Aku menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk mandi, beberapa menit untuk berhias, dan sisanya untuk berpakaian. Setelah itu aku beranjak keluar dari kamar dan mendapati Oma tengah duduk santai di ruang keluarga.
"Daddy di mana?" tanyaku -- sekadar bertanya, tapi...
Oma dan Bibi Sum malah terdiam cemas. "Anu, Non," katanya ragu.
"Kenapa, Bi?"
"Emm... anu...."
"Anu-anu apa?" tanyaku tak sabar.
"Bapak... sudah berangkat setengah jam yang lalu, Non."
Cetar!
Bagaikan tersambar petir. Aku langsung marah. Daddy tega sekali pikirku. Lagi-lagi dia meninggalkan aku begitu saja.
Aku menangis lagi.
"Daddy-mu sibuk, Sayang. Kamu harus mengerti itu."
Tidak. Aku tidak bisa. Aku kecewa, lalu berbalik dan berlari. Tetapi...
"Lo? Kenapa menangis?"
Aku berpapasan dengan Daddy sewaktu hendak naik ke tangga dan ia baru hendak turun.
"Oma...," pekikku. Ia pun terkekeh-kekeh.
"Ada apa?" tanya Daddy lagi. Dia sudah berdiri di sampingku dan menarikku ke dalam dekapannya.
"Oma sama Bibi tu, Dad. Katanya Daddy sudah pergi. Sengaja, ya, ngerjain Kejora? Menyebalkan, tahu!
Euw! Daddy malah ikut tertawa. "Harap maklum, Sayang. Omamu kan masih muda, seumuran denganmu. Jadi masih suka iseng, ngeprank-ngeprank."
Iyuuuh... orang yang dimaksud malah kesenangan. Sikapnya padaku memang tak seperti nenek-nenek usia kepala enam pada umumnya. Dia gaul, bersikap hangat dan seperti teman baik bagiku.
"Baru juga dikerjain segitu, sudah mewek kamu. Cengeng ih!"
Aku merengut. "Oma mau kukerjai balik? Hmm?"
"Coba saja kalau berani. Oma jewer kamu nanti."
"Tu kan... sukanya ngerjain. Dikerjain balik nggak mau."
"Sudah-sudah. Daddy belum sarapan. Kamu mau menemani Daddy, kan?"
Aku mengangguk. "Ayo, Kejora juga belum sarapan." Kugandeng lengannya dan kami lekas menuju dapur.
Ah, senangnya kami bisa sarapan bersama lagi seperti dulu. Kalau Daddy pulang, nenekku itu selalu memasakkan sup spesial kesukaannya.
"Masakan Oma memang tidak ada duanya," pujiku.
"Benar," timpal Daddy. "Lezat dan selalu bikin kangen."
"Jangan cuma bisa memuji," Oma menyela, lalu bergabung dengan kami di meja makan. "Kamu harus belajar. Biar nanti kalau Oma sudah tua, kamu bisa masak untuk Daddy."
Sekarang belum tua, ya? Eh?
Aku nyengir, merasa malu. "Iya, iya, nanti Kejora belajar masak. Janji deh, pasti nanti Kejora bisa masak sehebat Oma."
"Hai... selamat pagi semua...."
Ya ampun... si tante jailangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Tahu-tahu masuk dan menimbrung. "Pagi, Tante. Ada apa, ya, pagi-pagi Tante sudah datang ke sini?"
"Oh ini... Tante tadi bikin sandwich banyak. Sengaja, mau Tante bawa ke sini. Cobain, ya, Mas." Tante Sila menaruh boks yang ia bawa ke meja dan membuka penutupnya.
Di saat yang bersamaan, Daddy mengangguk, dan itu membuatku merasa sebal. "Tapi kita lagi sarapan masakan Oma, lo, Tant. Tapi tidak apa-apa, ding. Buat camilan siang nanti oke juga tu. Ya kan, Dad?"
Lagi, Daddy hanya mengangguk.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Pokoknya harus dimakan."
"Pasti, tenang saja. Pasti bakal habis kalau enak, mah."
"Ya dijamin enak, Sayang. Kalian pasti bakal ketagihan. Dijamin."
"Oke. Tutup saja dulu, Tant. Kita mau lanjut sarapan. Tante... mau langsung pulang, kan?"
Diam sejenak, ia melirik ke ayahku. Mungkin berharap ayahku itu akan menahannya dan membiarkannya duduk plus sarapan bersama dengan kami. "Mas, aku boleh di sini, kan? Aku...."
"Maaf, Tante. Tapi hari ini waktu Daddy khusus untukku. Quality time di momen ulang tahunku, dan lagipula Daddy kan baru pulang. Masa sudah diganggu? Tante bisa maklum, kan? Bisa, dong...? Bisalah...."
Tak enak hati, ia mengangguk kemudian berdiri. "Ya sudah kalau begitu. Aku permisi, ya, Mas. Mari, Bu. Jangan lupa dihabiskan sandwich-nya, ya."
Oh, waw! Tante Sila masih bisa tersenyum lepas. Benar-benar bermental baja.
"Maaf, ya, Oma, Daddy, Kejora bukan bermaksud kurang ajar. Tapi Kejora tidak suka. Tante Sila sepertinya mau pedekate sama Daddy."
Kedua orang itu mengangguk. "Oma paham, kok. Kamu cemburu, kan?"
Eh?
"Cemburu? Emm... nggak, bukannya begitu, Oma...."
Fix! Aku salah tingkah untuk yang pertama kali. Sama sepertiku, Daddy juga mendadak tegang.
"Jangan tegang begitu. Cemburu kan wajar. Cemburu itu bukan melulu antara pasangan. Bisa juga antara anak dan ayah. Apalagi kalau si ayah itu duda tampan yang jadi rebutan."
Daddy terbatuk. "Apa sih, Bu...? Jangan begitu. Gibran tersinggung, lo, kalau dikatain duda begitu."
"Lah, wong faktanya begitu. Kamu kan memang duda tampan. Ya kan, Ra?"
Aku mengangguk. "Ya, Daddy memang tampan. Tapi Daddy nggak marah, kan, sama Kejora?"
Dia mengangguk. "Ya, Sayang. Daddy ngerti. Daddy juga tidak mau, kok, didekati oleh Tante Sila. Serius. Ngeri, orangnya terlalu agresif."
"Terus... kamu maunya didekati siapa?"
"Sudah, dong, Bu...."
"Mau menduda terus? Hmm?"
"Jodoh tidak akan ke mana, Ibu Sayang...."
"Tapi Ibu pingin melihatmu menikah, Gibran."
"Iya, iya, Gibran tahu. Ibu doakan saja. Oke?"
"Kamu selalu begitu, enteng sekali menanggapi Ibu."
"Terus... memangnya Ibu maunya Gibran menanggapi Ibu bagaimana? Hmm?"
Sang ibu diam sejenak, ia menatap putranya itu dengan penuh harap dan memegangi lengannya. "Ibu beri kamu waktu satu tahun, ya, sampai Kejora lulus sekolah. Setelah itu, tolong, pikirkan masa depanmu, masa tuamu. Kamu harus menikah, terus kamu juga harus punya anak. Tolong, janji?"
Ya ampun, kenapa rasanya hatiku sakit sekali? Melesak.
"Iya, Bu. Iya," kata Daddy seraya balas menyentuh tangan Oma, lalu ia tersenyum.
"Kejora, Daddy-mu boleh menikah lagi, kan? Kamu mau melihatnya bahagia, kan?"
"Iya, Oma," sahutku. Aku yang mulanya tertegun dengan berat hati mengiyakan. Dan aku memaksakan diri untuk mengangguk kemudian tersenyum. "Nanti Kejora bantu seleksi, ya, Dad? Kita cari cinta sejati Daddy sama-sama, oke?"
Daddy menatapku sejenak, lalu ia mengangguk lesu tanpa senyuman.
Aku tahu aku tidak boleh egois. Dia berhak bahagia dengan cinta sejatinya. Dan aku harus ikhlas. Aku akan mempersiapkan diriku, karena aku tahu, pasti akan ada masanya di mana tempatku akan terganti oleh sosok anak yang mewarisi darahnya. Tapi tempatnya di hatiku tak akan pernah terganti oleh siapa pun. Tidak oleh siapa pun.
I will always love you, Daddy. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Yantisejati
lanjut
2023-01-23
2
Rice Btamban
lanjut
2022-06-06
0
Trusthi Widhi
udah pernah baca novel mirip banget sama ini, tapi kali ini penulisnya menggunakan gaya bahasa yg sangat berbeda, jadi gpp deh baca lagi😉
2022-05-04
1