Mimpi apa dia semalam, wajah tampan milik Rendra terpampang nyata dihadapannya, padahal beberapa detik yang lalu dia baru menghayalkannya.
"Kenapa kaget, jangan bilang kamu baru saja memikirkan aku," tebak Rendra dengan tatapan penuh selidik. mata elangnya kini memindai tubuh molek Rara yang lumayan mengoda kelelakiannya.
Dasar Rendra apa dia gak mikir menatap Rara dengan cara itu tingkat bahayanya malah semakin tinggi, bisa menimbulkan ke haluan akut, serangan jantung dadakan karena terlalu sering dekdekan, dan yang paling bahaya jatuh cinta dadakan. Nah lo
"Kok bengong?"
"Abisnya kakak bikin aku kaget!" salak Rara galak.
Bukannya takut Rendra malah terkekeh, gadis yang baru dia kenal beberapa jam lalu ini sunggu menyita perhatiannya.
"Ngapain di sini ada yang sakit?" tanya Rendra.
"Ibuk ku di rawat disini, kakak sendiri ngapain di sini,"
"jenguk temen kecelakaan dua hari lalu dia di rawat disini," tutur Rendra.
"Ibu mu sakit apa Ra?"
"Kata dokter darah tinggi kak."
"Trus kamu kerja apa di apartemen?" tanya Rendra lagi matanya menatap Rara penuh selidik.
"Gantiin kerjaannya ibuk kak." sahut Rara sedikit kikuk, bukan karena pertanyaanya tapi karena Rendra yang menatapnya begitu dekat.
"Emangnya ibuk kamu kerja apa?"
Rara diam sejenak, harus jujur atau mengabaikan pertanyaan Rendra yang sudah mirip wartawan lokal.
"Pembantu kak." sahut Rara tertunduk malu.
"Kamu, gantiin ibuk kamu jadi pembantu?, gak mungkin ..." gelak Rendra tak yakin, wanita muda nan rupawan ini mau jadi Art walaupun cuma gantiin ibuknya.
"Iss," decih Ara kesal.
"Kamu serius Ra?"
"Memangnya aku terlihat sedang becanda, aku terlahir dari keluarga pembantu kak, ibuku juga seoarang pembantu, jadi hanya pekerjaan itu yang bisa diwariskan oleh ibu," ujar Ara sembari tersenyum kecut.
"Bukan begitu, gadis secantik kamu mau jadi pembantu itu terdengar aneh Ra, masih banyak kan pekerjaan yang layak buat kamu."
"Menurut kakak jadi pembantu itu bukan pekerjaan yang layak?"
"Bukan begitu maksudku Ra, hanya saja..."
"Sudah lah kak aku kedalam dulu , liat ibuk."
Rara beranjak bangkit dari duduknya, tapi belum lagi beranjak pergi tangannya di cekal oleh Rendra.
"Tunggu, aku serius minta maaf, aku gak bermaksud menyinggung perasaan mu, aku cuma gak yakin wanita secantik kamu mau kerja begitu," jelas Rendra, dia benar-benar gak berniat mengolok pekerjaan Rara.
"Apa yang harus aku lakukan, aku cuma anak janda kere yang cuma bisa jadi pembantu, aku mau istrahat kak, takut kesiangan berangkat sekolah," ucap Rara penuh penekanan dengan senyum mengembang di bibir nya.
Rendra terdiam dia sungguh menyesali kalimat yang sudah terlanjur terlontar, entah mengapa hatinya terasa nyeri dengat ucapan terakhir Rara.
Perlahan Rendra melongarkan cekalannya lalu melepaskannya. Rara pun bergegas meninggalkan Rendra yang terpaku menatap kepergian Rara.
Rara tergesa membersihkan diri di kamar mandi musholah, yang ada di Rumah sakit, walau sudah ada peringatan yang terpampang di dinding "dilaramg mandi disini" Rara tak perduli, dari pada harus mandi di kamar mandi ruangan ibuk, antri.
Rara keluar sudah dengan seragam putih abu-abunya, pamit pada ibu lalu bergegas keluar menunggu angkutan umum demi mengirit biaya dia sengaja tak memesan ojol.
Sementara tanpa dia sadari sepasang mata sedari tadi tengah mengawasi geraj geriknya.
Sudah lima menit dia di halte tapi bus dengan jurusan yang dia tuju tak kunjung sampai, mungkin memang harus naik ojol rupanya.
Baru saja dia akan memesan ojol, Rara seperti mendengar namanya ada tang memanggil.
"Ra!"
Rara menoleh mencari sumber suara, sebuah mobil hitam dengan kaca yang terbuka setengah tengah parkir di dipannya, dari dalam mobil Rendra melambai pada Rara.
"Ayo bareng aku," ajak Rendra, Rara tampak sedikit ragu, melihat itu Rendra turun dari mobilnya meraih pergelangan tangan Rara membawanya masuk kemobilnya.
Rara tak menolak dia mengikuti langkah Rendra yang membawanya kedalam mobil.
Bersentuhan kulit-dengan kulit menciptakan debar halus bagi Rara, sepagi ini Rendra sudah membuat Rara olaraga jantung.
"Di mana sekolahmu Ra," tanya Rendra dengan suara yang berbeda dengan biasanya yang terdengar ramah, kali ini nada suaranya terdengar tegas dan dingin.
"Harapan bangsa," sahut Rara tanpa menoleh, suara Rendra membuatnya merasa asing pada sosok di sebelahnya.
Sementara Rendra juga tak berusaha mencairkan suasana, sepanjang perjalanan mereka hanya diam membisu, tak ada yang berniat memulai percakapan.
Rara bergegas turun saat mobil Rendra berhenti di depan Sma Harapan bangsa.
"Terimakasih." ucap Rara sebelum menutup pintu mobil dan beranjak pergi.
"Hemm" sahut Rendra, manik hitamnya menatap Rara yang pergi menjauh.
"Dia benar-benar masih Sma," gumam Rendra kecewa, kemudian membawa mobilnya meninggalkan Harapan bangsa.
Rara berjalan tergesa seperti jantungnya yang berpacu di atas rata-rata. Rendra membuatnya tak karuan, pria dewasa itu sukses membuatnya di lema sepanjang malam, dan pagi ini membuatnya olah raga jantung.
"Ra!" teriakan kiki menghentikan laju langkahnya.
"Kamu kok gak bilang sih, kalau ibuk sakit."
"Kamu gak nanya," sahut Rara cuek.
"Ihh anak ini ada ya orang nanya apakah ibu mu sakit?" dengus Kiki jengkel.
"Jadi beneran ibumu dirawat Ra?" kali ini mela yang bertanya.
"Iya udah dua hari ini ibu dibrawat," jelas Rara dengan wajah layu.
"Kecapean mungkin ibu Ra."
Kiki benar ibu memang kecapean, rutinitasnya tak memberinya kesempatan untuk berleha-leha barang sejenak, kadang iba liat ibuk banting tulang seorang diri.
"Kata Dokter juga gitu ki," sahut Rara masih dengan wajah layunya.
"Pulang sekolah nanti pulang bareng biar kami sekalian mampir ke Rumah sakit Ra," ucap Mela seraya melempar tasnya kedalam rak meja belajarnya.
"Gak bisa, aku mau langsung kerja sepulang sekolah," jelas Rara lalu duduk di kursinya di ikuti ketiga sahabatnya.
"Kamu udah kerja sekarang Ra?" tanya Imel memastikan.
"Iya gantiin ibuk, bersih-bersih apartemen, kalau gak di gantiin takutnya ibuk di pecat, soalnya majikan ibuk galak," jelas Rara seraya memandang kedua sahabatnya yang bengong dengan penjelasan Rara, jadi sekarang Rara kerja jadi pembantu, kasihan Rara juga ibuk.
"Udah gak usah sedih, aku baik-baik aja kok," tukas Rara, malah membuat kedua sahabatnya semakin sesih.
"Yang sabar ya Ra, moga ibumu cepat sembuh, kalau butuh bantuan bilang aja Ra gak usah sungkan, selagi kami mampu pasti kami akan bantu," tutur Imel, rasa setiakawan mereka memang tak di ragukan, walau berbeda kasta tapi persahabatan mereka tak bisa di anggap enteng, satu sama lain sudah memiliki kedekatan melebihi saudara sekandung.
"Pasti, kalau nanti aku butuh kalian aku pasti bilang," sahut Rara.
"Eh ada satu lagi, tadi cogan yang anter kamu kesekolah siapa?" mata indah Kiki menatap Rara penuh selidik bak detektif.
"Tetangga bos ibuk." Sahut Rara jujur apa adanya.
"Yakin?" selidik Kiki dengan wajah penuh keraguan.
"Iya sejak kapansih aku bohongi kalian," cicir Rara sedikit jengkel.
"Kok bisa?" tanya Kiki ingin tahu kok bisa cowok dewasa seganteng Rendra mengantar Rara kesekolah, jangan bilang ada udang di balik bakwan ya.
Rara baru akan membuka mulutnya saat bel masuk kelas berbunyi dan pak Riswan sudah berdiri di balik pintu dengan kaca mata yang turun dari posisi seharusnya.
Happy reading.
Dukung Rara ya dengan kasih jempol dan vote😘😘🥰🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Park Kyung Na
suka ceritanya thor😊
2022-04-23
0
Desrina Tobing
jdii teringat msaa abu2 ni duluu blom abu2 msiii biruu laut.... hehehe 🤗
2022-03-27
0
Okto Mulya D.
ada udang dibalik bakwan
dimakan uenak banget
2022-03-06
1