05.Sisi Lain

"Silahkan masuk, Na!" ucap Dika sambil tersenyum ke arah gadis berwajah ayu yang kini berdiri di depan pintu. Alisa yang melihat senyum kekaguman di wajah Dika membuat gadis bermata sipit itu mencebikkan bibir mungilnya.

"Aku cuma mau ngantar ini, Bang. Tadi Ummi masak banyak. Beliau memintaku nganterin ini." ucap Najwa sambil menyodorkan sebuah rantang makanan.

"Makasih, Na!" sambut Dika masih dengan senyum emasnya itu. Senyum yang jarang dia suguhkan itu bisa diibaratkan bongkahan emas berlian.

"Menyebalkan!" gerutu Alisa saat merasa di kacangi, kemudian mengalihkan pandangannya dari dua insan yang tatapannya saling beradu.

"Kalo gitu aku balik dulu, Bang. Kapan-kapan mampirlah ke rumah!" pamit gadis berjilbab itu meninggalkan rumah Dika. Najwa memang gadis yang cantik dan anggun. Bisa terlihat perangai lembut pada sikapnya.

"Ayo, ke dapur! Mama biasa nyimpen makanan di kulkas." ajak Dika ke dapur dengan melewati Alisa yang wajahnya masih cemberut.

"Diajak ke sini cuma di suruh manasin makanan!" gerutunya masih menahan kesal.

"Latihan!" sergah Dika kembali dengan nada galaknya membuat Alisa berjalan mendekati kulkas.

"Giliran sama cewek cantik saja bicara manis. Giliran sama aku nadanya kayak neriakin maling." gumam Alisa yang masih terdengar di telinga Dika.

"Nggak usah ngedumel di sana! Siapa pun akan bersikap seperti itu pada cewek yang santun." ucap Dika sambil membuka rantang makanan yang berisi gudek dan sambel goreng kentang.

"Kenapa nggak nikah sama dia saja?" Ketus Alisa, kali ini dia dibuat baper oleh sindiran Dika yang terdengar nyelekit.

"Eh-eh, apa si yang kalian ributkan?" sela Mama Lucy menghentikan keributan di antara mereka. Melihat kehadiran Lucy membuat Dika langsung menyambar tangan Lucy untuk salim. Setelah itu Lucy langsung ke dapur menemui Alisa yang masih terlihat memanasi makanan.

"Salim, Al!" perintah Dika dengan menekan nada suaranya.

Alisa mengambil tangan Lucy untuk salim. Lucy masih melihat mata Alisa yang berkaca kaca. Wanita berkaca mata itu yakin jika gadis di depannya sedang menahan tangis.

"Kamu duduk saja, gih! Biar Mama yang lanjutin di dapur!"

"Nggak, Ma. Nanti dia marah-marah."

"Ya sudah, kamu yang menyiapkan makanan ke meja."

Alisa hanya menurut. Wajahnya masih cemberut saat melihat lelaki yang menyebalkan duduk di kursi  meja makan dengan menatap ponselnya.

"Ayo, kalian makan. Ini sudah siap semua."

Dika duduk dan menyodorkan piringnya pada gadis yang saat ini akan menyendok makanannya.

"Apa?" tanya Alisa dengan geram berpura pura tak mengerti.

"Ambilin nasi sama lauknya!"

"Ambil sendiri." bantah Alisa yang masih jengkel pada laki-laki mulut pedas itu.

"Al!" Dika menaikan satu oktaf suaranya hingga membuat Alisa terpaksa berdiri untuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Dika.

"Bang, pelan-pelan. Nggak baik Abang bersikap kayak gitu." ucap Mama Lucy saat melihat sikap keras Dika terhadap Alisa. Masih terlintas di benak wanita setengah baya itu mata basah Alisa saat di dapur.

Alisa hanya terdiam. Dia seperti ingin menangis, tapi bukankah itu sudah biasa. Ah, dia ingin membiarkan perasaan sensitifnya berlalu begitu aja. Apalah ini semua, hidupnya sudah terbiasa menyakitkan sejak kepergian mamanya, lalu untuk apa hanya karena di bentaka lelaki itu dia harus se-sensitife ini. Gadis itu terdiam menunduk, seolah sedang menghitung butiran nasi yang akan dia masukan ke dalam mulut.

Mereka menyelesaikan sarapan sekaligus makan siangnya dan kemudian duduk di ruang keluarga yang bersekatkan meja yang terisi vase bunga dan beberapa guci di atasnya.

"Bang, sikapmu sudah keterlaluan! Bukan seperti itu caranya. Kalo Abang menikahi anak gadis orang hanya  untuk memperlakukannya seperti itu. Batalkan saja! Mama tidak suka dengan sikap Abang." Mendengar ucapan mamanya, Dika hanya terdiam. Dia belum terlalu mengerti bagaimana cara menegur wanita alot seperti Alisa.

"Al, usiamu sekarang berapa?" tanya Lucy dengan menaruh ke piring beberapa potong cake red velvet yang dia bawa dari toko rotinya.

"Dua lima tahun, Ma." Lucy hanya tersenyum saat duduk di sofa yang bersebelah dengan sofa yang di duduki Alisa dan Dika.

"Berapa lama kalian saling mengenal?"

"Sudah lama, Ma." jawab Dika sekenanya.

"Terus kapan kalian akan menikah?"

"Lusa, Ma." tegas Dika.

"Apa? Kenapa selalu mengambil keputusan sepihak?" Alisa terlonjak kaget saat mendengar pengakuan Dika yang ternyata mempercepat hari pernikahannya.

"Bang, Abang nggak bisa seperti itu. Menikah adalah dua hal yang harus berjalan bersama untuk satu tujuan." jelas Lucy membuat Dika tak juga bergeming.

"Ma, lusa kita akan menikah agama dulu sambil mengurus persyaratan menikah kantor. Aku sudah memikirkan semuanya dengan matang, Ma." jelas Dika tanpa menceritakan kerisauannya tentang penyerangan mereka di jalan tadi.

Alisa terdiam, gadis  itu tak mampu berfikir lagi, bagaimana bisa dia akan hidup dengan orang yang sangat otoriter. Tapi, melihat sosok Mama Lucy rasanya mampu mengobati kerinduannya pada figure seorang ibu. Punya seseorang yang menjadi tempat bersandar, berlindung dan sebuah naluri kedekataan yang tak bisa Alisa pungkiri lagi terhadap Mama Lucy.

"Al, bagaimana?" tanya Lucy pada Alisa saat melihat guratan meragu di wajah putih gadis itu.

"Mama si, terserah kalian. Menurut mama, kalian sudah bisa memutuskan sendiri kehidupan kalian tapi keluargamu gimana, Al?"  tanya Lucy penuh pertimbangan.

"Al, terserah Mas Dika. Dan keluarga Al juga terserah pada kita, Ma." jawab Alisa lirih. Ada kesedihan tersendiri di hati gadis itu. Dia merasa seakan dia hanya hidup sendiri sejak dua belas tahun yang lalu. 

"Bang, anterin Alisa ke kamar tamu. Biar dia istirahat dulu. Nanti malam Abang bisa ajak dia mengenal kota ini." titah Lucy yang langsung diiyakan Dika.

Dika membawa Alisa masuk ke kamar tamu yang bersebelahan dengan kamarnya. Gadis itu sejak tadi hanya terdiam di depan Dika. Perasaannya kini bercampur aduk tapi rasa kesalnya yang saat ini lebih mendominasi di hatinya.

"Kalo mau mandi, di lemari ada baju Mama yang kayaknya muat untukmu."

"Iya." jawaban singkat dan lirih itu serasa ngilu di hati Dika.

Laki-laki itu meninggalkan Alisa yang duduk sofa dekat jendela. Sebelum menutup rapat pintu kamar itu, Dika menghentikan gerakannya.

"Ya Allah ... jika hidupku tak berhak bahagia biarkan hati ini ikhlas." ucap Alisa terdengar lirih dengan menutup wajah mungil itu  dengan ke dua telapak tangannya. Mendengar untaian kata lirih Alisa membuat hatinya terasa ngilu. Ada rasa bersalah yang diam-diam menyelinap di hatinya. Dika kemudian menutup rapat pintu kamar tamu dengan pelan.

Dika Pov

Aku tak pernah tau, jika jiwamu serapuh itu. Saat aku mendengar suara lirihmu membuatku merasa dirimu seperti kehilangan separuh dari kehidupanmu.

Dimanakah orang orang yang seharusnya menguatkanmu? Aku melihatmu seperti terkungkung dalam kesendirian. Kenapa papamu seperti melepaskanmu? Padahal aku bisa melihat rasa sayang yang begitu besar untukmu, Al.

Sementara aku? Ntahlah, aku juga tak mengerti perasaan yang saling menipu ini. Terkadang melihat angkuhmu aku begitu kesal. Tapi terkadang aku merasa iba saat melihatmu terpuruk.

Maafkan aku,jika aku tak punya cara lain selain mengikatmu dalam pernikahan ini. Jika saja kau tipe wanita yang aku sukai, mungkin aku akan membiarkan diriku jatuh cinta. Tapi, sepertinya aku sudah tak punya perasaan itu untukmu, Al.

Bersambung

Jangan lupa vote atau komen untuk part yanga kalian sukai ya gengs

Terpopuler

Comments

Aqiyu

Aqiyu

bukan tipe tapi dulu juga suka

2022-11-21

0

asam jawa

asam jawa

bukan tidak ada tapi belum menyadari akan perasaan yg sudah datang secara tiba2,,

2021-12-02

0

Naimatul Jannati

Naimatul Jannati

lah ntar juga bucin dukuan bang dika

2021-09-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!