NovelToon NovelToon

LELAKI IDAMAN MARWA

SURAT CINTA I

Suara ayam berkokok dari rumah sebelah terdengar begitu nyaringnya- seakan sibuk membangunkan orang-orang di sekitar yang masih terlelap dari tidur mereka.

Suara gaduh dari dapur yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidurku pun terdengar ditelinga seakan meminta dengan paksa Aku dan Anggari yang masih tertidur pulas untuk bangun

" Anggi bangun. Ntar terlambat sekolah. " ujarku membangunkan Anggari yang masih tidur.

Aku mengangkat alas plastik yang melapisi kasur kami. Pastinya seperti biasa Anggi akan terbangun dengan celana yang basah. Untuk anak seusia Anggari yang sudah duduk di bangku sekolah menengah rasanya tidak wajar lagi bila selalu mengompol di celana.

" oh, iya. Iya.."

Anggari menggeliat seakan enggan untuk terbangun dari tidurnya. Tapi gadis muda yang keterlaluan manja ini masih saja belum beranjak dari kasurnya.

"Anggi Bangun!!" teriakku lagi tepat di dekat gendang telinganya.

"Iya.iya.." keluhnya dengan berat hati beranjak dari tidurnya. Gadis itu memegangi pakaian tidurnya yang basah saat itu juga wajahnya berubah. "aduh basah lagi bajuku."

"Udah sana taruh di ember rendam dulu. nanti kakak yang cucikan, " ujarku.

Anggi menuruti kata-kataku. Segera ia masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar tidur kami. Tak berapa lama gadis itu keluar dari kamar mandi dan sudah tampak bersih. Anggi segera merendam pakaian tidurnya yang basah tadi dari ompolnya semalam. Kegiatan seperti ini selalu menjadi rutinitas pagi harinya sebelum berangkat ke sekolah.

Paman dan bibiku sendiri sebagai orangtua tidak tahu apa yang menyebabkan Anggi seperti itu. Pernah Aku menyarankannya untuk memeriksakan diri Anggi ke dokter- tapi justru ditanggapi sebagai sesuatu yang tidak perlu dilakukan.

" Ah- seharusnya dia tidak minum kalo mau tidur. Itu saja kok." ujar Om Johan- ayah Anggi santai.

"Dia sudah ku larang untuk tidak banyak minum sebelum tidur." sanggah Tante Yuniarti pada suaminya itu."Bener kan Wa?

"Iya." jawabku singkat

"Ah sudahlah. nanti juga kalo dia menikah berhenti sendiri kebiasaan itu."

Aku dan tanteku tak lagi berani membantah. Apalagi sifat temperamen pamanku sering kali membuat tante Yuniarti menangis menahan kesal. Aku yang hanya menumpang di rumah tante yang merupakan adik kandung dari ibuku tidak punya hak untuk mencampuri urusan rumah tangga mereka. Apalagi baru beberapa bulan Aku tinggal bersama mereka mengingat penugasan kerjaku perdana di Kota yang sama dengan kota kelahiranku

Anggari dan Anggara anak-anak dari tanteku sudah berangkat dengan motor mereka masing-masing ke sekolah. Om Johan pun sudah pergi kerja. Aku yang kebetulan jarak antara rumah tanteku ke kantor tidak terlalu jauh memutuskan untuk berjalan kaki. Toh Aku tetap dengan kebiasaanku setiap pagi menyempatkan diri untuk berolahraga sebelum memulai aktifitas pagi.

"Selamat Pagi Bu Lurah" sapa seorang lelaki tua yang kebetulan berpapasan denganku.

"Selamat pagi Pak Wasno." balasku

"Biasanya kalo lurah-lurah sebelumnya datangnya siangan Bu. Ibu masih pagi begini sudah ke kantor."

"Ya. tidak apa pak. Sekalian saya olahraga jalan sedikit ke kantor kan tidak masalah." jawabku ramah.

Pak Wasno kemudian berjalan mengikutiku seraya melanjutkan perbincangan kami. Pak Wasno adalah ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan atau  LPMK di kelurahan tempat tugasku. Beliau adalah seorang karyawan pensiunan PT. Timah Tbk yang merupakan salah satu perusahaan milik BUMN yang bergerak di bidang pertambangan terbesar di negeri ini.

"Ohya Bu. Usulan kita untuk perbaikan jalan tahun ini sudah kami siapkan untuk dibawa ke musrenbang nantinya" jelas pak Wasno padaku.

"Ohya bagus. Kalau bisa kita siapkan untuk rapat kelurahan dengan anggota LPMK secepatnya nanti Pak Wasno." ujarku lagi.

Aku yang sudah tiba di depan pintu masuk kantor kelurahan mencoba membuka pintu kantor. Seminggu lebih aku ditugaskan sebagai Lurah di tempat ini- setiap pagi Aku lah yang terlebih dahulu datang dan membukakan pintu kantor. Pegawai kantor kelurahan ku sebagian besar adalah perempuan dan mereka rupanya juga terbiasa untuk datang terlambat dari jam kantor yang seharusnya berlaku.

Tiba-tiba Kami dikejutkan dengan beberapa amplop berwarna warni yang berserakan di lantai. Pak wasno membantuku memungut surat-surat itu.

" teruntuk Bu Lurah. To Ibu Lurah..." Pak Wasno membaca sampul surat itu satu per satu sambil mengernyitkan dahinya yang memang sudah berkerut.

"Sepertinya ini semua ditujukan untuk Ibu" ujarnya lagi.

Pak Wasno menyerahkan amplop-amplop yang ada di tangannya tadi kepada ku.

....untuk ibu lurah yang cantik.

Terima kasih telah menjadi penerang di tempat kami . Kehadiran ibu di sini memberi warna bagi warg kampung Temenggung. Tapi alangkah l3bih baiknya bila ibu sedikit memberikan senyuman agar semakin bersinar kampung kami ini. I love u bu lurah. Kutunggu senyumnya.

Astaga, benar-benar pengalaman baru bagiku menerima surat cinta semacam ini dari wargaku sendiri.

Entahlah, ada rasa ingin tertawa tapi satu sisi aku juga senang menerima pujian dari orang yang mengirimkan surat ini.

"Sudah mulai ada penggemar rupanya, " canda Pak Wasno padaku.

" Ah, Pak Wasno bisa aja. " balasku.

Aku dan pak Wasno kemudian melanjutkan pembicaraan kami di ruanganku.Pengalaman Pak Wasno selaku Ketua LKMK yang sudah lama tentunya cukup banyak membantu tugasku sebagai Lurah baru. Pak Wasno pula yang memperkenalkanku pada tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang penting yang memang cukup memiliki pengaruh di Kota ini.

Tak lama kemudian satu per satu pegawai kantorku datang. Seperti biasa mereka langsung duduk di posisinya masing-masing.

Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di hadapanku.

Hmm... sudah pukul delapan lewat dan mereka baru berdatangan masuk kantor.

"Pagi Bu Lurah, " sapa salah seorang dari mereka.

"Selamat Pagi," jawabku singkat.

"Biasanya mereka datang lebih siang dari ini, Bu." cerita pak Wasno padaku.

Waduh- pantas saja banyaknya keluhan dari warga masyarakat terhadap pelayanan kelurahan selama ini, batinku.

Sebagai Lurah yang baru bertugas beberapa hari- rasanya masih banyak yang harus kupelajari sebelum memutuskan suatu kebijakan. Kunci dari sebuah kebijakan adalah komunikasi yang baik, pesan Ayahku.

Pak Wasno kemudian berpamitan untuk pulang ke rumahnya yang memang tak jauh dari kantorku. Aku menjabat tangan Pak Wasno- sungguh beruntung Aku bertemu dengan orang-orang yang banyak membantuku saat bertugas pertama kali sebagai Lurah di kota ini.

Aku kemudian mendekati tiga orang pegawaiku yang terlihat asyik dengan kesibukan mereka masing-masing.

"Oh ya. Bu Tini, Bu Endang dan Pak Baron apa bisa ke ruangan saya sekarang." pintaku pada mereka.

"ya. Bu."

"Baik, bu."

Aku terlebih dahulu masuk ke ruanganku dan mengambil posisi duduk di sebuah sofa single yang memang sudah tertata di ruanganku untuk tempatku menerima tamu yang datang.

Satu per satu pegawaiku masuk ke ruanganku. Mereka masih tampak bersemangat menjalani aktifitas apalagi menurut mereka Aku lebih terbuka dan perhatian pada pegawaiku. Hal yang berbeda yang tidak dilakukan oleh atasan-atasan mereka sebelumnya.

"Silahkan duduk Bapak, Ibu" ujarku sopan kepada para pegawaiku.

Ketiga orang itupun duduk  dengan berdampingan di sofa panjang yang ada di hadapanku.

"Bapak, Ibu. Maaf sebelumnya saya meminta waktu kalian. Saya hanya ingin kita mulai sekarang membangun komunikasi untuk kerja kita ke depan agar lebih baik. Saya dalam seminggu ini memperhatikan Bapak dan Ibu yang kalau pun ke kantor selalu datang diatas jam masuk kerja smestinya dan banyak lagi yang kiranya hal lain yang saya yakin Bapak Ibu tahu apa dan bagaimana sebaiknya dilakukan saat kita bekerja di kantor."

"Ya, Bu. Tapi..." Bu Endang tiba-tiba memotong pembicaraanku.

"Maaf Bu Endang. Ijinkan Saya selesaikan dulu pembicaraan Saya baru Bu Endang dan lainnya Saya perbolehkan untuk berbicara" ujarku. Walau sedikit kesal tapi aku tidak ingin gegabah dengan memunculkan kekesalanku dihadapan mereka. Apalagi ketiga orang pegawaiku itu berusia jauh diatas usiaku.

"Iya, Baik Bu Lurah."

Pagi itu tak banyak yang kusampaikan kepada mereka- hanya yang ku minta mereka mengutarakan alasan mereka yang sulit untuk datang tepat waktu datang bekerja. Aku mencoba memberikan beberapa pilihan kepada mereka termasuk sikap mereka dalam bekerja di kantor yang menurutku terlalu santai. Aku sangat paham-sebagai pegawai kelurahan tentunya yang bisa diharapkan dari penghasilan mereka adalah hanya gaji pokok. Sehingga untuk menambah penghasilan terkadang mereka meminta jasa percepatan pembuatan surat seperti Kartu Idenditas Penduduk atau  surat menyurat lainnya. banyak peluang yang dimiliki oleh kelurahan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan mereka dan warga kelurahan- hanya saja pengelolaan yang salah dan beberapa pihak yang mengambil keuntungan pribadi membuat potensi tersebut tidak berkembang dengan baik.

"Saya mohon bantuan Bapak Ibu sekalian untuk bisa membantu Saya untuk memanfaatkan potensi yang kita miliki saat ini. semoga ini juga nantinya bisa jadi tambahan penghasilan untuk kita di  kantor ini." ujarku mengakhiri perbincangan kami.

"Baik Bu Lurah." jawab mereka serentak.

Sore hari-

Semua pegawaiku satu per satu sudah pulang. Aku sebagai orang terakhir yang pulang kembali memeriksa setiap sudut ruangan kantor untuk meyakinkan bahwa semua ruangan sudah tertutup dengan baik.

Walau sebenarnya hal tersebut biasanya dilakukan oleh seorang staf- tapi tak menjadi masalah bagiku untuk melakukannya sendiri.

Aku berjalan dengan membawa ransel di punggungku. Hari ini Aku merasa cukup lelah dalam pekerjaanku. Walau sepenuhnya waktu kerjaku kuhabiskan di dalam kantor tapi menata ulang administrasi perkantoran yang amburadul yang diwariskan oleh pejabat yang kugantikan sebelumnya benar-benar menguras pikiranku.

"Baru pulang, Wa? sapa tanteku ketika melihatku datang- wanita berparas cantik dengan tubuh tinggi langsing itu terlihat sedang menyapu halaman rumah.

"Ya, tante." jawabku seraya menyambut dan menciumi tangan tanteku itu.

"Itu tante buatkan otak-otak kesukaanmu ada di meja makan ya." ujarnya lagi.

" Ya, terima kasih tanteku yang baik hati dan cantik>"lanjutku memujinya.

Sebenarnya Aku tidak tega melihat tanteku yang sibuk dengan urusan rumah tangganya dan juga melayani semua anggota rumah seorang diri tanpa ada seorang pembantu yang bisa mengurangi beban pekerjaannya. Tapi kekerasan hati Om Johan dan juga sifatnya yang kasar membuat wanita itu tidak berani untuk membantah suaminya itu.

Aku mengganti pakaianku- bermaksud membantu tanteku menyelesaikan pekerjaan rumahnya. tapi seperti biasa Tante Yuniarti menolak bantuanku.

"Jangan Wa. Kamu sudah capek bekerja dari pagi. Lagian kalau Om mu tahu tante bisa dimarahi."

Aku  tak bisa berbuat banyak dengan penolakan tanteku itu. Aku sangat tahu bila suami tanteku itu marah suasana di rumah berubah bagai perang dunia ketiga. Aku pun tak akan bisa membela tanteku apalagi Aku hanya berstatus numpang tinggal di rumah ini.

Surat Cinta II

Lagi-lagi Aku menemukan surat yang menumpuk dimejaku. Bukan surat yang berkaitan dengan pekerjaanku tapi beberapa surat pernyataan cinta dari entah siapa orangnya.

Kali ini Ibu Tini yang sudah datang lebih awal dariku yang menemukan surat-surat itu dan menyimpannya di atas meja kerjaku.

"Siapa kira-kira pengirim surat-surat ini ya bu? tanyaku penasaran.

" Saya juga kurang tahu bu. Tapi nanti Saya suruh orang untuk selidiki. "

" Ah, sudahlah Bu Tini. Jangan dihiraukan. Nanti juga berhenti sendiri kalau tidak dilayani. "

Bu Tini pun mengikuti permintaanku- walaupun Aku tahu Bu Tini tidak akan tinggal diam untuk mencari tahu dengan rasa penasarannya yang besar terhadap si pengirim surat.

Hari ini- jadwal Aku berkeliling wilayah untuk memantau progres perbaikan jalan kelurahan bersama Pak Wasno dan beberapa anggota LPMK lainnya.

Aku yang sudah mulai membaur dengan warga seakan menjadi tokoh utama dalam film yang dinantikan kehadirannya oleh penonton. Aku tak habis pikir apa yang membuat mereka rela memperlakukanku seperti itu. Hampir setiap rumah yang aku lewati memintaku untuk singgah di rumah mereka.

" Bu lurah ayo mampir dulu"

" Bu lurah singgah dulu Bu. Sekalian makan siang"

" Bu, kesini dong bu. "

Pinta orang-orang itu ramah. Aku menolak dengan sopan karena kupikir dengan menerima satu permintaan akan membuat kecemburuan bagi warga lain yang mengundangku.

Aku kembali meneruskan langkahku memonitor pekerjaan perbaikan jalan- namun tiba-tiba sekilas aku melihat sosok lelaki yang berdiri di balik pohon jambu yang tanpa sepengetahuanku sudah mengikuti perjalananku sejak aku keluar kantor tadi.

Mungkin aku salah mengira dengan orang itu batinku.

"Ohya Bu- bagaimana rencana kita untuk mengaktifkan kembali karang taruna dan warung desa kita? tanya Pak Lukitan saat itu.

"Ohya- Saya hampir lupa soal itu. saya sudah mengajukan proposal ke beberapa donatur yang akan membantu kita soal itu pak. Inshallah dalam waktu dekat ini akan kita bahas dalam pertemuan LPMK dengan karang taruna nantinya."

" mau mulai dari mana dulu Bu. Rasanya tidak mungkin berbarengan kita laksanakan bukan? tanya Pak Lukitan lagi dengan keraguannya.

"Ya. Karang taruna kita kan dulu pernah mendapatkan bantuan peralatan bengkel- nah itu nanti kita bisa manfaatkan dan kembangkan. ada beberapa peralatan yang kita minta bantuan dari donatur  baik itu untuk bengkel maupun untuk warung desa. Alhamdulilah mereka bersedia untuk itu," jelasku yakin

" tapi apa ibu yakin bisa menggerakkan anak muda kampung kita nih? tanya Pak Lukitan lagi sedikit ragu.

"Untuk itulah Saya mohon bapak-bapak sekalian untuk bersedia membantu saya mewujudkannya." jawabku yakin.

"Iya Bu pasti itu," jawab pak Wasno spontan.

"Baik Bu lurah. pasti kalo untuk kemajuan kampung kita akan bantu." sambut Pak Lukitan juga ikut-ikutan.

Aku tersenyum senang melihat reaksi mereka yang menyambut baik rencanaku. Dengan usia yang jauh lebih muda dari mereka terkadang ada rasa kurang percaya diri dalam diriku untuk menjadi pemimpin wilayah terkecil seperti sekarang ini. Apalagi aku menjadi  wanita pertama di kota ini yang menjabatat sebagai Lurah termuda.

Aku dan rombongan  bapak-bapak pengurus LPMK  lalu berpisah di depan kantor kelurahan. masing-masing kemudian disibukkan dengan urusannya.

"ohya Bu. kira-kira kapan kita bisa membahas persoalan rencana kita dengan anggota karang taruna? tanya Pak Wasno kemudian sebelum kami berpisah.

"kalau bisa dalam minggu-minggu ini kita luangkan waktu untuk membahas masalah itu bersama."

Pak Wasno menggangguk setuju. lalu lelaki setengah baya itu kembali berpamitan dan berjalan menuju rumahnya yang hanya beberapa blok dari kantorku.

Hari ini Aku ingin pulang lebih awal- kebetulan Tanteku yang biasa kupanggil dengan nama Tante Yun meminta bantuanku untuk membawa sepupuku ke dokter. Anggari yang sejak dua hari kemarin mengalami demam tinggi mulai mengalami gejala muntah-muntah. Tante Yuniarti yang merasa kuatir dengan kondisi anaknya itu tak berani menyampaikan hal tersebut kepada Om Johan. Apalagi Om Johan akan sangat marah bila dia tahu anaknya sakit. Lagi pula Om ku itu saat ini sedang berdinas ke luar kota sehingga sangat sulit untuk dihubungi.

"Marwa, kalau kamu pulang nanti bisa bantu tante bawa anggi ke dokter? pinta tanteku itu.

" Ya. Bisa tan, "

" Tapi tante tidak pegang cukup uang Wa. Om mu hanya meninggalkan beberapa puluh ribu saja untuk keperluan selama dia tidak di rumah. "

" Tak apa Tan. Aku akan urus semua. Tante jangan kuatir ya. "ujarku menenangkannya. Aku sangat tahu rasa ketakutan dalam diri tanteku itu karena setiap kali anak-anaknya sakit atau pekerjaan rumah yang tidak segera diselesaikan suaminya akan marah besar padanya. Bahkan tak jarang pukulan atau cacian kasar ia terima  dari suaminya itu.

Tante Yun menangis tersedu  dan terduduk lemas di sisi pembaringan tempat Anggari tertidur lemah.

Aku dengan sekuat tenaga berusaha membopong tubuh Anggari yang bongsor untuk masuk ke dalam mobil milik Om ku. Ku pinta Anggara yang hanya diam tertegun melihat keruwetan kami untuk menjaga rumah tante selagi Aku dan Tante pergi ke rumah sakit.

"Angga jangan kau cerita dengan papamu soal sakit anggi" ingatku sedikit bernada keras pada Angga.

Angga hanya mengangguk. Entahlah anak lelaki ini paham dengan maksudku atau tidak tapi aku sekali lagi mengingatkannya untuk tutup mulut soal Anggari.

Aku memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi karena kulihat kepanikan Tanteku yang semakin jadi ketika Anggari muntah-muntah kesekian kalinya di mobil.

Untungnya jarak antara rumah sakit dengan rumah tante tidak terlalu jauh.

Aku segera masuk ke ruang IGD untuk meminta bantuan petugas kesehatan untuk menyiapkan brankar dorong untuk memindahkan Anggari yang semakin lemah ke ruangan IGD. Salah seorang petugas menyiapkan sebuah tempat tidur yang dipisahkan dengan tirai putih dan memindahkan tubuh Anggari di atasnya.

Sedangkan petugas lain kemudian memasangkan peralatan tensi dan pengukur suhu.

"Suhunya 39, 5 derajat. Tensi 90 per 60" ujar seorang perawat yang memasangkan peralatan medis tadi pada tubuh anggari.

" Tolong anak saya, dok" ujar Tante Yun dengan suara yang parau setelah menangis selama perjalanan..

" Ya ibu. Kita tunggu dokternya ya bu." ujar perawat wanita yang berdiri disamping tanteku.

Aku memegangi tangan tanteku untuk membuatnya sedikit tenang. Tak berapa lama seorang dokter dengan seragam putihnya datang mendekat bilik ruangan kami.

" bu lurah? Ujar dokter lelaki itu sesaat kami bertemu pandang.

Hei, bukankah dokter ini lelaki yang mengikutiku tadi siang dan bersembunyi dibalik pohon?batinku. Ternyata dia seorang dokter di rumah sakit ini rupanya.

"Siapa ini yang sakit Bu? Tanyanya ramah sambil tangannya sibuk memasangkan stetoskop di telinga kiri dan kanannya. Lalu meletakkan chest piece stetoskop tadi ke bagian dada dan perut anggari.

" ini sepupu saya dok. " jawabku sambil mataku memperhatikan tindak tanduknya saat memeriksa anggari.

" Panggil saja saya arman bu" ujar dokter itu lagi padaku.

Lelaki itu dengan sabarnya memeriksa Anggari. Kemudian dia meminta seorang perawat untuk menyiapkn alat USG di bilik itu.

" kemungkinan besar ini infeksi pencernaan, "

Ujarnya setelah memeriksa bagian perut Anggari dan melihat hasilnya dari layar disampingnya.

Dokter Arman kemudian menyarankan agar sore ini Anggari untuk dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang intensif.

Tante Yuniarti tampak kebingungan mendengar saran dokter. Tangannya semakin erat memegang tanganku. Aku tahu sekali wanita disampingku ini selain karena kuatir akan kondisi anaknya tapi juga takut akan kemarahan suaminya saat mengetahui hal ini.

"Tante tenang ya. Anggi hanya dirawat sehari kata dokter untuk memudahkan diagnosa. "

" Tapi Wa. Kalo om johan kamu tahu Tante pasti habis dimarahi. "

"Aku yang akan menjelaskan pada Om Johan. Tante jangan takut. ini bukan kesalahan tante kalo anggi sakit. Tante sudah merawat kelurga tante dengan baik. " jelasku lagi

Setelah melihat tanteku sedikit tenang- Aku kemudian meninggalkan Tanteku di bilik rawat kemudian berjalan ke bagian administrasi rumah sakit untuk mengurus semua keperluan anggari.

"Kalau nanti ada perlu apa-apa bisa hubungi saya ya Bu Lurah. " suara dokter Arman mengagetkanku.

" Oh ya terima kasih bantuannya tadi dok. "jawabku

Dokter Arman tampak berbeda dengan tampilan pakaian jas putihnya. Kulitnya yang putih dengan rambut ikalnya membuat dia terlihat lebih menawan dari yang kulihat sore tadi.

" ohya, apa surat saya sudah ibu terima? Tanya dokter Arman.

"surat? Aku balik bertanya padanya.

" ya surat itu saya selipkan di sela pintu kantor ibu"

Ah, aku mengerti sekarang. Rupanya surat itu dari dokter Arman. Tapi mengapa lelaki itu tidak menyampaikannya secara langsung padaku.

"oh ya. Saya tidak tau kalo itu dari pak dokter. Tapi kenapa sampai beberapa surat yang saya terima? Ujarku kembali bertanya pada lelaki muda itu.

" beberapa? Tanyanya heran. "tapi saya hanya mengirimkan surat itu sekali saja"

" Oh maaf. Saya pikir semua itu dari Pak dokter. " elakku malu. Lalu siapa yang mengirimkn surat-surat lainnya itu padaku, batinku bertanya.

"Rupanya banyak juga penggemar Bu lurah" canda Arman lagi.

"Oh bukan begitu. Saya justru heran kenapa ada beberapa surat yang ditujukan ke saya tapi disampaikan melalui lubang pintu kantor. Lagipula tak tercantum nama pengirim. "

Dokter Arman tak menberikan jawaban. Lelaki itu hanya tersenyum padaku. Kemudian tangannya menyelipkan selembar kartu nama ke tanganku.

" itu kartu nama saya bila sewaktu-waktu bu lurah memerlukan bantuan saya bisa hubungi nomor saya. " ujarnya seraya berpamitan dan kemudian meninggalkanku terbengong-bengong sendiri di tempat itu.

Ah, dokter yang aneh, batinku. Jaman secanggih ini masih saja berkirim- kirim surat di depan pinty.

Cerita Tante I

Sungguh pernikahan bagai sesuatu hal yang mengerikan dalam pikiranku. Apalagi setelah kulihat sendiri apa yang dialami tanteku.

Om Johan kembali dari dinas lebih cepat dari yang dia rencanakan. Tentu saja hal ini sama sekali tidak kami perkirakan sebelumnya. Betapa marahnya Ia ketika didapatinya rumah dalam keadaan sepi. Entah karena ketakutan atau bodoh- Anggara justru menceritakan perihal kakaknya di rumah sakit.

Untungnya Aku dan Tante Yun sudah merancang alasan yang akan dia sampaikan bila suaminya pulang dan mengetahui hal ini.

"Dari mana kamu malam-malam begini? tanya Om Johan dengan wajah garangnya pada istrinya.

Seketika wajah tante pucat.

"Anu..Aku belanja keperluan rumah tadi." ujarnya gugup seraya menunjukan kantong belanjaan yang ada di jinjingannya.

"Kenapa baru belanja malam-malam begini?

"Aku baru periksa kalau keperluan dapur kita sudah banyak yang habis."

"Alasan. lalu kemana Anggi kenapa belum juga pulang? tanyanya semakin marah.

"Anu Angg .... Anggi di rumah sakit." ujar tante semakin gugup mendengar suara suaminya yang semakin meninggi.

Tiba-tiba

PLAK ...

Terdengar suara tamparan yang mendarat keras di pipi tanteku. Tangan Om Johan yang kekar dan kokoh meninggalkan bekas merah di pipi tante yang putih.

ADUH....

Tante Yun meringis pelan dan memegang pipinya yang tertampar tangan besar Om Johan, air matanya terjatuh dan isak tangis mulai terdengar dari bibirnya.

"Aku sudah peringatkan kau. Jangan sampai anak-anakku terluka atau sakit. Tugasmu menjaga mereka dengan baik!"!

"Tapi... Tapi Pa"

" Tidak ada tapi!

Kejadian seperti itu sering kali berulang. Hal yang tidak pernah diduga oleh tanteku semasa mereka masih pacaran dulu.

Masih kuingat sewaktu kedua orang itu meminta restu kakek ku untuk menikah tapi justru kakek dan keluarga besarnya menentang rencana itu.

Sampai suatu ketika Tante Yun diungsikan ke jakarta untuk tinggal bersama kami. Waktu itu ayahku ditugaskan untuk bekerja di sebuah kantor perwakilan yang terletak di pusat kota Jakarta. Kami tinggal di sebuah rumah dinas yang cukup besar. Selama diungsikan itulah rupanya diam-diam tante Yun masih menjalin komunikasi dan bertemu dengan kekasihnya itu.

Mereka intens berkomunikasi via surat yang dikirim ke alamat saudara sesusuan Ibuku..

Tante Yun adalah anak ke enam dari sepuluh bersaudara yang dua diantara mereka adalah lelaki.

Suatu ketika kedua orangtuaku yang kebingungan mencari keberadaan tante yang hampir satu minggu tidak pulang kerumah. Justru mendapati tanteku dengan kekasihnya itu ada di sebuah rumah kecil di perbatasan antara kota Jakarta dan bogor. Mereka telah menikah siri disana.

Kakek yang saat itu sangat keras perlakuannya pada anak-anaknya terutama anak gadisnya begitu murka sehingga sempat kekasih tanteku itu dipenjarakan selama seminggu. Uang dan kekuasaan yang dimiliki kakek tidak akan sulit untuk memenjarakan seorang lelaki pengangguran yang hanya anak seorang penjual sayur keliling di kampungnya.

Tante Yun yang waktu itu masih berusia enam belasan tahun tentunya masih sangat muda untuk menyandang status sebagai istri dari seorang lelaki yang sebelas tahun lebih tua darinya.

" Apa yang kau harapkan dari Johan? Kerjanya hanya berkelahi dan berkelahi. Seumur dia apa yang dia lakukan. Kerja? Tidak kan" bentak kakek ku kesal. Wajah kakek yang putih bersih seperti kebnyakan lelaki peranakan cina itu berubah memerah. Kemarahannya semakin memuncak ketika melihat anak gadisnya berlindung dibalik tubuh Johan.

" Pak. Saya mencintai Yuniarti sepenuh hati. Akan Saya buktikan saya bisa menjaga dan membahagiakan dia. " ujar Johan membela diri.

"omong kosong. Dia anak gadisku kalau kau lelaki bertanggungjawab kau minta anakku baik-baik bukan kau bawa kabur dia."

Pamanku yang bernama Kurniadi yang ikut mencari keberadaan Tante Yuniarti meminta beberapa orang petugas kepolisian untuk menahan kekasih tante Yun.

Namun ketidaksukaan akan sosok Om Johan oleh keluargaku itu akhirnya berubah saat kakek dan nenekku mengetahui bahwa tanteku itu telah berbadan dua. Dengan keterpaksaan akhirnya Kakek bersedia memberikan restunya.

Namun tidak bagi Om Johan- penolakan yang dilakukan keluarga kami dianggap sebuah penghinaan yang selalu diingatnya. Sejak dikeluarkan dari tahanan saat itulah perlakuan kasarnya terhadap tanteku dimulai. Walau begitu Tante Yuniarti tetap mencintai suaminya walau tak jarang perlakuan kasar suaminya itu membuatnya terluka tapi ia tetap mencoba menahan air mata kepedihan yang ia rasakan demi lelaki yang dia cintai itu.

Cinta memang perlu pengorbanan tapi cinta bukan untuk dikorbankan dan mengorbankan orang lain yang kita cintai.

Aku selalu yakin dan percaya bahwa cinta yang tulus, dan kuat itu murni. Pengorbanan, penerimaan, rasa saling menghargai dan membutuhkan dalam mencintai adalah bentuk cinta sejati.

Keesokan harinya...

Aku masih sibuk membantu suster menbersihkan keringat dan ompol Anggari yang membasahi kasur pasien. Kondisi kesehatan Anggari sudah membaik- hanya saja Aku masih menunggu keputusan dokter untuk mengijinkan Anggari pulang.

Namun tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar kamar dan tak kama pintu kamar dibuka dengan paksa.

" Mana Anakku! suara teriakan itu seperti tak asing bagiku. Ya, itu suara Om Johan. Aku yang sedang membantu Anggari menggantikan pakaiannya tiba-tiba terkejut melihat Om Johan sudah berdiri dengan wajahnya yang sangar di hadapanku.

" Kenapa kau tidak kasih tau Om kalau adikmu ini sakit Wa! Bentaknya padaku

"Maaf om. Tapi.. " jawabku terbata-bata.

" Ah sudahlah tante dan keponakannya sama saja. " hentak Om Johan lagi padaku.

Jujur ada rasa kesal dan marah mendengar ucapan Om johan tadi. Ingin Aku membalas semua ucapannya. Tapi aku masih berpikir apa yang akan terjadi nantinya pada tanteku bila Aku membalas perlakuan kasar om Johan itu.

Dokter Arman yang baru saja masuk berusaha menenangkan situasi.

"Tenang pak. Anak bapak tidak apa-apa. Hari ini dia boleh pulang, " ujarnya tenang.

Om Johan segera meminta Anggara anak lelakinya untuk membereskan semua barang milik anggari yang kebetulan kemarin sudah kupersiapkan untuk keperluan ganti sepupuku itu. Aku tak lagi bermaksud menghalangi-lagi-lagi karena aku sadar aku hanya orang yang menunpang tinggal di rumah Om Johan.

" Sabar ya bu lurah. " ujar dokter Arman sesaat setelah Om Johan dan kedua anaknya itu pergi.

" Iya dok. Maaf sebelumnya atas perlakuan paman saya tadi"

Dokter Arman tersenyum,

"oh ya, Bu lurah rumah nya dimana. Biar saya antar pulang?

" Saya tinggal bersama Om saya tadi"

Terlihat lelaki itu hanya mengangguk-anggukan kepala. " kenapa tidak tinggal memisah dari mereka? Ujarnya kemudian.

Aku terdiam sejenak mendengar saran dokter Arman. Tentu saja saran itu cukup masuk akal. bagiku. Terkadang ada rasa canggung ketika kita harus tinggal dengan keluarga yang awal hubungannya tidak terlalu dekat denganku. Walaupun hubungan pertalian darah antara aku dan Tante Yunarti istri om Johan sangat dekat tapi ketidaknyamanan pasti ada kurasakan. Terlebih dengan adanya kejadian hari ini- membuatku semakin yakin untuk keluar dari rumah tanteku.

" saya akan pertimbangkan saran pak dokter" ujarku pada dokter Arman.

Download MangaToon APP on App Store and Google Play

novel PDF download
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play