sebuah patung gargoyle raksasa. Patung itu mendadak mengeluarkan suara yang terdengar seperti geraman, lalu menerjang ke arahku seolah aku adalah seonggok daging buruan yang lezat.
Aku menunduk saat patung itu menukik. Kalau aku tak menghindar, pasti badanku remuk dihantam badannya yang sekeras batu itu. Namun, cakar si patung berhasil mengenai tanganku, yang habis digores pisau pula!
Aku tidak berpikir sejauh itu untuk menyerang si gargoyle menggunakan sihir hitamku.
Sedang asyik-asyiknya pasrah dengan keadaan sekaligus menunggu untuk menjadi daging buruan lezat sungguhan, serangan patung gargoyle tersebut tak kunjung datang. Aku mulai bosan. Saat mataku terbuka, berdirilah di hadapanku seorang laki-laki berambut dirty blonde. Si gargoyle tampak tenang sambil mendengkur di lantai.
Rasanya aku ingin menjerit, "Pahlawanku!" dan bersujud di kakinya.
Sebelum aku bisa merealisasikan hal tersebut, ia mengulurkan tangan kepadaku. "Kau tidak apa-apa?"
"Mmm," gumamku, menyambut uluran tangannya sembari berusaha menekan pekikan "Pahlawan! Pahlawan! Pahlawan!" jauh ke dalam tenggorokanku.
"Gargoyle ini pasti benci sekali padamu," katanya sambil melirik si gargoyle sial. Sekilas, matanya berwarna merah, tetapi kini berubah seutuhnya menjadi sewarna langit. "Sudah tidak apa-apa, sih, sekarang ia tertidur. Ia takkan menyerangmu untuk beberapa saat ke depan."
Hal terakhir yang kuinginkan adalah menghabiskan sisa waktuku di Xylone dengan kejar-kejaran bersama sesosok patung batu yang bisa menghancurkan tulangku sewaktu-waktu. "Err, terima kasih," ucapku akhirnya.
"Sama-sama. Omong-omong, siapa namamu tadi? Lisa?"
"Varrelisa," koreksiku. "Panggil saja Varrel."
Ia menggoyangkan tangannya yang masih menjabat tanganku sambil tersenyum lima jari. "Namaku Zack. Zack Avcend."
"Zack," ulangku. "Sekali lagi makasih banyak."
Zack mengangguk. "Tentu saja. Oh, bagaimana dengan lukamu itu?"
"Bukan masalah," ujarku. Aku tak tahu pasti bagaimana aku bisa melakukannya hanya dengan sekadar konsentrasi, tetapi darah hitamku berhenti mengalir, lukanya perlahan menutup.
"Kau memang pemilik sihir hitam." Zack memandangnya kagum.
"Hei, aku tidak bohong." Aku mendenguskan tawa. "Memangnya kenapa?"
"Well, itu menarik." Ia mengangkat bahu. Senyuman itu lagi-lagi hadir sebelum ia berbalik pergi. "Sampai nanti lagi, Varrel."
Aku hampir lupa tujuanku kemari. Jadi setelah Zack berlalu, aku lekas mengambil koperku kemudian naik ke lantai tiga—menyusuri setiap nomor kamar yang ada di koridornya, tentunya sambil mengingat-ingat rute yang ditunjukkan pelayan zombi sebelum ini.
"216, 217 ...,” gumamku. Ah, tiba juga di kamar nomor 218.
Aku mengetuk pintu sekali. Tak lama, pintu dibuka dan menghadirkan sosok gadis berambut sebahu. Aku menelan ludah. "Eh, halo."
"Oh, anak baru pemilik sihir hitam, ya? Ayo masuk!" ajaknya sedikit terlalu riang. Apa jangan-jangan dia takut aku akan membunuhnya usai insiden di ruang makan? "Omong-omong, namaku Sheila, dan yang di situ ada Fiora."
Aku masuk atas izin Sheila. Meski aura di dalam kamar cukup hangat dan nyaman, aku tidak bisa melenyapkan perasaan canggung yang sempat hinggap. Mataku memperhatikan ke sekeliling. Kamar ini menyediakan rak buku, tiga kasur, tiga lemari, satu kamar mandi, dan jendela berukuran sedang.
"Anak bersihir hitam, ya?" Perempuan berkacamata yang sedang membaca di atas ranjang menatapku.
"Fiora," tegur Sheila kemudian menghela napas singkat. "Maaf, ia memang agak dingin kalau bertemu orang baru."
Aku tersenyum kecil. "Tidak apa-apa," ucapku kepada Sheila sebelum berjalan ke arah Fiora. "Aku Varrelisa. Salam kenal."
"Kau tahu namaku." Fiora menyambut uluran tanganku. Kulitnya sedingin nada bicaranya.
Sheila yang sepertinya merasakan ketidaknyamananku berupaya mengalihkan perhatian dengan menarikku ke salah satu ranjang.
"Kasur ini kadang terpakai, kok! Aku dan Fiora bergantian tidur di kasur ini, jadi nggak akan ada penunggunya," tuturnya setengah bercanda. "Lemari yang kosong kupakai sebagai lemari baju keduaku. Aku akan memindahkan baju-bajuku. Sebentar, ya."
"Makasih, Sheila."
Selagi Sheila memindahkan pakaiannya dari lemariku ke lemarinya, aku iseng melihat-lihat rak buku, yang ternyata bukan cuma berisi buku. Ada tongkat sihir dan sapu terbang juga di sana.
"Kalau kau mau menggunakan tongkat sihir ini," kata Fiora tiba-tiba, "Kau harus membagi sebagian kekuatan sihirmu dengan tongkat. Tandanya kekuatanmu sebagian ada dalam diri sendiri, dan sebagian lagi di tongkat."
"Beberapa kekuatan sihir akan jauh lebih kuat ketika memakai tongkat, lho," timpal Sheila.
Aku manggut-manggut. Sebuah pikiran konyol setengah mengerikan tiba-tiba terlintas di benakku. Adalah aku yang berdiri di puncak Asrama Xylone sambil memegang tongkat sihir hitam berusaha menyihir setiap murid dan guru menjadi katak. Mungkin bakal mengasyikkan punya tongkat sihir ... seandainya saja tidak ada resiko sebatang kayu yang bisa berubah jahat apabika aku membagi kekuatan dengannya.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Barakuda Rujakcingur Karetdua~
imut enak bergizu
2022-01-25
0
hilmanRades
semangat 💪
2022-01-19
2