"Bagaimana kalau kita liburan? Ke Bali misalnya?" tiba-tiba Tante Sila menimbrung.
Aku merengut. "Kejora cuma mau bersama Daddy," kataku lirih.
"Baiklah, baiklah. Jangan ngambek begitu. Ini pestamu, nikmati dan bersenang-senanglah. Oke? Daddy keluar dulu, mau merokok."
Kali ini aku mengangguk bersemangat. "Daddy janji, kan? Jangan kecewakan aku."
"Ya, ya, pasti."
Oh, betapa senang hatiku. "Thanks, Dad." Aku menghambur ke pelukannya, dan merasakan kedua tangan itu melingkari tubuhku -- ia membalas pelukanku setelah hampir dua tahun ini aku tidak merasakannya.
"Nah, sekarang bersenang-senanglah dengan teman-temanmu."
Well, kulepaskan pelukanku dari tubuhnya sambil nyengir kesenangan. Tapi... belum lagi aku berbalik, Tante Sila menarik tanganku.
"Ra... izinkan Tante ikut, ya... please...?"
"Maaf, Tante. Tapi aku dan Daddy butuh quality time berdua."
"Nah, justru itu... kalian berdua tidak boleh berdua-duaan. Kalian kan bukan muhrim."
Deg!
Seketika hatiku meradang. Aku tahu kenyataan itu. Aku tahu aku bukan anak kandungnya. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menerima ketika ada orang yang mengingatkan tentang hubungan kami yang tidak sedarah.
"Hei!" Dinda menepuk bahuku. "Lagi ngapain? Ayolah... hormati tamu-tamu dengan berbaur bersama mereka." Dia langsung menarik tanganku dan membawaku berkumpul bersama teman-teman lain di sekitar panggung.
Tapi hatiku tak ada lagi di sana. Aku memikirkan kehadiran Tante Sila yang semakin menjadi-jadi. Tidak bisa kubiarkan, pikirku. Dia bisa merebut Daddy dariku dan menyingkirkan aku seandainya ia bisa mencuri hati lelaki yang kusayangi itu. No, tidak akan. Jika pun Daddy ingin menikah lagi, ia mesti menikahi perempuan yang menjadi pelengkap keluarga kami, bukan seorang pemisah seperti Tante Sila.
"Yang dibilang Mami gue itu benar."
Aku terkejut, Riko tahu-tahu berdiri di sampingku. "Jangan ikut campur!" tukasku.
"Lo, kenapa sewot begitu, sih? Lu nggak bisa memungkiri itu, Ra. Itu kenyataan. Ayolah, Kejora, jangan naif. Lu tahu, kan, kenapa Oom Gibran jarang pulang semenjak lu beranjak dewasa?"
Aku melengos. "Itu bukan urusan lu, Rik! Jangan sok tahu!"
Riko menahan tawa. "Lu naif banget sih, Ra," ujarnya. "Harusnya lu jangan menyangkal kenyataan begitu. Atau begini saja, gue juga ikut. Jadi--"
"Mimpi! Gue nggak bakal mau pergi jalan-jalan bareng cowok kayak lu! Berengsek!"
Dengan amarah menggelegak, aku segera beranjak dari tempatku menuju pekarangan depan -- meninggalkan Dinda dan teman-temanku dalam kebisingan lagu-lagu dangdut yang mereka nyanyikan untuk bergeli-geli ria.
Aku memandang ke sekeliling. Di sana ada beberapa orang, termasuk teman-teman sekelasku yang mojok pacaran, petugas katering, juga Daddy yang merokok di sudut taman sambil mengutak-atik ponselnya.
"Dad," panggilku masih dengan tampangku yang cemberut.
"Lo, kenapa? Kok kamu keluar?" Ia berdiri, menjatuhkan puntung rokoknya dan menggilasnya dengan ujung sepatu.
"Acaranya udahan, Dad. Aku mau istirahat, capek," tuturku dengan rasa sakit yang mengganjal di tenggorokan. Kurasa mataku pun nyaris berkaca.
Daddy menunduk sejenak, kupikir barangkali ia sedang memikirkan bagaimana cara untuk membujukku supaya aku kembali ke acara pesta itu atau bagaimana cara lainnya supaya ia bisa menghindariku lagi. Tetapi ternyata ia tak melakukan hal itu. Nampaknya kali ini ia mau mengerti keadaan hatiku yang sedang kacau.
"Mau Daddy temani?" tanyanya.
Sejenak, aku pun tertegun, lalu aku cepat-cepat mengangguk. Ada sepercik rasa senang yang singgah di hatiku -- yang lebih dari sekadar rasa senang seorang anak ketika keinginannya dipenuhi oleh sang ayah. Waktu itu aku tidak mengerti akan rasa itu: rasa yang hadir diam-diam dan mulai bersemayam di hati.
"Sebenarnya kamu belum terlalu capek dan belum mengantuk, ya kan?"
Aku mengangguk lagi. Lidahku tiba-tiba terasa kelu berhadapan dengan lelaki yang sudah mengurusiku sedari bayi ini.
"Ayo, Princess." Dia tersenyum dan memberikan lengannya untuk bergandengan denganku.
Eh, apa aku mimpi? Kok bisa?
Ah, rasanya aku ingin ulang tahun ke-tujuh belas tahun terus kalau seperti ini -- mendapatkan perlakuan spesial dari lelaki yang amat sangat kusayangi ini. Sebelum beranjak, ia memesankan puding untuk kami kepada karyawan katering, lalu kami pun duduk di salah satu meja yang berhiaskan pita-pita dan bertaplak putih menjuntai hingga ke lantai.
"Kenapa jadi murung?" tanyanya.
"Tidak apa-apa. Aku cuma kesal pada Tante Sila dan Riko."
"Ngapain dipikirin? Memangnya mereka bilang apa sampai membuat gadis kecil Daddy mendadak diam bagini?"
Hmm... sebenarnya aku tidak pernah berbohong pada ayahku, tapi kali ini aku juga tidak ingin jujur. Sudah cukup kerenggangan yang terjadi di antara kami berdua. Kalau aku membahas-bahas perihal hubungan kami yang tak sedarah, Daddy pasti ikut risih dan aku tidak bisa menebak bagaimana tanggapannya nanti. Sementara saat ini aku tengah merasakan lagi kehangatannya sebagai seorang ayah untukku. Akhirnya aku hanya menggeleng. "Bukan apa-apa kok, Dad."
"Mau quality time bareng Daddy besok?" Dia tersenyum ceria.
Oh, wow! Hatiku jadi ikut berbunga-bunga, senyumku seketika merekah, dan kepalaku spontan mengangguk dengan kuat. "Aku mau...."
Ah, manja sekali sih caraku menjawab. Aku berusaha mengingatkan diriku sendiri kalau aku sudah tujuh belas tahun.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya, Dad?"
"Kamu... harus selalu tersenyum. Daddy tidak mau melihatmu sedih begini."
"Uuuh... Daddy... Kejora terharu, tahu...! Ini, lihat, cantik, kan?" Kupasang tampang semanis dan seceria mungkin.
Dia mengangguk, dan kini malah matanya yang berkaca. "Ya, Sayang. Kamu cantik. Bahkan sangat cantik, persis almarhumah ibumu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
hi kak Julia .. harusnya aku membaca maju ya, ini malah mundur. maaf, telat mengetahui semua karya2 mu, but... I'm so excited...
2023-06-18
1
Sri Purwanti
d dlm crita sprti ni Psti da aj ulet gatel y 🙈🙈🤭
2023-01-25
1
Rice Btamban
lanjutkan
2022-06-06
0