LELAKI IDAMAN MARWA

LELAKI IDAMAN MARWA

SURAT CINTA I

Suara ayam berkokok dari rumah sebelah terdengar begitu nyaringnya- seakan sibuk membangunkan orang-orang di sekitar yang masih terlelap dari tidur mereka.

Suara gaduh dari dapur yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidurku pun terdengar ditelinga seakan meminta dengan paksa Aku dan Anggari yang masih tertidur pulas untuk bangun

" Anggi bangun. Ntar terlambat sekolah. " ujarku membangunkan Anggari yang masih tidur.

Aku mengangkat alas plastik yang melapisi kasur kami. Pastinya seperti biasa Anggi akan terbangun dengan celana yang basah. Untuk anak seusia Anggari yang sudah duduk di bangku sekolah menengah rasanya tidak wajar lagi bila selalu mengompol di celana.

" oh, iya. Iya.."

Anggari menggeliat seakan enggan untuk terbangun dari tidurnya. Tapi gadis muda yang keterlaluan manja ini masih saja belum beranjak dari kasurnya.

"Anggi Bangun!!" teriakku lagi tepat di dekat gendang telinganya.

"Iya.iya.." keluhnya dengan berat hati beranjak dari tidurnya. Gadis itu memegangi pakaian tidurnya yang basah saat itu juga wajahnya berubah. "aduh basah lagi bajuku."

"Udah sana taruh di ember rendam dulu. nanti kakak yang cucikan, " ujarku.

Anggi menuruti kata-kataku. Segera ia masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur kami. Tak berapa lama gadis itu keluar dari kamar mandi dan sudah tampak bersih. Anggi segera merendam pakaian tidurnya yang basah tadi dari ompolnya semalam. Kegiatan seperti ini selalu menjadi rutinitas pagi harinya sebelum berangkat ke sekolah.

Paman dan bibiku sendiri sebagai orangtua tidak tahu apa yang menyebabkan Anggi seperti itu. Pernah Aku menyarankannya untuk memeriksakan diri Anggi ke dokter- tapi justru ditanggapi sebagai sesuatu yang tidak perlu dilakukan.

" Ah- seharusnya dia tidak minum kalo mau tidur. Itu saja kok." ujar Om Johan- ayah Anggi santai.

"Dia sudah ku larang untuk tidak banyak minum sebelum tidur." sanggah Tante Yuniarti pada suaminya itu."Bener kan Wa?

"Iya." jawabku singkat

"Ah sudahlah. nanti juga kalo dia menikah berhenti sendiri kebiasaan itu."

Aku dan tanteku tak lagi berani membantah. Apalagi sifat temperamen pamanku sering kali membuat tante Yuniarti menangis menahan kesal. Aku yang hanya menumpang di rumah tante yang merupakan adik kandung dari ibuku tidak punya hak untuk mencampuri urusan rumah tangga mereka. Apalagi baru beberapa bulan Aku tinggal bersama mereka mengingat penugasan kerjaku perdana di Kota yang sama dengan kota kelahiranku

Anggari dan Anggara anak-anak dari tanteku sudah berangkat dengan motor mereka masing-masing ke sekolah. Om Johan pun sudah pergi kerja. Aku yang kebetulan jarak antara rumah tanteku ke kantor tidak terlalu jauh memutuskan untuk berjalan kaki. Toh Aku tetap dengan kebiasaanku setiap pagi menyempatkan diri untuk berolahraga sebelum memulai aktifitas pagi.

"Selamat Pagi Bu Lurah" sapa seorang lelaki tua yang kebetulan berpapasan denganku.

"Selamat pagi Pak Wasno." balasku

"Biasanya kalo lurah-lurah sebelumnya datangnya siangan Bu. Ibu masih pagi begini sudah ke kantor."

"Ya. tidak apa pak. Sekalian saya olahraga jalan sedikit ke kantor kan tidak masalah." jawabku ramah.

Pak Wasno kemudian berjalan mengikutiku seraya melanjutkan perbincangan kami. Pak Wasno adalah ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan atau  LPMK di kelurahan tempat tugasku. Beliau adalah seorang karyawan pensiunan PT. Timah Tbk yang merupakan salah satu perusahaan milik BUMN yang bergerak di bidang pertambangan terbesar di negeri ini.

"Ohya Bu. Usulan kita untuk perbaikan jalan tahun ini sudah kami siapkan untuk dibawa ke musrenbang nantinya" jelas pak Wasno padaku.

"Ohya bagus. Kalau bisa kita siapkan untuk rapat kelurahan dengan anggota LPMK secepatnya nanti Pak Wasno." ujarku lagi.

Aku yang sudah tiba di depan pintu masuk kantor kelurahan mencoba membuka pintu kantor. Seminggu lebih aku ditugaskan sebagai Lurah di tempat ini- setiap pagi Aku lah yang terlebih dahulu datang dan membukakan pintu kantor. Pegawai kantor kelurahan ku sebagian besar adalah perempuan dan mereka rupanya juga terbiasa untuk datang terlambat dari jam kantor yang seharusnya berlaku.

Tiba-tiba Kami dikejutkan dengan beberapa amplop berwarna warni yang berserakan di lantai. Pak wasno membantuku memungut surat-surat itu.

" teruntuk Bu Lurah. To Ibu Lurah..." Pak Wasno membaca sampul surat itu satu per satu sambil mengernyitkan dahinya yang memang sudah berkerut.

"Sepertinya ini semua ditujukan untuk Ibu" ujarnya lagi.

Pak Wasno menyerahkan amplop-amplop yang ada di tangannya tadi kepada ku.

....untuk ibu lurah yang cantik.

Terima kasih telah menjadi penerang di tempat kami . Kehadiran ibu di sini memberi warna bagi warg kampung Temenggung. Tapi alangkah l3bih baiknya bila ibu sedikit memberikan senyuman agar semakin bersinar kampung kami ini. I love u bu lurah. Kutunggu senyumnya.

Astaga, benar-benar pengalaman baru bagiku menerima surat cinta semacam ini dari wargaku sendiri.

Entahlah, ada rasa ingin tertawa tapi satu sisi aku juga senang menerima pujian dari orang yang mengirimkan surat ini.

"Sudah mulai ada penggemar rupanya, " canda Pak Wasno padaku.

" Ah, Pak Wasno bisa aja. " balasku.

Aku dan pak Wasno kemudian melanjutkan pembicaraan kami di ruanganku.Pengalaman Pak Wasno selaku Ketua LKMK yang sudah lama tentunya cukup banyak membantu tugasku sebagai Lurah baru. Pak Wasno pula yang memperkenalkanku pada tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang penting yang memang cukup memiliki pengaruh di Kota ini.

Tak lama kemudian satu per satu pegawai kantorku datang. Seperti biasa mereka langsung duduk di posisinya masing-masing.

Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di hadapanku.

Hmm... sudah pukul delapan lewat dan mereka baru berdatangan masuk kantor.

"Pagi Bu Lurah, " sapa salah seorang dari mereka.

"Selamat Pagi," jawabku singkat.

"Biasanya mereka datang lebih siang dari ini, Bu." cerita pak Wasno padaku.

Waduh- pantas saja banyaknya keluhan dari warga masyarakat terhadap pelayanan kelurahan selama ini, batinku.

Sebagai Lurah yang baru bertugas beberapa hari- rasanya masih banyak yang harus kupelajari sebelum memutuskan suatu kebijakan. Kunci dari sebuah kebijakan adalah komunikasi yang baik, pesan Ayahku.

Pak Wasno kemudian berpamitan untuk pulang ke rumahnya yang memang tak jauh dari kantorku. Aku menjabat tangan Pak Wasno- sungguh beruntung Aku bertemu dengan orang-orang yang banyak membantuku saat bertugas pertama kali sebagai Lurah di kota ini.

Aku kemudian mendekati tiga orang pegawaiku yang terlihat asyik dengan kesibukan mereka masing-masing.

"Oh ya. Bu Tini, Bu Endang dan Pak Baron apa bisa ke ruangan saya sekarang." pintaku pada mereka.

"ya. Bu."

"Baik, bu."

Aku terlebih dahulu masuk ke ruanganku dan mengambil posisi duduk di sebuah sofa single yang memang sudah tertata di ruanganku untuk tempatku menerima tamu yang datang.

Satu per satu pegawaiku masuk ke ruanganku. Mereka masih tampak bersemangat menjalani aktifitas apalagi menurut mereka Aku lebih terbuka dan perhatian pada pegawaiku. Hal yang berbeda yang tidak dilakukan oleh atasan-atasan mereka sebelumnya.

"Silahkan duduk Bapak, Ibu" ujarku sopan kepada para pegawaiku.

Ketiga orang itupun duduk  dengan berdampingan di sofa panjang yang ada di hadapanku.

"Bapak, Ibu. Maaf sebelumnya saya meminta waktu kalian. Saya hanya ingin kita mulai sekarang membangun komunikasi untuk kerja kita ke depan agar lebih baik. Saya dalam seminggu ini memperhatikan Bapak dan Ibu yang kalau pun ke kantor selalu datang diatas jam masuk kerja smestinya dan banyak lagi yang kiranya hal lain yang saya yakin Bapak Ibu tahu apa dan bagaimana sebaiknya dilakukan saat kita bekerja di kantor."

"Ya, Bu. Tapi..." Bu Endang tiba-tiba memotong pembicaraanku.

"Maaf Bu Endang. Ijinkan Saya selesaikan dulu pembicaraan Saya baru Bu Endang dan lainnya Saya perbolehkan untuk berbicara" ujarku. Walau sedikit kesal tapi aku tidak ingin gegabah dengan memunculkan kekesalanku dihadapan mereka. Apalagi ketiga orang pegawaiku itu berusia jauh diatas usiaku.

"Iya, Baik Bu Lurah."

Pagi itu tak banyak yang kusampaikan kepada mereka- hanya yang ku minta mereka mengutarakan alasan mereka yang sulit untuk datang tepat waktu datang bekerja. Aku mencoba memberikan beberapa pilihan kepada mereka termasuk sikap mereka dalam bekerja di kantor yang menurutku terlalu santai. Aku sangat paham-sebagai pegawai kelurahan tentunya yang bisa diharapkan dari penghasilan mereka adalah hanya gaji pokok. Sehingga untuk menambah penghasilan terkadang mereka meminta jasa percepatan pembuatan surat seperti Kartu Idenditas Penduduk atau  surat menyurat lainnya. banyak peluang yang dimiliki oleh kelurahan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan mereka dan warga kelurahan- hanya saja pengelolaan yang salah dan beberapa pihak yang mengambil keuntungan pribadi membuat potensi tersebut tidak berkembang dengan baik.

"Saya mohon bantuan Bapak Ibu sekalian untuk bisa membantu Saya untuk memanfaatkan potensi yang kita miliki saat ini. semoga ini juga nantinya bisa jadi tambahan penghasilan untuk kita di  kantor ini." ujarku mengakhiri perbincangan kami.

"Baik Bu Lurah." jawab mereka serentak.

Sore hari-

Semua pegawaiku satu per satu sudah pulang. Aku sebagai orang terakhir yang pulang kembali memeriksa setiap sudut ruangan kantor untuk meyakinkan bahwa semua ruangan sudah tertutup dengan baik.

Walau sebenarnya hal tersebut biasanya dilakukan oleh seorang staf- tapi tak menjadi masalah bagiku untuk melakukannya sendiri.

Aku berjalan dengan membawa ransel di punggungku. Hari ini Aku merasa cukup lelah dalam pekerjaanku. Walau sepenuhnya waktu kerjaku kuhabiskan di dalam kantor tapi menata ulang administrasi perkantoran yang amburadul yang diwariskan oleh pejabat yang kugantikan sebelumnya benar-benar menguras pikiranku.

"Baru pulang, Wa? sapa tanteku ketika melihatku datang- wanita berparas cantik dengan tubuh tinggi langsing itu terlihat sedang menyapu halaman rumah.

"Ya, tante." jawabku seraya menyambut dan menciumi tangan tanteku itu.

"Itu tante buatkan otak-otak kesukaanmu ada di meja makan ya." ujarnya lagi.

" Ya, terima kasih tanteku yang baik hati dan cantik>"lanjutku memujinya.

Sebenarnya Aku tidak tega melihat tanteku yang sibuk dengan urusan rumah tangganya dan juga melayani semua anggota rumah seorang diri tanpa ada seorang pembantu yang bisa mengurangi beban pekerjaannya. Tapi kekerasan hati Om Johan dan juga sifatnya yang kasar membuat wanita itu tidak berani untuk membantah suaminya itu.

Aku mengganti pakaianku- bermaksud membantu tanteku menyelesaikan pekerjaan rumahnya. tapi seperti biasa Tante Yuniarti menolak bantuanku.

"Jangan Wa. Kamu sudah capek bekerja dari pagi. Lagian kalau Om mu tahu tante bisa dimarahi."

Aku  tak bisa berbuat banyak dengan penolakan tanteku itu. Aku sangat tahu bila suami tanteku itu marah suasana di rumah berubah bagai perang dunia ketiga. Aku pun tak akan bisa membela tanteku apalagi Aku hanya berstatus numpang tinggal di rumah ini.

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play