NovelToon NovelToon

Awan-awan Abu-abu

Ketidaksengajaan

Pada suatu hari …

Di sebuah kedai kopi di lingkungan Universitas Indonesia, orang-orang mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas masing-masing di dalam sana. Ada yang sibuk memesan kopi, ada yang sibuk menunggu seseorang, ada yang sibuk mengaduk-aduk kopi dan atau mengantri di depan kasir, ada yang sibuk membuat tugas, ada yang sibuk membaca buku, atau ada yang sibuk memperhatikan orang lain.

Yang sibuk memperhatikan orang lain, salah satunya merupakan seorang pemuda berkebangsaan Belanda, yang hanya mampu mengagumi seorang wanita muda dari jarak lain tanpa ingin menghalangi.

Mungkin sulit dimengerti, bahwa ada seorang wanita muda yang diam-diam telah memikat seorang pemuda. Wanita muda itu tidak pernah menyadari, namun sang pemuda selalu menyadari. Hal-hal tersebut masih merupakan sesuatu yang wajar, karena manusia diciptakan memiliki perasaan. Perasaan sedih juga senang, juga senang berbunga-bunga. Senang berbunga-bunga hingga kupu-kupu seolah-olah tumbuh terbang memenuhi rongga napas. Tumbuh terbang memenuhi rongga napas hingga keempat kalinya. Hingga keempat kalinya hanya berupa ketidaksengajaan yang saling bertautan membentuk perasaan.

Kali pertama: tidak sengaja melihat karya novel yang sama,

Kali kedua: tidak sengaja terbuai dalam lamunan semu,

Kali ketiga: tidak sengaja pandang terhalang sesuatu,

Kali keempat: tidak sengaja saat kedua tatapan bertemu sapa.

Lucas Pramana—atau dalam sistem akademik masih bernama Lucas van der Vaart—merupakan salah satu mahasiswa prodi Sastra Cina yang kini sedang menikmati kesendiriannya di sebuah kedai kopi yang terletak di gedung empat Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia. Dengan menggenggam sebuah buku sambil sesekali menyeruput sisa kopi susu yang tersisa setengah gelas, pemuda itu terlihat tidak akan pergi sebelum buku itu habis dibaca, atau kopinya habis. Yang manapun alasannya, tetap hasilnya akan sama: akan pulang terlambat. Beruntung, lingkungan tempat tinggalnya di Margonda tidak begitu mempermasalahkan, walaupun harus pulang tengah malam sekalipun. Apa yang dilakukannya kali ini murni hanya ingin menikmati suasana kedai yang seolah-olah tidak pernah sepi kecuali tutup ini.

Seperti yang sudah-sudah, ini kali keempatnya Lucas tidak sengaja lagi melihat orang itu (padahal Lucas—lagi-lagi—sama sekali tidak membuat rencana atau semacamnya). Orang yang itu—seorang wanita muda yang selalu mengambil tempat duduk di meja yang terletak di belakang posisi duduk Lucas dan dekat jendela luar, kursi yang berhadapan dengan ruangan dalam, yang selalu memesan Macchiato Coffee atau jenis-jenis Latte Coffee dan membawa cemilan berupa kentang goreng, yang selalu menunggu pesanan dengan ditemani novel karya Keigo Higashino atau Akiyoshi Rikako, yang selalu menikmati kesendiriannya walaupun orang-orang berlalu lalang—yang selalu diam-diam Lucas perhatikan dari posisinya yang selalu memunggungi orang itu, yang rela sedikit berputar ke belakang hanya untuk melihat orang itu, yang terkadang memesan minuman yang sama hanya agar bisa melihat reaksi orang itu.

Pertama kalinya, tidak sengaja memperhatikan buku yang dibaca orang itu dari kejauhan—tepatnya, dari posisinya yang sekarang. Buku itu sudah tidak asing bagi Lucas, dan dia memperhatikan sampulnya, seraya bergumam, Oh, rupanya ada yang menyukai pengarang yang sama. Kedua kalinya, tidak sengaja memperhatikan bagaimana dia datang dan apa yang dipesan di meja kasir, yang membuat Lucas harus dipanggil berkali-kali oleh sang pelayan di samping meja saat ingin memberikan pesanan tempo lalu waktu. Ketiga kalinya, tidak sengaja memperhatikan siapa yang menemani orang itu di sana, yang membuat pemandangannya terhalang oleh yang menemani orang itu, kemudian memilih untuk kembali fokus mencari alibi tersangka kasus. Keempat kalinya, tidak sengaja saat dua pasang mata bertemu, kala sang pemuda tidak sengaja menangkap eksistensi orang itu saat pelayan tidak sengaja menghalangi jalan menuju mejanya, untuk mengajukan pertanyaan terkait nama pesanan untuk mengonfirmasi, dengan jarak mereka yang cukup dekat. Orang itu—hey, ternyata dia sangat manis dan cantik! Lihat, bagaimana indah senyum tipis alaminya itu! Kedua matanya bulat seperti kelereng, bercahaya di bawah lampu bernuansa retro agak sepia itu. Kecantikannya kian memancar saat bulu-bulu matanya yang indah itu bergoyang-goyang seolah-olah menari-nari di atas kelopak matanya. Rambut coklatnya yang panjang nan halus itu, ikut tersiram cahaya lampu, membuatnya terlihat bersinar. Waktu itu sudah sore pukul lima, namun hati sang pemuda terasa dipukul berkali-kali dengan dentuman. Untung si pelayan masih berbaik hati tidak memukul karena merasa terabaikan berkali-kali, berujung kembali menyahut sekali dengan sabar walau kepalang terbakar, "Pesanan atas nama Lucas, benar?"

"Oh- ah—?" —akhirnya, si pemilik nama membuyarkan lamunannya, dan segera merespon pelayan dengan anggukan. Selamat, selamat, selamat! Hal-hal baik harus diucapkan tiga kali!

Sialan, orang itu benar-benar orang yang paling manis.

Saking manisnya, rasa kopi menjadi sangat manis, mungkin kelebihan susu saat dia tidak sengaja menuang sambil melihat betapa manisnya orang itu di ujung sana. Namun ia tidak meringis, karena hari ini adalah hari yang benar-benar manis!

Semakin gugup ia, semakin meringis hatinya. Jantungnya seolah-olah tidak boleh tenang walau sedikit, seolah-olah sedang menghadapi musuh bebuyutan bernama cinta. Entah karena efek kafein dalam kopi, atau orang itu yang masih setia duduk di tempat biasanya di sana, dia dilanda mabuk kepayang sementara. Hingga kopinya habis, Lucas akhirnya pergi, meninggalkan bukunya yang belum habis dibaca di atas meja, meninggalkan sejuta kenangan manis hingga sampai di kosan Margonda, yang baru disadari hilang saat kembali mengecek meja belajarnya bersama teman sekamarnya—Charles—dan bertekad untuk kembali ke kafe yang sama di esok hari.

Esok hari, salah satu pegawai kafe di kasir memberikan buku yang dicari-cari. Terkejutlah Lucas—Si Pemilik Buku—tatkala di dalamnya ada secarik kertas putih bergaris yang ditulis dengan tinta biru. Tertulis di dalam sana: Tertinggal harta yang sangat mahal, jaga baik-baik seperti emas agar tidak dirampas. Salam, Si Yang Menemukan Buku: Helena.

Lucas terdiam sejenak, pula mencoba untuk memecah apa maksud dari tulisan tersebut. Tulisan itu rapi, juga tersirat makna mendalam, dan sangat halus goresannya. Pemuda itu bertanya pada pegawai di sana, andai kata memang bukan mereka yang pertama menemukan, barangkali ada pengunjung yang menemukan bukunya pertama kali. Dijabarkanlah ciri-ciri fisik yang diduga Si Yang Menemukan Buku, dan tidak salah lagi, Helena, dia adalah nama orang itu! Terbukti, wanita membuka mata dan hati, kini Lucas memahami yang dimaksud dari tulisan itu. Rupanya kecerobohannya membuahkan hasil tidak terduga. Sejemang mulai berpikir, lain kali meninggalkan dua buku, maka akan mendapatkan dua namanya.

Tidaklah kali ini beruntung, sayangnya, orang itu tidak datang siang ini. Lucas datang kembali besoknya, untuk kali keenam, pukul dua siang, di hari Kamis, dan orang itu duduk di tempatnya seperti biasa, dan bukan ketidaksengajaan. Saat orang itu sedang mengambil sebuah buku dari rak buku yang tersedia di sisi ruangan sana, Lucas menempelkan sebuah sticky-note di atas meja orang itu. Sebelum benar-benar pergi dari sana, lirikan matanya terfokus pada sebuah buku yang ditinggalkan di atas meja—diduga milik orang itu, dan seharusnya iya. Ah, karya Keigo Higashino, pikirnya.

Orang itu kembali ke tempat semula sesaat setelah Lucas kembali ke tempat semula. Orang itu menatap lekat-lekat kertas tempel yang menempel dengan warna biru muda di atas mejanya. Tertulis di sana dengan tinta hitam, dan goresannya tidak kalah halus dan rapi: Yang dikatakan benar, maaf. Di sinilah tersangka tunggal, gagal mempertahankan harta berharga, dan saya siap dieksekusi. Dari: Si Pemilik Buku, Lucas.

Keduanya—sang pemuda dan wanita muda itu—kemudian tidak sengaja bertemu tatap satu sama lain, saat Lucas membalikkan badan untuk menatap Si Yang Menemukan Buku, dan Si Yang Menemukan Buku mendongak dan tidak sengaja bertemu pandang dengan Si Pemilik Buku yang membalikkan badan. Keduanya sama-sama melempar senyum, tidak jauh, tidak keras, sangat lembut, bahkan saking lembutnya, menggelitik jantung, membebaskan perasaan, membiarkannya bergetar hebat akibat merasa geli. Keduanya merasa angin menggelitik sanubari mereka, yang akhirnya mereka kembali mengembalikan pandang semula, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Kali ketujuh, mereka bertemu di tempat yang sama, di posisi yang sama, tanpa merubah plot yang sudah-sudah. Keduanya sama-sama tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Satu orang yang sibuk berkutat dengan laptop dan sebuah buku, sedangkan satu orang lainnya sibuk dengan coret-coretan di atas lembar demi lembar yang dipenuhi coretan dengan tinta merah. Sebuah hal tidak terduga dari mereka berdua, justru terjadi di pertemuan ketujuh. Tatkala orang itu lengah dari pengawasan, dan sesaat kembali mata berpandangan dengan laptop, entah sejak kapan sebuah sticky-note bernama biru muda yang sama menempel pada layar laptop miliknya. Tertulis di sana, kali ini unik, dan bisa ditebak dari pengirim yang mana.

"Detektif Galileo tidak bisa lebih pandai jika tidak main catur sambil minum kopi."

Entah mungkin sebuah sinyal, atau sekedar usil, Lucas menerima sesuatu dari orang itu, dan mungkin sebuah jawaban. Sesuatu yang tidak disangka, sesuatu yang muncul tepat di depan wajahnya. Orang itu menyodorkan sebuah buku yang berjudul, Salvation of A Saint karya Keigo Higashino, tertempel bekas sticky-note berwarna biru muda di sampul terluar yang beberapa menit sebelumnya tertempel di atas layar laptopnya. Orang itu tersenyum, tipis dan teduh, berkata dengan lembut, penuh perhatian, "Hey, pencuri tidak akan bisa menjadi profesional jika tidak pernah masuk penjara."

Pertama kalinya Lucas terlihat tersenyum tipis. Senyuman yang tergelitik rasa puas, hingga pandangannya melembut. Rupanya sinyal itu dipahami. Selamat, selamat, selamat! Hal-hal baik harus diucapkan tiga kali!

Buku dari orang itu diterima oleh Lucas, kemudian terlontar kalimat lain sebagai pernyataan juga terselip pertentangan "Ya, tetapi si pencuri terkadang harus lebih pandai dari si pemilik rumah, maka apa yang dilakukan si pemilik rumah demi menjaga keamanan rumah akan sia-sia."

"Jika benar terjadi, maka cukup dipasang alat pelacak, atau keamanan ganda," jawab si orang itu tersenyum yakin.

"Sayangnya, pencuri terkadang masih lebih hebat. Saking hebatnya, yang tercuri tidak akan bisa dikembalikan, bahkan jika itu waktu yang tercuri."

"Hati-hati, bukan tidak mungkin tidak dituntut untuk mengembalikan semua yang telah tercuri dan membayar denda."

"Tidak masalah. Cukup membayar seluruh hidup dan tubuh yang kupunya demi membayar denda."

"Hey, denda bisa berbunga."

"Dan bisa juga ditambah pajak. Belum lagi biaya-biaya."

"Dan pula dibayar seumur hidup. Itu menyedihkan."

"Memang menyedihkan, tapi juga menyenangkan berkutat pada resiko. Resiko besar seorang pencuri waktu yang hanya tersedia satu, tidak ada cadangan. Tidak memiliki massa, namun memiliki nilai seisi dunia," Lucas menjawab sambil mendongak percaya diri, menatap orang itu lebih lekat, lebih dekat, lebih jelas.

"Siapa namamu? Saya pikir kali ini benar-benar menemukan mutiara yang hilang," orang itu bertanya, masih dengan ramah.

"Lucas Pramana, justru sebaliknya, saya yang menemukan permata sebesar kelapa gading."

"Berlebihan. Aku hanyalah seorang manusia bernama Helena."

Berangkat dari Dendam

Seseorang datang, mengunjungiku, seraya menepuk salah satu bahuku dari belakang. Aku yang melirik sejemang ke arahnya, hanya mendengus pelan. Asap putih tipis membumbung tinggi ke udara kala aku menghela napas, perlahan-lahan hilang bersama dengan polusi udara dan lelehan salju tatkala cuaca siang itu lebih hangat—tidak seperti pagi tadi; walaupun suhu hanya mencapai 2 derajat celcius. Di suasana ramai kota London, orang-orang tidak akan peduli akan urusan suatu kelompok ataupun seseorang. Khas orang-orang Eropa, tidak mau ikut campur, yang membuatku betah berlama-lama di sini. Bahkan tidak peduli dengan kedatanganku di sela-sela trotoar menunggu seseorang sejak tadi, dengan jaket tebal berwarna coklat tua, celana jins panjang, sepatu boots, serta syal merah marun yang dipadukan kacamata berlensa bulat milikku. Selama tidak mengganggu ketertiban umum, mereka tidak akan peduli akan kehadiranku.

Seseorang yang tadi datang, memberi isyarat jemarinya agar aku mengikutinya. Orang itu sama denganku—menggunakan jaket tebal dan sepatu boots, serta syal tebal di dekat leher. Bedanya, dia tidak menggunakan kacamata. Pria yang diperkirakan berumur sekitar tiga puluh itu kadang membuatku terbesit rasa iri. Dia tidak akan merasakan embun angin yang terjebak dalam lensa kacamata saat pagi, atau lensa yang tertutup embun dingin pada saat musim dingin ini, walaupun embun itu kupastikan tidak akan betah berlama-lama hinggap di sana karena aku kini menggunakan lensa khusus. Aku membiarkan orang itu berjalan mendahuluiku, melewati sebuah gang kecil di sisi jalan, membiarkanku mengekori di belakangnya, walaupun aku paham kita akan menuju kemana.

Sebuah tempat terpencil kota, sekitar lima ratus meter dari selatan menara jam terbesar kedua dunia Big Ben, ada sebuah rumah petak kecil yang tanpa ada siapapun berkunjung. Aku yang bukan pertama kali datang ke tempat itu, hanya melangkah ke dalam bersamanya dengan santai. Kami harus tetap berhati-hati karena jalanan yang sedikit licin selama musim dingin. Beruntung saja, salju tidak lagi turun dengan lebat siang ini, membuat kami bisa melenggang bebas kemanapun. Mobil patroli kota juga terlihat sudah siap menyapu salju yang menghalangi jalanan ibukota. Kami hanya berdua di tempat itu, disambut dengan bau lembab kayu dan juga arak di dalam ruangan berpintu dan beratap berkedok rumah singgah ini. Siapa yang terakhir kali menggunakan tempat ini, pasti berpesta semalam suntuk, dengan meninggalkan sisa remahan biskuit di atas meja, serta bau alkohol yang menusuk hidung. Aku mengambil tempat duduk di atas meja, dengan mataku menelusuri seisi ruangan. Masih sama seperti terakhir aku berkunjung sekitar dua tahun lalu. Ruangan ini remang tanpa cahaya matahari menyinari; hanya lampu kuning yang kadang-kadang suka mati sendiri. Lokasi ini masih agak dekat dengan menara jam Big Ben. Jika waktu London menunjukkan pukul sebelas tepat, dua belas tepat, dan jam-jam tepat lainnya, gema loncengnya bergetar hingga mengganggu pendengaran kami, seolah-olah menembus rumah petak ini. Jika sudah begitu, kami akan berhenti berbicara sejenak, hingga satu menit berlalu, dan lonceng pada jam itu dapat berhenti dengan sendirinya.

"Xavier," orang itu memanggilku, dan aku segera menoleh ke arahnya, membuatku melihat gerak-geriknya di samping kiriku.

Dia menarik sebuah laci kayu tua yang agak lapuk dimakan usia dan lembab, yang terletak pada sebuah sisi tembok, di sebelah kiri posisiku. Dia melempar sebuah benda padaku, yang dengan segera kutangkap dengan kedua tanganku. Sejenak, aku tidak begitu memperhatikan benda tadi itu apa, namun setelah aku melihatnya dari dekat, aku paham apa yang ingin dikatakan olehnya.

Aku menatap lamat benda itu. Sebuah arloji perak serta bandulan yang menyerupai tetesan air. Bundaran jamnya diukir dengan cantik dan artistik, dengan jarum dan angka romawi pada jam tersebut berwarna emas. Lingkar jamnya tergolong kecil, hanya ber diameter sekitar 1,5 sentimeter. Arloji ini tertulis namaku di sana: Xavier—dan aku sudah menduga ini dari siapa. Aku mengangguk pelan.

"Terima kasih. Berkatmu, aku tahu bahwa ada permainan di sini," ucapku tanpa menoleh dari arloji, yang dibalas dengan anggukan pelan darinya, serta tepukan pelan ke bahuku.

"Saya sudah menyelidiki yang bersangkutan, benar keduanya seperti itu."

"Padahal saya sudah … " aku hanya menghela napas. Kini hanya menatap benda tadi dengan gusar, sebelum melempar ke atas meja dengan sembarangan. Aku menghembuskan nafas panjang, hingga nafasku menjadi putih, pertanda bahwa kini hawa semakin dingin. Aku mulai merapatkan syalku, menghalangi suhu sekitar yang tiba-tiba menusuk kulitku.

Abigail, merupakan kekasihku sekitar tiga tahun lalu. Kami sama-sama berada pada jenjang yang sama, yaitu Strata satu, di Universitas Cambridge. Aku mengambil jurusan Ekonomi, sedangkan dia jurusan Studi Asia dan Timur Tengah. Kami seringkali bertemu saat senggang, dan tempat favorit kami adalah Perpustakaan Fakultas Sejarah di West Road, Universitas Cambridge. Walaupun aku dengan Abigail hanya bertemu sekali dua kali dalam seminggu—atau bahkan rentang sepuluh hari—kami selalu meluangkan waktu untuk bersama, entah untuk sekedar berbincang ringan, menggambar, atau membaca bersama. Setelah itu biasanya kami akan ke kantin terdekat untuk makan makanan Asia bersama. Favoritnya adalah katsudon¹, dan aku lebih memilih beef tortilla sandwich atau bentuk sandwich lain. Jika liburan musim panas, kami biasanya mengunjungi kota kelahirannya di Varna, Bulgaria. Tempat favorit kami di sana adalah Sea Garden, Pantai Ostrov, atau Bukit Rila.

Kami berpacaran hanya satu tahun lebih di saat kami berada pada tahun kedua perkuliahan. Perpisahan kami juga bukan karena ada konflik di antara kita, bukan juga karena pendidikan yang berbeda karena kami akan memilih jalur yang sama, bukan juga karena perbedaan budaya yang mengharuskan berpisah. Kami berpisah karena kecelakaan, yang menewaskan Abigail di puncak air terjun Orlov Stone. Aku sangat menyesal akibat keteledoranku. Abigail terkilir dan terjatuh di hamparan bebatuan air terjun, dan tewas seketika. Luka yang sampai saat ini membekas dari tiga tahun lalu.

"Bagaimana selanjutnya sekarang?" tanya orang itu meminta konfirmasi dariku. Aku masih menatapnya gusar, kemudian bangkit dari tempat duduk, dan berbalik badan hendak pergi ke pintu luar. Langkahku terhenti sejenak saat melihat bagaimana bangunan istana kerajaan di depan pandangan mataku. Bangunan itu besar, kaya akan loyalty ala kerajaan. Bertabur emas dan kekayaan. Aku terdiam, hingga menutup mata. Selang beberapa menit, aku berbalik badan. Aku melirik pada orang itu yang masih berdiri pada tempatnya, tersenyum ramah, dan aku membalas senyum itu sama ramahnya. Kendati senyuman itu terlihat ramah, namun tersirat sesuatu.

Dua puluh enam bulan kedua belas. Varna, sebuah kota kecil di Bulgaria membutakan para turis dengan keindahan alamnya. Tidak terbatas pada Varna, ibukota Sofia dan pegunungan Rila juga tidak kalah indah dengan tanaman hijau dan aneka bunga berkelopak merah muda saat musim semi. Kota Sofia kala itu diselimuti salju, namun tidak menyelimuti keindahan kota. Bukan sebuah rutinitas tahunan untuk berkunjung ke rumah keluarga mendiang Abigail pasca Natal. Kunjungan kali ini memang ingin menyelidiki sesuatu yang berhasil didapatkan dua hari sebelumnya, dan banyak informasi yang kudapatkan dari pengakuan keluarga, dan kerabat. Berangkatlah dari semua ini, menjadi pembalasan kepada orang-orang itu.

Tanggal dua puluh delapan, aku kembali menjejakkan kaki-kakiku di London. Suasananya mirip dengan ibukota Sofia; sama-sama bersalju. Bedanya, London kini sedikit lebih hangat. Di sinilah aku kembali meneliti, dan mencari tahu tentang apa yang tersembunyi dengan bantuan rekan dan ilmu pengetahuan terkait teknologi dan komputer yang kuketahui.

Hasilnya, pembunuh itu berada di Cambridge. Aku menemukannya, yang baru kusadari mereka datang saat upacara pemakaman Abigail saat itu.

Pembunuh itu kejam. Walaupun mereka tidak menyentuh Abigail secara langsung, namun dengan pasang jarinya, mereka mampu menebar opini menyakitkan hati bagi Abigail. Orang itu menulis dalam blognya, bahwa ada seorang mahasiswi bernama Abigail dari Cambridge yang licik dan suka membawa bencana, dan menuturkan bahwa mahasiswi itu menjual segala bentuk cerita sedih dan berujung penipuan demi biaya kuliah dan asramanya. Kemudian di tulisan itu juga disebutkan terkait orang tuanya di luar Inggris, dan pasangan itu sering terlihat membuat onar. Orang itu menulis dengan identitas anonim, menyebarkannya ke internet, dan menjadikannya viral di media sosial dengan kata-kata kasar dan menyuruh Abigail untuk mati. Aku yang memahami bahwa ini merupakan perundungan, berjanji pada diri sendiri, untuk melindungi Abigail, dan melakukan apapun demi menutup mulut orang-orang jahat itu. Aku berusaha untuk selalu ada di sisinya, menutup setiap cuitan negatif itu, sampai pada Abigail mendapatkan teror di asramanya, mendapat kekerasan fisik dan pelecehan, namun orang-orang menganggapnya bahwa dia pantas menerimanya. Mereka melakukannya di belakangku—saat aku kembali ke asrama, atau kami berpisah di jalan, atau aku jauh dari pandangannya. Puncaknya, Abigail berkata ingin melompat dari Tower Bridge, namun aku berusaha agar tidak akan terjadi, dan berjanji akan selalu melindunginya, karena aku tidak akan pernah terpengaruh dengan segala sensasi negatif itu, bagaimanapun caranya. Esoknya, Abigail terlihat lebih cerah, senyumnya merekah, hingga aku berpikir bahwa dia sudah lebih baik, aku sangat senang. Namun, rupanya aku salah mengira. Aku mengajaknya ke wisata air terjun Orlov Stone di hari Minggu, dan di sanalah kecelakaan itu terjadi.

Setelah kembali ke London, aku mulai membuka surat yang ditinggalkan kepada keluarga mendiang untukku sebelum kematiannya. Dia menjelaskan, bahwa dia sangat mencintaiku, sehingga dia tidak ingin terlalu bergantung padaku. Setelah menyelidiki, sampailah pada tahap ini, tersebar rumor lain, bahwa Abigail sengaja bunuh diri di puncak air terjun dengan melewati pagar pembatas, dan melompat tanpa ingin membawaku, karena semata tidak ingin ada lagi yang menerornya selama dia menjalin hubungan denganku, dan dicap sebagai perempuan jalang yang merebut gebetan orang.

Aku tidak perlu menggunakan kedua tanganku untuk membunuhnya, tidak perlu. Aku cukup memanipulasi data pada komputer, kemudian mencuri data mereka, menduplikat identitas milik mereka, sehingga mereka merasakan adanya ketidakadilan, kehilangan keluarga dan sahabat, serta hilangnya kepercayaan diri. Kemudian, pada saat tanggal enam Januari pukul sebelas malam, aku mendengar kabar bahwa salah satu dari mereka itu bunuh diri di rumahnya, dan lainnya di tanggal sepuluh Januari, di penjara akibat memanipulasi laporan keuangan toko tempat dia bekerja yang tidak pernah dilakukannya.

Mudah, bukan?

Kalian layak mati.

Kamu, laki-laki bernama Johnson, bersama perempuan bernama Violet, yang menulis di blog, yang meneror Abigail hingga depresi, pantas mati.

Johnson merupakan pekerja paruh waktu di sebuah restoran, yang sangat akrab dengan sosial media, sedangkan Violet merupakan teman seasrama Abigail yang sakit hati karena perempuan itu mencintaiku, dan tidak rela dengan hubungan kami. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkan kekasihku, dan fakta-fakta itu bukan sesuatu yang sulit untuk ditemukan. Itulah mengapa aku mengandalkan orang-orang kepercayaanku untuk menemukan mereka.

"Biarkan saja. Terima kasih sudah melakukannya untukku," aku berucap tenang menjawabnya, dan respon lawan bicaraku hanya mengangguk pelan pertanda mengerti.

"Bagaimana jika kita minum kopi?" ajak orang itu, yang tanpa pikir panjang kuterima dengan sebuah anggukan.

"Kita ke Buckingham saja," kataku memberi saran padanya.

"Mengapa Buckingham? Kukira kau akan rindu Cambridge."

"Sekali-kali menerobos area kerajaan daerah utara, siapa tahu kita bisa bertemu Ratu Elizabeth."

Dia mengangguk, kemudian mengikutiku ke arah Buckingham. Cambridge, terlalu indah untuk di romantitasi, dan dikenang.

¹katsudon: makanan khas Jepang yang berisi semangkuk nasi yang di atasnya diberikan potongan daging babi goreng, telur, sayuran, dan bumbu.

Cerita Malam Hari

Di sinilah aku, yang berada di atas sebuah jalanan panjang yang menghubungkan dua kota besar, berdiri di atas sebuah pembatas antara dua sisi jalur arteri yang terbuat dari beton setinggi kurang dari satu meter dan setebal enam puluh sentimeter, di atas dinding pembatas antara pijakanku dengan jalanan besar di bawahku yang memiliki tinggi di atas enam meter, yang mana di bawah kakiku, melintas banyak kendaraan besar dan kecil yang beradu kecepatan di langit yang temaram, yang sebentar lagi gelap, yang sebentar lagi lampu-lampu menghiasi kota besar, yang sebentar lagi semua pekerja malam mulai menghambur ke bawah atap-atap kegelapan, yang sebentar lagi terlelap dalam mimpi sebelum Jakarta pagi.

Bapak harap kamu beneran bisa jadi orang sukses, liat anak itu, dia bisa sukses padahal seumuranmu!

Di sinilah aku, berada di antara angan-angan dan kenyataan, di antara ada dan tiada, di tengah-tengah kebimbangan tiada tara, di antara ekspektasi orang-orang juga keagungan maya, seolah-olah berada di tengah-tengah lautan luas yang terombang-ambing tanpa tentu arah, yang disaksikan para burung gagak di kepala, yang siap mencincang semua tubuhku kelak.

Inilah aku, yang berdiri di atas keputusasaan, keputusasaan seorang baru dewasa, yang tidak tahu kemana arah pulang, pulang ke sebuah tempat yang aman dan tentram, tentram untuk ditinggali seorang diri.

Coba lihat orang-orang di sekitarmu sukses semua, kamu doang yang gak berguna!

Serangkaian kalimat negatif, merendahkan, menghina, atau tanpa sadar menyakiti, menusuk, dan aku berdiri di sini di tengah-tengah telinga yang berdengung mengulang-ngulang kalimat dari orang-orang yang tidak akan bertanggung jawab akan kehidupanku kelak. Kepalaku mulai terasa berputar, seperti melihat pusaran air di tengah lautan, yang siap menelan semua kesadaranku.

Buat apa ngonten terus? Ngabisin duit iya, dapet duit kaga!

Aku berdiri di sini, dan siap dilahap oleh impian yang entah kapan menjadi nyata. Dilahap oleh sedu sedan yang entah sejak kapan menjadi nestapa. Padahal aku mampu meraih beberapa rupiah, namun hanya berakhir tumpah ruah tiada makna.

Pantesan gak punya temen, buktinya gaada yang peduli sama kamu, kan?

Kamu, sih, temenan sama yang gak bener. Sekali-kali punya pemikiran maju gitu!

"Woi! Awas jatoh!"

Sebuah seruan entah untuk siapa, namun langsung menyapa telingaku tanpa penghalang apapun. Pikiranku tidak fokus sepenuhnya, namun orang itu berhasil membungkam mulutku dan memeluk pinggangku dengan tangan-tangannya yang bau rokok. Sial, aku mual! Aku mulai memberontak dari orang itu, menyuruhnya untuk melepaskanku segera.

"Heh, jangan bergerak! Ini gue Vitto! Lo diem, gue bukan pencuri!" kata seorang pemuda yang menutup akses gerakku dengan kedua tangannya. Pandanganku masih buram, tubuhku mati rasa, walaupun sedang berusaha sadar sepenuhnya.

Aku melirik sekitarku. Getaran di bawah kakiku masih ada akibat posisi kami memang berada di akses jalan penghubung, di atas sebuah jalanan besar. Namun, kini berbeda. Pinggangku dipeluk erat, kaki-kakiku yang bergetar tidak sanggup menopang berat tubuhku, jatuh terduduk dengan posisi mulutku yang masih dibungkam sebuah tangan. Sedangkan pemuda yang tadi menolongku masih setia menopang tubuhku yang setengah pingsan.

"Kak Dit ngapain di sini, deh?" tanyanya basa-basi padaku, namun yang merespon adalah tubuhku. Seluruh tubuhku bergetar, dan lidahku membeku karena memang belum dilepas bungkaman itu.

Aku sedikit memberontak dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dengan berusaha melepas bungkaman tangannya. Bau! Aku lama-lama bisa pingsan akibat bau rokok campur keringatnya itu. Sempat kupikirkan apa yang dia lakukan sebelum ke sini. Orang itu akhirnya melepas tangannya, dan aku bisa bernapas lega, namun tidak melepas lingkar di pinggang.

"Lo kenapa di sini, To?" aku bertanya kembali padanya, sambil menoleh padanya, setelah dipastikan orang ini benar-benar temanku yang bernama Vitto.

Namun, dia menjawab ketus, "Justru gue yang nanya elo, Kak! Lo ngapain di mari? Gue mah, emang tiap hari lewat sini. Lo pake berdiri di pinggir jembatan, ya, gue langsung nangkep elu, lah! Kalo lo kelindes truk di bawah terus jadi mumi gimana?" jawabnya—yang bernama Vitto itu—tanpa tedeng-aling.

Pada akhirnya aku membuka seluruh hoodie jaket yang sedari tadi membungkus kepalaku. Yang membuatku heran adalah, bagaimana dia tahu bahwa ini adalah aku. Seolah-olah membaca pikiranku, dia melanjutkan, "Tadinya gue gak tau kalo itu Kak Ditya, sih, tapi liat ada orang di pinggir jembatan dan kondisinya oleng gitu, langsung gue samperin. Pas dipeluk ternyata Kak Ditya."

Aku tidak menjawab. Tubuhku lemah seluruhnya, bahkan aku masih tidak bisa memberontak tatkala sebuah tangan masih memeluk pinggangku. Bahuku semakin bergetar, entah kapan ada air mata muncul dari pelupuk mataku. Aku mulai terisak, namun berusaha untuk menahan semua tangisku bagaimanapun caranya. Sementara dia, pelukannya melembut, dan kini malah memeluk tubuhku dari punggung dengan kedua tangannya, serta tangan kanannya menepuk-nepuk kepalaku seperti menenangkan anak kecil. Aku terkejut seketika.

"Kalo capek istirahat, kak. Orang itu dimana-mana kalo capek itu istirahat. Kalo gak bisa istirahat, minimal ambil napas, deh, tenangin diri," ocehannya padaku, yang bisa kurasakan tubuhku perlahan-lahan menjadi rileks. Dia masih menepuk-nepuk kepalaku, di tengah kondisi sekitar kami yang perlahan-lahan menjadi ramai akibat rasa penasaran orang-orang pada kami, yang perlahan-lahan diusir oleh pihak kepolisian sekitar akibat membuat tersendat jalanan orang, hingga rombongan tidak berkepentingan bubar, hanya tersisa para pria berseragam. Aku menoleh ke arah Vitto, kemudian ke arah seorang polisi pria yang tidak diketahui kapan datangnya. Polisi itu mencoba membujukku, ingin membawaku ke kantor polisi untuk didampingi oleh ahli psikologis akibat perilaku yang diduga melakukan percobaan bunuh diri. Aku menghela napas, tiba-tiba perasaan berkecamuk membara. Aku sudah menciptakan kesulitan untuk semua orang, sudah menambah kerepotan untuk orang-orang. Aku semakin merasa tidak berguna.

"Raditya, jangan takut, ya. Tidak perlu merasa segan, anggap saja kami temanmu, ya?" kata si polisi padaku, kemudian aku melirik pada temanku Vitto. Temanku itu mengangguk pelan, tersenyum, kemudian menepuk-nepuk kedua bahuku untuk menguatkanku. "Gapapa, gue temenin, ya? Janji setelah ini jangan aneh-aneh lagi."

Orang-orang berseragam di sekitarku, memboyongku ke sebuah tempat aman, lalu ke kantor polisi terdekat dengan mobil polisi tanpa sirine berbunyi dengan Vitto di sebelahku. Aku memang tidak bisa selalu terbuka, namun disini—di kantor polisi ini—setidaknya aku merasa aman. Pada akhirnya aku banyak bercengkrama bertiga dengan temanku, juga dengan polisi pria yang merupakan seorang psikolog, di dalam sebuah bilik tertutup sampai aku benar-benar merasa tenang. Mereka baik, sangat pengertian. Mereka benar-benar mendengarkan semua canda tawa juga keluh kesahku. Mereka membiarkan aku menangis, marah, kecewa, tidak peduli ini sudah sangat malam. Aku beruntung. Apakah aku bisa terus mengalami seperti ini?

Apakah saat pulang nanti, suasana seperti ini akan sama?

Cari perhatian aja! Ngeluh mulu gaada gunanya!

Apakah saat pulang nanti, apakah ada yang bersedia mendengarkan keluh kesahku yang baru belajar menjadi dewasa ini? Jika tidak, mengapa aku harus pulang?

"Yuk, nginep di rumah gue aja."

Temanku kembali menginterupsi, tatkala aku terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk kembali ke dalam mobil polisi untuk diantarkan pulang. Dia benar-benar temanku yang baik. Aku tidak ragu lagi. Ketakutanku hilang, berganti senyuman dan menerima uluran tangannya. Polisi yang mengantar kami akhirnya menyetujui untuk membawa kami ke rumah Vitto di sebuah rumah susun di kota besar Jakarta. Kami tidak banyak bercengkrama sepanjang jalan. Pandanganku terfokus pada jalanan luar yang sepi namun indah akibat lampu-lampu kota yang menghiasi. Waktu rupanya sudah menunjukkan pukul 00.45, dan daerah rusun sebenarnya sudah ditutup portal. Demi melihat sebuah mobil polisi datang mendekati portal tanpa sirine, si penjaga portal yang merupakan seorang pria gemuk dengan secangkir kopi di tangan langsung bergegas membuka portal, mempersilahkan mobil itu masuk. Setelah melihat-lihat, sang sopir polisi tadi mengantar kami ke sebuah pintu di lantai lima. Kami bertiga pun disambut oleh seorang wanita paruh baya, seorang pemuda yang mungkin lebih tua dari Vitto, dan dua anak lain di dalam.

"Laa, kalian pada belom tidur? Ma, ini temen Vitto mau nginep bentaran boleh, ya?" tanya Vitto pada seorang wanita yang rupanya adalah ibunya. Respon ibunya sangat senang, dengan senyum ramahnya, bahkan mempersilahkan untuk kami bertiga masuk.

"Maaf, saya harus kembali ke kantor polisi, tugas saya hanya mengantarkan mereka selamat sampai tujuan," kata si polisi berpamitan.

"Oh, gapapa, makasih banyak ya, pak! Kapan-kapan boleh mampir lagi," sahut si ibu. Setelah dipastikan sang polisi pergi, pintu pun ditutup.

Aku sejenak melihat-lihat sekitar ruangan yang sebenarnya lebih mirip rumah kontrakan daripada rumah susun. Aku sempat mengira di awal, bahwa rumah susun ini hanya terdapat satu petak tanpa ada kamar lain. Namun, aku salah.

Ruangan itu cukup luas dan bersekat. Lantainya terbuat dari ubin pada umumnya. Ada dua kamar di sisi samping, dan ruangan dapur di belakang, juga ruang kumpul di tengah yang bersebelahan langsung dengan meja makan untuk lima orang. Ruang kumpul ini ada satu sofa, satu meja, juga TV kabel. Rumah susun ini rupanya juga dilengkapi akses Internet gratis yang membuat suasana lebih mirip rumah kontrakan ketimbang rumah susun.

Aku duduk di atas sofa; masih melihat-lihat, sebelum memutuskan menunduk. Dua remaja perempuan yang mungkin adalah adik dari Vitto segera menghambur masuk ke salah satu ruang kamar. Satu pemuda yang mungkin merupakan kakak dari Vitto duduk di kursi makan, diikuti Vitto, dan sang ibu yang menuju dapur.

"Udah makan belom nih, temennya?" tanya si pemuda tadi sambil menatap Vitto, dan yang ditanya langsung berteriak ke arahku yang masih di sofa.

"Belom itu. Yuk, Kak Dit. Makan dulu sini! Gue juga belom makan," sambil menghampiriku, Vitto agak menarik keliman jaket panjang yang membalut tubuhku. Aku tidak ada bantahan apapun, yang akhirnya ikut duduk berhadapan dengan Vitto, di depan meja yang melingkar itu.

"Kenalan, dong. Gue Kevin, kakaknya Vitto," ucap si pemuda sambil mengulurkan tangannya padaku, yang tanpa ragu aku membalas uluran tangannya sambil mengulas senyum. "Ditya, bang."

Sang ibu datang sambil membawa seteko teh hangat juga cemilan berupa cireng isi goreng. Aku sejenak terdistraksi, namun juga merasa tidak enak hati harus menjamuku di tengah malam begini.

"Ah, tante, jangan repot-repot," sambil tersenyum simpul, aku sedikit keberatan, walaupun aku senang-senang saja dijamu seperti ini.

"Engga repot! Maaf cuma ada ini, ya. Tante belom belanja apa-apa, biasanya belanja besok pagi, mana tau juga ada temennya mau nginep, heheheh," jawab si wanita itu sambil tertawa kecil. Aku merasa bergetar hatinya mendengar suaranya.

"Cireng buat besok masih ada, kan?" tanya Vitto spontan, yang rupanya sang ibu terkejut dibuatnya, walaupun setelahnya mengangguk pelan.

"Masih, nak. Besok si abang yang jualan," balas si ibu, lalu meninggalkan kami bertiga di meja makan ke kamarnya.

Pikiranku semakin melayang-layang, tidak tenang dan tidak mampu berpikir apapun. Aku makan dalam diam, bahkan kondisi cireng yang masih panas tidak membuatku kepanasan. Seolah-olah mati rasa, seolah-olah aku tidak lagi di dunia ini. Seolah-olah jiwaku sudah pergi meninggalkan tubuhku.

Makan aja bisanya. Sekali-kali kerja, kek!

Kepalaku terasa berputar-putar. Linglung. Semua kalimat negatif yang muncul bersamaan, membuatku pusing. Aku semakin berpikir dan berpikir, semakin sadar bahwa usahaku sejauh ini hanyalah sia-sia belaka. Usahaku untuk membantu mereka, mengerahkan tenaga dan pikiran demi pundi-pundi penghasilan yang dianggap awan abu-abu yang menghilang; tidak berguna sama sekali. Semakin lama dituntut untuk selalu sempurna, semakin jauh kaki-kakiku melayang, semakin jauh angan-anganku menjauh.

"Kak Ditya!"

"Eh? Ya, apa … ya?" aku kembali ke kenyataan, tatkala dua orang pemuda tadi sama-sama menatapku terheran, tetapi juga intens.

"Yailah, dia bengong. Daritadi ditanya gak dijawab-jawab, ampe berkali-kali dipanggil baru, dah," celoteh Vitto sambil menghela napas. Sedangkan Kevin—kakak dari Vitto hanya menggeleng pelan sambil tertawa kecil. Aku yang mendengar pengakuan itu, hanya bisa tersenyum canggung.

"M-maaf—"

"Gausah minta maaf, kayak mau lebaran aja."

"Mending temennya suruh tidur aja. Kayaknya capek gitu mukanya," usul Kevin di sela-sela pembicaraan mereka. Kan, aku kembali merepotkan mereka.

"Bener juga, oke," jawab Vitto. Seketika aku berpikir, dimana kamar dua pemuda ini? Bukankah ini hanyalah rumah susun sewaan?

Sebelum aku menjawab, dua pemuda itu langsung menuju ruang tengah yang tadi kuanggap sebagai ruang kumpul. Mereka bergegas untuk membereskan sofa agar berdempetan dengan dinding. Karena tidak ada penghalang lain, mudah saja menciptakan ruang yang cukup luas untuk bertiga. Setelah dibereskan, mereka bahu membahu untuk menyapu lantai, kemudian sebuah karpet berwarna biru gelap diletakkan di atas lantai, lalu disusul dua buah kasur lipat seukuran satu orang,m yang disusun berhimpitan, sehingga terlihat luas. Barulah jika semua sudah rapi, kasur itu dibungkus kain sprei, jadilah kasur yang nyaman ditempati.

Ah, aku lupa untuk membantu mereka, akibat terlalu fokus dengan kegiatan mereka.

Bantal pun diambil tiga buah. Setelah semua siap, keduanya sama-sama mengajakku tidur bersama di kasur itu.

"Nah, bebas dah lu mau di tengah apa pinggir. Tapi tengah aja deh, biar di sebelahnya Vitto," ucap Kevin yang menjawab pertanyaannya sendiri, disusul anggukan olehku.

Aku pun duduk di tengah, Vitto di sebelah kiri, sedangkan Kevin di sebelah kanan. Entah mengapa, di tengah-tengah seperti ini, rasanya hangat sekali. Aku melepas jaketku, kemudian melemparnya ke atas sofa, kemudian mulai merebahkan diri di atas kasur bersama dua lainnya.

"Kak Dit, tidur yang nyenyak, jangan merasa sendirian lagi, ya. Kalo lu males pulang, ke sini aja. Nih, kita bakal welcome kapanpun, kan?" ucap Vitto sambil menoleh padaku, kemudian aku menoleh kepada kakak dari temanku ini, dan responnya juga sama: mengangguk setuju.

"Laki-laki gak boleh lemah! Harus kuat! Kalo capek, boleh istirahat, boleh ngeluh, boleh nangis, tapi gak boleh menyerah. Kalo lo nyerah, bukan laki namanya!" tegas Kevin yang mungkin mengetahui keresahanku. Akupun mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Makasih, ya, Vit, kak," akupun menghela napas.

"Anytime," jawab Vitto.

Akupun akhirnya tertidur di tengah-tengah dua pemuda ini. Bersyukur aku tidak jadi mati malam ini. Jika iya, aku tidak akan menikmati kehangatan dua saudara ini.

Ah, indahnya keluarga. Andai aku juga bisa merasakannya.

Download MangaToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play