Freya menatap datar lelaki yang bertabrakan dengannya tadi. Laki-laki itu sekarang tengah memandangnya tanpa berkedip. "Siapa sih lo?" Ketusnya.
Laki-laki itu menyugar rambutnya yang agak sedikit gondrong. Ia berdeham sok cool, kemudian menyorongkan tangan kanannya pada Freya. Ia berdecak kecil karena Freya tak mau menjabat tangannya. "Kenalin, nama gue Alan. Tapi gue saranin, lo panggil aja gue Babe.." Jawabnya memperkenalkan diri.
"Hueek! Baby? Babi aja, kali!" Freya langsung menyahut sadis.
"Wah, mulut lo pedas amat, sih?" Alan terkekeh.
"Masalah buat lo?"
"Lah makin nyolot dia. Gue ***** juga lo,"
"JIJIK!" Freya memekik. Ia berbalik badan dan segera pergi meninggalkan cowo berpenampilan urakan itu.
"Eh, Cantik! Nama lo siapa? Woy, kita belum kenalan. Cantik, hoy!" Alan berteriak memanggil-manggil Freya. Ia membenarkan letak tas gendongnya dan bersiap mengejar Freya. Tapi sayang, seseorang lebih dulu menarik tasnya dari belakang. "Anjing! Siapa yang berani narik-narik tas gue?" Makinya, kesal karena sudah menganggu niatnya mengejar Freya.
"Ngomong apa kamu tadi, hm?"
Alan langsung meringis mendengar suara orang yang menarik tasnya. Ia sangat kenal suara orang itu. Perlahan, ia menoleh ke belakang. "Eh, Kakak.." Alan memasang senyum lebar dan tampang baik-baik. "Kak Irsyad, ngapain di sini?"
"Kamu yang ngapain di sini? Baru pulang bukannya langsung ke rumah, malah keliaran dulu ke asrama putri," Irsyad yang notabene adalah kakak kandung Alan, menatap adiknya datar. Ia geleng kepala melihat penampilan adiknya yang persis seperti preman.
"Niatnya tadi juga mau langsung ke rumah, Kak. Tapi aku kesasar, hehe..,"
"Alasanmu! Memangnya sudah selama apa kamu ninggalin tempat ini? Baru juga satu minggu, nggak mungkin bisa bikin kamu lupa seluk beluk tempat ini,"
"Menyasarkan diri maksudnya..," Alan tertawa kecil. "Oh iya, Kak, Abi sama Umi, belum pulang dari Arab, kan?" Tanyanya sedikit was-was.
"Belum,"
"Yes! Berarti mereka nggak tau kalau aku kabur lagi. Dan aku juga nggak bakal kena ceramah sepanjang jalan kenangan lagi. Yuhuu!!" Alan berjingkrak kesenangan.
"Nanti Kakak yang akan adukan ke Abi dan Umi kalau kamu kabur lagi selama seminggu," kata Irsyad. Sukses membuat Alan seketika berhenti berjingkrak.
Alan mendengus kencang, menatap kesal sang kakak. "Jangan rese deh, Kak. Kakak seneng, liat aku diomeli dan dihukum terus-terusan?"
"Salahmu sendiri, Alan. Bandel terus-terusan, kabur terus-terusan. Juga terus-terusan pulang lagi kalau uangnya udah habis!" Sindir Irsyad, memaparkan kebiasaan nakal Alan.
"Maksudnya apa, nih? Maksudnya, Kak Irsyad pengen kalau aku kabur nggak usah pulang-pulang lagi?" Alan cemberut.
"Mungkin begitu memang lebih baik," Irsyad mengangkat kedua bahunya cuek. Membuat wajah Alan semakin cemberut.
"Punya kakak satu, kok ya jahat banget. Nggak sayang blas sama adiknya. Ya Allah.. ya Allah.." Alan mengeluh penuh drama.
"Punya adik satu, kok badungnya kebangetan. Disayang-sayang, tapi malah ngelunjak. Ya Allah.. ya Allah.." balas Irsyad mengikuti drama Alan. "Sudah, ayo ke rumah! Mandi dan ganti pakaianmu yang kaya preman ini. Anak pak kiai kok kaya begini."
Irsyad langsung menyeret Alan meninggalkan area asrama putri. Membawa adik bandelnya itu ke rumah mereka yang juga masih terletak di area ponpes.
**
"Freya, aduh, pelan-pelan jalannya. Capek aku," keluh Ajeng, yang sedari tadi terseok-seok mengikuti langkah kaki Freya yang kelewat cepat.
Biarpun kaki Ajeng lebih panjang dari milik Freya, tapi Ajeng terbiasa berjalan dengan pelan dan santun. Sebab kata ibunya di Solo, 'Perempuan itu kalau jalan yang anggun. Ndak boleh grasak-grusuk koyo wong lanang. Ndak bagus! Contoh itu, jalannya kanjeng putri keraton. Alon-alon, asal kelakon.' Dan kata-kata itu sangat dipatuhi oleh Ajeng.
"Nanti dia ngejar kita, Jeng,"
"Ndak, Frey. Noleh coba sana, dia ndak ikutin kita,"
Freya menoleh ke belakang, dan memang benar tidak ada yang mengikutinya.
"Tuh, benar kan? Udah, jalannya pelan-pelan aja,"
"Iya, nggak ada dia. Istirahat dulu deh, ya? Capek juga gue." Freya menarik tangan Ajeng menuju sebuah bangku panjang di bawah pohon jambu air. Yang letaknya ada di dekat masjid besar ponpes.
Setelah duduk, Ajeng langsung mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Tadi itu jalan, tapi rasanya seperti berlari bagi Ajeng.
"Jeng, cowo gila tadi itu siapa, sih?" Freya membuka obrolan. Setelah selama lima menit keduanya saling diam.
"Yang mana? Yang tadi tabrakan sama kamu itu, toh?"
"Iya, lah. Yang mana lagi emangnya?"
"Namanya Alan. Kan tadi dia udah memperkenalkan dirinya ke kamu, toh?" Ajeng menjawab dengan polos.
"Hadeh! Please deh, Ajeng.. kalau namanya, gue juga udah tau," Freya memutar kedua bola matanya malas.
"Kalau udah tau, ngapain kamu nanya lagi, Frey?"
"Ish! Maksud gue.. dia itu siapa? Murid di ponpes ini juga, atau apa? Gitu loh, Jeng!"
"Oh..," Ajeng mengangguk paham. "Alan itu bukan cuma murid di ponpes ini. Tapi, dia juga anaknya yang punya ponpes. Anaknya kiai Umar,"
"Sebentar, sebentar," Freya mengerutkan kening. Seperti ada yang janggal dari penjelasan Ajeng. "Lo bilang, cowo blangsak itu anaknya yang punya nih pesantren? Bukannya kata lo tadi pagi, anak yang punya pesantren ini si Irsyad?"
"Ya, benar. Mas Irsyad itu, anak pertamanya kiai Umar. Nah, kalau mas Alan, dia anak keduanya kiai Umar.."
"Jadi maksudnya, Irsyad sama Alan saudaraan? Adik-kakak? Iya?" Freya memastikan.
"Iya, Freya,"
"Heh? What the hell?" Freya spontan memekik tak percaya. "Yang gila aja.. masa iya, Irsyad punya saudara yang gayanya kaya cecunguk gitu? Irsyad kan santun dan alim banget. Lah si Alan? Apaan, urakan begitu," Freya mencibir.
"Ya persis kaya aku sama kamu tadi, Frey. Yang kamu masih pakai baju seksi dan rambut di warnai. Iya, toh?" Ajeng melirik Freya dengan jahil.
"Sialan, lo!" Freya mendengus. Tapi tak urung, ia tertawa juga bersama Ajeng.
Freya dan Ajeng kembali mengobrol dengan seru. Keduanya sudah terlihat akrab walau baru bertemu pagi tadi. Sikap Ajeng yang lembut dan juga ramah, membuat Freya merasa nyaman. Freya jadi merasa tidak sendirian dan memiliki teman. Ketika santriwati lain menatap Freya tak suka, Ajeng malah langsung menyambutya dengan hangat.
Dug, dug dug dug!!
"ANJING!" Freya refleks menjerit. Kaget karena mendengar suara bedug masjib yang ditabuh dengan keras.
Allahuakbar Allahuakbar..
Allahuakbar Allahuakbar..
"ANJRIT!" Freya lagi-lagi memekik dan menutup kedua telinganya. Kembali kaget mendengar suara azan yang keras, karena memang speaker masjid menghadap ke arah tempatnya duduk. Di tambah, Freya memang sedang duduk dengan jarak tak kurang dari lima puluh meter dari masjid. "Sialan, kaget gue!" Makinya sekali lagi.
"Hust, Freya! Ada suara azan kok kamu malah maki-maki. Ndak baik!" Tegur Ajeng.
"Kaget gue, Jeng. Gilak keras banget," Freya mendengus.
"Ya udah, ayo berdiri. Udah azan, waktunya kita untuk salat!" Ajeng berdiri dan merapikin sejenak rok gamisnya.
"Salat apaan?"
"Salat magrib, Freya. Yuk?"
"Ogah, ah. Lu aja sono. Gue nggak ngerti,"
"Ndak ngerti gimana? Ndak ngerti bacaan-bacaannya, atau gerakannya?"
"Kalau gerakannya, ya gue sih lumayan tau. Ada nungging-nunggingnya, kan? Gini, nih," Freya berdiri. Ia memperagakan gerakan ruku' dalam salat.
"Ya Allah, Freya!" Ajeng memukul pelan pantat Freya sambil tertawa. "Itu namanya bukan gerakan nungging-nungging. Itu ruku' namanya,"
"Mana gue tau namanya apaan," Freya menegakkan badan dan mengedikkan bahunya acuh. "Ngelakuin salat aja gue nggak pernah. Gimana mau tau bacaan dan nama gerakannya."
Ajeng menatap Freya iba. Mendengar kejujuran Freya barusan, membuatnya merasa kasihan. Betapa berdosanya gadis mungil itu selama ini. Tidak sama sekali mengenal Allah, dan lalai menjalankan perintah agama. Dalam hati, Ajeng berjanji akan membantu untuk Freya keluar dari kebutaan agama. Dia berjanji akan membantu Freya belajar agama.
Ajeng menyentuh kedua bahu Freya, menatap gadis itu dengan lembut. "Freya.. Insya Allah, aku berjanji demi diri aku sendiri, aku akan bantu kamu untuk mengenal Allah. Aku akan bantu kamu untuk mempelajari dasar-dasar agama islam. Salat yang terutama! Karena salat itu adalah tiangnya agama. Kita sama-sama berjalan mencari surga Allah, ya?" Ungkap Ajeng, benar-benar tulus dari dalam hati. Matanya bahkan tarlihat berkaca-kaca.
"Jeng?" Freya menatap Ajeng dengan raut wajah sulit diartikan.
"Ya, Frey?"
"Lo kenapa baik banget sama gue?"
"Karena.. kita adalah saudara, Frey.."
"Masa? Kok gue nggak pernah tau kalau kita saudaraan? Apa kita saudara yang terpisah?"
Ajeng tertawa pelan melihat wajah dan pertanyaan polos Freya "Semua anak dan cucu Adam adalah saudara. Seluruh umat islam di dunia ini adalah saudara, Freya.." terangnya.
"Oh, gitu ya?" Freya manggut-manggut. Kemudian, ia tersenyum pada Ajeng. "Lo baik. Gue suka temenan sama lo." Ungkapnya, memeluk sekilas tubuh Ajeng.
"Alhamdulillah.. aku juga senang berteman sama kamu. Kamu lucu," Ajeng mencubit pelan kedua pipi chubby milik Freya.
"Astagfirullah!" Ajeng kemudian segera beristigfar setelah melihat para santri dan santriwati berbondong-bondong pergi ke masjid. Mengingatkannya jika azan magrib sudah berkumandang sejak beberapa menit yang lalu.
"Kenapa, Jeng?"
"Aku baru ingat kalau tadi udah azan magrib. Ayo, kita ke masjib aja langsung, Frey. Ndak keburu kalau mau ambil mukenah di kamar. Kita pakai yang ada di masjid aja. Ayo, nanti ketinggalan salat berjamaah!" Ajeng buru-buru menarik tangan Freya. Membawa gadis itu ke masjid.
Allaahu Akbar Allaahu Akbar
Asyhadu an laa illaaha illallaah
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah
Untunglah, suara iqomah baru dikumandangkan usai Freya dan Ajeng mengambil wudhu. Tepatnya, Ajeng saja yang berwudhu. Karena Freya cuma membasuh wajah, dan selebihnya hanya garuk-garuk kepala memerhatikan gerakan wudhu Ajeng.
Masuk ke dalam masjid, Freya dibuat takjub dengan pemandangan yang ada. Puluhan, bahkan ratusan santri dan santriwati memenuhi setiap sudut masjid. Para santri membentuk barisan shaf rapi di bagian depan. Kemudian yang santriwati, berbaris mengisi shaf di belakang kain hijau, pembatas antara shaf laki-laki dan perempuan.
"Kalau dilihat dari belakang nih, ya.. tuh orang-orang udah kaya barisan kuntilanak ya, Jeng? Pakai putih-putih semua," Freya berbisik di telinga Ajeng. Memandangi puluhan santriwati yang mengenakan mukena berwarna putih.
"Ngawur, kamu!" Ajeng mencubit sangat pelan paha Freya. "Itu namanya mereka pakai mukena. Kamu juga harus pakai. Ini.."
Freya memandangi mukena di tangan Ajeng. "Malas, ah. Gerah pasti pakai gituan," Tolaknya.
"Nggak panas. Ada kipasnya di sini. Tuh, lihat!" Ajeng menunjuk beberapa kipas angin yang terpempel di atas plafon dan setiap bagian sudut tembok masjid. Ada sekitar delapan kipas angin berukuran sedang yang menyala. "Ayo cepat pakai. Imamnya sudah berdiri itu."
Sambil berdecak, Freya akhirnya mengambil mukena dari Ajeng, lalu memakainya dengan malas.
Dan untuk pertama kalinya sepanjang tujuh belas tahun hidup Freya di dunia, ini adalah kali pertama Freya memakai mukena dan melaksanakan salat berjamaah. Pasalnya, pada perayaan idul fitri saja Freya tidak pernah mau ikut salat ID. Ada perasaan aneh yang diam-diam menelisik dalam jiwanya saat mengenakan mukenah. Seperti berdebar-debar. Tapi bukan debaran seperti jika sedang jatuh cinta pada seseorang. Entah, lah. Freya juga tidak mau ambil pusing sepertinya.
Freya sibuk melirik kiri dan kanan. Sibuk memerhatikan gerakan-gerakan salat yang tidak pernah ia tahu. Ia menelengkan kepalanya, memerhatikan dengan seksama wajah Ajeng dan beberapa santri lainnya. Atau tepatnya, ke arah mulut mereka yang bergerak-gerak, tapi tidak menghasilkan suara.
"Oh.. kalau salat itu, mulutnya kudu komat-kamit ternyata. Kaya dukun gitu," gumam Freya sok paham.
Tiba di gerakan sujud dalam rakaat terakhir, tiba-tiba terdengar bunyi kentut yang sangat keras dari barisan depan. Dari shaf laki-laki.
Freya sontak tertawa keras dan terbahak-bahak. "Hahaha, goblok! Siapa itu yang kentut? Sumpah, itu yang di belakangnya apes banget dikentutin. HAAHAHA!" Serunya dengan keras.
Usai salam, para santri dan santriwati jadi ribut sendiri. Heboh mendengar suara kentut keras dari barisan laki-laki dan tawa terbahak seorang perempuan.
Ustad Arifin selaku imam dalam salat kali ini, dengan cepat menenangkan murid-murid didiknya. Ia langsung menanyakan siapa pelaku penyebab kegaduhan ini.
"Yang tadi kentut keras-keras, silahkan berdiri!" Perintah ustad Arifin, tegas.
"Maaf, Ustad! Kelepasan tadi kentutnya. Udah berusaha nggak ditahan, ternyata ngebom beneran." Seseorang berdiri dan menjawab dengan enteng. Tidak merasa menyesal atau malu, malah justru cengengesan. Karena dia memang sengaja tadi kentut keras-keras.
"Astagfirullah.." Irsyad langsung mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Malu sendiri setelah tau jika pelaku kegaduhannya adalah sang adik sendiri, Alan.
Ustad Arifin menggelengkan kepala sambil beristigfar. Tidak heran lagi sebenarnya dengan kelakukan Alan. Anak pemilik ponpes yang satu itu, memang sudah terkenal nakalnya. Sangat berbeda dengan sanga kakak, Irsyad.
"Kalau yang tertawa terbahak-bahak tadi siapa? Padahal tadi salatnya belum selesai, kok sudah tertawa! Saya dengar, itu suara perempuan!" Ustad Arifin bertanya dengan lebih tegas.
"GUE!" Freya langsung menyahut dengan lantang, tidak takut sama sekali. Ia melepas mukenanya, dan segera berdiri.
Semua pandangan langsung tertuju pada Freya. Termasuk juga Alan dan Irsyad. Alan menatap Freya dengan terperangah kagum. Sedangkan Irsyad menatap Freya dengan pandangan bingung. Seperti tidak asing dengan wajah Freya, tapi juga merasa tidak pernah melihat wajah Freya sebelumnya.
"Gue yang tadi ketawa, Bang Ustad. Soalnya lucu, nggak tahan mau ketawa," Aku Freya.
Irsyad langsung membulatkan matanya mendengar pengakuan gadis berkerudung putih itu. Dari bahasanya, Irsyad sudah tahu siapa gadis itu. Dia adalah si gadis kota yang membuat geger pesantren dan berpenampilan terbuka serta tidak tahu sopan santun.
Irsyad masih terus memerhatikan wajah Freya. Hingga Freya yang mulanya sibuk menatap semua orang di masjid itu, tanpa sengaja melihat ke arahnya. Gadis itu menatap Irsyad lurus, kemudian melemparinya sebuah senyum tipis. Senyum yang membuat wajah Freya terlihat sangat ayu dan anggun. Tidak terkesan centil dan selengekan seperti sebelumnya.
"Masya Allah.." entah sadar atau tidak, Irsyad menggumamkan kalimat bernada kagum saat melihat wajah ayu Freya.
.
.
.......
...Mohon kritik dan sarannya teman-teman.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Wanda Revano
ya allah terpesona liat freya...bagus ini novel banyak ngajarin kebaikan👍😊salut aku sama kamu thor
2021-12-25
1
Agustinapurwanti
ya allah 🤣🤣🤣
2021-12-15
1
yanti
aku ngebayangin yang jadi MC nya itu si Yuki kato
kalok lakinya ngak tau siapa
2021-12-14
2