“Yang kelompok Adista, jangan pulang dulu.Adista mau ngomongin tentang tugas bahasa Indonesia,” teriak Dinda saat guru yang mengajarnya telah pergi dari kelas.
Otomatis semua yang merasa kelompok Adista langsung mendekat ke arah Adista dan Dinda berada, tidak dengan Langit. Cowok itu tidak tahu apa-apa tentang tugas bahasa Indonesia itu, dia bahkan tidak tahu dia berada di kelompok berapa.
“Langit, lo kelompok Adista,” teriak Dhika saat Langit hendak keluar dari kelas. Dengan segera, Langit mundur dan mengangkat sebelah alisnya.
“Gue?” tanya Langit sambil menunjuk dirinya sendiri.
Dhika hanya mengangguk, Langit terlihat bingung tapi dia melangkah mendekati Adista dan yang lainnya.
“Gue beneran kelompok lo, Dis?” tanya Langit pura-pura cuek—padahal dia tidak bisa menahan senyumannya.
“Iya, kata Bu Fitri lo harus jadi pemeran utama,” kata Adista sambil menghitung teman-temannya dan juga menghitung naskah yang dia pegang.
Setelah lengkap, Adista berdiri dan memberikan satu per satu naskah yang dia pegang kepada anggota kelompoknya.
“Gue belum tahu siapa pemeran utama ceweknya. Ada yang mau?” tanya Adista setelah selesai memberikan naskah itu.
“Gue yang pendek aja, Dis,” kata salah satu cewek yang berambut pendek.
“Boleh gue kasih usul?” tanya Dinda saat dia selesai membaca singkat naskah. “Kenapa gak lo aja yang jadi pemeran utama cewek? Sifat Kayra di sini mirip lo, Dis,” ucap Dinda mencoba meyakinkankan Adista sambil melirik Langit.
Adista menimbang-nimbang. Kalau dia terima, pasti dia akan lebih sering bertemu dengan Langit untuk latihan drama.
Adista melirik Harris yang tengah membaca naskah miliknya tanpa menghiraukan Adista yang sangat berharap bahwa Harris akan menolak dan merasa cemburu.
Tapi sepertinya itu hanya angan-angan dan khayalan Adista saja. Buktinya, saat Harris selesai membaca naskah itu, dia langsung setuju kalau Adista memang cocok beradu dengan Langit.
“Jadi, semua setuju kan kalo Adista yang jadi pemeran utama cewek?” tanya Dinda kepada teman-temannya yang lain, sedangkan teman-temannya itu menyorakkan setuju.
Adista menghela napasnya, dan mengangguk pasrah. Mungkin, memang benar kalau Harris tidak pernah menyukainya, tidak akan pernah melirik ke arahnya.
* * *
Harris : Cie ... yang bakal jadi pemeran utama.
Adista tersenyum miris saat melihat pesan itu baru saja masuk ke ponselnya. Adista tidak ada niatan untuk membalas atau bersanda gurau bersama Harris saat ini, yang dia pusingkan adalah: Bagaimana caranya dia bisa membuat chemistry dengan Langit yang jelas-jelas tidak pernah dekat dengan dirinya.
“Dis ...,” Adista langsung mengalihkan pusat penglihatannya ke arah Dinda yang tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya. “Gue kesepian.”
Adista terkekeh dan menggelengkan kepalanya, cewek yang berada di samping Adista itu sangat tidak suka kalau
rumahnya sepi, makanya dia lebih suka menginap di rumah Adista kalau kedua orangtuanya sedang tugas di luar kota.
“Sini, sama gue aja,” ucap Adista sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Dinda langsung melepaskan tasnya secara asal dan langsung naik ke atas kasur Adista dan merebahkan tubuhnya disana.
“Dis ...,” panggil Dinda.
“Apa?”
“Kenapa kita harus hidup kayak gini ya? Gue tahu kalo uang itu penting bagi kehidupan, tapi kenapa harus sering banget sih nyari uangnya?”
Adista mendesah pelan sambil menatap langit-langit kamarnya, benar. Kenapa harus sering mencari uang, padahal mereka sudah hidup berkecukupan.
“Lo masih mending ada Nyokap di rumah,” kata Dinda.
“Nyokap gue, Nyokap lo juga, Din,” ucap Adista membuat Dinda terkekeh sumbang.
“Omong-omong, Dis. Lo masih suka sama Harris?” tanya Dinda membuat Adista kembali menghela napasnya. “Kata Dandi, dia udah pacaran sama Sasa.”
“Biarin lah, Din. Gue yang suka dia, kalo dia terserah. Itu urusan dia mau suka siapa.”
Dinda mengangkat bahunya, dan selama beberapa detik keheningan menyelimuti mereka.
“Din ... lo pikir, drama kita bisa berhasil? Ini gue sama Langit, Din. Gue mana pernah dekat dengan Langit. Canggung.”
“Pasti berhasil lah, kalian harus latihan terus,” kata Dinda dan memutar posisi badannya menjadi tengkurap. “Dis, Langit itu lumayan lah.”
“Terus?”
“Gak mau coba move on dari Harris dan berpaling ke Langit?”
Adista menghela napasnya. “Gue bisa berpaling dari Harris, gue orangnya cepat suka sama cowok. Tapi, gue susah melupakan, Din.”
* **
Della : Kak, mau jalan bareng Della, gak? Della sendirian nih.
Della : Kak.
Della : Kak Langit.
Della : Kak Langit yang ganteng yang Della suka.
Della : Bales dong, Kak. Ih, Kak Langit, sombong banget sih.
Langit menghempaskan ponselnya ke atas tempat tidurnya, mengabaikan semua pesan dari Della, Adik kelasnya yang tergila-gila dengan Langit, seperti Langit yang tergila-gila dengan Adista.
Bedanya hanya, Langit tidak pernah mengirimkan pesan kepada Adista, tidak pernah berbicara kepada Adista, tidak pernah memulai sebuah pembicaraan dengan Adista, dan semuanya tidak pernah Langit lakukan untuk Adista.
Ada sih, satu hal yang Langit lakukan untuk Adista. Kecil, tapi sangat berarti bagi Langit.
“Bang, disuruh Ayah cuci mobil,” kata Lala—Adik Langit—setelah mengetuk pintu kamarnya. Langit bangun dan langsung ke luar rumah, menghampiri Alfian yang tengah mencuci motor kesayangannya.
“Kenapa Langit yang disuruh cuci mobil, Yah? Kan yang pake mobil Bunda,” gerutu Langit tapi masih tetap memulai
membersihkan mobil.
“Bunda kerja di rumah, gak mungkin kan Bunda juga harus cuci mobil,” bela Vivin sambil meletakkan minuman ke atas meja yang berada di teras rumah.
“Iya, Bunda capek beresin rumah,” Alfian juga menimpali membuat Langit berdecak.
“Sore. Om, Tante.”
Langit tidak menggubriskan suara siapa yang menyapa kedua orang tuanya itu. Jelas, siapa lagi kalau bukan Della si adik kelasnya itu.
“Ini, ada titipan Mama buat Tante,” kata Della sambil memberikan kantung plastik yang Della pegang dan memberikannya kepada Vivin.
“Wah ... bilang makasih ya sama Mama. Duduk dulu, Del. Lala ada di dalam kalo mau ketemu Lala.”
“Iya Tan,” Della tersenyum kemudian dia duduk disana sambil memperhatikan Langit yang masih mencuci mobil.
“Anak Om ganteng ya, Del,” suara Alfian membuat Della yang menatap Langit menjadi tersenyum kikuk saat Alfian sudah berada di sampingnya. “Kayak Om dulu masih muda, ganteng dan beribawa. Tapi, Om dulu gak nakal kayak Langit. Om dulu orangnya pintar.”
Della hanya mengangguk sambil tersenyum, telinganya mendengarkan Alfian yang bercerita tetapi matanya tengah fokus kepada Langit yang sedikit basah akibat mencuci mobil.
“Selesai, Yah,” ucap Langit yang langsung masuk ke dalam rumah, menghiraukan Della yang masih setia duduk disana dan menatap Langit. “Langit mandi dulu.”
“Langit orangnya memang gitu. Tapi, sifatnya itu gak jauh beda sama Om. Kalo dia udah suka sama satu cewek, dia bakalan tetap ke cewek itu, gak perduli gimana bentuk dan sifatnya cewek itu.”
Della merasa tertarik saat Alfian membicarakan itu, matanya berkilat-kilat penuh ketertarikan lebih saat Alfian bercerita tentang Langit.
“Terus Om, kalo Langit udah benci atau gak suka sama orang gimana?”
“Ya, dia bakal gak suka terus sampe berubah menjadi benci. Dan itu sangat berbahaya, Langit tidak segan-segan
berbuat agak jahat kepada orang yang bikin dia sakit hati, tidak perduli mau cewek atau cowok.”
Della mengangguk paham, sekarang dia hanya harus menjadi cewek yang Langit sukai, bukan?
* * *
Langit mengibaskan rambut basahnya, Langit tidak tahu apa tujuan Adik kelasnya itu datang ke rumahnya, tetapi kedatangan cewek itu sangat menganggu.
Lala masuk ke dalam kamar Langit dan langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur Langit. Lala mendesah pelan dan menghembuskan napasnya.
“Itu si titisan devil ngapain kesini terus sih?” tanya Lala membuat Langit terkekeh. “Muak gue lama-lama ngeliat mukanya, Bang. Ganti cewek kenapa?”
Langit tertarik, dia mengambil ponselnya dan membuka galeri miliknya. Disana dia banyak menyimpan foto Adista yang dia ambil secara diam-diam, sisanya berada di dalam laptop atau tidak kamera
miliknya.
“Kalo yang ini titisan angel kan, La?” Langit menyodorkan ponselnya yang menampilkan foto Adista membuat Lala menatap Abangnya itu tak percaya.
Baru kali ini Abangnya itu mau memperlihatkan foto cewek sambil tersenyum malu-malu, seperti orang jatuh
cinta.
Lala kembali mengamati foto itu dan Langit secara bergantian, mungkin benar kata Alfian, Langit akan berubah kalau dirinya sudah merasakan jatuh cinta—seperti cerita Alfian tentang dirinya.
“Kapan-kapan ajak main kesini, Bang. Gue bosen ngeliat tuh devil disini mulu,” gerutu Lala membuat Langit tersenyum kecut.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Abizar
Lanjut terus Thor. ☺️ Jangan lupa mampir dan like novel aku ya.
2020-04-10
1