Freya menatap melas kepergian mobil yang membawa kedua orangtuanya serta Gio meninggalkan ponpes Nurul Huda. Kedua orangtuanya ternyata benar-benar serius dan tidak main-main. Segala bujuk rayu Freya sama sekali tidak mempan untuk menggagalkan niat papa Baskoro dan mama Astrid. Meski tadi sudah pura-pura mau pingsan, Freya tetap saja ditinggalkan.
"Sudah, Freya, kamu jangan sedih. Niat orangtua kamu itu baik, loh. Mereka mau kamu memperbaiki diri. Makanya, kamu dititipkan di pesantren ini," ujar ustad Arifin, yang berdiri di sebelah kanan Freya. Ikut menyaksikan kepulangan orangtua dan sepupu Freya.
"Tapi di sini nggak enak, woy. Orangnya katro semua. Tempatnya terpencil. Jauh sama mall, jauh sama salon, jauh sama bioskop, jauh sama diskotik. Nggak ada tempat tongkrongan. Ya ampun nggak ngerti lagi gue!" Freya menghentakkan kakinya, kesal.
"Justru itu. Dengan kamu tinggal di sini, kamu akan dijauhkan dari tempat-tempat yang haram untuk dikunjungi. Kamu seharusnya bersyukur akan hal itu," Irsyad yang berdiri di sisi kiri Freya, ikut bersuara.
"Benar yang dikatakan nak Irsyad. Di sini, kamu akan dididik untuk mengenal Allah dan islam. Supaya kamu tidak lagi terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak benar seperti kemarin-kemarin. Kamu--"
"Husst!!" Freya mengangkat sebelah tangannya, memotong ucapan ustad Arifin yang belum selesai. "Nggak usah ceramah mulu, deh. Mules kuping gue dengarnya!" Ucapnya, ketus.
Ustad Arifin tersenyum kecil, memaklumi sikap Freya yang seperti itu. "Ya sudah. Lebih baik, kamu sekarang ke kamar yang akan kamu tempati selama tinggal di sini. Kamu bisa istirahat, sebelum nanti mulai mengikuti aktifitas di pesantren ini."
"Kamar gue pakai AC, kan? Kasurnya empuk, kan? Ada televisi sama kamar mandi di dalam, kan? Terus, ada meja riasnya juga, kan?" Tanya Freya beruntun.
"Ini pesantren, bukan hotel!" Jawab Irsyad, datar.
"Yaelah, kamar gue di Jakarta juga begitu kali."
"Dan ini juga bukan rumahmu di Jakarta," Tukas Irsyad. Ia meraih kedua koper besar milik Freya. "Ayo, saya antar kamu." Irsyad berjalan sambil menyeret kedua koper berat berisikan baju-baju dan barang-barang Freya.
Freya mengikuti langkah Irsyad sambil cemberut. Bibirnya terus saja mengoceh. "Nanti gue kamarnya besar dan bersih, kan? Ranjangnya, king size atau queen size? Bed covernya bagus, kan? Bantal gulingnya harus ada dua ya,"
"Kamu bisa lihat sendiri nanti,"
"Kamar kita deketan nggak nanti?"
"Nggak,"
"Kenapa enggak? Deketan aja, yuk? Biar enak kalau nanti kita mau pacaran,"
"Dalam islam tidak ada yang namanya pacaran!"
"Yaudah, diadain aja. Susah amat deh, ah. Amat aja hidupnya udah nggak susah!"
Irsyad tidak menanggapi ocehan Freya lagi. Ia mempercepat langkahnya menyusuri koridor asrama putri. Supaya cepat terhindar dari gadis cerewat di sampingnya itu.
"Loh? Ini kamarnya Ajeng, kan?" Tanya Freya saat Irsyad menghentikan langkah di depan pintu kamar bertuliskan angka 24.
"Ya. Ini kamar Ajeng dan Zahra," kata Irsyad membenarkan.
"Ngapain kita berhenti di sini?" Tanya Freya lagi, mengangkat sebelah alisnya.
"Karena kamu akan berbagi kamar dengan Ajeng dan Zahra,"
"Maksudnya? Jangan bilang kalau gue..." Freya memincingkan mata menatap Irsyad. "Kalau gue harus tinggal di kamar ini bareng mereka berdua?"
"Benar,"
"NO!" Freya memekik. "Gue nggak mau! Gue mau tinggal di kamar yang besar dan sendirian, titik! Nggak mau sekamar rame-rame!" Tolaknya mentah-mentah.
"Di sini nggak ada kamar yang seperti kamu mau. Suka nggak suka, kamu memang harus berbagi kamar dengan yang lainnya." Pungkas Irsyad dengan tegas.
***
"Selamat bergabung di kamar ini, Freya, dan selamat menjadi santriwati pondok pesantren Nurul Huda. Yang betah, ya.." Ajeng memberi sambutan sangat hangat pada Freya. Ajeng langsung menerima dengan antusias saat tadi Irsyad menjelaskan bahwa Freya akan menempati kamar yang ia tempati bersama Zahra. Ajeng senang mendapat teman baru.
"Kenopo harus di kamar iki, sih? Males tenan aku sekamar karo cah songong," Ketus Zahra. Berbeda dengan Ajeng, Zahra malah kesal bukan main saat tau Freya ternyata menjadi murid didik di ponpes Nurul Huda. Apalagi, gadis itu harus satu kamar dengannya.
"Lo pikir, gue nggak malas sekamar sama lo? Dasar, nyebelin!" Balas Freya, sengit.
"Kamu itu yang nyebelin!"
"Heh, sudah, toh. Kalian ini mbo' ya yang akur.. udah jadi teman sekamar, harus yang rukun," Kata Ajeng, menasehati.
"Dia duluan yang suka cari perkara sama gue, Jeng. Heran, deh!" Freya melirik sebal ke arah Zahra.
"Sudah, sudah!" Ajeng buru-buru menyela saat melihat Zahra yang sudah bersiap akan membalas ucapan Freya. Kalau dibiarkan, bisa jadi adu mulut berkepanjangan nanti. "Mendingan, sekarang Freya mandi. Ini udah hampir jam lima sore. Sebentar lagi magrib. Gak baik anak perawan mandi kesorean,"
"Takhayul, elaahh!!" Cibir Freya.
"Dibilangin, ngeyel. Ayo, ambil handuk sama bawa baju gantinya. Aku antar kamu ke kamar mandinya."
"Iya, iya."
Freya mulai membongkar satu koper besarnya. Ia mengeluarkan sebuah handuk berwarna pink. Kemudian, ia menarik sebuah kain berwarna biru. Freya mengeryit keheranan saat tau jika kain biru itu ternyata adalah baju gamis.
"Hualah, cantik banget gamisnya, Freya,"
Freya tidak mengindahkan komentar Ajeng yang memuji gamis di tangannya. Freya melempar gamis itu ke atas kasur dan buru-buru membongkar semua isi kopernya. Ia menjembreng satu persatu semua baju yang masih berlabel baru. Freya langsung tercengang saat mendapati baju yang dibawakan orangtuanya, ternyata semuanya adalah baju muslim. Tujuh puluh persen gamis, dan sisanya adalah baju dan rok panjang.
"Anjrit!" Freya seketika mengumpat. Matanya memandang kesal baju-baju muslim yang berserakan di atas kasur, dan ada juga yang tercecer di lantai.
"Haduh! Kamu ngapain berantakin---"
"Diam, lo!" Sentak Freya, memotong omelan Zahra. Ia sedang benar-benar kesal sekarang. Tidak habis pikir kenapa orangtuanya membawakan baju-baju 'aneh' yang sama sekali bukan seleranya. "Sial! Kenapa mama sama papa bawain gue baju-baju kaya begini, sih? Yang gila aja, masa gue harus pakai baju yang mirip daster emak-emak begini? Ya Tuhaaan apa kata dunia??"
"Kata dunia, ALHAMDULILLAH!" Ajeng menyahut dengan riang. Ia mengambil satu gamis yang tadi dilempar Freya ke atas kasur. Sebuah gamis simpel berwarna putih. "Ini gamisnya manis. Pasti kamu bakal cantik banget pakai gamis ini, Frey,"
"Ogah amat gue pakai baju begituan. Apaan, baju kok bentuknya lurus dan kedombrongan begitu. Udah kaya bajunya mbak kunti aja,""
"Kalau ndak pakai baju-baju ini, kamu mau pakai baju apa, Freya? Lagi pula, di sini ndak boleh kalau mau pakai baju terbuka seperti baju yang kamu pakai sekarang itu. Ndak boleh di sini berpakaian ala wong bule yang suka umbar-umbar aurat. Ingat, ini pesantren, Freya,"
"Sial! Kenapa gue harus terjebak di tempat kampret macam ini?"
"Heh, kamu! Kalau ngomong itu jangan asal. Sembarangan aja ngatain pesantren ini tempat kampret. Kelakuan kamu itu loh yang kaya kampret!" Sembur Zahra.
"Muke lu mirip kampret!" Balas Freya. Dengan kesal ia menyambar handuk dan peralatan mandinya. Kemudian keluar dari kamar di ikuti Ajeng.
Freya mendengus ketika ia sudah berdiri di area kamar mandi asrama putri. Ia ternyata harus mengantre lebih dulu. Sepuluh bilik kamar mandi, semuanya sudah penuh. Ditambah lagi masih ada beberapa santri lain yang sudah lebih dulu mengantre untuk mandi.
Dan hal yang membuat Freya semakin jengkel, adalah ketika ia lagi-lagi menjadi pusat perhatian. Berbagai tatapan yang didominasi tatapan tidak suka, tertuju padanya. Freya sadar, pakaian dan penampilannya, memang jauh berbeda dengan gadis-gadis di tempat itu. Mereka semua mengenakan pakaian longgar dan jilbab yang menjuntai menutupi dada.
"Ngapain lo semua pada lihatin gue kaya gitu? Nggak pernah lihat cewe cantik, mulus, seksi dan modis ya?" Ketus Freya, membalas tatapan kurang suka dari para santriwati di tempat itu. Bukan Freya namanya jika mudah terintimidasi.
"Masuk pesantren, kok pakai pakaian kurang bahan. Ndak sopan sama sekali," Gadis berhijab putih berkomentar.
"Eh, lo pikir gue juga mau masuk ke tempat beginian? Gue juga ogah, keles! Dan soal pakaian gue, ini namanya fashionable. Kampungan sih, lo. Makanya nggak ngerti!" Semprot Freya.
"Lihat, cara bicaranya saja kasar. Kaya perempuan yang ndak ada tata krama,"
Freya menatap sengit gadis berkerudung hitam dan bercadar yang baru saja mengatainya. "Heh, elo yang mirip ninja hatori! Lo nggak usah ikut-ikutan, deh. Udah dandanan mirip *******, sok ngatain gue segala lagi. Ke Amerika sono lo, biar ditembak mati sama aparat karena dikira *******!"
Ajeng memijit pelipisnya. Pusing juga lama-lama melihat Freya yang terus-terusan ribut sana- sini. "Sudah semuanya, jangan ribut-ribut. Nggak enak nanti kalau sampai didengar sama yang lainnya. Apalagi kalau sampai Ami Salimah dengar. Mau, kalian diceramahi?"
"Teman barumu itu loh Jeng, yang mulai duluan,"
"Sembarangan! Jelas-jelas, elo duluan yang ngatain gue," Sungut Freya, tidak terima disalahkan oleh si kerudung putih tadi.
Salah satu bilik kamar mandi yang paling kanan, terbuka. Langsung saja Freya nyelonong masuk setelah seorang santriwati keluar dari dalam sana. Masa bodo dengan mereka yang lebih dulu mengantre. Pikir Freya siapa cepat, ya dia dapat.
"Tuh, kan! Cewe kota satu itu memang beneran nggak tau sopan santun. Kita yang lebih dulu ngantri, dia seenaknya aja main serobot."
"Udah lah, biarin aja. Mungkin dia sambil kebelet pipis. Sudah, nggak usah ribut lagi." Tutup Ajeng, menengahi.
Cukup lama Freya berada di kamar mandi. Ia memang selalu memiliki ritual-ritual khusus jika sedang mandi. Mulai dari luluran sampai mengadakan konser dadakan. Oleh karena itu, Freya membutuhkan waktu minimal setengah jam untuk mandi.
Pintu kamar mandi paling kanan yang tadi dimasuki Freya, akhirnya terbuka. Freya sudah selesai mandi rupanya. Ia menyembulkan kepalanya untuk melihat keadaan di luar. Masih terdapat beberapa santriwati ternyata. Ajeng juga masih setia menunggunya di sana.
"Freya, sudah selesai? Ayo, keluar. Gantian yang lainnya udah nunggu lama loh," tegur Ajeng.
Freya menggigit bibir bawahnya. Ragu-ragu, ia mengeluarkan tubuhnya dari balik pintu dengan pelan. Saat tubuhnya sudah sempurna keluar dari kamar mandi, ia langsung menjadi pusat perhatian lagi.
"Nah.., kalau kamu sudah pakai baju tertutup begini, kamu sudah pantas menjadi santri di sini. Tinggal pakai hijabnya saja," si kerudung coklat berkomentar.
"Cantik loh kamu pakai gamis. Coba pakai jilbabnya sekalian. Pasti lebih cantik," si kerudung hitam ikut menimpali.
Ajeng tersenyum mendengar tanggapan kedua temannya yang terdengar ramah pada Freya. Tidak seperti temannya yang lain tadi. Ajeng kemudian berjalan menghampiri Freya dengan membawa sebuah jilbab berwarna putih.
"Lo mau ngapain, Jeng?" Freya spontan mundur saat melihat Ajeng seperti akan melakukan sesuatu padanya.
Ajeng tersenyum, "Aku mau pakaiin kamu jilbab," jawabnya riang.
"Ogah, ogah!" Freya menolak mentah-mentah. "Nggak mau! Gue nggak mau pakai gituan. Nanti rambut gue berkeringat, bau. No, no, no, no!"
"Freya.., di sini semua perempuan diwajibkan untuk berhijab. Lagi pula, sudah merupakan perintah Allah yang memewajibkan semua wanita untuk menutup kepala dengan hijab. Karena sehelai saja rambut wanita terlihat yang bukan mahramnya, itu sudah jatuhnya dosa, haram hukumnya," jelas Ajeng dengan lembut. "Kamu tenang aja, rambut kamu ndak akan bau kok karena menggenakan hijab. Awalnya mungkin memang panas, tapi nanti lambat laun juga pasti terbiasa. Sekarang, aku pakaikan kamu jilbabnya, ya?" Lanjutnya sambil tersenyum damai.
Freya memandang lama jilbab di tangan Ajeng. Sumpah demi apapun, ia sama sekali tidak berminat mengenakan kain itu di kepalanya. Ia lebih senang memamerkan rambut indahnya yang baru saja dia ombre dengan warna biru.
"Frey, aku pakaikan, ya?" Ajeng kembali meminta izin.
Pandangan Freya lalu beralih pada Ajeng, gadis yang sejak awal sudah memperlakukannya dengan baik. Ajeng juga dengan senang hati menerima kehadirannya dan sering kali membelanya. Demi melihat wajah tulus Ajeng, Freya akhirnya mengangguk ragu. Ia mengizinkan Ajeng untuk memasangkan hijab di kepalanya.
Ajeng tersenyum senang dan mulai memakaikan Freya hijab. Tidak butuh waktu lama, setengah menit juga sudah selesai. Karena memang tidak perlu memakaikan hijab dengan model macam-macam.
"Masya Allah.." Ajeng berseru takjub setelah selesai memakaikan Freya hijab. "Kamu cantik banget, Freya," pujinya tulus dari dalam hati.
Para santriwati yang ada di sana langsung berdiri dan mendekat ke arah Freya dengan penasaran. Ingin melihat bagaimana wujud Freya setelah mengenakan hijab.
"Minggir, Jeng. Jangan nutupin." Seorang santri menyingkirkan tubuh Ajeng dari depan Freya.
Hingga saat tidak ada lagi yang menutupi pandangan mereka pada Freya, barulah mereka semua sama takjubnya seperti Ajeng tadi. Santriwati-santriwati itu terperangah melihat perbedaan Freya setelah mengenakan hijab dan memakai baju gamis. Aura Freya menjadi sangat berbeda.
"Ayu tenan..." pujian kompak dari beberapa santriawati di sana. Mereka mengamati Freya dari atas sampai bawah dengan pandangan menilai.
"Kamu ayu banget berpenampilan seperti ini. Ndak nyangka loh, aku,"
"Coba dari awal datang penampilanmu sudah begini. Aku ndak akan seketus tadi sama kamu,"
"Wah! Bisa-bisa, kamu bakal jadi primadona di ponpes ini. Ayu banget... ngiri loh, aku.. haha."
Freya sedikit tersipu mendengar pujian-pujian yang terlontar untuknya. Ia menangkupkan kedua tangannya di pipi, lantas memekik dengan gaya sok malu-malu. "AH, GUE JADI MALU!"
'Cantik mereka bilang? Lah, gue malah ngerasa mirip kuntilanak begini. Apaan, baju panjang warna putih, kerudung juga warna putih. Mirip pocong sih, tepatnya. Tinggal jalan loncat-loncat aja gue!' Gerutu Freya dalam hati.
**
Masih ada sisa waktu sekitar setengah jam sebelum azan magrib. Ajeng memutuskan untuk mengajak Freya berkeliling, mengenalkan seluk beluk setiap bangunan pondok pesantren Nurul Huda. Meski awalnya Freya menolak karena merasa tidak percaya diri dengan tampilan barunya, tapi Ajeng terus saja membujuk sampai Freya mau.
"Yang di sebelah kiri itu, itu gedung asrama putra. Para santri tinggalnya di sana," Ajeng menunjuk ke arah gedung asrama dengan halaman yang cukup luas. Di samping gedung itu terdapat sebuah lapangan multifungsi. Lapangan yang bisa dijadikan lapangan futsal, lapangan basket, dan juga lapangan bulu tangkis.
"Kenapa lebih luas halaman asrama cowo? Asrama cewe halamannya cuma seumprit. Nggak adil nih yang punya pesantren," Celetuk Freya.
Ajeng tertawa pelan, "Hust, kamu ini kalau ngomong suka sembarangan. Bukan begitu, Freya. Itu karna memang kegiatan para santri lebih banyak dibanding kegiatan santriwati. Sengaja dibuatkan fasilitas olahraga cukup lengkap, supaya santri-santrinya tidak bosan dan betah tinggal di sini. Kamu tau sendiri kan kalau anak laki-laki itu mudah bosan,"
"Kalau yang itu, itu gedung apaan?" Freya menunjuk ke arah bangunan bercat hijau-putih, yang berdiri kokoh berjarak tak lebih dari empat ratus meter.
"Itu sekolah kita, Freya. Kita sekolahnya di sana. Bagus loh, sekolahnya," Ajeng menjawab dengan riang.
"What? Apanya yang bagus? Sekolah gue di Jakarta, sepuluh kali lipat lebih keren dari sekolah itu. Sekolah gue di Jakarta bangunannya besar, bertingkat tiga, terus fasilitasnya lengkap. Muridnya aja anak orang-orang kaya. Ada yang artis dan anaknya artis juga," Freya membanggakan sekolah lamanya dengan sedikit sombong. "Kalau di sini, pasti nggak ada cowo ganteng dan keren kan?" Ejek Freya.
"Eh, jangan salah.." Ajeng langsung menyahut. "Di sini juga banyak kok yang ganteng,"
"Masa? Gue lihat, yang ganteng cuma si Irsyad doang tuh,"
"Ada lagi.. kamu belum lihat aja, Frey,"
Freya mengedikkan bahu sambil mencibirkan bibir. "Kalau itu, gedung apa?" Tanyanya lagi, menunjuk bangunan seperti sebuah rumah, yang letaknya dekat dengan masjid besar.
"Itu rumahnya pemilik ponpes ini,"
"Oh, rumahnya calon mertua gue, yak?" Guyon Freya sambil terkekeh kecil.
Freya dan Ajeng terus berkeliling menyusuri area ponpes. Freya baru sadar, jika ternyata pondok posantren Nurul Huda tidaklah terlalu kecil. Lumayan luas juga ternyata.
Freya mendengus pelan dan memutar-mutar bola matanya saat Ajeng terus menerus mengajaknya berkeliling sambil membanggakan pondok pesantren Nurul Huda. Freya benar-benar tidak tertarik sebenarnya.
Saking asiknya memutar-mutar bola mata sambil mencibirkan bibir, Freya jadi tidak fokus berjalan. Ia tidak tahu jika dari arah berlawanan, seorang laki-laki berjalan dengan langkah tergesa. Hingga akhirnya terjadi insiden Freya bertabrakan dengan pria tersebut.
"Awh, anjrit!" Freya refleks mengumpat sambil memegangi pundaknya yang terasa ngilu. "Kalau jalan pakai mata, dong! Sakit tau pundak gue. Kampret, lo!" Freya memaki.
Laki-laki yang bertabrakan dengan Freya langsung terperangah. Ia takjub mendengar tutur kata kasar yang meluncur mulus dari bibir Freya. Dan makin terperangah lagi, saat Freya mengangkat kepala, menunjukkan wajahnya yang ayu.
"Masya Allah, sungguh indah Engkau menciptakan wanita di depan hamba ini, ya Allah.." gumam laki-laki itu dengan mata tak lepas dari wajah Freya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments