Menikah dengannya adalah impian terbesar dalam hidupku. Dia adalah laki-laki yang memiliki wajah rupawan, berwajah oval, hidung yang tinggi dan sangat mancung bagiku, rahang yang kokoh, dagunya panjang dan lancip memiliki lekukan di ujungnya. Ah, dia pria tertampan dalam pandangan mataku. Matanya seperti mata elang, tatapannya tajam mematikan. Kulitnya tergolong sangat putih untuk ukuran seorang pria. Kadang aku merasa minder dan tidak percaya diri bahwa laki-laki sepertinya datang melamarku. Ah, aku menjadi tidak waras karenanya.
Hidupku kini seperti dongeng, dengeng seorang buruk rupa menikah dengan pangeran tampan.
Masih terngingang jelas ditelinga, bagaimana dia lelakiku itu mengucapkan janji setia kepada Tuhan. Disahkan oleh para saksi pernikahan. Ijab Kabul berkumandang jelas, dan sejak saat itu aku sepenuhnya milik dia. Dia lelaki pujaanku.
Setelah acara pernikahan yang digelar sederhana dirumahku. Aku langsung diboyong pindah kerumahnya. Rumah yang sangat besar ini memiliki pagar yang sangat tinggi. Kesan pertama saat aku memasukinya adalah ini seperti villa pribadi. Saat kami datang pintu depan dibukakan oleh pelayan , kamipun disambut oleh banyaknya pelayan dirumah ini. Aku belum hafal nama-nama mereka. Aku berjanji akan mengingat nama-nama mereka menjalin keakraban
bersama mereka.
Melangkah dalam diam mengikuti lelakiku dari belakang. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara kami. Aku lebih memilih menunduk tanpa memandangnya.
“Hei tegakkan kepalamu.” Tiba-tiba suaranya mengagetkanku. Sontak aku mendongak menatapnya. Ada gelenyar-gelenyar aneh saat mata ini menatapnya.
“Bik Kar, layani dia.” Perintahnya pada salah satu pelayang.
“Ba-ik Tuan.” Jawab pelayan yang dipanggil bik Kar.
Aku menurut saja tanpa ada suara yang keluar dari mulutku. Bik Kar membawaku ke sebuah kamar.
“Silahkan Nyonya.”
Aku masuk perlahan duduk di tepi ranjang, tanganku sibuk meraba Kasur yang ditutupi seprai indah. Mataku melihat sekeliling kamar. Karpet tebal terbentang di lantai. Ranjang mewah, meja dan kursi rias dan sofa. Bingung mau melakukan apa.
Pintu terbuka, lelakiku itu masuk. Seketika aku berdiri memandangnya. Dia melihat dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat.
Tubuhku kaku, keringat dingin kurasakan mengucur dalam tubuh ini. apa yang akan dia lakukan?. Sudah saatnyakah. Perlahan tanganku memegang dada, merasakan debarannya yang semakin menggila. Matanya bagai elang yang menemukan makanan kesukaan. Glek. Dengan berat aku menelan saliva, membasaki kerongkongan yang kering.
Dia berdiri menjulang di depannku. Tetap dengan tatapan yang tajam menghunus dadaku. Gila. Gila. Aku bisa gila. Tiba- tiba kedua tangannya menangkup kedua pipiku.
“Dengar ….” Dia menjeda suaranya sejenak. Entah kenapa, aku merasa tidak enak dengan ini. lantas dia melanjutkan kalimatnya yang membuatku melayang tinggi kemudian tiba-tiba tubuhku jatuh terhempas kebumi dan tenggelam dalam kubangan lumpur menyakitkan.
“Pernikahan ini tidak seharusnya terjadi. Ini adalah kesalahan terbesarku. Maafkan aku, kamu jangan mengharapkan lebih dari pernikahan ini.” Dia berdiri, aku tidak bisa melihat ekspresinya selanjutnya. Sebab hanya bisa menatap punggungnya saja.
“Ini kamarmu. Kamarku ada di depan sana. Jika butuh apa-apa kamu bisa ketuk saja. Permisi.” Aku masih mematung melihatnya berlalu, keluar dari kamarku lalu menutup pintu kamar.
Dadaku terasa nyeri, sangat sakit. Bahkan aku aku kesulitan bernafas. Air mata ini tak lagi mampu aku bending, bening-bening kristal mengalir deras membasahi pipi. Aku meremas dada, tulang belulangku terasa layu.
Aku bagai bunga bermekaran yang tiba-tiba layu, mongering dan patah diterpa badai.
Tubuhku meluruh kelantai. Menunduk, menangis sejadi-jadinya. Entah berapa lama aku terduduk di lantai, meratapi nasib yang tidak berpihak baik padaku.
Lalu, untuk apakah semua ini. Sandiwara belaka. Menyakiitkan, sungguh menyakitkan hatiku. Baiklah, aku tidak ingin terlihat lemah olehnya. Aku memang mencintainya, sangat mencintainya. Namun aku bukan wanita murahan yang mengharapkan balasan cinta dari orang yang bahkan tidak menganggapku ada. Lalu, kenapa dia menikahiku?
Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Kelak aku akan menemukan jawaban itu, harus aku temukan. Sekarang aku cukup menerima dan menikmati pernikahan ini.
Menuju kamar mandi, membersihkan diri. Aku bertekad akan menjalani pernikahan ini walaupun aku harus berjuang seorang diri.
Aku istrinya, apapun anggapan dia terhadapku. Aku akan tetap melayaninya sepenuh hati. Kelak, jika aku dan dia harus berpisah. Setidaknya, aku tidak pernah menyesal karena telah menikah dengannya. aku bisa pergi dengan hati bahagia seperti saat pertama kali menginjakkan kaki dirumah ini.
Ah, aku bahkan menganggapnya suami. Sedangkan aku sendiri tidak dianggapnya sebagai istri. Pernikahan ini adalah kesalahan terbesarnya. Ingat itu, sehingga hatiku harus sadar dimana seharusnya berada. Tanpa harus mengharapkan lebih padanya.
Sampai di depan pintu kamarnya, aku bingung sendiri. Ragu, harus masuk atau enggak. Ah, kepalang tanggung aku telah berderi disini. Mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar panggilan masuk dari dalam, ku putar knop dan membuka pintu kamar David secara perlahan.
“Ehm ….” Aku bersuara sejenak mengatur nafas dan suara untuk berbicara padanya. Dia masih dalam posisinya. Tanpa suara maupun merubah posisinya. Dasar kaku.
“Aku ingin membicarakan tentang kita.” Dia bergeming. Oke. Kuanggap kamu mengizinkanku berbicara dan kamu siap mendengarkan tuan David yang sok.
“Aku jika pernikahan ini adalah kesalaha. Mmm setidaknya sekarang aku tahu, jika pernikahan ini kesalahan kamu.” David mengernyitkan dahinya. Sekarang dia menghadap padaku sepenuhnya, duduk dipinggir ranjang. Matanya fokus melihatku.
Aku menelan saliva beberapa kali, membasahi kerongkongan yang kering. Jujur saja aku sangat gugup. “Tapi, aku merasa tidak bersalah dalam pengambilan keputusanmu untuk menikahiku. Jadi walau bagaimanapun kondisinya, aku Hanna Mahira adalah istri sah dari seorang lelaki bernama David Arion Syahreza. Jadi bagaimanapun kondisi kita saat ini, mau tidak mau aku telah memutuskan akan menyiapkan semua keperluanmu. “
“Suatu saat jika kamu tak lagi mengharapkan kehadiranku. Kamu bisa menceraikanku. Dan kamu harus tahu, kamu bisa melakukan itu kapanpun kamu mau.” Air mataku telah menggenang di pelupuk mata ini. tapi aku meyakinkan diri, aku tak boleh lemah di depannya.
David bediri mendekatiku. Kini jarak kami hanya beberapa senti saja. Dapat kucium dengan jelas aroma maskulin drai tubuhnya. Degup jantungku semakin menggila di dekatnya.
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” dia berkata lirih dengan tatapan menghujam.
Aku jengah melihatnya, sebenarnya apa yang dia inginkan. Mempermainkanku atau mempermiankan pernikahan ini. Ah, sama saja. Aku tak boleh lagi terlena olehnya.
“Tentu saja.” Jawabku mantap dengn membalas sorot matanya tak kalah tajam.
“Oke. Kita lakukan permainan ini. kita buktikan siapa diantara kita yang bisa bertahan.” Ujarnya. Kini tatapannya tak setajam tadi. Ada sorot kedukaan yang tangkap dari matanya. Ada apa sebenarnya?
“Ada lagi yang kamu butuhkan?” tanyanya.
Seketika aku tersentak, kaget.
“Ah, tidak. Kalau begitu aku permisi.” Pamitku. Kemudian aku bergegas keluar dari kamarnya. Menutup pintu.
Aku masih berdiri dengan memagang dadaku, ada rasa nyeri disini. Tidak bisa di pungkiri aku sangat rapuh saat ini. Namun, apapaun yang terjadi aku harus terlihat tegar didepannya. Aku menghapus air mata yang telah lancang mengalir tanpa perintahku. Menghapusnya hingga kering tak tersisa. Akupun berjalan dengan anggun menuju ke ruang makan untuk makan malam.
Sampai di meja makan. Telah terhidang berbagai macam menu masakan di atasnya. Sesaat aku melupakan segala kesedihanku. Aku tersenyum melihat ada beberapa menu kesukaanku di meja.
“Malam Bik ….” Menyapa bik kar, kemudian aku duduk di kursi.
“Malam Nyonya ….” Bik Kar menatapku dengan wajah bingung.
“Suamiku sebentar lagi turun Bik. Aku ingin meyiapkan piringnya.” Kilahku padanya. Aku tidak ingin ada orang yang tahu jika pernikahan ini hanya permainan. “Nah, itu dia ….” Aku berusaha tersenyum dengan senyum terbaikku. Bik Kar melihat David dan menyapanya.
Dia tetap dengan wajah datarnya, duduk di kursi makan. Aku menyiapkan piring, mengambilkan nasi dan lauk. Dia tidak menolak pelayananku. Awal yang baik.
Bekerja di Perusahaan ternama adalah impianku. Sekarang aku bekerja sebagai staf keuangan pada sebuah perusahaan ternama. Walaupun aku berada di kantor cabang yang tidak besar sih. Cocok dengan sifatku yang sedikit tertutup dan tidak banyak bicara. Sehari-hari aku hanya berkutat dengan angka-angka di layar laptop. Lagi pula, aku memang tidak suka berkumpul dan mengobrol dengan banyak orang. Ketika ada acara teman sekantor. Jika bisa dihindari, lebih baik menghindar saja dan memilih tidak iku. Itulah alasannya aku hanya sedikit memiliki teman. Terutama kaum laki-laki.
Masuk ke perusaahan ini sangat sulit. Harus berkali-kali mengikuti tahapan seleksi karyawan. Jika diingat-ingat kurang lebih enam bulan tahapan seleksinya. Bayangkan saja selama itu aku mengikutinya dan bersaing dengan ribuan pelamar. Perusahaan ini jarang sekali melakukan open recruitment. Jika ada perombakan besar-besaran atau sedang buka cabang saja menerima karyawan baru.
Setiap hari kami para karyawan diwajibkan berpenampilan sempurna. Terlebih bagi karyawan bagian tim marketing. Setiap haru akan aku dapati mereka berpakaian dengan make up sempurna. Wow!
Oh iya. Namaku Hanna Mahira yang artinya bunga cantik yang berbakat. Itulah yang dikatakan ibuku. Aku memiliki seorang adik perempuan yang cantic, cerdas dan muudah bergaul. Sangat berbanding terbalik dengan diriku.
Tahun ini aku menginjak usia 27 tahun. Katanya sih udah cukup umur untuk mereka. Tapi tidak bagiku. Alina Zahira adik perempuanku masih kuliah. Dia adalah tanggung jawabku, memikirkannya menjadikanku tidak berfikir untuk menikah. Sebagai tulang punggung keluangatur keuangan. Selain untuk biaya kuliah, setiap bulan juga mengirim uang belanja ibu. Ayahku telah lama meninggal. Setelah aku bekerja disini, aku meminta ibu untuk tidak lagi bekerja. Cukup dirumah saja, kalaupun harus bekerja maka cukup bekerja dirumah saja tanpa harus kembali menjadi buruh. Aku tak tega melihatnya yang telah menua namun masih bekerja keras. Sekarang cukup aku saja yang bekerja dan menghidupi keduanya. Kebahagiaan kedua perempuan itulah priooritas utamaku.
Baiklah. Cukup sudah perkenalanku. Saatnya aku kembali bekerja. Akhir bulan begini pekerjaanku sangat padat. Membuat laporan keuangan dan siap lembur menyelesaikannya. Atasanku orangnya cukup baik dan tidak mudah marah. Namun aku sangat khawatir jika melihat sorot tajam tatapannya melihat kami bawahannya. Tatapannya mematikan.
“Anna! Saya tunggu laporan kamu di meja ya.” Suara Pak Wisnu mengalihkan fokusku dari laptop. Tanpa menunggu responku, pak Wisnu berlalu meninggalkan kami yang masih terbengong melihatnya. Sejenak aku melihat kearahnya, kemudian mengangguk.
“Baik Pak.” Pelan aku menjawab. Namun cukup didengar olehnya.
Sekilas aku memandang teman kerjaku, Dina. Dia hanya bergidik ngeri seraya mengangkat bahu. Kemudian tersenyum. Kamipun kembali fokus ke layar laptop. Angka-angka ini seperti tidak ada ujungnya.
Tak terasa jarum jam telah meunjuk ke angka 12 siang. Saatnya istirahat sejenak. Namun rasanya aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku. Huft. Deadline memang membuat hidup berantakan.
Dering ponsel berbunyi nyaring. Sukses membuatku kaget. Ah, untunglah aku sendririan di ruangan ini. semua teman-teman sedang berada di kantin.
“Halo Kak.” Suara adik kesayangan membuatku tersenyum. Seperti biasa suaranya renyah menjadikan siapa saja yang mendengar akan tersenyum. Hehe.
“Kak, aku di lobi nih. Turun dong. Aku bawakan makanan untuk Kakak. Cepetan ya.”
Belum sempat aku menjawab kalimatnya. Dia telah mematikan sambungan teleponnya.
Menghembuskan nafas kasar, segera aku membereskan sejenak pekerjaanku. Mematikan laptop, menyusun berkas di atas meja. Mungkin dia buru-buru. Fikirku.
Akupun segera meninggalkan ruangan menuju lobi kantor. Kondisi yang lengang, jadi tak perlu mengantri memasuki lift. Setelah bunyi ting aku masuk. Serasa aku sendiri yang memiliki lift ini. sendirian di dalam lift tidak ada teman ngobrol. ruanganku berada
dilantai tiga.
Setelah keluar dari lift langsung terlihat adik perempuanku sedang duduk mansi di ruang tunggu. Dia mengenakan kemeja putih, memakai rok hitam selutut dan memakai sepatu high hells. Sepertinya Alina menyempatkan diri kesini, soalnya dia sedang magang di perusahaan.
Alina berdiri saat mata kami bertemu pandang. Kami saling melempar senyum. Lihatlah, senyumnya sangat manis sekali. Ah, dia sangat tahu bagaimana cara menghibur kakak perempuannya.
“Hai sayang!” sapaku padanya dengan melambaikan tangan.
“Hai juga Kakakku sayang.” Kami berjalan saling mendekat. Alina membawa sebuah kantong plastik.
“Kakak pasti belum makan kan?” Tanyanya padaku. “Aku belikan bakso kesukaan Kakak tadi. Ini.” lanjutnya sembari menunjukkan kantong plastic yang ia bawa.
“Duh, tahu bener sih. Adik kesayangan Kakak ini.” aku menyambutnya dengan wajah sumringah dan senyum lebar. Bakso adalah makanan kesukaanku. Saat pekerjaan menumpuk begini, aku cenderung tidak nafsu makan. Bakso lah senjata ampuh melawan kemalasanku makan.
“iya dong.” Kami tertawa bersama.
Aku duduk di bangku duduk. Ingin mengobrol barang sebentar dengannya. Kamipun duduk bersama, saling berhadapan.
“jadi tadi langsung dari tempat kamu magang ya?” tanyaku padanya.
“iya Kak. Abis makan siang sama dosen pembimbing juga. Tadi ketemu pas ditempat kerja. Jadi kami makan bareng deh.” Jelasnya semangat.
Dosen pembimbing. Hmmm, kok bisa sih. Aku jadi penasaran bagaimana dia bisa makan bersama dosennya. Bukan apa-apa, saat aku kuliah dulu. Kami para mahasiswa sangat taku dan segan jika bertemu dosen, apalagi harus makan bersama. Rasanya tidak mungkin bisa makan bersama dosen. Apalagi saat posisi sebagai anak magang.
“Kok bisa, makan sama dosen pembimbing. Orang berapa yang makan?” Aku membrondongnya dengan pertanyaan. Aku benar-benar tidak habis fikir.
Aku memandangnya tajam. Rasa penasaran yang besar dalam otakku dan ingin tahu lebih detail bagaimana pekerjaannya di tempat magang juga. Aku fokus mendengarkannya.
“Jadi dosen aku itu kebetulan ketempatku magang tadi Kak. Nah, awalnya kami sama-sama kaget sih. Walaupun sebenarnya dia juga udah tahu kalau aku magang disana. Tapi masih kaget juga sih. Hehe. Jadi, kami sekelompok itu di ajak makan deh dia juga yang minta izin ke kepalanya. Kami sih ikut-ikut aja.” Aku manggut-manggut mendengarkannya.
“Setelah makan, aku ingat Kakak. Jadi deh aaku belikan bakso ini.” lanjutnya lagi.
“oke deh. Makasih banyak ya sayang. Kakak gak bisa lama. Nanti lanjut ngobrol dirumah aja ya ngobrolnya. Kakak mau denger cerita magang kamu.” Aku berdiri. Alinaa pun ikut berdiri. Selanjutnya aku mengantarnya keluar sampai ojek yang dipesannya datang.
Usai Alina pergi, aku masuk dan menuju pantry. Niatku Cuma satu. Menghabiskan bakso. Ah, puas rasanya. Makan semangkok bakso cukuplah untuk menambah energiku guna menyelesaikan tugas yang ada. Aku merasa tubuhku telah diisi batre secara
penuh.
Tidak terasa hari telah malam. Aku sendirian lagi di ruangan ini. pekerjaan yang belum selesai dan harus dikumpul besok. Mengharuskanku untuk lembur. Karena jika pekerjaan ini di bawa kerumah, alamat tidak akan selesai sesuai waktunya.
Aku fokus mengerjakan tugasku, hingga seseorang mengejutkanku. Seorang lelaki bertubuh jangkung beriri menjulang di depan mejaku. Aku bergidik nggeri. Awalnyaaku fikir ada penampakan atau hantu atau mungkin malaikat. Sebab wajah yang rupawan dengan penampilan rapi ini tidak mungkin hantu gentayangan kan.
Ah, apa yang aku fikirkan sih. Kebanyakan nonton film horor nih. Ku ketuk-ketuk kepalaku agar fikiranku ini kembali waras.
Dia bergeming, diam ditempatnya berdiri dengan sorot mata yang tajam. Pandangannya seperti mata elang yang sedang menemukan mangsannya untuk di santap.
Aku berdiri kemudian mengangguk kepadanya.
“Ada yang bisa saya bantu Pak.” Tanyaku ramah padanya. Sebenarnya aku takut, aku melirik kebawah. Lega, kakinya menapak bumi. Aku mengelus dada.
“Tunjukkan kepadaku ruangan pak Wisnu.” Jawabnya datar, dengan ekspresi tidak terbaca. Aku hanya mengangguk. Berjalan menghampirinya dan melangkah lebih dulu dari laki-laki itu. Menuju ruangan pak Wisnu, setelah sampai di depan ruangan aku menunjukkannya.
“Ini Pak, silahkan.” Aku menunjuk dengan ibu jari serraya tersenyum dan mengangguk.
“Permisi.” Pamitku padanya seraya melangkah kembali. Melewati lelaki itu. Langkahku terhenti.
“Siapa namamu?” Tanyanya dengan ekspresi … entahlah.
Aku mengernyit bingung, namun tak berselang lama aku menjawab. “Anna.” Diam sejenak kemuadian melanjutkan lagi. “Anna, Pak.”
“Terima kasih.” Ujarnya dengan kedua bibir terangkat ke atas. Terlihat jelas dia sedang tersenyum tampan. Beberapa detik aku terperangah. Hingga tidak sadar dia telah pergi meninggalkanku. Kupandangi punggungnya hingga tenggelam masuk keruangan pak Wisnu. Aku benar-benar terpesona dengan senyumanya.
Dadaku berdebar. Aku memagang bagian kiri dadaku, aku memajamkan mata. Merasakan detaknya yang kini lebih cepat dari biasanya. Seketika rasanya aku melambung, melayang diudara.
“Anna, masih disini?” Hingga teguran suara pak Wisnu menyadarkanku. Tubuhku kembali kebumi.
Sepertinya wajahku telah memerh sekarang. Kupegang kedua pipi. Menepuknya bersamaan.
Pak Wisnu melihatku dengan pandangan menelisik. Dia berdiri dengan seorang lelaki yang membuatku melayang tinggi tadi. Aku meliriknya, dia tersenyum padaku.
Pak Wisnu masih melihatku dengan tatapan heran. Seketika aku gugup. “Pe-permisi Pak.” Aku terbata berbicara padanya. Kemudian bergegas berjalan meninggalkannya dengan terburu-buru.
Ah sial. Kenapa aku masih berdiri disana tadi. Siapa sebenarnya lelaki itu? Ini pertama kalinya aku melihat dia kemari.
Setelah sampai ke meja kerjaku. Aku tidak bisa fokus lagi menyelesaikan pekerjaanku. Sial. Kumohon fokuslah. Aku tidak akan bisa pulang jika pekerjaan ini belum selesai. Besok pagi harus diberikan kepada pak Wisnu.
Berkali-kali berusaha fokus tetap saja tidak biisa. Senyum lelaki misterius itu masih terbayang indah di pelupuk mataku ini. sungguh bodohnya diriku ini, bagaimana mungkin aku bisa terpesona oleh sebuah senyuman bahkan dari orang yang baru pertama kali kami bertemu. Lagipula aku tidak tahu siapa dia. Dasar naif.
Saat melihat pak Wisnu lewat, tak kusia-siakan kesempatanku meminta izin padanya. Hari semakin gelap. Sangat tidak mungkin jika aku harus menginap disini. Aku akan pulang dan mieminta izin pada pak Wisnu agar pekerjaanku dikumpul jangan terlalu pagi. Meminta kemunduran waktu.
Dengan langkah cepat aku menghampiri pak Wisnu. Menundukkan wajah. Memberanikan diri berbicara padanya.
“Permisi Pak. Bolehkah saya meminta izin pulang dan meminta waktu lebih untuk mengumpulkan pekerjjaan besok. Hari sudah semakin larut Pak.” Ucapku panjang lebar padanya. Semoga dia mengerti maksud dari perkataanku.
Aku masih menunduk menunggu pak Wisnu bicara. Meremas kedua tangan, menggoyangkan kedua kaki. Aku cemas.
“Ehm. Baiklah Anna. Besok saya tunggu jam 12 siang. Gak lebih.” Tegas pak Wisnu.
Seketika aku mendongak, melihat ke kedalaman matanya. Ah, ada aku disana. Aku tersenyum. Lega rasanya.
“Terima kasih Pak. Terima kasih.” Balasku padanya dengan senyum yang masih terus mengambang diwajahku. “Siap Pak.” Lanjutku dengan mengangkat tangan kanan menyatukan ibu jari dengan telunjuk hingga membentuk huruf “O”. oke.
Bergegas kembali ke meja merapikan semua pekerjaan. Menyimpan file dalam laptop, mematikan dan menuutupnya. Aku memeriksa tas, kalau saja ada yang tertinggal di meja. Oke, beres. Membersihkan sampah kertas diatas meja dan memasukkannya ke dalam tong sampah di sudut ruangan. Oke sip. Aku pulang.
Sebenarnya aku sering lembur sih. Selain pekerjaan yang butuh deadline pengumpulan ke pak Wisnu. Lembur menambah penghasilanku, karena ada uang khusus untuk karyawan lembur.
Catat, lembur karena pekerjaan memang belum selesai ya. Padahal aku telah menghabiskan waktuku di depan laptop. Tetap saja waktunya kurang. Bukan karena aku bersantai ria dalam melaksanakan kewajibanku. Karena aku termasuk karyawan yang professional dalam pekerjaan dan menjunjung tinggi kedisiplinan.
Menunggu angkutan umum di malam yang semakin gelap ini ternyata sulit. Beberapa kali mencoba memesan ojek online pun selalu gagal. Padahal biasanya pukul Sembilan malam ojek online masih bisa di pesan. Huft. Membuang nafas kasar, melonggarkan dada yang terasa sempit karena rasa jengkel yang mulai menguasai diri.
Bagaimana caranya aku pulang. Melihat kekiri kekanan. Nihil. Tidak ada satupun kendaraan lewat. Ada apa dengan mala mini. Melihat ponsel. Haish. Ponselku batrenya habis. Habis pulalah riwayatku.
Berbalik badan dengan niat kembali ke kantor. Kalau saja ada pertolongan disana. Suara klakson mengagetkanku.
Tiin`
Aku nyaris terlonjak dan terjatuh mendengarnya. Badanku berbalik untuk melihat siapa yang membunyikan klakson mobilnya padaku.
Mataku membulat sempurna. Seorang lelaki tampan turun dari mobilnya. Seperti seorang pangeran yang turun dari kudanya menyambut tuan putrinya. Ah. Negeri dongeng.
Tak. Aku memukul kepalaku sendiri. Dia lelaki tampan yang senyumnya membuatku melayang kini berada tepat dihadapanku.
“Anna, mau pulang ya? Yuk aku antar.” Tanpa basa basi dia menawarkan diri mengantarku pulang dengan mobilnya.
Rasanya tak percaya. Kucubit lenganku
“Aww.” Sakit. Ini nyata bukan mimpi ataupun halusinasiku.
“Bengong. Ayo!” Ajaknya lagi padaku.
“Oh, baik.” Aku mengikuti langkahnya di belakang. Dia, lelaki itu membukakan pintu mobil untukku. Ternyata tinggiku sebahunya. Hihi. Aku terkikik sendiri.
Lelaki itu berlari memutar mengelilingi mobilnya dan duduk disampingku, di belakang kemudi. Glek. Aku menelan saliva. Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Berulang kali menelan saliva membasahi kerongkongan. Aku masih fokus menghadap kearahnya sedangkan dia melihat kedepan fokus menyetir.
Jalanan kota Malang dimalam hari masih ramai. Aku saja yang sial tadi, sehingga di depan kantor sunyi tidak ada satupun yang lewat.
Sial pembawa keberuntungan. Aku tersenyum sendiri. Pandanganku masih fokus padanya. Mobil tiba-tiba berhenti. Aku tersentak kaget. Badanku condong kedepan hampir bersentuhan dengan tangannya yang memegang tuas persneling. Ah, hamper saja.
“Kita makan dulu ya. Aku lapar.
Kami makan di sebuah warung makan di pinggir jalan. Tempatnya cukup ramai pengunjung, untuk beberapa saat kami mengantri masuk. Duduk lesehan di pojokan, makan malam yang telah larut dengan menu bebek penyet dan minum jeruk hangat. Aku mengikuti menu makan lelaki itu, jam segini sejujurnya sudah sangat malas untuk makan.
Menunggu pelayan membawakan pesanan. Mataku melihat sekeliling, semua orang makan dengan lahapnya. Setengah jam berlalu, pelayan datang membawakan pesanan kami.
“Ayo dimakan … kalau Cuma dipandangi aja begitu ya enggak kenyang.” Ujarnya setelah melihatku hanya memandangi makanan yang dipesan. Tanpa berselera melahapnya.
Sial. Cacing dalam perutku bersuara meminta jatah makannya.
“Enak kok menunya.” Ucapnya di selam kunyahannya.
“Hmmm.” Aku mulai mengambil sejumput nasi dan lauk, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Melirik ke arah lelaki itu, dia masih asyik dengan makanannya.
Entah mengapa, melihatnya lahap seperti itu membuatku kenyang. Perlahan tapi pasti, aku memasukkan makananku kedalam mulut. What ? udah habis duluan. Aku makan dengan menelan pandangan matanya ke arahku.
Senyumnya terukir, terlihat manis dan menyebalkan secara bersamaan. Menyebalkan. Aku begitu terpesona dengan senyumnya.
Lelaki di depanku ini terlihat cool. Beberapa saat berinteraksi dengannya, dia memiliki sifat hangat sekaligus menyebalkan secara bersamaan. Pakaiannya yang rapi memberi kesan dia adalah laki-laki yang sangat penting dan memiliki jabatan penting di kantornya. Tatapannya yang tajam, memiliki sifat memmatikan sekaligus melindungi. Ah, yang jelas aku ttelah terpesona olehnya.
“Melamun … habiskan!” Dia juga senang sekali memerintah. Ck.
Akhirnya, habis juga makananku. Menu disini bisa menjadi pilihan saat aku kelaparan di tengah malam. Makanannya enak.
Aku mengikutinya di belakang saat dia membayar di kasir. Mata-mata penuh telisik yang kuperhatikan sedang tertuju padanya, membuatku tidak nyaman.
Ish, dasar penggoda. Batinku melihat kearah pengunjung perempuan yang memandangnya dengan tatapan memuja. Di sisi lain, beberapa wanita berbisik-bisik melihat kearah kami. Kemudian mereka tertawa. Benar-benar membuatku tidak nyaman saja.
Setelah membayar, kamipun menuju parkiran. Mobil berjajar terparkir tepat di depan warung makan. Di jalan, bunyi klakson bersahut-sahutan. Aku menghela nafas panjang, jalanan di malam haripun masih saja membuat emosi memnucak. Saling beradu untuk mendapatkan urutan jalan di depan.
Mobil yang kami naiki pun memasuki jalanan. Terdengar beberapa kali bunyi klakso dari dalam mobil dan beberpa umpatan dari mulut lelaki disampingku ini. Aku hanya memandangnya dengan tatapan bingung. Kenapa harus seperti orang kebakaran jenggot sih? Atau karena kemarahan itu memang menular ya. Jika orang lain tidak bisa menahan amarah, kita akan ikut-ikutan marah juga. Entah lah.
“Kemana lagi ini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, eh ....” Mataku celingukan melihat penunjuk jalan. Ini udah sampai mana. Pikirku.
“Apa kamu lupa jalan pulang.” Ketusnya. Tuh kan, dia berubah menyebalkan. Baru hari ini aku bertemu dengannya, tapi udah berkali-kali dia mennampakkan emosi yang berbeda-beda. Dasar mood-mmod tan. Cemoohku dalam hati.
“Ah, lurus nanti di tikungan depan belok kanan.” Jelasku dengan menunjukkan arah.
“Oke. Stop disini saja.” Ujarku padanya, tepat di depan minimarket dekat lorong rumahku.
“Ini rumahmu?” tanyanya bingung setelah menghentikan mobil tepat di depan minimarket yang aku tunjuk.
“Ini minimarket.”
“Oh ….” Dia mengangguk-angguk. Astaga. Aku tertawa melihatnya.
“Beneran mau turun sini.” Tanyanya tanpa menoleh padaku.
“Iya. Mamksih banyak ya.” Aku melepas sabuk pengaman dan segera turun dari mobil. Menutup pintu berdiri di samping moobil, menunggunya pergi dari hadapan.
Dia membuka kaca, melambaikan tangan. Aku menyambutnya, melambaikan tangan dengan senyum terbaikku. Setelah mobilnya berlalu, akupun masuk ke minimarket yang aku tuju. Membeli keperluan yang aku butuhkan. Pengunjungnya mulai sepi, hanya satu dua orang. Jelas saja, karena ini sudah sangat larut. Mungkin aku adalah pengunjung terakhir yang masuk dan sebentar lagi mereka akan mengusirku. Sebab waktunya tutup.
Buuu-buru aku aku mengambil keperluanku lantas bergegas ke kasir untuk membayarnya. Untunglah, aku tidak terlambat. Bisa jadi mereka malah menungguku selesai belanja, setelah aku keluar mini market ini pun tutup.
Berjalan sendirian di lorong yang sepi, sesekali membuatku bergidik ngeri. Aku memang sering pulang malam. Tapi ini pertama kalinya pulang selarut ini. Makan malam bersamanya tadi menyita waktuku.
Sampai di depan pintu rumah. Lampu telah sepenuhnya padam. Membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati agar suaraku tidak terdengar penghuni rumah yang telah tertidur pulas.
Aku berjalan menjinjit, tiba-tiba lampu menyala terang. Aku terlonjak kaget. Ternyata ibu ibu yang terbangun d an menyalakan lampu.
“Baru pulang?” Tanya ibu pelan.
“Hu’um.” Jawabku berbisik dengan mulut menguap.
“Udah makan belum.”
“Udah Bu ….” Akupun berjalan memasuki kamar. Tujuan utamaku adalah Kasur. Hah, bernafas lega, berbaring di atasnya. Melihat langit-langit kamar. Astaga terbayang senyum wajah tampan lelaki itu. Ck aku bahkan belum tahu namanya. Besok masih bertemukah kita?
Pintu kamar menyeblak terbuka, aku terlonjak dan langsung duduk. Ibu, mengagetkan saja. Wanita tua itu membawa baki dengan cangkir yang uapnyya mengepul di atasnya.
“Bersih-bersih sana.” Perintahnya. Aku beringsut bangun dan berjalan ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dengan air hangat, tubuhku terasa lebih fresh dan nyaman. Keluar dari kamar mandi, aku mendapati ibu masih berada di kamaku. Duduk di tepi ranjang melihatku dengan mata teduhnya.
“Ibu buatkan susu jahe. Minumlah lalu istirahat.” Ibu berbicara dengan suara parau, butiran Kristal bening mengalir di pipi tuanya.
Aku mendekat, memeluknya erat. Ibu terisak dalam pelukanku. Aku menunggu, menunggunya melepaskan beban dalam hatinya. Ah, kenapa suasanya jadi sedih begini sih? Mataku memanas, air mata inipun siap tumpah dari penampungannya. Mataku mengerjap-ngerjap menahan bendungan air agar tidak mengalir.
“Maafkan Ibu, Anna. Adikmu sekolah, kamu harus membiayai sekolahnya. Kerja lembur.” Ucapnya disela tangisan. Aku mengurai pelukan, menggenggam erat kedua tangan keriputnya. Tangan ini adalah tangan yang merawat dan membesarkan aku dengan tulus. Tangan ini yang berjuang menyekolahkan aku hingga aku bisa bekerja di tempatku sekarang. Tangan ini yang selalu memberi tanpa memintanya kembali.
Aku mencium kedua tangan keriput ini, membawanya kepangkuan. “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Ini sudah jadi kewajibanku Bu.”
Ibu mengangguk. Kemudian kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Ibu menemaniku tidur di kamar. Saat bangun, ku lihat ibu sudahtidak ada lagi di sampingku.
Hari ini aku berangkat lebih awal. Membawa bekal makan siang yang disiapkan ibu. Adik kecilku jam segini belum bangun, kebiasaan tidur setelah Subuh. Seringkali ibu memarahinya. Namun kadang aku cegah. Mungkin kecapean bu. Alasanku padanya untuk menghindarinya dari kemarahan.
Sesampainya di kantor, aku langsung membuka laptop dan menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Huft. Mata dan fikiran yang fokus membuatku mengabaikan sapaan karyawan yang datang.
“Semalam pulang jam berapa?” Tanya Dina. Mataku melirik sekilas kearahnya. Dia tampak santai. Aku melihat jam, jam 8.
“Jam 9.” Jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya.
“Sama siapa?” tanyanya lagi.
Haish, dia ini mengganggu konsentrasiku saja. Aku menoleh kearahnya, meletakkan jari telunjukka ke mulut, sebagai isyarat agar dia diam. Aku tersenyum melihatnya menutup mulut rapat dengan gerakan ibu jari dan telunjuk menyatu membuat gerakan.
Haah … aku menghembuskan nafas panjang. Lega. Akhirnya tugasku selesai juga. Saatnya mengantarkan keruangan pak Wisnu.
Aku masuk setelah mengetuk pintu ruangannya. Pak Wisnu sedang sibuk menghadap layar laptop yang berada tepat di hadapannya. Aku mendekati meja sambil menyodorkan lembaran-lembaran kertas yang disusun rapi di dalam map.
Dia menghentikan pekerjaanya, melihat ke arahku. Mengambil map yang aku berikan, lalu membukanya. Dahinya berkerut, matanya menyipit fokus pada deratan angka-angka di kertas itu. Selanjutnya meletakkannya di atas meja, mengambil pena dan membuat coretan disana berupa tanda tangan. Aku mengambil kembali laporan kerjaku tersebut, kemudian berbalik menuju pintu keluar.
Siang telah menjelang dengan sempurna, perut telah meminta hak nya untuk diisi. Aku bersama Dina menuju kantin kantor dengan membawa bekal yang dibawakan ibu tadi pagi.
“Eh, kalian udah pada lihat wajah Bos kita belum?.” Ucap Santi disela makannya. Sontak semua mata tertuju padanya, begitu pula denganku. Kami semua diam, kemudian saling berpandangan lalu menggeleng bersama. Semua ekspresi wajah menatapnya seolah memberi tanya “Emang gimana wajahnya?”
“Entar pas kita rapat ama pak Wisnu. Makanya buruan makannya, biar bisa lebih lama mandanginnya.” Santi mengulum senyum.
“Kabarnya sih si bos bakalan lama disini. Hingga beberapa bulan kkedepanlah. Keseempetan ntu buat kita untuk pedekate. Hahaha.” Aku mengangkat alis. Semakain kacau ini obrolan. Boss besar mau di gebet juga.
Memang ada isu-isu yang beredar jika bos dari kantor pusat mau ke kantor cabang Malang. Tapi belum ada yang tau pasti kapan dia akan datang. Saat karyawan lain mencari informasi lewat sekretarisnya pak Wisnu, dia hanya mengangkat bahu sebagai jjawaban. Benar-benar sekretaris sejati.
Kenyataan bahhwa Santi telah bertemu langsung dengan si bos pun, aku tidak tahu pasti. karena setiap kali di tanya dengan Dina, Santi akan menjawaab “rahasia”.
Awalnya aku tidak kepansaran dan ingin tahu banyak tentang siapa dan bagaimana tampang asli si bos besar tersebut. Sebab Santi membicarakannya terus-meneruslah yang memancing rasa penasaranku naik kepermukaan. Dan sekarang aku berada pada puncak itu. Rasanya ingin terjun saja dari gunung rasa iitu. Santi menyebalkan.
Istirahat usai. Mau tidak mau makan siang dan obrolanpun harus berakhir. Kami semua bergegas kembali menu ruangan masing-masing, lalu mempersiapkan segala keperluan menuju rang rapat. Ini adalah kali pertama selama bekerja disini, rapat akhir bulan akan dihadriri oleh bos besar.
Semua karyawan yang berkepentingan untuk rapat telah hadir diruangan. Duduk di kurrsi dengan posisi melingkar, sehingga semua wajah yang hadir dapat terlihat jelas oleh masing-masing karyawan.
Aku dan rekan bagaian keuangan saling melempar pandang dan tersenyum. Memberi kode lewat sorot mata. Hari ini bagianku yang mempersentasikan laporan pertanggung jawaaban.
Ada empat kursi yang masih kodong. Kursi pak Wisnu beserta sekretarisnya, dua kursi lagi aku rasa milik bos besar berserta sekretarisnya.
Pintu ruangan kembali terbuka, melihatkan sosok pak Wisnu beserta sekretarisnya. Mereka berdua masuk dan duduk di kursinya. Masih ada dua kursi lagi yang kosong.
Rapat dimulai, namun kursi tersebut masih kosong. Aku dan Santi saling pandang, dia hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku menggeleng. Sekarang giliranku berdiri memberi laporan.
Setelah aku selesai, pak Wisnu membahas perencanaan untuk bulan depan. Kami hanya memberikan beberapa usulan kepada tim desain dan tim lapangan yang terjun langsung ke lokasi. Kemudian lanjut kebahasan rencana pemasaran oleh tim marketing.
Bulan depan, pabrik cabang Malang ini berencana memproduksi produk baru. Sehingga kami disini ikut sibuk, karena untuk penjualan kami semua turut andil dalam proses itu. Tentu saja, karyawan adalah ujung tombak sukses tidaknya sebuah produk yang akan dipasarkan. Kami akan memiliki tanggung jawa bersama agar produk terrsebut sampai dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat selaku konsumen. Tentu saja kepuasan mereka baik dari segi produk maupun pelayanan adalah hal yang tidak kalah penting.
“Baiklah, saatnya kita eksekuusi dan mewujudkan mimpi kita.” Pidato pak Wisnu kepada kami.
“Untuk proyek kita ini, bos besar dari Jakarta akan turun langsung memantau dan membimbing kita. Jadi, kita harus mengerrahkan semua kekuatan terbaik kita untuk kesuksesan proyek kita.” Lanjut pak Wisnu penuh semangat.
“Siap!” kami menjawab serentak dengan antusias tinggi.
Terlihat pak Wisnu berbisik-bisik dengan sekretarisnya. Kemudian kembali menatap kami. Lantas dia melanjutkan. “Sekarang bos kita telah sampai di pintu ruang rapat. Kita sambaut beliau dengan meriah.” Kami sontak slaing panndang dan bertepuk tangan. Pak Wisnu berjalan menuju pintu, lalu membuka pintu ruang rapat.
Aku merasakan gugup yang luar biasa. Jantungku tentu saja berpacu tanpa bisa dikendalikan. Tanpa terasa leherku memanjang seperti jerapah, melihat keluar kalau saja bisa mengintip siapa dia, bagaimana dia. Bos besar itu.
Ah, padahal sebentar lagi aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Tak salah, jika isu-isu yang beredar telah mengganggu fikiranku.
Terlebih lagi, obrolan bersama Santi saat makan siang tadi. “Duh, lama banget sih?” gerutuku dalam hati. Aku gelisah menunggunya memasuki ruang rapat ini.
Jantungku bertalu-talu seiring dengan langkah kaki pak Wisnu kembali memasuki ruangan, didiring dengan langkah kaki panjang lainnya. Aku melihatnya dengan mata membulat sempurna.
Jantungku berdegup kencang seperti genderrang perang saat melihat dengan jelas bagaimana wajah si bos besar itu. Ditambah mata kami yang saling bersirobok. Aku memeggang dada tempat dimana jantungku berada, memegang dan menekannya kuat agar jantungku tidak melompat keluar.
Mata dan mulutku terbuka sempurna. Aku terpana, bingung, bengong seklaigus tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Dia.
Tersadar saat Santi menarik lenganku untuk duduk kembali. Mataku melihat sekeliling, semua mata tertuju paddaku dengan pandangan lucu dan menggejek. Ternyata hanya aku yang masih berdiri. Aku segera duduk dengan wajah malu. Aku menunduk dan menutup wajah dengan kedua tanganku.
“Perhatian ….” Suara dan tepukan tanga pak Wisnu memecah kesunyian. semua mata dan pperhatian kembali fokus padanya, lebih tepatnya tertuju pada lelaki yang duduk disampingnya. Si bos besar itu.
“Perkenalakan, ini pak David Arion Syahreza. Teman-teman bisa memanggilnya pak David. Beliau dari kanntor pusat. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, pak David adalah pemilik perusahaan tempat kita bekerja dan akan langsung membimbing kita dalam proyek ini. “
“Pak david akan disini hingga proyek kita berhasil. Jadi, tolong kerjasama kalian, sehingga proyek kita dapat berjalan dengan baik dan lancer.” Jelas pak Wisnu.
Lelaki yang kutahu ternyata dia adalah bos besar pemilik perusahaan dan bernama David itupun berdiri, megangguk kepada kami dan tersenyum Glek. Dia melihat kearahku dengan menggedipka sebelah matanya.
Lelaki yang semalam makan denganku dan mengantarkan aku pulang adalah pak David, bos besarku. Ya Tuhan! Aku benar-benar tidak waras. Adakah kejadian memalukan yang aku lakukan saat bersamanya. Tiba-tiba perutku terasa mual.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!