“Dis,” panggil Harris yang kemudian duduk
di hadapan Adista. Adista hanya tersenyum singkat dan kembali menulis tugas
yang diberikan oleh ketua kelas karena guru yang sedang mengajar tidak masuk.
“Kenapa, Ris?”
“Gue mau cerita deh sama lo, udah lama gue gak cerita.”
“Cerita aja, gue dengerin.”
“Jangan nulis deh lo, gue serius ceritanya.”
Adista tersenyum singkat setelah
meletakkan pena dan menutup bukunya. Kemudian Adista menatap Harris yang tengah
bersiap-siap untuk cerita.
Adista terdiam menatap Harris, cowok itu
tengah tersenyum lebar. Cowok itu tengah berbahagia—terlihat dari matanya yang
memancarkan kebahagiaan. Cowok itu cowok yang Adista sukai. Cowok itu bukanlah milik Adista. Dan cowok itu tidak mungkin menjadi milik Adista, untuk
selamanya. Mungkin.
“Gue mau nembak Sasa, Dis,” ucap Harris
sambil tersenyum lebar.
Benar, bukan? Adista sudah tahu itu, dari
mata Harris saja sudah menampikkan hal seperti itu. Adista kembali terdiam
mencoba untuk menguatkan hatinya, mencoba untuk tidak menangis karena Harris saat ini juga.
“Ya udah tembak aja, kenapa harus susah
sih?”
“Masalahnya, gue takut nanti gue ditolak
sama Sasa.”
“Dicoba aja belum. Gue yakin Sasa juga
suka sama lo kok, kalian udah dua tahun sekelas. So, Sasa udah tahu gimana lo.”
Harris berdiri dari bangkunya dan menatap
Adista. “Thanks, Dis. Lo memang temen
gue paling-paling deh.”
Adista tersenyum simpul. Teman. Ya, hanya teman.
* * *
Alaric : Tungguin aku di parkiran.
Adista melirik Langit yang juga sedang
melihatnya, dan mengetikkan balasan untuk Langit.
Adista : Aku lagi gak mood pulang sama
kamu. Aku bisa pulang sendiri.
Alaric : Mood aku lagi buruk, aku butuh
kamu.
Aku butuh kamu. Adista terdiam memperhatikan rentetan kata-kata yang mungkin saja Langit salah kirim. Selama ini, Adista berharap, sangat berharap ada orang
yang mau membutuhkannya, dari hal apapun.
“Dis, gak pulang lo?” tanya Dinda sambil menepuk pelan bahu Adista.
Adista tersadar dan segera memasukkan
ponselnya. “Iya, gue pulang.”
“Mau bareng gue?” tanya Dinda yang dibalas gelengan oleh Adista.
“Gue bareng sama Alaric.”
Dinda tersenyum menggoda membuat Adista mencebikkan bibirnya. “Udah pake panggilan sayang aja nih.”
“Jangan buat mood gue tambah rusak deh, Din!”
“Eh?” Dinda menaikkan sebelah alisnya
bingung. “Kenapa?”
Adista menghela napasnya. “Harris mau
nembak Sasa.”
“Biarin lah, katanya lo udah move on. Bohong aja lo.”
“Gue pikir gue udah move on, tapi saat dia bilang kayak gitu, aneh Din. Gue pengen
nangis, hati gue tiba-tiba sakit.”
“Sekarang lo lupain aja deh, Langit selalu
ada di samping lo, Dis. Dia yang selalu ada, bukan Harris.”
“Maksud lo?” tanya Adista bingung. Jelas,
sejak kapan Langit selalu berada di samping Adista. Langit dan Adista berbicara
berdua baru-baru ini, dan mereka tidak pernah satu kelompok atau topik yang
ingin dibicarakan.
“Lo tahu maksud gue, Dis,” jawab Dinda
menambah kebingungan Adista. “Pulang sana, Langit nungguin.”
Adista melangkahkan kakinya keluar dari
kelas, Adista masih bingung dengan ucapan Dinda. Selalu disampingnya? Tidak mungkin! Jelas-jelas Adista dan Langit
tidak pernah dekat, tidak pernah bertukar sapa, tidak pernah saling bertukar
pesan, yang ada Adista selalu membicarakan Langit dibelakang karena kenakalan Langit.
Poor Langit.
Langit sudah menunggu Adista di parkiran,
padahal Langit mengirimkan pesan kalau Adista yang menunggu di parkiran, tapi
malah sebaliknya. Cowok itu menunggu Adista, setelah mengirimkan pesan Langit
segera keluar dari kelas dan tidak tahu kalau cewek itu masih berada di kelas.
Adista menatap Langit yang tengah berdiri
di dekat motornya, menatap tajam Adista membuat Adista melangkah pelan-pelan
memikirkan sedikit alasan agar Langit tidak marah kepadanya. Wait ... Adista segera menggelengkan kepalanya, perduli apa Adista dengan Langit yang marah. Salah siapa yang mau pulang dengan Adista, jelas Adista bisa pulang sendiri.
“Dari mana aja?” tanya Langit.
“Kelas,” jawab Adista singkat dan
mengambil helm serta memakainya. “Ayo pulang, Ric. Lapar.”
“Kita makan aja,” saran Langit dibalas gelengan Adista.
“Aku mau makan di rumah, kangen masakan Mama.”
“Aku tahu restoran yang masakin masakan
Mama,” kata Langit membuat alis Adista terangkat. “Buruan naik,” titah Langit.
“Maksud aku Mama aku, Ric. Mama Anita.”
“Iya, aku tahu. Buruan deh.”
* * *
Motor Langit berhenti di depan sebuah
rumah yang bercat abu-abu, bukan restoran yang dimaksudkan oleh Langit, tapi
rumah orang. Entah rumah siapa yang jelas Adista tidak tahu apa maksud dan
tujuan Langit saat ini.
“Buruan, Mama pasti udah masak,” kata
Langit sambil menarik tangan Adista membuat Adista terdiam dan menatap
tangannya yang telah digenggam oleh Langit.
Seandainya saja yang menggenggam tangannya saat ini adalah Harris, sudah pasti Adista merasa sangat senang. Seandainya.
“Langit pulang,” kata Langit sambil
melemparkan tasnya ke atas sofa dan segera menuntun Adista menuju ruang makan. “Kan, Mama Vivin udah masak. Ayo makan.”
“Tunggu, Ric.”
“Apa?” tanya Langit sambil menatap Adista.
“Ini rumah kamu?”
Langit mengangguk dan setelah itu muncul
satu wanita paruh baya dan satunya cewek yang mengenakan seragam SMP. Adista
mematung, Mama dan Adik Langit berada di hadapannya yang tengah menatapnya
bingung.
Adista tersenyum simpul saat cewek berseragam SMP itu menyapanya.
“Angel, baru datang ya. Duduk aja, Bunda gak galak kok. Mukanya aja serem,” kata cewek utu yang langsung duduk di kursi meja makan.
Angel? Adista kembali dibuat bingung dengan keadaan saat ini. Jelas-jelas di name tag miliknya tertulis Adista dan
bukannya Angel.
Adista duduk di kursi setelah Vivin
menyuruhnya duduk, cewek berseragam SMP yang Adista ketahui bernama Lala itu
ajaib pake banget. Dia dengan hebohnya mencibirkan orang-orang yang menurutnya
mengganggu matanya.
“Yakali tadi Bang, gue ngeliat cewek pake
lipstik merah,” kata Lala sambil berdecak, tangannya tengah sibuk dengan nasi
yang ada di piringnya.
“Ada masalah dengan cewek pake lipstik
merah?” tanya Adista, cewek itu perlahan-lahan sudah mengetahui bagaimana keluarga Langit bercerita saat di meja makan.
“Jelas lah, Kak. Gue itu risih banget
ngeliat cewek pake lipstik merah, gak cocok sama umur yang masih remaja.”
Adista terkekeh dengan Vivin yang terlihat
seram tetapi sebenarnya wanita itu lembut dan penyayang, Lala dengan guyonannya
yang sering membuat orang yang berada di meja makan itu terkekeh atau tertawa,
sedangkan Langit hanya menjawab beberapa perkataan Lala dan menyuruh Lala untuk berhenti membicarakan orang.
Adista mengingat keluarganya, tidak ada
makan bersama, tidak ada percakapan saat makan, tidak ada kehangatan diantara
keluarganya. Evan—Ayah Adista sering tidak pulang ke rumah dengan alasan kalau
beliau ada tugas di luar kota.
Evan berubah setelah Adista menginjak
kelas 3 SMP, awalnya Adista tidak tahu apa yang menyebabkan keluarganya yang
tiba-tiba berubah menjadi tidak perduli satu sama lain. Evan dengan pekerjaannya, mungkin saja. Dan Anita dengan perasaannya yang tetap bahwa Evan masih mencintainya dan tetap ingin menjaga rumah tangga mereka.
“Ayah kerja apa, Dis?” tanya Vivin membuat
Adista yang tengah melamun langsung melihat ke arah Vivin.
“Papa jadi Direktur di perusahaan
perindustrian, Tan,” jawab Adista.
Mereka semua telah selesai makan siang,
Langit tengah mengganti baju sekolahnya, sedangkan Lala tengah memainkan
ponselnya.
“Kak, Wanna One bakal ke Indonesia,” kata
Lala tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel miliknya. “Mau nonton, Kak?”
Adista mengangkat sebelah alisnya.
Wajahnya menampilkan tidak perduli, tapi di dalam hatinya sedang berteriak gila
karena Adiknya Langit adalah seorang fangirl.
* * *
Btw, aku udah lama nulis ini hehe. Ketika Wanna One masih ada, huuu jadi kangen ga si:(((
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments