Freya terbaring di atas kasur tidak terlalu empuk milik Zahra. Tubuhnya masih tertutupi selimut hijau tebal yang juga milik Zahra. Sudah lebih dari tiga puluh menit Freya belum juga bangun dari pingsannya.
"Iki bocah pingsan opo mati yo? " Gumam Zahra, mengamati Freya yang masih memejamkan mata dengan damai.
"Hust, Zahra! Jangan ngawur kamu kalau ngomong,'" Tegur Ajeng.
"Habisnya dia nggak bangun-bangun dari tadi, Jeng. Udah dikasih balsem juga masih aja nggak bangun,"
"Yo mungkin dia sekalian capek, ngantuk juga. Jadi pingsannya lama,"
"Teori dari mana itu, Jeng?"
"Dari ngasal." Ajeng terkekeh.
Zahra ikut terkekeh dan mencubit pelan paha Ajeng.
"Engh..,"
Zahra dan Ajeng yang sedang bercanda langsung diam saat mendengar suara lenguhan. Keduanya menoleh ke arah kasur Zahra. Dan mereka mendapati Freya sudah membuka mata dengan perlahan.
Ajeng segera menghampiri Freya dan duduk di pinggiran kasur. Dengan ramah dia bertanya, "Hey, udah sadar?"
Freya hanya melirik Ajeng dan mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Alhamdulillah.. Aku tadi udah khawatir kamu ndak bangun-bangun," kata Ajeng.
"Iya. Kirain kamu tadi mati," celetuk Zahra.
Freya langsung melirik Zahra kesal. "Kalau gue tadi mati, lo adalah orang pertama yang bakal gue cekek pas gue jadi setan," sungutnya.
Ajeng tertawa pelan. Sementara Zahra memasang wajah sebal.
"Oh, iya.., tadi kalau ndak salah, nama kamu Freya, ya?" Tanya Ajeng.
"Iya, gue Freya. Nama lo siapa?"
"Aku Ajeng..," Ajeng mengulurkan tangan kanannya pada Freya, bermaksud bersalaman.
Freya pun menerima uluran tangan Ajeng dan berjabat tangan.
"Masya Allah.. kulit kamu halus banget, Freya. Kaya kulitnya kanjeng putri di keraton-keraton..," puji Ajeng, mengelus punggung tangan Freya yang memang putih dan halus.
Freya yang pada dasarnya sering narsis jelas langsung tersenyum lebar mendengar pujian dari Ajeng. "Elo adalah orang kesekian kali yang memuji kesempurnaan kulit gue,"
"Duh, aku loh jadi pingin punya kulit sehalus kulitmu, Frey. Mukamu juga mulus, ndak ada bekas jerawat sama sekali,"
Zahra mendengus mendengar pujian-pujian Ajeng untuk Freya. "Halah, Jeng.. Namanya wong kota, ya wajar kalau kulitnya halus. Pasti nggak pernah kerja, nggak pernah nyapu, ngepel, apalagi megang alat-alat dapur. Terus ya, perawatannya itu pasti di salon mahal. Coba aja kalau kamu perawatan mahal kaya dia, ya jelas bisa punya kulit kaya gitu," cerocos Zahra agak sedikit sensi.
"Idiihh, sok tau, lo!" Freya melirik Zahra sinis, "Asal lo tau aja ya, kulit mulus gue ini emang udah bawaan orok. Gak perlu perawatan mahal pun gue memang udah putih mulus tanpa cacat. Bilang aja lo sirik!"
"Aku? Sirik sama kamu?" Zahra tertawa remeh, "Ngapain aku sirik sama kamu? Biarpun kulitmu mulus, tapi murah. Diumbar sana-sini, dilihat sama banyak mata laki-laki. Mendingan aku lah, walaupun nggak semulus kamu, tapi mahal. Nggak pernah ada mata laki-laki yang nikmatin kulit aku sembarangan,"
"Ikh! Gue cakar juga lo, ya!" Freya mendengus. Kedua tangannya terangkat, membentuk gerakan seperti ingin mencakar wajah Zahra.
"Eh.. sudah, toh. Kok malah ribut?" Ajeng menengahi. Ia kemudian menoleh pada Freya, "Oh iya, Frey, tadi kata mas Irsyad kalau kamu udah sadar dari pingsan aku disuruh antar kamu ke ruangan kepala ponpes,"
"Mas Irsyad? Itu cowo baju biru yang ganteng banget tadi, bukan?" Freya berusaha mengingat-ingat.
Ajeng tertawa pelan, "Iya, yang itu.."
"WAH!" Freya langsung berdiri dengan cepat, "Lo ada sisir nggak, Jeng?"
"Sisir? Ada. Sek, tak ambilin dulu ow," Ajeng mendekati meja kayu kecil yang berada di sudut kanan kamarnya. Ajeng memang satu kamar dengan Zahra. Kasurnya berada tepat di sebelah kasur Zahra.
"Nah, ini sisirnya, Frey," Ajeng menyerahkan sebuah sisir berwarna biru pada Freya.
"Btw, rambut lo nggak kutuan kan, Jeng?" Tanya Freya, seraya mengamati lekat-lekat sisir milik Ajeng.
"Alhamdulillah, ndak. Paling cuma rada ketombean aja sedikit," Ajeng terkekeh pelan, tidak sama sekali tersinggung dengan pertanyaan Freya.
"Syukur, deh." Freya meraih sisir di tangan Ajeng. Ia mulai menyisir rambutnya dengan sangat hati-hati. Tidak ingin membuat rambut mahal nan indahnya itu jadi rusak.
Usai menyisir, Freya berdiri di depan kaca lemari yang ada di kamar itu. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk mamantulkan bayangan seluruh bagian tubuhnya.
"Cantik banget sih, gue.." puji Freya pada dirinya sendiri.
"Hih, lenjeh!" Cibir Zahra.
"Halah, sirik aja lu!" Sahut Freya, ketus.
Setelah selesai, Freya menghampiri Ajeng yang sudah berdiri di dekat pintu. "Yuk Jeng, anterin gue ke ruangan kepala ponpes. Kepala ponpesnya si Irsyad ganteng itu, kan?" Tanyanya antusias.
Ajeng tertawa pelan, "Ya bukan, toh.. kepala ponpesnya itu, ustad Arifin. Moso mas Irsyad,"
"Oh? Kirain Irsyad. Soalnya kalian semua tadi kaya yang segan gitu sama si Irsyad,
"Salah satu alasannya karena mas Irsyad anak dari pemilik pondok pesantren ini, Frey. Selain itu, mas Irsyad juga salah satu santri terbaik di sini. Makanya dia disegani,"
"Oh, gitu.." Freya manggut-manggut, "Berarti, Irsyad itu anaknya ustad Arifin dong, ya?"
"Bukan.."
"Loh, kok bukan?"
"Ya memang bukan. Ustad Arifin memang ketua pengurus ponpes. Tapi bukan pemilik ponpes. Pemilik pondok ini, namanya Kiai Hj.Umar Al Hikam,"
"Oh.. ya, ya, ya.." Freya mengangguk mengerti.
"Yaudah, yuk? Aku antar kamu ke ruangan ustad Arifin," Ajak Ajeng.
"Ada Irsyad nggak kira-kira di ruangan itu?"
"Ya aku mana tau, Frey.."
"Kamu ini dari tadi nanyain mas Irsyad terus. Menel tenan!" Zahra menyela.
Freya melotot dan mendengus sebal karena Zahra terus mengatainya, "Ish! Lo diam, deh. Komen mulu perasaan,"
"Sudah, sudah. Ayo, Frey?" Ajeng meraih tangan Freya, menggandeng tangan gadis itu untuk diajak keluar.
"Yuk. Siapa tau nanti gue ketemu si ganteng Irsyad lagi." Freya tersenyum lebar sambil mengibaskan rambutnya.
Zahra geleng kepala sambil bergumam, "Ono yo bocah lenjehe pok ko kae. Nggilani."
Sepanjang perjalanan menuju ruang kepala pengurus ponpes, Freya sangat menjadi pusat perhatian. Gadis itu berjalan begitu santai dengan penampilannya yang cukup terbuka. Ia bahkan sesekali mengibaskan rambutnya ala iklan shampo, dan melambaikan tangannya seperti model yang tengah berjalan di atas catwalk. Dasar Freya!
Beberapa santriwan langsung beristigfar dan segera memalingkan wajah saat melihat Freya. Tapi ada juga beberapa santriwan yang malah terang-terangan memandang Freya tanpa berkedip. Malah tak segan juga memuji kecantikan gadis kota itu.
"Ini ruangannya ustad Arifin, Frey," Kata Ajeng, saat mereka sudah tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu berwarna biru tua. Ajeng langsung saja mengetuk pintu itu beberapa kali.
"Assalamualaikum, Ustad.." seru Ajeng dan kembali mengetuk pintu.
Tak lama, terdengar suara knop pintu yang ditarik dari dalam. Pintu terbuka perlahan, berbarengan dengan suara ustad Arifin yang menjawab salam dari Ajeng tadi.
"Waalaikumsa--astagfirullah!!" Belum juga ustad Arifin menyelesaikan kalimat salamnya, beliau langsung beristigfar keras. Kaget karena tiba-tiba melihat perempuan berpakaian kurang bahan berdiri di depan pintu ruangannya.
Melihat reaksi ustad Arifin membuat Freya berdecak malas. Mengingatkan lagi kejadian sewaktu Irsyad pertama kali melihatnya.
"Maaf, Ustad.., tadi kata mas Irsyad, saya disuruh mengantarkan Freya ke ruangan Ustad," kata Ajeng, merasa tak enak hati.
Ustad Arifin melirik sekilas ke arah Freya lagi, kemudian mengangguk perlahan. "Ya sudah, ayo masuk." Beliau mempersilahkan kedua remaja putri itu untuk masuk ke dalam ruangannya. Ia ikut menyusul dan membiarkan pintu sedikit terbuka.
Ustad Arifin duduk di single sofa yang berhadapan dengan Freya dan Ajeng. Beliau berdeham dan beristigfar dalam hati saat tidak sengaja melihat paha Freya yang terbuka. "Maaf sebelumnya. Tapi tolong gunakan bantalan sofa itu untuk menutupi aurat kamu yang terbuka," tegur beliau pada Freya.
"Hadeh," Freya memutar bola matanya malas, "Ribet amat, elah!" Gerutunya. Ia lantas meraih bantalan sofa di sampingnya dan meletakkan dengan sebal di atas pahanya.
Pintu ruangan ustad Arifin diketuk lagi dari luar. Kemudian terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam.
"Assalamualaikum. Permisi Ustad, boleh saya masuk?" Irsyad memunculkan sedikit kepalanya dari celah pintu. Meminta izin pada ustad Arifin untuk bisa masuk ke dalam.
"Waalaikumsalam. Oh, Nak Irsyad? Kebetulan kamu sudah datang. Ayo, silahkan masuk!" Ustad Arifin tersenyum hangat.
Mendengar nama Irsyad disebut, mata Freya jadi berbinar. Ia menoleh ke Irsyad dan langsung tersenyum lebar pada laki-laki itu. "Hay, calon masa depanku," sapanya sambil mengedip genit.
Irsyad melirik ke arah Freya. Gadis itu masih memasang wajah centil dan memberi kecupan jauh untuknya. Ia hanya menggelengkan kepala saja. Lebih memilih untuk tidak menanggapi gadis aneh tersebut.
"Ini gadis yang saya ceritakan tadi pada Ustad," Irsyad menunjuk Freya dengan jempol kanannya, "Gadis nyasar yang sudah buat heboh satu pesantren pagi-pagi tadi. Namanya Freya, Ustad," ujarnya memberi tahu.
"Ciee yang ingat sama nama gue, ciee.." Freya kembali menggoda Irsyad, meski lagi-lagi tidak ditanggapi.
"Baiklah, Nak Freya. Jadi, bisa tolong jelaskan siapa sebenarnya kamu, dari mana asalmu dan bagaimana ceritanya kamu bisa ada di sini?" Ustad Arifin pun segera memulai interogasi.
"Kalau nanya satu-satu dong, Bang. Keder nih mau jawab yang mana dulu," gerutu Freya.
"Bang?" Ustad Arifin membeo.
"Panggilnya Ustad, Frey," Bisik Ajeng.
"Iya, iya. Kalau nanya satu persatu aja Bang Ustad. Jangan beruntun kaya kereta api,"
"Ustad saja manggilnya. Jangan pakai bang," Irsyad mengoreksi.
Freya mendengus. "Aduh, panggilan doang aja ribet, deh!"
"Sudah, sudah," Ustad Arifin menengahi dan kembali fokus pada Freya. "Saya ulang pertanyaannya tadi. Sebenarnya, kamu ini siapa?"
"Oke. Perkenalkan, nama gue Freya. Gadis cantik nan manis yang juga sangat modis. Serta super laris manis menjadi rebutan cowo-cowo bermobil klimis sampai yang punya kumis tipis. Tapi anti pacaran sama cowo berkantong tipis karna nggak bercita-cita jadi pengemis. Putri tunggal dari pengusaha kaya raya yang timbunan hartanya berlapis-lapis," Freya mengakhiri perkenalan panjangnya dengan kibasan rambut ala iklan shampoo. Lengkap dengan memasang senyum anggun ala Putri Indonesia.
Ajeng, Irsyad dan ustad Arifin hanya menggelengkan kepala sembari beristigfar melihat kelakuan Freya.
"Selanjutnya, dari mana asalmu?"
"Jakarta,"
"Jauh sekali. Lalu bagaimana ceritanya kamu yang berasal dari Jakarta bisa sampai ada di sini?" Ustad Arifin mengerutkan keningnya karena sangat penasaran dan juga bingung tentunya. Sama halnya seperti Irsyad dan Ajeng yang juga ingin tahu.
'Aduh! Harus jawab apa nih gue? Masa iya, gue cerita yang sebenarnya?' Freya membatin.
'Tapi kalau nggak cerita yang sebenarnya, gue harus ngarang cerita kaya gimana? Gue ini kan gadis cantik berbudi pekerti luhur yang nggak pernah bohong.' Batin Freya lagi. 'Eh enggak ding tapi! Gue sering ngibulin emak sama bapak gue kok.'
"Freya?" Tegur ustad Arifin karena Freya malah melamun.
"Eh?" Freya tersadar. "Sebenarnya.. em, sebenarnya.."
"Iya? Sebenarnya?"
"Begini Bang Ustad," Freya menggaruk telinganya, bingung harus bagaimana, "em, sebenarnya gue bisa ada di sini, itu karena.. karena itu loh.. em..," Freya tidak tau harus bercerita apa.
Ustad Arifin tersenyum hangat melihat Freya yang sepertinya gugup dan takut untuk bercerita. "Cerita saja, tidak apa-apa, Freya.."
"Iya, ceritakan aja. Nggak perlu takut," Irsyad ikut menimpali.
"Iya, Frey. Ayo, cerita aja ngga apa-apa,"
Freya tersenyum kaku, kemudian mulai bercerita. "Sebenarnya, gue udah dua hari ada di Jogja. Gue sama teman-teman gue sengaja terbang ke Jogja khusus untuk ngerayain ulang tahun temen kami. Partynya di adain di Boshe Club, Jogja. Ya namanya juga party anak muda, di kelap malam pula, jadi jelas ada alkoholnya," Freya berhenti sejenak. Ia melihat satu persatu wajah ketiga orang di sana. Dan tampaknya mereka semua masih memasang wajah biasa, atau pura-pura biasa.
"Kami semua minum sampai nyaris oleng. Teman-teman gue juga pada 'ngobat'. Gue dipaksa ikut nyobain, tapi gue nggak mau kok, sumpah beneran gue nggak bohong. Gue belum berani sejauh itu. Gue akhirnya izin buat kembali ke hotel lebih dulu. Dengan keadaan setengah teler, gue nekat nyetir mobil sendiri. Nggak ada masalah, sampai ternyata ada razia di sepanjang jalan menuju hotel," Freya meringis melihat Irsyad menggelengkan kepala.
"Gue panik dong, karena dengan keadaan gue yang rada mabuk dan nekat nyetir sendiri, jelas jadi sasaran empuk buat para polisi. Apalagi ada heroin di tas gue. Udah pasti gue bakal digelandang ke kantor polisi. Dan kalau sampai itu kejadian, bisa abis gue sama mama-papa!" Lanjut Freya.
"Yaudah, gue kabur aja dong. Diam-diam keluar dari mobil, tapi kampret banget malah ketahuan sama polisi. Pas lagi panik dan bingung-bingungnya, gue lihat ada mobil pick up markir di sebrang jalan. Gue lari aja, terus naik ke mobil itu tanpa pikir panjang. Gue masuk di bawah tutupan terpal. Terus, udah deh.. Gue nggak tau lagi karena ketiduran. Pas bangun, tau-taunya mobil udah berhenti di tempat aneh ini. Gitu ceritanya." Tutup Freya, mengakhiri cerita panjangnya.
"Astagfirullah.." gumam ustad Arifin, Irsyad dan Ajeng bersamaan. Mereka bertiga menatap Freya dengan raut wajah tak menyangka.
Freya menggaruk tengkuknya sambil nyengir sok polos melihat reaksi ketiga orang tersebut. Tapi setidaknya dia sudah berani bercerita dengan jujur.
"Pergaulan anak muda jaman sekarang benar-benar sudah mengkhawatirkan," komentar ustad Arifin, menggeleng tak habis pikir.
"Namanya juga hidup di kota besar Bang Ustad. Hal kaya gitu udah wajar banget. Yang penting gue nggak sampai menganut **** bebas dan nggak narkoba. Nggak maksiat," Freya membela diri.
"Apanya yang nggak maksiat? Bersenang-senang di tempat hiburan malam, ditambah mengkonsumsi minuman keras, itu namanya juga maksiat,"
"Oke, oke. Tapi masih maksiat tingkat mini. Nggak masalah, lah.." Freya mengedikkan kedua bahunya tak perduli.
"Yang namanya maksiat, tetap saja maksiat. Sekecil apapun perbuatan maksiat itu menurut kamu, tetap saja itu berdosa. Tidak diperbolehkan dan diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala." Irsyad memberi penjelasan.
Ustad Arifin menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan, kemudian kembali bertanya pada Freya, "Sekarang apa rencana kamu? Masih ingin minta diantar ke kantor polisi supaya kembali dibawa ke kota?"
Irsyad yang lebih dulu menyahut dan menghadap ke arah Freya, "Tapi menurut saya, tidak akan semudah itu. Polisi pasti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki apa penyebab kamu bisa sampai nyasar di pondok ini. Dan kalau sampai polisi tau penyebab sebenarnya, kamu pasti paham apa yang akan polisi lakukan pada kamu,"
"Iya, yah? Baru nyadar gue.." Freya menepuk kening menyadari kebodohannya. "Untung kamu ngingetin aku. Duh, kamu perhatian banget sih sama aku, Honey? So Sweet banget nggak mau akunya kenapa-napa," ucapnya menatap Irysad dengan manja.
"Jangan salah paham," kata Irsyad, malas.
"Kalau begitu sekarang bagaimana? Kamu mau menghubungi teman-temanmu yang masih di Jogja? Atau menelfon orangtuamu saja?"
"Hp gue, gue tinggalin di mobil," Freya mengangkat kedua bahunya.
"Apa kamu tidak ingat nomor telpon orangtua atau teman-temanmu?"
"Ingat sih, bang Ustad. Gue hapal di luar kepala nomor mama sama papa,"
"Ya sudah, kamu bisa menghubungi kedua orangtuamu. Ini, pakai saja hp saya." Ustad Arifin menyorongkan sebuah ponsel lawas berwarna hitam pada Freya.
Freya langsung tertawa terbahak-bahak saat ponsel ustad Arifin sudah berada di tangannya. "O EM JI, HELL NO?? Ini hp apa ganjelan lemari? Hahaha, hari gini? Masih pakai hp ceng-ceng po? Ya ampun, ya ampun! Apa gunanya hp beginian? Gak bisa buat selfie, gak bisa buat video call, gak bisa buat main sosmed, jadul banget hpnya,"
"Tidak baik menghina barang milik orang lain!" Tegur Irsyad. Yang langsung menghentikan tawa Frrya
"Aku nggak menghina, cuma bicara kenyataan aja," Freya cuek, "Yaudah, gue mau nelpon mama gue dulu."
Butuh beberapa kali mencoba, sampai akhirnya panggilan Freya diangkat oleh sang mama.
"Halo?" Sapa seorang wanita di seberang sana.
"Halo, Mama? Ini aku, Ma, Freya,"
"Freya? Astaga, kamu dimana, Sayang? Kamu baik-baik aja, kan?" Suara mama Freya terdengar lega bercampur panik.
"Aku baik, Ma. Ma, aku mau ngomong sesuatu sama Mama.." Freya menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara.
"Kamu nggak perlu bicara apapun. Mama sama papa udah tau semuanya. Tadi malam pihak kepolisian Jogja sudah menghubungi Mama. Sudah, kamu nggak usah khawatir, Sayang. Kamu nggak usah takut. Urusan sama polisi, sudah diselesaikan papamu. Sekarang kamu bilang, kamu sembunyi di mana? Biar Mama sama papa langsung jemput,"
"Ma.." mata Freya berkaca-kaca mendengar mamanya berbicara dengan suara yang begitu lembut. Ia pikir, mamanya akan langsung membentaknya dengan keras karena kelakuan nakalnya. "Mama sama papa nggak marah?" Tanyanya kemudian, mencoba memastikan.
"Kita bahas soal itu nanti di rumah. Sekarang Freya bilang, Freya sembunyi di mana, Sayang?" Kali ini suara papa Freya yang menyahut.
"Freya terdampar di tempat pengasingan, Pa. Freya ada di pondok pesantren Nurul Huda, Pekalongan,"
"Pondok pesantren??"
"Iya, Pa. Cepat jemput Freya, Pa. Freya nggak suka di sini. Orang-orangnya pada nyebelin. Istighfar terus kalau lihat Freya. Dikiranya Freya ini setan, nyebelin banget,"
"Kamu tenang aja, Sayang. Papa sama mama segera ke Pekalongan. Tapi bukan untuk menyusul dan membawamu pulang ke Jakarta. Melainkan untuk mengantarkan baju dan barang-barang keperluanmu. Sepertinya, kamu terdampar di tempat yang memang cocok untuk kamu. Papa akan titipkan kamu di pondok pesantren itu!"
...Tuuttt.....
Panggilan langsung terputus saat papa Freya selesai mengucapkan serentetan kalimat panjangnya tadi.
Freya melongo. Ia menatap ponsel di tangannya sambil mengerjab beberapa kali. Otaknya masih berusaha mencerta kata-kata sang papa.
Papa akan titipkan kamu di pondok pesantren itu!
"Bercanda nih pasti bapak gue.." gumam Freya pada dirinya sendiri. Tapi, raut wajahnya mulai berubah panik saat menyadari jika sang papa bukan orang suka main-main dengan ucapannya.
"TIDAAAAAKKKKKKK!!!!"
Dan teriakan histeris Freya langsung memenuhi seluruh ruangan ustad Arifin.
.
.
......Mohon dukungannya teman-teman........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Endang Supriyati
ya ampun freya" lucu bngt km y😂😂
2024-06-11
0
aurel chantika
ngakak aku thor
2021-12-28
1
aurel chantika
rasain kamu Freya😃😃😃😃😃
2021-12-28
1