Awan-awan Abu-abu

Awan-awan Abu-abu

Ketidaksengajaan

Pada suatu hari …

Di sebuah kedai kopi di lingkungan Universitas Indonesia, orang-orang mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas masing-masing di dalam sana. Ada yang sibuk memesan kopi, ada yang sibuk menunggu seseorang, ada yang sibuk mengaduk-aduk kopi dan atau mengantri di depan kasir, ada yang sibuk membuat tugas, ada yang sibuk membaca buku, atau ada yang sibuk memperhatikan orang lain.

Yang sibuk memperhatikan orang lain, salah satunya merupakan seorang pemuda berkebangsaan Belanda, yang hanya mampu mengagumi seorang wanita muda dari jarak lain tanpa ingin menghalangi.

Mungkin sulit dimengerti, bahwa ada seorang wanita muda yang diam-diam telah memikat seorang pemuda. Wanita muda itu tidak pernah menyadari, namun sang pemuda selalu menyadari. Hal-hal tersebut masih merupakan sesuatu yang wajar, karena manusia diciptakan memiliki perasaan. Perasaan sedih juga senang, juga senang berbunga-bunga. Senang berbunga-bunga hingga kupu-kupu seolah-olah tumbuh terbang memenuhi rongga napas. Tumbuh terbang memenuhi rongga napas hingga keempat kalinya. Hingga keempat kalinya hanya berupa ketidaksengajaan yang saling bertautan membentuk perasaan.

Kali pertama: tidak sengaja melihat karya novel yang sama,

Kali kedua: tidak sengaja terbuai dalam lamunan semu,

Kali ketiga: tidak sengaja pandang terhalang sesuatu,

Kali keempat: tidak sengaja saat kedua tatapan bertemu sapa.

Lucas Pramana—atau dalam sistem akademik masih bernama Lucas van der Vaart—merupakan salah satu mahasiswa prodi Sastra Cina yang kini sedang menikmati kesendiriannya di sebuah kedai kopi yang terletak di gedung empat Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia. Dengan menggenggam sebuah buku sambil sesekali menyeruput sisa kopi susu yang tersisa setengah gelas, pemuda itu terlihat tidak akan pergi sebelum buku itu habis dibaca, atau kopinya habis. Yang manapun alasannya, tetap hasilnya akan sama: akan pulang terlambat. Beruntung, lingkungan tempat tinggalnya di Margonda tidak begitu mempermasalahkan, walaupun harus pulang tengah malam sekalipun. Apa yang dilakukannya kali ini murni hanya ingin menikmati suasana kedai yang seolah-olah tidak pernah sepi kecuali tutup ini.

Seperti yang sudah-sudah, ini kali keempatnya Lucas tidak sengaja lagi melihat orang itu (padahal Lucas—lagi-lagi—sama sekali tidak membuat rencana atau semacamnya). Orang yang itu—seorang wanita muda yang selalu mengambil tempat duduk di meja yang terletak di belakang posisi duduk Lucas dan dekat jendela luar, kursi yang berhadapan dengan ruangan dalam, yang selalu memesan Macchiato Coffee atau jenis-jenis Latte Coffee dan membawa cemilan berupa kentang goreng, yang selalu menunggu pesanan dengan ditemani novel karya Keigo Higashino atau Akiyoshi Rikako, yang selalu menikmati kesendiriannya walaupun orang-orang berlalu lalang—yang selalu diam-diam Lucas perhatikan dari posisinya yang selalu memunggungi orang itu, yang rela sedikit berputar ke belakang hanya untuk melihat orang itu, yang terkadang memesan minuman yang sama hanya agar bisa melihat reaksi orang itu.

Pertama kalinya, tidak sengaja memperhatikan buku yang dibaca orang itu dari kejauhan—tepatnya, dari posisinya yang sekarang. Buku itu sudah tidak asing bagi Lucas, dan dia memperhatikan sampulnya, seraya bergumam, Oh, rupanya ada yang menyukai pengarang yang sama. Kedua kalinya, tidak sengaja memperhatikan bagaimana dia datang dan apa yang dipesan di meja kasir, yang membuat Lucas harus dipanggil berkali-kali oleh sang pelayan di samping meja saat ingin memberikan pesanan tempo lalu waktu. Ketiga kalinya, tidak sengaja memperhatikan siapa yang menemani orang itu di sana, yang membuat pemandangannya terhalang oleh yang menemani orang itu, kemudian memilih untuk kembali fokus mencari alibi tersangka kasus. Keempat kalinya, tidak sengaja saat dua pasang mata bertemu, kala sang pemuda tidak sengaja menangkap eksistensi orang itu saat pelayan tidak sengaja menghalangi jalan menuju mejanya, untuk mengajukan pertanyaan terkait nama pesanan untuk mengonfirmasi, dengan jarak mereka yang cukup dekat. Orang itu—hey, ternyata dia sangat manis dan cantik! Lihat, bagaimana indah senyum tipis alaminya itu! Kedua matanya bulat seperti kelereng, bercahaya di bawah lampu bernuansa retro agak sepia itu. Kecantikannya kian memancar saat bulu-bulu matanya yang indah itu bergoyang-goyang seolah-olah menari-nari di atas kelopak matanya. Rambut coklatnya yang panjang nan halus itu, ikut tersiram cahaya lampu, membuatnya terlihat bersinar. Waktu itu sudah sore pukul lima, namun hati sang pemuda terasa dipukul berkali-kali dengan dentuman. Untung si pelayan masih berbaik hati tidak memukul karena merasa terabaikan berkali-kali, berujung kembali menyahut sekali dengan sabar walau kepalang terbakar, "Pesanan atas nama Lucas, benar?"

"Oh- ah—?" —akhirnya, si pemilik nama membuyarkan lamunannya, dan segera merespon pelayan dengan anggukan. Selamat, selamat, selamat! Hal-hal baik harus diucapkan tiga kali!

Sialan, orang itu benar-benar orang yang paling manis.

Saking manisnya, rasa kopi menjadi sangat manis, mungkin kelebihan susu saat dia tidak sengaja menuang sambil melihat betapa manisnya orang itu di ujung sana. Namun ia tidak meringis, karena hari ini adalah hari yang benar-benar manis!

Semakin gugup ia, semakin meringis hatinya. Jantungnya seolah-olah tidak boleh tenang walau sedikit, seolah-olah sedang menghadapi musuh bebuyutan bernama cinta. Entah karena efek kafein dalam kopi, atau orang itu yang masih setia duduk di tempat biasanya di sana, dia dilanda mabuk kepayang sementara. Hingga kopinya habis, Lucas akhirnya pergi, meninggalkan bukunya yang belum habis dibaca di atas meja, meninggalkan sejuta kenangan manis hingga sampai di kosan Margonda, yang baru disadari hilang saat kembali mengecek meja belajarnya bersama teman sekamarnya—Charles—dan bertekad untuk kembali ke kafe yang sama di esok hari.

Esok hari, salah satu pegawai kafe di kasir memberikan buku yang dicari-cari. Terkejutlah Lucas—Si Pemilik Buku—tatkala di dalamnya ada secarik kertas putih bergaris yang ditulis dengan tinta biru. Tertulis di dalam sana: Tertinggal harta yang sangat mahal, jaga baik-baik seperti emas agar tidak dirampas. Salam, Si Yang Menemukan Buku: Helena.

Lucas terdiam sejenak, pula mencoba untuk memecah apa maksud dari tulisan tersebut. Tulisan itu rapi, juga tersirat makna mendalam, dan sangat halus goresannya. Pemuda itu bertanya pada pegawai di sana, andai kata memang bukan mereka yang pertama menemukan, barangkali ada pengunjung yang menemukan bukunya pertama kali. Dijabarkanlah ciri-ciri fisik yang diduga Si Yang Menemukan Buku, dan tidak salah lagi, Helena, dia adalah nama orang itu! Terbukti, wanita membuka mata dan hati, kini Lucas memahami yang dimaksud dari tulisan itu. Rupanya kecerobohannya membuahkan hasil tidak terduga. Sejemang mulai berpikir, lain kali meninggalkan dua buku, maka akan mendapatkan dua namanya.

Tidaklah kali ini beruntung, sayangnya, orang itu tidak datang siang ini. Lucas datang kembali besoknya, untuk kali keenam, pukul dua siang, di hari Kamis, dan orang itu duduk di tempatnya seperti biasa, dan bukan ketidaksengajaan. Saat orang itu sedang mengambil sebuah buku dari rak buku yang tersedia di sisi ruangan sana, Lucas menempelkan sebuah sticky-note di atas meja orang itu. Sebelum benar-benar pergi dari sana, lirikan matanya terfokus pada sebuah buku yang ditinggalkan di atas meja—diduga milik orang itu, dan seharusnya iya. Ah, karya Keigo Higashino, pikirnya.

Orang itu kembali ke tempat semula sesaat setelah Lucas kembali ke tempat semula. Orang itu menatap lekat-lekat kertas tempel yang menempel dengan warna biru muda di atas mejanya. Tertulis di sana dengan tinta hitam, dan goresannya tidak kalah halus dan rapi: Yang dikatakan benar, maaf. Di sinilah tersangka tunggal, gagal mempertahankan harta berharga, dan saya siap dieksekusi. Dari: Si Pemilik Buku, Lucas.

Keduanya—sang pemuda dan wanita muda itu—kemudian tidak sengaja bertemu tatap satu sama lain, saat Lucas membalikkan badan untuk menatap Si Yang Menemukan Buku, dan Si Yang Menemukan Buku mendongak dan tidak sengaja bertemu pandang dengan Si Pemilik Buku yang membalikkan badan. Keduanya sama-sama melempar senyum, tidak jauh, tidak keras, sangat lembut, bahkan saking lembutnya, menggelitik jantung, membebaskan perasaan, membiarkannya bergetar hebat akibat merasa geli. Keduanya merasa angin menggelitik sanubari mereka, yang akhirnya mereka kembali mengembalikan pandang semula, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Kali ketujuh, mereka bertemu di tempat yang sama, di posisi yang sama, tanpa merubah plot yang sudah-sudah. Keduanya sama-sama tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Satu orang yang sibuk berkutat dengan laptop dan sebuah buku, sedangkan satu orang lainnya sibuk dengan coret-coretan di atas lembar demi lembar yang dipenuhi coretan dengan tinta merah. Sebuah hal tidak terduga dari mereka berdua, justru terjadi di pertemuan ketujuh. Tatkala orang itu lengah dari pengawasan, dan sesaat kembali mata berpandangan dengan laptop, entah sejak kapan sebuah sticky-note bernama biru muda yang sama menempel pada layar laptop miliknya. Tertulis di sana, kali ini unik, dan bisa ditebak dari pengirim yang mana.

"Detektif Galileo tidak bisa lebih pandai jika tidak main catur sambil minum kopi."

Entah mungkin sebuah sinyal, atau sekedar usil, Lucas menerima sesuatu dari orang itu, dan mungkin sebuah jawaban. Sesuatu yang tidak disangka, sesuatu yang muncul tepat di depan wajahnya. Orang itu menyodorkan sebuah buku yang berjudul, Salvation of A Saint karya Keigo Higashino, tertempel bekas sticky-note berwarna biru muda di sampul terluar yang beberapa menit sebelumnya tertempel di atas layar laptopnya. Orang itu tersenyum, tipis dan teduh, berkata dengan lembut, penuh perhatian, "Hey, pencuri tidak akan bisa menjadi profesional jika tidak pernah masuk penjara."

Pertama kalinya Lucas terlihat tersenyum tipis. Senyuman yang tergelitik rasa puas, hingga pandangannya melembut. Rupanya sinyal itu dipahami. Selamat, selamat, selamat! Hal-hal baik harus diucapkan tiga kali!

Buku dari orang itu diterima oleh Lucas, kemudian terlontar kalimat lain sebagai pernyataan juga terselip pertentangan "Ya, tetapi si pencuri terkadang harus lebih pandai dari si pemilik rumah, maka apa yang dilakukan si pemilik rumah demi menjaga keamanan rumah akan sia-sia."

"Jika benar terjadi, maka cukup dipasang alat pelacak, atau keamanan ganda," jawab si orang itu tersenyum yakin.

"Sayangnya, pencuri terkadang masih lebih hebat. Saking hebatnya, yang tercuri tidak akan bisa dikembalikan, bahkan jika itu waktu yang tercuri."

"Hati-hati, bukan tidak mungkin tidak dituntut untuk mengembalikan semua yang telah tercuri dan membayar denda."

"Tidak masalah. Cukup membayar seluruh hidup dan tubuh yang kupunya demi membayar denda."

"Hey, denda bisa berbunga."

"Dan bisa juga ditambah pajak. Belum lagi biaya-biaya."

"Dan pula dibayar seumur hidup. Itu menyedihkan."

"Memang menyedihkan, tapi juga menyenangkan berkutat pada resiko. Resiko besar seorang pencuri waktu yang hanya tersedia satu, tidak ada cadangan. Tidak memiliki massa, namun memiliki nilai seisi dunia," Lucas menjawab sambil mendongak percaya diri, menatap orang itu lebih lekat, lebih dekat, lebih jelas.

"Siapa namamu? Saya pikir kali ini benar-benar menemukan mutiara yang hilang," orang itu bertanya, masih dengan ramah.

"Lucas Pramana, justru sebaliknya, saya yang menemukan permata sebesar kelapa gading."

"Berlebihan. Aku hanyalah seorang manusia bernama Helena."

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play