Pagi itu, aku kebagian pelajaran praktikum sihir di laboratorium. Isi perutku berputar tak nyaman mengetahui Fiora, alih-alih Sheila si teman sekamar nan ramah, ternyata ada di kelas yang sama denganku. Bagaimana aku bisa bertahan dari serangan ucapan dingin combo-nya tanpa kehangatan Sheila?
"Kalian berdua baik-baik, ya!" Seolah buta akan ketegangan di antaraku dan Fiora, Sheila melambaikan tangan.
"Kau juga, Sheila," sahutku lantas melengos masuk ke laboratorium.
Aku memilih duduk di bangku belakang Fiora. Walaupun dekat, setidaknya ini agak menjaga jarakku dengannya. Kalau tidak, bisa-bisa aku bertengkar dengannya gara-gara omongan kecil.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. "Permisi. Meja ini kosong?"
Aku menoleh dan mendapati Zack yang duduk di sampingku. Meja di laboratorium memang di desain untuk dua orang permeja. Aku jadi merasa tak enak membiarkan Fiora sendiri. Ah, tapi tak apa, ia sudah dapat teman sebangku sekarang—dan aku ragu ia punya niat duduk bersamaku sejak awal.
Aku mengangguk. "Duduk saja, masih kosong."
"Makasih." Ia berkata. "Tahu tidak, siapa guru yang mengajar?"
Hidungku mengernyit. "Kupikir anak baru tidak semestinya tahu itu."
"Kupikir kau sudah dengar gosipnya." Ia mengangkat kedua bahunya sembari mengempaskan diri di atas bangku.
"Oh? Tidak pernah dengar. Gosip apa?"
Zack menoleh ke kanan dan kiri sejenak, sebelum kemudian berbisik, "Pak Griff adalah salah satu guru yang dianggap sakit jiwa. Ia kerap membuat eksperimen-eksperimen aneh yang beberapa diantaranya mengancam nyawa seseorang. Bahkan membangkitkan orang mati."
Mataku melebar. "Sungguh?"
Lanjutan omongan Zack terhentikan gara-gara interupsi tidak sopan dari seorang perempuan yang dengan seenak jidatnya melingkarkan kedua tangannya di leher Zack.
Aku mengerjap dan memperhatikan wajah si perempuan lamat-lamat—salah fokus sepenuhnya. Perempuan ini ... kalau tidak salah, ia adalah teman semeja cewek yang menggoreskan pisaunya ke tanganku tempo hari.
"Halo, Zack!" Ia menyapa riang. "Sedang apa?"
Apa dia buta? tanyaku dalam hati.
Ada senyum yang dipaksakan tersungging di bibir Zack. "Hanya mengobrol, memangnya kenapa?"
Si perempuan melempar lirikan supersinis ke arahku dan aku otomatis berpikir, Oh, masih bisa melihat rupanya.
"Mmm, ada hal penting yang harus kukatakan pada Varrel. Keberatan kalau kau membiarkan kami dulu, Claire?"
Gadis yang di panggil Claire itu jelas tampak terkejut. Dengan canggung, ia berdeham lalu mundur perlahan-lahan. "Oh! T-tentu saja. Baiklah, aku ... aku pergi."
Zack dan aku memperhatikan sampai Claire sudah cukup jauh dari jangkauan pendengaran. Aku mengangkat sebelah alis, menunggu penjelasannya tentang gadis itu.
"Namanya Claire," ucap Zack tanpa basa-basi. "Salah satu anggota W.E.."
"W.E.?"
Zack mengangkat kedua bahunya. "World Eater. Kau tahu, semacam geng berkuasa di sekolah ini. Sekolah cukup mengakui mereka mengingat anggotanya berisikan murid-murid penyihir dengan level 9 ke atas."
Ah, informasi untuk kalian: Level tertinggi penyihir adalah level 20. Biasanya penyihir remaja yang masih bersekolah menempati level 4 atau 5. Namun, karena asrama ini dikhususkan untuk murid yang kemampuannya di atas rata-rata, tidak heran kalau banyak murid yang sudah mencapai level lebih dari 5 sebelum waktunya.
Guru-guru serta penyihir profesional sendiri biasanya berada di level 14 dan seterusnya.
Nah, perkara level menjadi lain ceritanya jika berkaitan dengan hitam. Sihir ini membuat level penggunanya tak terhitung, sebab kekuatan kami tidak bisa dibandingkan dengan sihir normal (aku tersanjung).
"Omong-omong, Zack." Aku kembali memecah hening. "Bagaimana—"
Interupsi lain datang memotong omonganku, kali ini penyebabnya adalah bunyi kencang dari suara pintu yang dibanting terbuka. Pelakunya adalah seorang pria tua berpenampilan berantakan—sedikit nyentrik. Kacamata minus yang dikenakannya retak di salah satu lensa.
"Pak Griff?" tebakku disusul anggukan Zack. "Uh, apakah ia selalu terlihat sepanik itu?
"Tidak." Di situlah aku tersadar raut wajah Zack juga menampakkan kebingungan, pertanda bahwa ia juga tidak tahu menahu mengapa Pak Griff bisa tampak berantakan sedemikian rupa.
Untuk membuat kondisi semakin runyam, sang guru nyentrik berteriak, "Gawat! Sang Ahli Sihir telah kembali! Gawat! Lindungi diri kalian semua!"
Suasana kelas mendadak riuh akan obrolan bertopik serupa. Reaksi para murid bermacam-macam, tetapi yang paling mendominasi adalah kepanikan—terlihat dari bagaimana mereka menyiapkan ancang-ancang untuk segera kabur.
Segelintir murid lain memutuskan tetap diam di tempat dan menggerutukan ucapan yang kuduga berbunyi: "Guru gila macam apa itu?" atau "Kapan ia akan mendapat akal sehatnya lagi?" atau "Kuharap ia terpeleset lalu pergi ke dokter agar tak bisa mengajar sekarang."
Aku menebak isi pikiran mereka begitu karena aku sendiri memang berharap Pak Griff bakal terpeleset.
"Ahli sihir apa yang ia maksud?" bisikku tak sabar, tidak tahan dengan ketegangan yang tercipta di dalam kelas.
Zack menjawab dengan segera membungkam mulutku.
Bersamaan dengan itu, ruangan berguncang. Pintu masuk yang masih terbuka lebar memunculkan sosok baru berwujud lelaki transparan yang kedatangannya diselingi oleh asap putih di mana-mana; menari mengelilingi kedua kakinya yang bahkan tak menyentuh tanah.
Pikiranku sontak memekik, Ruh?!
Si pria transparan melayang begitu saja ke tengah laboratorium; menembus melewati kepala Pak Griff yang kelihatan seperti nyaris buang air di celana. Namun, dalam kondisiku yang sedang gemetar ketakutan, aku tidak bisa mengatai guru itu lebih lanjut.
Ruh tersebut, tak disangka-sangka, memutuskan untuk menghampiriku secepat kilat tepat setelah ia menyadari keberadaanku.
Aku menggigit telapak tangan Zack keras-keras sebagai ganti jeritan yang tak tersampaikan. Zack mengaduh pelan dan menurunkan tangannya, tetapi sama takutnya denganku sehingga tidak memprotes lebih banyak.
Ruh itu kini berada tepat di depanku. "Pemilik sihir hitam ... kau orangnya, 'kan?"
Aku mengerang. Sihir hitam—tentu saja! Aku seharusnya sudah menyangka hal semacam ini bakal terjadi.
Tawa sang ruh menggelegar ketika aku mengangguk pelan. "Kau tahu siapa aku, Anak Manis?"
"Arwah ... penasaran?" Aku tidak tahu sebutan mana lagi yang cocok untuk roh yang tiba-tiba datang dan menghantui seisi kelas.
"AHLI SIHIR!" teriaknya. Ruangan lagi-lagi berguncang. "Aku Adolf! Ahli sihir paling kuat dan tersohor sepanjang masa!"
"Apa anak baru semestinya tahu itu?" gumamku setengah mengeluh.
"Lari, Varrel," ujar Zack pelan, kontak membuat Adolf meliriknya tajam. "Cepat lari!"
Tak punya pilihan lain, aku pun mengindahkan perkataan Zack. Segera saja aku berlari menuju pintu, tetapi—oh, yang benar saja—Adolf si arwah penasaran jauh lebih cepat. Ia menghadangku di depan pintu.
"Apa kau selemah itu?" tudingnya. Kemudian ia mengendus lagi, dahinya mengernyit heran. "Aneh. Kau bukan keturunan pemilik sihir hitam sebelumnya."
"Memang bukan," akuku gamblang. "Ini hanya suatu kesalahan."
"Kenapa kau tidak mati?"
Pertanyaan bagus! Aku juga tidak tahu kenapa. Cari tahu saja sendiri, aku ingin berkata. Alih-alih, jawabanku hanya berbunyi, "Nggak tahu."
Adolf mengangkat tangannya—menunjukan deretan cakar yang mengeluarkan cairan biru. "Siapa pun dirimu, gadis kecil, yang jelas kaulah pemilik sihir itu. Tak bisa dipungkiri lagi. Siap-siaplah mati!"
Cakar itu menyobek perutku dalam kecepatan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Seragam baruku robek dan empat buah goresan besar terlukis mengerikan di atas kulit perutku. Aku jatuh ke lantai dibarengi panggilan Zack, "Varrel!"
Astaga, ini sangat menyakitkan! Kulitku melepuh dan organ-organku yang lain mati rasa. Aku tidak bisa berpikir jernih saat tangan seseorang meraih bahuku, dengan hati-hati berusaha membantuku duduk.
Murid-murid lain semakin panik. Di tengah kegaduhan itu, aku bisa melihat bagaimana Fiora berdiri di depanku—menghentikan pergerakan cakaran Adolf yang hendak dilayangkan lagi.
"Tuan Adolf yang Paling Terhormat." Fiora lekas berkata setengah lantang. "Benar, dia adalah pemilik sihir hitam, tetapi kau tidak bisa langsung membunuhnya. Ia bahkan belum mengerti ilmunya. Kenapa kau tidak bertarung dengannya ketika ia sudah kuat? Setahuku begitulah pertarungan adil yang akan dilakukan dua ahli sihir terkuat berjalan."
Fiora menekankan kata 'terkuat' seolah ia meragukan kebenarannya.
Tak lama berserang, sebelum Adolf benar-benar memberikan responnya, terdengar suara pekikan tertahan yang kurang lebih mirip seperti cicitan tikus. Aku menoleh ke sumber suara; menemukan Pak Griff yang bersembunyi di kolong meja guru.
"Kau merendahkanku?!" raung Adolf tidak terima. "Tentu saja aku kuat! Aku menguasai jutaan sihir hebat di dunia!"
"Kau punya itu semua dan masih ingin melawan seorang penyihir amatir?" Dengan keras kepalanya Fiora berkata demikian. "Yeah, terserah."
Oh, Fiora. Aku merasa terharu dan berterimakasih dan sebagainya, tetapi wajah Adolf saat ini bukanlah reaksi paling melegakan yang pernah kulihat.
Jelas sang ahli sihir tampak tak menyukai ini. Meski begitu, ia memutuskan tak ada gunanya meraung-raung lagi. "Kau anak kurang ajar." Sepasang mata beningnya menatap Fiora lekat-lekat. "Baiklah, aku akan kembali saat kekuatan bocah ini penuh."
Adolf lenyap sebelum isi ucapannya bisa kucerna sepenuhnya. Terserahlah, ada hal penting lain yang mesti kuatasi dulu: nyeri luka di perutku. Bekas cakaran itu masih menimbulkan denyut yang membuatku meringis.
Zack, yang entah sejak kapan sudah menjadi tumpuanku untuk duduk, tiba-tiba bertanya, "Pak Griff, bisa aku antar Varrel ke UKS?"
Tanpa basa-basi, Pak Griff langsung menyetujui dari kolong meja. Zack lantas segera membantuku berdiri dengan mengalungkan satu tanganku di bahunya, sedangkan tanganku yang lain bersandar nyaman di bahu Fiora. Ia tidak bicara apa-apa, tetapi baik aku maupun Zack dengan senang hati menerima bantuannya.
Aku memejamkan mata menahan sakit selagi Zack dan Fiora membopong-setengah-menyeretku menuju UKS, pikiran melayang-layang akan kemungkinan mengerikan lain yang kuyakini bakal mengganggu hidupku selamanya.
***
"Hebat sekali kau tidak pingsan, Varrel."
Aku mengernyit mendengar pernyataan Zack. "Lebih baik pingsan daripada harus merasa sesakit ini."
"Aku akan panggil guru kesehatan," tawar Fiora datar. "Keberatan?"
"Tentu saja tidak! Uh, terima kasih banyak, Fiora," sahutku kikuk. Fiora membalasnya lewat anggukan kecil kemudian melenggang keluar UKS, alhasil tinggallah aku dan Zack di sini. Aku berpaling kepada Zack. "Hei, kenapa si ahli sihir itu ingin sekali membunuh pemilik sihir hitam?"
"Dendam pribadi," jawab Zack. "Pemilik sihir hitam generasi ke-59 bertarung dengannya, lalu ia membunuh Adolf. Tapi Adolf menghidupkan dirinya sendiri dengan sihir terlarang, tentu saja, ia menguasai seluruh sihir di dunia. Lalu Adolf bersumpah agar bisa membunuh dan menghentikan keturunan pemilik sihir hitam di dunia. Namun, ia belum pernah berhasil sampai sekarang."
Aku manggut-manggut. "Kekuatannya mengerikan."
"Tak sehebat pemilik sihir hitam jika mereka sudah menguasinya."
Jawaban Zack membuatku tersenyum sendu. Luka-luka di perutku menutup lama sekali, bahkan sakitnya tak juga kunjung mereda.
"Kalau penyihir biasa yang terkena cakaran maut Adolf, tubuhnya bisa langsung terbelah," ujar Zack serius.
Garis senyumku berubah masam. "Makasih motivasinya."
"Sama-sama." Ia menjawab santai, terkekeh melihat ekspresiku.
Selama beberapa menit ke depan, kami ditelan keheningan. Tidak canggung, melainkan keheningan yang seolah memang diharapkan sedari tadi. Zack sesekali memandang lukaku dengan khawatir, mempertanyakan bagaimana pemulihanku yang dibantu oleh shihir hitam.
Merasa bosan, aku memanggil Zack, "Hei."
"Hm?"
"Apakah kau punya sihir khusus?" tanyaku penasaran.
"Vectors," sahutnya. "Tahu, 'kan?"
Aku mengangguk. Siapa, sih, yang nggak tahu? Sihir yang bertumpu pada mata, yang membuat iris penggunanya berubah menjadi sewarna kobaran api ketika vectors diaktifkan. Mahkluk hidup manapun yang bertatapan dengan mata vectors akan menuruti apa saja yang diperintahkan padanya, termasuk bunuh diri sampai melepas kutukan.
Vectors tercipta seribu tahun silam. Sihir langka. Konon katanya hanya ada satu penyihir yang berhak mendapatkan vectors dalam kurun waktu satu abad sekali.
"Kau mendapatkannya dari lahir?" tanyaku lagi. Yah, siapa tahu dia memperoleh kekuatan tersebut seperti aku mendapat sihir hitam. Istilahnya mungkin pemindahan kekuatan sihir.
Zack mengangguk. "Mm, omong-omong, bicara soal vectors, barangkali aku bisa menyembuhkanmu dengan itu."
"Maksudmu?" Aku mengernyit.
"Tatap saja aku."
Baiklah, tidak ada salahnya mencoba, 'kan? Aku meluruskan pandangan tepat ke dalam mata Zack, memperhatikan iris birunya terbakar nyala api yang menyulut liar.
"Aku memerintahmu, agar luka di perutmu segera tertutup," ujar Zack, kalem dan tenang seperti biasa.
Sebuah dorongan memaksaku untuk mengangguk selagi luka di perutku mulai menutup lebih cepat. Darahnya kontan berhenti mengalir.
Zack tercengir puas. "Bagus, perintahku dicabut."
Aku belum sempat berterimakasih ketika Zack mendadak lemas. Wajahnya memutih bagai kertas dalam hitungan detik. "Ada apa?" desakku.
"Aku belum mahir memerintah luka," tutur Zack. "Maaf tidak bisa menyembuhkanmu sepenuhnya."
"Aku yang seharusnya meminta maaf," protesku. Pantas saja dia baru mengusulkan teknik penyembuhan itu barusan—ternyata dia belum bisa menguasainya. "Lebih baik kau berbaring di ranjang sebelah sana."
Zack tidak membantah, ia membanting diri ke ranjang UKS yang lain.
Seorang guru berpakaian khas dokter datang tak berselang lama kemudian. Fiora mengekor di belakangnya. Dengan senyum hangat, ia bertanya, "Sejujurnya aku tidak terkejut kau bisa selamat, Penyihir Hitam."[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
paiJah🍃
hmmm aku bener2 banyangin Harry Potter lo
2022-01-26
0
Barakuda Rujakcingur Karetdua~
lah segala typo
2022-01-25
0
Aiko Suyitusono
perannya kalau cewek ya gini kayak pelacur malas bacanya
2022-01-21
0