Hingga detak yang kesekian, iramanya terdengar mengalun teratur. Tak lagi detak kesakitan, tak lagi detak tak nyaman. Karena setiap berdetak, ada hal baru yang berwarna. Hidup yang semula ku anggap kelabu kini membentang pelangi dengan indah. Bahagia yang dulu hanya ku impi, kini mulai ku cecapi.
Hari pertama, kedua, ketiga bahkan hingga seminggu berlalu. Keberadaanku di kafe Ali sungguh terasa lebih menyenangkan hatiku. Aku tidak harus berpura-pura di hadapan Kania dan Arman lagi. Berangkat jam enam pagi dan pulang larut malam. Karena waktu istirahat ada kamar khusus untukku. Kafe Ali sebuah ruko 2 lantai. Yang bawah di jadikan kafe merangkap perpustakaan kecil. Karena Ali mau biar anak muda sekarang tidak lupa membaca sekalipun itu sebuah novel. Di lantai atas di gunakan sebagai tempat tinggalnya selama ini. Ada tiga kamar dan dapur yang cukup besar untuk ukuran seorang bujangan. Mungkin Ali berencana tinggal disini setelah menikah. Karena aku melihat banyak perabotan yang masih baru.
Kania beberapakali memahariku agar tidak pulang larut, katanya Maila merindukanku. Semenjak kerja di kafe, aku memang jarang bisa menimang Maila lagi. Karena waktu yang tidak sinkron. Tapi aku tahu kalau itu semua hanya alasan Kania.
Selly menghampiriku. Gadis muda berkuncir yang kini menatapku mesem-mesem, membuatku bertanya dalam hati.
"Mbak Prill.."
"Kenapa?"
"Boleh nggak sih aku tuh berharap?"
"Hemm?"
"Mas Ali auranya hari ini cerah banget. Yang biasanya suram macam jemuran tiga hari gak kena matahari, sekarang kelihatan banget cerahnya. Tadi aja nyapa kita-kita yang lagi ngelayani pelanggan. Terus ngasih semangat kecil ke kita, tebar senyum sana-sini."
"Intinya?" Aku benar-benar tidak mengerti ucapan Selly yang berbelit-belit.
"Kayaknya Mas Ali udah mupon deh. Kan kan, aku berharap bisa di lihat sama dia." Selly cengengesan.
"Dia kan tiap hari lihat kamu terus, Sell."
"Ih mbak Prilly, gak ngeh banget, deh. Nggak asik." Ia merajuk. Aku tertawa kecil lalu mengusap bahunya.
"Kerja gih yang rajin, sana ada pelanggan tuh. Biar Mas Ali ngelihat kamu!" .
Selly langsung kembali ceria. Gadis itu mengangguk pergi meninggalkanku.
Aku tersenyum. Melanjutkan pekerjaanku karena ada yang membayar tagihan.
***
Melepaskan flat soes-ku, aku duduk di sofa. Meregangkan badan yang terasa letih. Lantas meraih bantal sofa lalu berbaring. Pikiranku menerawang jauh, berkelana entah kemana rimba. Pada masa-masa berkubang dalam lara, di sebuah indekos sempit. Perkakas berhamburan, memenuhi setiap sudut lantai. Yang kulakukan setiap hari hanya menangis hingga mataku bengkak. Bahkan dalam kurun waktu enam bulan, bobot tubuhku hampir 30 kilo gram saja. Dan aku tidak peduli apapun. Meratapi nasib cintaku yang harus kandas di saat sedang bahagia-bahagianya.
"Prill, kamu kenapa,?" Goncangan di tanganku membuat semua kilasan duka itu tercerabut. Wajah Ali menatap cemas padaku. Astaga. Aku tertawa sumbang merasakan pipiku yang basah. Ku seka dengan kasar lalu duduk.
"Nggak apa-apa, Mas. Kayaknya aku cuma terbawa perasaan aja. Maklum, kalau waktu sendirian pikiran sering jalan-jalan tanpa permisi." Ungkapku jujur. Ali mengangguk maklum, ia mengambil tempat di sebelahku. Ini jam istirahat menjelang magrib, jadi kafe di tutup.
"Mas suka gitu juga. Ya... namanya kita pacaran nggak sehari dua hari, wajar kalau hal-hal seperti itu sering melintasi benak kita. Lagipula praktek move on itu gak semudah mengatakannya. Kalau di hitung harian, mungkin udah selesai nyicil motor, ya. Hehe." Aku tertawa juga melihat Ali terkekeh.
Kami ini dua orang yang sama-sama patah hati. Kisah cinta tragis yang kami alami jelas membuat kami terpukul. Mungkin terdengar sudah bisa melupakan, tapi hati di dalam siapa yang tahu, kan?. Manusia kadang selabil itu, tergantung situasi dan kondisi. Usaha berjalan kembali itu sudah jelas ada. Tapi ya itu, yang kata Ali tadi, ngelakuinnya nggak semudah mengucapkannya. Kadang bilang bahagia, semenit kemudian meneteskan air mata.
"Mas malahan salut sama kamu, Prill. Bisa kuat gitu tinggal satu rumah sama Kania dan Arman. Maaf ya, kalau kalimat ini bikin kamu tersinggung."
"Nggak masalah, Mas. Ya itulah. Aku nggak mungkin membenci mereka. Yang aku rasakan itu kecewa terlalu dalam, tau kan kecewa itu levelnya di atas marah?. Tapi ya sudahlah, nggak ada habisnya kalau aku dendam sama mereka. Aku juga lagi otewe move on, walaupun kadang suka nangis tanpa sadar kayak tadi. Karena di waktu tertentu aku suka ngebayangin hal yang manis. Mungkin lebih baik kami nggak pernah ketemu aja di masalalu."
"Salut. Mas aja seorang laki-laki rasanya mau mati pas kejadian kemaren. Kami jarang bertengkar. Apapun yang Sintia mau Mas selalu turutin. Rasanya nggak ada yang salah sama hubungan kami. Sintia benar-benar memberikan kejutan luar biasa. Mas malu sama keluarganya karena tidak bisa menepati janji menikahi putri mereka.".
"Mas Ali nggak salah. Cinta juga nggak salah. Balik lagi seperti percakapan kita tempo lalu, memang belum jodoh. Dan bersyukur semuanya belum terlanjur. Kita berdua sama-sama memiliki hati yang sudah berderak retak, semoga ke depannya bisa menemukan seseorang yang tau bagaimana menghargai pasangan."
Ali mengusap wajahnya, lantas menatapku dengan binar di mata.
"Semoga ke depannya kita nggak membahas soal ini lagi, ya. Soalnya untuk masalah Sintia saja Mas udah gak mau ikut campur lagi. Sintia sudah dewasa, Mas yakin kalau dia mengambil tindakan seperti kemaren, bearti dia sudah punya rencana yang mantap."
"Cukuplah sampai di bab ini saja nama mereka mengisi lembaran halaman. Setelahnya akan membuka bab yang baru. Semoga esok lusa ada nama pemeran baru dalam bab kita."
"Iya. Semoga. Kamu belum makan, kan?. Mas mau bikin nasgor. Kamu mau?"
"Boleh."
Aku mengikut Ali ke dapur. Membantunya mengiris kol, mengupas udang. Sedangkan dia sendiri membuat bumbu. Selang setengah jam, nasgor udang yang kami buat sudah jadi. Lalu lanjut makan sambil mengobrol-ngobrol. Ali menceritakan awal mulai ia membuka kafe ini. Kami berdua bercerita seru, yang jelas ceritanya yang tidak berhubungan dengan soal asmara.
***
Arman muncul membuka daun pintu setelah aku menekan bel beberapakali. Ia yang sudah berganti pakaian tidur terlihat gurat lelah di wajahnya.
"Kania udah tidur sama Maira." Katanya. Aku masuk ke rumah di iringi Arman. Ku lirik jam dinding yang tertempel di ruang tamu sudah menunjukkan jam dua belas malam. Tentu saja Kania sudah tidur menemani Maila. Ini malam minggu, jadi kafe banyak pengunjung, jadinya aku baru pulang di jam segini. Dengan kebaikan Ali aku di antar pulang karena takut apa-apa denganku kalau sampai aku naik taksi.
Setelah berganti baju, aku keluar lagi menuju ruang tv. Mataku belum mengantuk karena tadi tertidur sebentar di kafe. Sebelumnya aku mengambil setoples cemilan di dapur dengan segelas air putih hangat.
"Belum tidur, Prill?," Ada Arman rupanya di depan tv juga. Ia terlihat mengganti-ganti saluran tv.
"Belum ngantuk, Mas. Mas ngapain belum tidur juga?". Aku duduk pada sisi ujung sofa, sedangkan Arman di ujung sisi yang lainnya. Karena di sini cuma ada satu sofa panjang untuk menonton.
"Sama. Tadi udah tidur. Kebangun pas kamu bunyiin bel."
Rasa bersalah langsung menghampiriku, "Aduh, Mas maaf banget ya gangguin tidurnya. Tadi udah di tawarin Mas Ali buat nginap di kafe."
"Nggak usah!". Aku mengernyit mendengar nada suara Arman. Ku pandangi ia yang terlihat menghela nafas lelah.
"Kamu nggak usah nginep disana, kalau kamu pulang larut telpon aja biar Mas yang jemput."
"Kenapa?," Aku bertanya heran. Ia menoleh ke arahku, menatap dengan sorot yang sulit aku mengerti.
"Nggak enak kalau kamu sampai tidur disana. Dia laki-laki, Prill. Dan kalian pasti cuma tinggal berduaan."
"Semisalpun iya, itu gak ada hubungannya sama, Mas."
"Prill--"
"Mas, aku udah dewasa, dan Mas tau itu. Aku nggak akan mungkin ngelakuin hal bodoh apalagi sama orang asing. Sama pacar aku sendiri aku nggak pernah ngapa-ngapain."
"Maksud Mas bukan gitu, Mas cuma--"
"Udah, Ya. Aku ngantuk, Mas."
Aku langsung meninggalkan ruang menonton. Membawa hatiku yang terlanjur dongkol.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
💕Dee_Yee_MinD💕
jangan2, Arman ada rasa cemburu... rasain tuh 😝🤭
2020-12-06
0