Oh ya, namaku Bayu Aries Anugrah. Biasa dipanggil Bayu. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Menurut cerita dari Mama dan Ayah, sewaktu Mama sedang berjuang untuk melahirkanku, tiba-tiba berhembus angin kencang dari arah jendela. Dan pada saat itu pula, mereka sepakat untuk menamaiku Bayu, yang artinya angin. Dan Aries adalah nama dokter yang menangani proses kelahiran. Sedangkan nama Anugrah, tentu saja karena kehadiranku adalah anugrah buat Ayah dan Mama yang sudah menantikan buah hati selama lima tahun.
Aku punya dua adik. Laki-laki dan perempuan, Adik lelakiku bernama Galih, dia masih berstatus sebagai Mahasiswa semester satu di Universitas Indonesia, dan juga, adik perempuan bernama Ratna yang masih duduk di bangku SMA.
Ayahku bekerja di Bank Pemerintah. Karena prestasinya yang terus meroket, ayah mendapat promosi jabatan sebagai wakil kepala cabang di Jakarta. Karena tidak bisa jauh dengan keluarga, Ayah pun memboyong kami semua.
Meski berat meninggalkan kota kelahiran, tak ada pilihan lain bagiku selain ikut pindah, apalagi kuliahku sudah selesai, siapa tahu di sana, aku bisa mendapatkan peluang yang lebih baik untuk masa depanku.
Adikku Galih yang paling senang ketika mendengar kami akan pindah ke Jakarta. Saat itu, Galih baru saja lulus dari ujian SPMB dan dia diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bagi Galih yang sedari kecil manja dan tidak bisa jauh dari orangtua, tentu saja dia sangat senang. Dia bisa kuliah dan bisa tetap dekat dengan Mama dan Ayah. Apalagi tempat tinggal kami di sana sangat dekat dengan kampusnya.
Sementara Ratna sebaliknya, dia sedih saat kami akan pindah ke Jakarta. Dia merasa berat harus berpisah dengan teman-teman dan sekolahnya. Dia sampai stress dan jatuh sakit. Dua minggu sebelum kami pindah ke Jakarta, dia sempat dirawat di rumah sakit karena serangan asam lambung.
Rumah yang berada di kawasan Depok lama itu memang paling menonjol dibandingkan rumah-rumah lain yang ada dia sekitarnya. Tentu saja karena bentuk bangunannya yang unik. Aku ingat, waktu pertama kali kami memasuki rumah itu, beberapa orang termasuk ketua RT menyapa kami dan mengatakan turut senang melihat rumah itu akan dihuni kembali.
"Wah, alhamdulilah deh, ni rumah antik ada yang nempatin. Kurang lebih udah tujuh tahun kosong." Ujar Pak RT.
Rumah ini meskipun tua memang tampak sangat terawat. Menurut penuturan tetangga, Si Pemilik rumah rajin mengontrol rumah ini bahkan merekrut beberapa tetangga untuk membersihkan rumah ini. Mulai dari halaman depan, bagian dalam rumah dan belakang rumah.
Saat memasuki rumah, kami tertegun melihat ada beberapa perabotan tua dan hiasan dinding yang masih menempel di beberapa sudut rumah. Perabotan dan dekorasi khas zaman kolonial, begitu kata Mang Udin, tetangga sebelah yang sering dimintai bantuan untuk membersihkan rumah ini.
Tentu saja Ayah makin berdecak kagum melihat semua itu. Fantastis, begitu komentar Ayah. Seolah kami seperti memasuki kehidupan abad lampau. Model dari tiap-tiap sekat ruangan benar-benar mirip dengan yang pernah kulihat di film-film klasik, begitu pula ornamen-ornamennya. Di Dekat dapur terdapat hiasan dinding berupa pahatan dari lempengan besi berupa ukiran bertuliskan tulisan "Van Kemmers".
Kata Mang Udin, itu nama dari orang Belanda yang menghuni rumah ini untuk pertama kalinya. Hebat sekali, ukiran dari lempengan besi itu tidak luntur meskipun sudah berusia puluhan tahun.
"Seperti tinggal di mesium ya Yah?" ucap Ratna datar.
"Gimana, kamu suka enggak?" tanya Ayah.
Ratna cemberut. Pandangannya terus diarahkan ke sekeliling rumah ini. Mulai dari atap rumah hingga sudut-sudut ruangan.
"Rumah ini seram gak Mang?" tanya Ratna pada Mang Udin.
"Kalau seram sih enggak Neng. Belum pernah saya denger ada kejadian aneh-aneh sama ni rumah. Kalau Malam ni rumah gak pernah gelap, Neng. Listriknya selalu nyala. Saya kan yang rajin ngecek. Kalau malam-malam, ngelewatin ni rumah gak pernah berasa iseng, Neng. Karena lampunya nyala terus."
"Kalau soal ada yang nunggu atau enggak ya pasti ada. Di mana-mana ya pasti ada, Neng. Di pohon mangga depan rumah saya aja ada kok. Yang penting mah, enggak mengganggu."
"Mang Udin, gak pernah melihat penampakan atau mendengar suara-suara gitu?" tanya Ratna lagi. Ratna mulai kelihatan pucat. Kasian, pasti dia sudah mulai ketakutan.
"Alhamdulillah, belum pernah Neng. Selama saya di sini, belum pernah melihat yang aneh- aneh. Ya, mungkin ada tipe-tipe orang yang sensitif yang bisa melihat penampakan. Tapi kan gak semua, Neng." Jawab Mang Udin.
"Dulu waktu ditempati sama penyewa yang sebelumnya, gak pernah tuh ada cerita yang aneh-aneh. Waktu ditempatin sama pasangan seniman, hampir gak pernah denger yang serem-serem. Biasa aja."
"Udah, tenang aja Neng. Kalaupun ada. Insya Allah, gak bakal ganggu. Pasangan seniman yang menghuni rumah ini sebelumnya gak pernah cerita yang aneh-aneh. Pembantu rumah tangganya sampai Baby sitter anaknya, gak pernah diganggu. Yang penting mah, masing-masing aja. Kita gak ganggu mereka, mereka gak ganggu kita." Jelas Mang Udin lagi.
"Mang Udin gak bohong kan?" Ratna memastikan lagi.
"Ya Allah, Neng. Saya udah tua, Neng. Ngapain juga bohong. Gak ada untungnya buat saya."
Mama muncul dari arah teras depan, nampaknya Mama baru selesai mengobrol dengan ibu-ibu tetangga. Mama mendekati Ratna dan merangkulnya. Mama juga kelihatannya sependapat dengan Ratna. Berusaha menenangkan Ratna yang begitu penasaran dengan rumah ini.
"Rumah ini hawanya dingin. Mama juga kurang sreg dengan rumah ini. Lihat saja, kalau sampai ada kejadian yang aneh-aneh, kita langsung angkat kaki dari
sini!" bisik Mama.
"Selama kita tinggal di sini, kita jangan sampai bengong ya. Rajin baca Quran dan zikir. Jangan putus sholat lima waktu," ucap Mama tegas.
Mama memang agak sensitif dengan hal- hal yang berbau astral. Meski tidak pernah melihat langsung, tapi Mama seperti punya insting yang kuat tentang keberadaan makhluk tak kasat mata.
"Pokoknya Ratna gak mau tidur sendiri. Ratna mau tidur sama Mama!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments