Pada suatu waktu engkau terjatuh hingga terluka, seiring waktu maka luka itu akan kering dan berangsur sembuh. Meninggalkan jejak sebagai pengingat bahwa kita pernah dalam waktu terpuruk. Supaya kita lebih kuat dari waktu yang lalu. Karena kekuatan sesungguhnya ada pada pengalaman hidup yang terkadang manis dan pahit.
Berbulan sudah aku tinggal bersama Kania dan Arman, tak lagi aku merasakan sakit hati tiap kali menemukan mereka berdua bermesraan. Benar kata orang, bisa karena terbiasa. Begitupun aku yang pernah mengalami. Kebahagiaan kadang tiba-tiba menghampiri, duka tiba-tiba hadir.
Sekarang aku di sibukkan mencari pekerjaan, tidak selamanya menumpang pada Kania. Dia juga banyak keperluan. Mereka berdua saja bekerja, kenapa aku harus berdiam diri?. Beberapa hari lalu aku bicara pada Kania kalau aku akan cari indekos semisal sudah dapat pekerjaan. Dan dia menentang dengan sengit. Lalu hal yang tak pernah masuk dalam pembicaraan kami, akhirnya keluar juga.
"Kita ini hidup cuma berdua, mustahil aku gak mampu nampung sodara sendiri. Dulu kamu yang berjuang buat aku biar bisa kuliah, makan enak, punya baju bagus, punya teman yang banyak. Tanpa memikirkan bahwa kamu sendiri semenjak bapak sakit benar-benar berdiam di rumah. Merawat bapak, masak, beres-beres, bahkan masih sempat membuat jajanan untuk di jual. Bahkan sampai bapak meninggalpun, kamu bersikeras mengurus uang kuliahku. Aku kerja sekarang untuk kamu juga, Prill. Urusan biaya rumah tangga kami biar Arman, karena itu sudah tanggung jawab dia sebagai suami. Rumah aku, bearti rumah kamu juga. Gak mungkin aku nelantarin kamu hanya karena aku sudah bersuami." Nafas Kania memburu setelah mengatakan kalimat sepanjang itu. Wah... Aku terkesan. Kakak perempuanku yang manja sudah bisa bersikap dewasa.
Maka dengan sabar pula kujelaskan.
"Beda, Ka. Ini rumah kalian. Kehadiranku mungkin tidak merepotkan. Tapi aku merasa terbebani. Aku nggak mau kalau harus melihat kalian bermesraan secara diam-diam karena takut ketahuan aku. Kalian nggak nyaman. Kalian kadang saling mengabaikan karena tidak enak denganku, atau mungkin rasa bersalah. Kalian tidak leluasa, Ka."
"Prill.. itu--"
"Aku tau kok kamu sayang sama aku. Tapi aku udah dewasa, Ka."..
"Aku takut, Prill. Aku takut kamu pergi lagi seperti waktu itu." Mata Kania berkaca-kaca. Membuat dadaku sesak seketika.
"Aku cuma gadis biasa, Ka. Yang kadang belum bisa menyikapi suatu masalah. Aku terlalu kaget waktu kalian ngaku saling mencintai. Bahkan diam-diam di belakangku kalian beberapa kali janji ketemuan. Aku nggak pernah nganggap kalian penghianat, Ka. Karena kupikir yang membolak-balikkan hati adalah Tuhan. Jadi aku tidak menyalahkan siapapun. Aku hanya mencoba menyembuhkan lukaku, aku hanya terlalu kecewa. Lelaki yang aku cintai harus berpaling dariku dalam sekejap karena saling mencintai dengan kakakku sendiri. Nggak semudah itu aku menerima, rasanya nggak bisa di jelaskan. Sakit bangeett, Ka. Aku bahkan sempat berpikir kalau aku di dunia ini hanya untuk pemeran pendamping. Aku pergi membawa hati yang berdarah, terluka, kecewa. Rasanya luar biasa, Ka. Tapi aku nggak mungkin menghalangi kalian. Aku nggak mungkin memaksa Arman tinggal di sisiku lagi sementara dia saja sudah berhenti mencintaiku." Nafasku tersengal, air mata merebak luruh. Kania terdiam. Kedua tangannya saling meremas.
"Aku minta maaf, Prill. Aku salah. Selama aku hidup aku selalu nyusahin kamu. Aku selalu mengambil hak bahagia milikmu. Tapi aku nggak nyesal karena merebut Arman, karena aku benar-benar cinta dia. Maaf aku egois. Aku jadi kakak yang buruk untuk kamu. Maka dari itu aku ingin menebusnya. Kamu harus tetap tinggal di sini, biarkan aku yang kerja buat kamu."
"Nggak semudah itu masalahnya, Ka. Tolong, kamu dewasa sedikit. Jangan selalu berkehendak seperti yang selalu kamu mau. Aku nggak berpikir kalau harus minta duit sama kamu. Aku masih sehat. Dalam rumah tangga, bukan hanya hati kamu saja yang di pikirkan. Ada orang lain, ada mertuamu, ada keluarga suamimu. Kalau hanya tinggal barang sebulan dua bulan itu oke-oke saja. Tapi kalau selamanya, itu nggak mungkin. Keluarga Arman gak akan kasih toleransi. Kalian berdua itu berhak bahagia dengan keluarga kecil kalian. Masalah kebahagiaanku, itu urusanku. Paham?."
Kania terisak. Memajukan tubuhnya lalu memelukku. Kami berdua menangis hebat.
Sebelum ini kami tidak pernah membahas masalah kisah cinta kami. Arman dan aku yang berakhir tragis, Kania dan Arman yang berakhir menikah.
Waktu mereka berdua mengaku saling mencintai, aku marah. Tapi aku nggak gegabah dengan mengatai mereka berdua. Seminggu mengurung diri di kamar, setelahnya aky memutuskan untuk pergi. Menjauh dari sumber sakit hatiku. Hingga hampir setahun Arman menghubungiku, mengatakan kalau Kania akan melahirkan dan dia ketakutan setengah mati. Aku langsung mengambil penerbangan sore dan kembali di mana aku harus menahan perih di hati saat bertemu muka dengan Arman.
***
"Prilly?"
"Mas Ali!"
Aku tertawa kecil. Ketika aku sedang mampir ke minimarket untuk membeli sebotol air mineral dingin, tetiba seseorang menepuk pundakku. Dan itu ternyata Ali. Lelaki yang sebulan lalu di tinggal calon istrnya ini, kini tampak tersenyum manis menyapaku.
"Wah kebetulan sekali."
"Iya nih, Mas. Mas nyari apa?"
"Kebetulan lewat saja, tadi dari kantor pemasaran di sebelah situ. Pas lihat kamu masuk, langsung di datengin." Ali menjelaskan.
"Oh ya. Eh, duduk di depan aja yuk, Mas!. Tapi mau bayar ini dulu." Aku menunjukkan botol air mineral yang baru ku ambil dari lemari pendingin. Ali mengangguk. Lalu aku membayar minumanku di kasir. Setelahnya kami berdua duduk di depan minimarket.
Kalau ingat hari yang seharusnya menjadi hari akadnya Ali dan Sintia, aku kembali meringis. Tante Dewi pingsan. Calon Ayah mertuanya Ali sampai kena serangan stroke ringan. Calon ibu mertuanya bahkan nangis meraung-raung. Putrinya yang tidak diketahui keberadaan, pernikahan yang batal serta menanggung malu. Benar-benar acara yang kacau. Di malam acara yang gagal itu Ali bahkan tidak mau makan, tidak mau bicara, dia seperti orang linglung. Bahkan keesokannya masih sama saja. Tante Dewi tidak mengerluarkan kata-kata ketika keluarga dari pihak Sintia datang meminta maaf. Sepertinya beliau sangat kecewa karena di permalukan. Yang mereka tahu selama ini hubungan Ali bahkan baik-baik saja bersama Sintia sebelum hari mengerikan itu tiba. Lusanya kami langsung pulang ke rumah, jadi setelah itu tidak tahu lagi kelanjutan urusannya. Mama Arman hanya pernah menelpon sekali untuk mengabarkan semuanya sudah berangsur membaik.
"Punya kesibukan apa, Prill?," Ali memulai percakapan.
"Nggak ada, Mas. Rencana mau cari kerjaan. Tapi ya itulah, tamatan SMP kayak aku di kota metropolitan gini kan agak susah, ya." Aku menjelaskan.
"Kamu maunya kerja apa?"
"Apa aja, Mas. Yang penting aku mampu dan sesuai dengan pengetahuanku."
"Kebetulan salah seorang karyawan di cafe-ku ada yang mengundurkan diri karena mau nikah. Kalau kamu berminat, ayuk aja kerja di sana."
"Wah beneran, Mas?. Emangnya bagian apa? Bersih-bersih?"
Ali tertawa menanggapi pertanyaanku.
"Bukan, kok. Kasir. Mau?"
"Mas Ali yakin nih, aku?."
"Kenapa harus nggak yakin?" Ia bertanya balik.
"Perlu surat lamaran, nggak?"
"Nggak perlu, Prill. Kamu kan sodaranya Kania. Nggak harus formal gitu, lah. Aku percaya, kok."
"Makasih, Mas Ali. Kapan aku bisa mulai kerja?." Aku exited banget. Bahkan Ali sampai tertawa kecil melihat ketidak sabaranku.
"Terserah kamu, Prill. Besok kalau mau dateng aja."
"No WA, Mas?". Ali menyebutkan sederet angka yang langsung ku simpan di ponselku.
Esok, akan aku mulai langkah yang baru. Meninggalkan masalalu bukan berarti aku melupakannya. Masalalu boleh di kenang, tapi tidak untuk di ulang.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
bagus ceritanya... pemilihan kata katanya pas
2020-11-24
0
Auni Naqiya
Haii author kece.... aku sudah baca ceritanya lho..
Mampir juga dong ke cerita aku "Manik Cinta Manika"... jangan lupa tinggalkan feedback nya yaa.. makasih.
2020-04-11
0