Rumah Dinda masih ramai, namun bukan untuk merayakan repsesi pernikahannya, tetapi ramai orang yang melayad dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Atmaja sang Ayah.
Dinda masih menangis pilu, di depan jasad sang Ayah yang sudah terbujur kaku. Ayahnya sudah tiada, meninggalkan Dinda untuk selama-lamanya.
"Sabar nak, ini semua sudah takdir. Ikhlaskan Ayahmu," ucap seorang wanita. Ia mengusap lembut bahu Dinda. Dinda tak mengenali siapa wanita itu.
"Aditia tenangkan istrimu," ucap wanita itu kembali, ia berbicara kepada Aditia suaminya Dinda.
Aditia terlihat menghelai nafasnya, lalu ia mendekati Dinda. Menuruti apa yang dikatakan mamahnya.
"Sudahlah, jangan menangis. Biarkan ayahmu tenang." Ucap Aditia kepada Dinda, namun dengan ekspresi wajah yang dingin.
Dinda tak menghiraukannya, ia masih tetap menangisi kepergian mendiang ayahnya itu.
Setalah itu jasad ayahnya Dinda, di mandikan, lalu dikapani. Setalah selesai mereka membawanya ke masjid untuk menyolatinya. Setelah itu, mereka semua mengantarkan jasad Atmaja ke peristirahatan terakhirnya.
Jasad Atmaja kini mulai di masukan ke liang lahat, perlahan tanah mulai menutup jasad tersebut. Hingga tanah itu penuh dan membentuk makam seperti pada umumnya.
Ustad memimpin doa penutup, semua orang menadahkan tanganya, ikut serta mendoakan mendiang Atmaja. Tak lama kemudian doa selesai.
Satu persatu pelayad yang mengantarkan mendiang Atmaja mulai meninggalkan pemakaman tersebut. Kini hanya ada Dinda, Aditia dan mamah serta papah Aditia, yang tak lain mereka kini mertua Dinda.
Dinda masih berjongkok, tanganya mengelus nisan sang Ayah, air mata masih setia membasahi wajah cantiknya.
'Ayah, maafkan Dinda. Dinda belum bisa jadi anak yang berbakti sama Ayah. Dinda belum bisa bahagiain Ayah. Kenapa ayah pergi secepat ini yah? Semoga Ayah tenang di alam sana, semoga Ayah mendapatkan tempat yang paling indah disisinya. Ayah tidak perlu khawatir, Dinda janji akan menuruti permintaan terakhir Ayah. Apa--pun yang terjadi, Dinda dan laki-laki pilihan Ayah itu, tidak akan berpisah.' gumam Dinda dalam hatinya.
"Dinda, ayo kita pulang!" Ajak seorang wanita, wanita itu adalah wanita yang tadi terus menyemangati Dinda.
Dinda menoleh kearah wanita itu, wanita itu tersenyum saat Dinda melihat kearahnya.
"Maaf, Tante siapa?" Tanya Dinda, dengan suara khas orang yang masih bersedih.
"Saya Amira, jangan panggil Tante, panggil saya mamah. Saya mamahnya Aditia, suami kamu. Kamu sekarang menantu saya!" Jelasnya.
"Iya benar sekarang kamu menantu kami, saya Mahendra, papahnya Aditia." Timpalnya.
Dinda memaksakan senyuman tipisnya, lalu menganggukan kepalanya.
'Jadi mereka orang tuanya mas Aditia. Mereka mertuaku? Kelihatanya mereka sangat baik. Ya tuhan semoga ini awal yang baik.' batinnya.
Sedangkan Aditia, ia tak menyahut obrolan orang tua dan istrinya itu. Aditia hanya memasang wajah datar dan dinginnya.
Sangat-sangat acuh dan tak perduli sama sekali.
"Ayo kita pulang!" Ajak Aditia, ia membuka suaranya kembali. Karna ia sudah merasakan kakinya pegal, akibat sedari tadi berdiri.
Orang tua Aditia menganggukan kepalanya, begitu juga dengan Dinda. Mereka--pun mulai meninggalkan pemakaman tersebut.
"Dinda, kami pamit duluan ya! Kamu ikut saja bersama suami kamu, papah ada metting dadakan, maaf ya jadi kami gak bisa ngantar kalian!" Sesal Amira.
"Iya mah, tidak apa-apa!"
"Ya sudah, Adit kamu antar istri kamu dulu kerumahnya untuk mengambil pakaiannya, lalu kamu bawa saja dia tinggal di rumah kamu," titah Amira.
"Iya mah," jawab Aditia memalas.
Dinda dan Aditia merah tangan Amira dan Mahendra, sebelum mereka pergi. Setalah mobil yang digunakan kedua orang tuanya itu, Dinda dan Aditia masuk kedalam mobil. Aditia langsung melajukan mobilnya menuju rumah Dinda.
Dalam perjalanan, baik Dinda maupun Aditia tidak ada yang membuka suaranya. Suasana dalam mobil tersebut hening, mereka larut dalam pemikiran mereka masing-masing. Dinda yang masih merasa kehilangan sang Ayah, ia masih larut dalam kesedihannya.
Sebenernya, Dinda tak ingin seperti. Ia berusaha agar air matanya tidak menetes lagi, sedangkan Aditia entah apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, yang pasti seorang Aditia tidak bisa di tebak bagaimana perasaannya.
Hingga tak lama mereka sampai, Dinda turun dari mobil tersebut.
"Bawa barang-barang yang penting saja!" Ucap Aditia kepada Dinda, yang hendak keluar dari mobilnya.
"Ya," jawab Dinda singkat. Dinda--pun berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Sementara Aditia menunggu Dinda di dalam mobilnya. Beberapa menit kemudian, Dinda kembali dengan menyeret satu buah koper berukuran sedang.
"Masukkan kopermu kebelakang, hati-hati jangan sampai mobilku tergores sedikit--pun," titah Aditia. Dinda hanya menganggukan kepalanya. Bukankah seharusnya Aditia membantunya? Dia sekarang sudah menjadi suami Dinda. Namun Dinda tak ambil pusing, hanya sebuah koper saja, dia bisa mengatasinya sendiri, pikirnya.
Usai memasukan kopernya ke bagasi, Dinda masuk ke dalam mobil kembali. Aditia langsung melajukan mobilnya meninggalkan rumah tersebut.
Lagi-lagi dalam perjalan mereka masih sama-sama diam. Hening, itulah suasana yang kini mendominasi di dalam mobil tersebut.
Sekitar menempuh perjalan kurang lebih satu jam, akhirnya mobil Aditia berhenti di depan sebuah rumah mewah. Dinda menatap takjub rumah tersebut. Benarkah ini rumah milik Aditia? Sekaya apa sebenarnya suaminya itu?
"Turun," titah Aditia. Dinda menganggukan kepalanya, lalu ia ikut turun dari mobil tersebut bersama suaminya itu. Tak lupa Dinda mengambil terlebih dahulu koper miliknya yang berada di bagasi.
Dinda berjalan mengikuti Aditia dari belakang, suaminya itu masih acuh. Sama sekali tak menghiraukannya, bahkan terkesan seperti tidak menganggapnya ada.
Seorang wanita membukakan pintu menyambut ke kedatangan mereka. Wanita itu bernama Santi, asisten rumah tangga di rumah Aditia.
"Biar saya yang bawakan nyonya!" Ucap bi Santi, ia mengambil alih koper yang di bawa oleh Dinda. Dinda hanya mengangguk dan tersenyum, membiarkan kopernya di bawa oleh bi Santi.
Mereka berjalan masuk ke dalam rumah mewah tersebut, lagi-lagi Dinda di buat takjub dengan isi rumah tersebut. Barang-barangnya terlihat sangat mahal. Rumah tersebut juga sangat besar, sangat jauh berbeda dengan rumah miliknya. Dinda memang bukan terlahir dari keluarga kaya raya, selama ini Dinda yang menanggung kehidupan keluarganya, mendiang Ayahnya sudah tidak berkerja karna kondisi kesahatannya yang sangat rentang, bahkan Dinda yang selama ini membiayai kuliah adiknya Bella. Ibu Dinda sudah meninggal saat Dinda masih kecil. Tapi sangat di sayangkan perjuangan Dinda, sama sekali tidak di hargai oleh adiknya, Bella. Bella bahkan tega merebut Riki, calon suaminya. Bahkan sampai hamil anak laki-laki itu, memang miris nasib Dinda.
"Mas, apa kamu tinggal sendiri di rumah sebesar ini?" Tanya Dinda kepada Aditia.
"Tidak," jawab Aditia singkat.
"Sayang..." Teriak seorang wanita cantik berpenampilan sexy, yang tengah berjalan menuruni anak tangga, wanita itu menampakan senyuman manisnya kepada Aditia.
'Sayang?' gumam Dinda, ia menatap bingung kepada wanita itu. Yang memanggil suaminya dengan sebutan sayang.
'Siapa wanita itu?' gumam Dinda lagi, ia bertanya-tanya dalam hatinya.
Aditia terlihat menampakan senyumannya, ia merentangkan tangannya, lalu memeluk wanita itu. Terlihat pancaran cinta dan sayang dari mata Aditia kepada wanita itu.
Dinda masih terdiam, ia benar-benar tak mengerti, dengan sikap suaminya dan wanita tersebut, mereka terlihat sangat dekat. Bahkan seperti sepasang kekasih atau lebih, mereka sangat mesra. Apa mungkin wanita itu adiknya Aditia? Tapi kenapa memanggil Aditia dengan sebutan sayang?
"Ini wanitanya?" Tanya Lisa, ia menatap kearah Dinda, dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan bibirnya mengulas senyuman smirk.
Aditia menghelai nafasnya, lalu mengangguk pelan.
"Tidak terlalu buruk! Siapa namamu?" Tanya Lisa kepada Dinda.
Dinda tersenyum tipis, ia mengulurkan tanganya kearah Lisa. Sambil menyebutkan namanya. "Dinda."
"Lisa," ucap Lisa sambil menerima uluran tangan Dinda, "saya istrinya Aditia." Lanjutnya.
Deg...
Jantung Dinda terasa berhenti berdetak. Apa, Lisa istrinya Aditia? Apa maksud semua ini? Jadi Aditia sudah mempunyai istri, lalu untuk apa dia menikahi Dinda?
"Kau maduku," ucap Lisa lagi.
Dinda mengalihkan pandanganya kearah Aditia, sorot matanya meminta Aditia untuk menjelaskan semuanya.
"Ya, Lisa istriku. Dia istri sah--ku. Kamu harus menghormatinya, bersikap baik padanya. Kau mengerti!" Jelas Aditia.
Dinda mengeleng-gelangkan kepalanya pelan. Dinda sangat terkejut, Matanya mulai berkaca-kaca. Cobaan apa lagi ini? Ternyata Aditia sudah mempunyai istri dan Dinda dijadikan istri kedua oleh Aditia.
"Kenapa kamu menikahiku, jika kamu sudah mempunyai istri? Dan kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal mas?" Tanya Dinda, diiringi dengan air mata yang lolos dari pelupuk mata indahnya.
"Apa itu penting?" Aditia malah berbalik tanya.
"Tentu saja, kamu sudah menipuku mas. Andai saja aku tau kamu sudah mempunyai istri, aku tidak akan mau menikah denganmu!"
"Dan kamu mbak Lisa, kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi? Apa kamu rela cintanya terbagi?" Lanjut Dinda, bertanya kepada Lisa istri pertama suaminya.
"Cinta? Kamu jangan berharap saya akan memberikan cinta saya sama kamu. Cinta saya hanya untuk Lisa, saya juga tidak Sudi menikahimu jika ini semua bukan kemauan istri dan orang tua saya. Wanita malang yang dicampakkan oleh calon suaminya, bahkan calon suaminya menghamili adik kandungnya sendiri. Harusnya kamu berterima kasih, karna saya sudah mau menikahimu dan membebaskanmu dari rasa malu." Papar Aditia. Sambil tersenyum mengejek istri mudanya itu.
"Lalu apa tujuan kalian sebenarnya?"
"Kamu mau tau tujuan kita?" Sahut Lisa, ia memberikan senyuman smirknya, "tujuan mas Aditia menikahimu, hanya untuk membuat kami mempunyai anak!" Jelasnya.
Lagi-lagi Dinda terkejut, ia benar-benar tak percaya dengan kenyataan yang saat ini ia ketahui. Aditia menikahinya hanya untuk memanfaatkannya, hanya butuh rahim Dinda, agar dapat memberikan anak untuk mereka.
"Dan asal kamu tau ya! Andai saja kandunganku tidak bermasalah, aku tidak akan membiarkan suamiku menikahimu." Ucap Lisa lagi.
"Sudahlah sayang, aku capek. Kita istirahat saja!" Ajak Aditia, ia mengandeng tangan Lisa dengan mesra. Aditia malas berdebat, kepala dan tubuhnya sudah terasa tidak bersahabat.
Lisa menganggukan kepalanya, lalu mereka berjalan meninggalkan Dinda yang masih mematung, melihat mereka yang berjalan menaiki anak tangga.
Bagai jatuh tertimpa tangga, itulah yang kini tengah Dinda rasakan, hatinya masih terasa sakit akibat penghianatan dari Riki dan Bella, ditambah dengan kepergian sang Ayah, dan sekarang, Dinda harus mendapati kenyataan yang lebih pahit lagi, bahwa Aditia sudah beristri, Dinda dijadikan cincin kedua oleh suaminya.
'Ya tuhan, cobaan apa lagi ini? Kenapa datang bertubi-tubi? Aku tidak sanggup tuhan!' batin Dinda.
Bersambung..
Jangan lupa like, komen dan votenya ya.
Terima kasih buat kalain yang sudah mampir baca, ikutin terus kelanjutanya ya! Dan simpan di rak favorit kalian juga, biar dapat notifikasi, kalau sudah up nantinya.
I love you all.
Thank You....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Nasiati
sakit baget rasany
2023-05-15
0
Yus Warkop
apa aky harus berhenti baca yah takut gak kuat, tapi penasaran semoga endingnya bahagia dan thor memihak pada adinda haha
2023-01-04
0
Dewi K
lumayan
2022-11-01
0