Aku terjaga saat mendengar suara hentakan musik di halaman belakang. Aku masih mengantuk sehingga tidak membuka mata. Tengkurap dalam keremangan kamar aku mendengar suara musik bising dari luar rumah. Aku tahu, ayahku pasti sedang olahraga di sana. Jadi aku pun tenang, itu berarti tak seperti yang sudah-sudah, yang biasanya ia pergi sebelum aku bangun dari tidurku. Tapi hari sudah cukup siang, aku mesti bangun meski Oma dan seisi rumah pasti maklum karena semalam aku tidur larut seusai pesta.
Sekarang aku duduk tegak. Mataku terpancang pada tumpukan hadiah, tetapi telingaku mendengarkan hentakan musik yang menarikku untuk mengintip: sedang olahraga apa Daddy di bawah sana? Aku pun berdiri, membuka tirai dan jendela, dan, mataku langsung disilaukan sinar matahari.
"Hai, Sayang. Selamat pagi," sapa Daddy dengan suara berat. Ia tengah olahraga angkat beban dengan posisi terlentang menghadap ke atas.
Yap, posisi kamarku di lantai atas dengan jendela yang mengarah langsung ke arah kolam, hingga ayahku bisa melihatku berdiri di jendela kamar. "Pagi, Dad."
Aku tersenyum. Dari dulu aku menyadari ketampanannya -- yang selalu kubanggakan di depan teman-temanku yang pada ngences ketika melihatnya. Seringkali, dengan alasan mengerjakan tugas kelompok atau belajar bersama, mereka memaksaku untuk mengajak mereka ke rumah. Padahal aku tahu persis, mereka ingin melihat ketampanan yang hakiki itu. Aku juga pernah menyalahkan soal itu, maksudku dalam hati aku menyalahkan teman-temanku -- mungkin ayahku risih pada mereka yang sering ke rumah hingga ia memilih untuk merantau ke Sumatera. Ah, namanya juga pemikiran remaja belia yang baru naik ke kelas sepuluh. Tapi sekarang tidak, aku sudah kelas dua belas, kelas tiga SMA dan usiaku sudah tujuh belas tahun. Aku sudah mengerti tentang jarak di antara kami.
Yeah, aku mengerti. Tapi aku tidak akan membiarkan jarak itu terus menjadi jurang pemisah di antara kami. Aku anaknya, dan ini bukan tentang darah dan sedarah. Tapi tentang hati, aku menyayanginya dan tak ingin kehilangan kasih sayangnya. Terserah apa kata orang. Terserah apa kata Tante Sila dan Riko. Sekalipun dunia menentang, tak ada yang bisa merubah kenyataan ini: dia milikku.
Puas melihat pemandangan itu aku segera berbalik dan menyambar hadiah. Hadiah-hadiah itu sangat menarik perhatian meskipun perutku sedikit lapar.
Hadiah pertama dibungkus kreatif dengan ukuran super besar, kertas kadonya bercorak kupu-kupu warna-warni. Aku membukanya pelan-pelan, tidak mau merusak bungkusnya yang bagus. Dalam dua menit aku berhasil mengeluarkan boneka bantal cokelat muda dari dalamnya. Bulunya sangat halus dan di sampingnya ada moncong, seperti wajah anak anjing, sedangkan di bawahnya ada kaki-kaki. Aku membaca kartunya, dan rupanya itu dari Tiara.
Berikutnya aku mendapat anting-anting perak cantik dari Melisa. Dia memberiku tiga pasang. Selera Melisa boleh juga, batinku. Aku memasukkannya lagi ke kotak semula, lalu meletakkannya di atas meja riasku. Suatu saat aku akan memakainya.
Dinda menghadiahiku gaun terusan model terbaru warna ungu muda lembut. Modelnya yang elegan dan kakinya yang lembut membuatku sangat menyukai dan langsung mencobanya. Kuputar-putar tubuhku di depan cermin. Cantik sekali, sangat pas dengan bentuk tubuhku yang singset. Gaun itu membalut ketat dan dengan jelas memperlihatkan bentuk tubuhku yang indah.
Setelah puas bercermin, aku melepas gaun itu dan mulai membuka semua tumpukan hadiah. Kebanyakan teman perempuan memberi buku, mengingat aku suka sekali mengoleksi novel. Sedangkan teman-teman lelaki yang bingung saat memilih hadiah, kebanyakan memberiku boneka, hadiah paling umum untuk cewek. Akibatnya, tempat tidurku dipenuhi berbagai boneka. Ada yang memberi gelang perak, kalung manik-manik, hiasan meja, juga berbagai alat tulis warna-warni.
Akhirnya, setelah hampir dua jam, hadiah-hadiah itu sudah terbuka semua, menyisakan gundukan kertas kado di karpet, dan membuat tempat tidur penuh dengan barang. Menyenangkan sekali.
Tetapi, saat aku hendak keluar dari kamar, aku teringat hadiah yang diberikan oleh nenekku tersayang. Aku menyimpannya khusus di dalam lemari. Teringat hadiah itu aku pun kegirangan dan senyum-senyum sendiri sambil melangkahkan kaki ke lemari. Apa pun itu, aku akan sangat senang. Sebab, hadiah dari ayahku dan hadiah dari nenekku adalah hadiah paling spesial yang kuharapkan di setiap ulang tahunku. Apa pun itu. Dan...
Sebuah frame foto. Potretku sewaktu aku bayi dalam gendongan Daddy, dan satu lagi fotoku dalam gendongan Oma. Dan... aku tersenyum membaca tulisan tangan yang ia selipkan di balik kaca bingkai itu.
Oma tidak sabar menunggumu 18 tahun dan lulus sekolah.
Eh? Apa maksudnya? Kenapa Oma tidak sabar? Memangnya kenapa kalau aku sudah delapan belas tahun?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
🙄masih belum tahu...
2023-06-18
1
Sri Purwanti
wow pa tu maksud Oma GK sabar nunggu kmu jora
2023-01-25
1
Maritje Tahapary
lanjut trus, semakin keren ceritanya.bagus banget.ingin bacanya sampai tamat tidak ada jedanya.
2022-03-24
1