Jodoh dicari ✖️
Jodoh dijebak ✔️
Demi membatalkan perjodohan yang diatur Ayahnya, Ivy menjebak laki-laki di sebuah club malam untuk tidur dengannya. Apapun caranya, meski bagi orang lain di luar nalar, tetap ia lakukan karena tak ingin seperti kakaknya, yang menjadi korban perjodohan dan sekarang mengalami KDRT.
Saat acara penentuan tanggal pernikahan, dia letakkan testpack garis dua di atas meja yang langsung membuat semua orang syok. ivy berhasil membatalkan pernikahan tersebut sekaligus membuat Ayahnya malu. Namun rencana yang ia fikir berhasil tersebut, ternyata tak seratus persen berhasil, ia dipaksa menikah dengan ayah janin dalam kandungan yang ternyata anak konglomerat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Di ruang keluarga, Yasa yang sedang main perang-perangan dengan adiknya menggunakan pedang plastik, seketika gerakannya terhenti mendengar namanya dipanggil. Meletakkan telunjuk di depan bibir, memberi isyarat pada Luth agar tidak berisik. Ia perlu menajamkan pendengaran, benarkah namanya yang dipanggil.
"Siapa yang teriak manggil Kakak?" tanya Luth, seperti Yasa, ia juga berhenti bergerak, fokus mendengarkan suara teriakan dari ruang tamu.
"Yas, itu kenapa teriak-teriak manggil kamu?" tanya Isani.
Yasa mengedikkan bahu, "Gak tahu, Mah."
Sani menutup novel yang ia baca, meletakkan di atas sofa lalu bangkit. Ia melarang Luth yang ingin ikut keluar, meminta bungsunya itu masuk ke kamar karena feelingnya, ada yang tidak beres disini. Bersama Yasa, ia keluar.
"Ini dia anaknya," Agung menatap Yasa nyalang. Dengan mata menyala-nyala, mendekati Yasa lalu menarik kerah kaosnya.
"Apa-apaan ini?" sebagai ibu, Sani langsung ngamuk, tak terima anaknya diperlakukan seperti itu. "Lepaskan tangan anda!" mendorong tubuh besar Agung.
"Lepaskan saya!" Yasa yang tak tahu apa permasalahannya, menarik kaosnya hingga lepas dari cengkeraman Agung. Menurutnya, yang dilakukan pria itu sangat tidak sopan.
Sani menatap suaminya yang duduk di sofa, tatapannya kosong, di tangannya ada sebuah ponsel. Perasaannya semakin tak tenang.
"Bajingan kamu!" Agung menunjuk muka Yasa. "Berani berbuat, harus berani tanggung jawab."
"Turunkan tangan anda dari muka anak saya!" Sani menepis kasar tangan Agung, tak terima Yasa ditunjuk seperti itu. "Ini rumah saya, tolong jaga sopan santun anda, atau kalau tidak, saya panggil security untuk mengusir anda."
Bukanya takut, Agung malah tertawa ngakak mendengar ancaman Sani. "Silakan saja Nyonya Yusuf yang terhormat. Silakan panggil security, saya tidak takut."
"Apa maksud dari ucapan anda?" tanya Yasa.
Agung tersenyum miring sambil geleng-geleng. "Gak usah sok gak tahu anak muda. Jangan setelah menanam benih, kamu mau cuci tangan begitu saja," menepuk-nepuk bahu Yasa.
Yasa menepis kasar tangan Agung, raut wajahnya tak bisa bohong, ia mulai gelisah. "Bicara yang jelas!"
"Huft, baiklah," Agung tersenyum, kedua tangannya berada di pinggang. "Kamu kenal Ivy kan? Ivy Maulidia Setyawan."
Deg
Wajah Yasa seketika pias mendengar nama Ivy. Tak bisa dipungkiri, dia masih sering gelisah setiap kali teringat Ivy. Ia kerap memikirkan, bagaimana kondisi Ivy saat ini. Sejak hari itu, hingga dua bulan setelahnya, hidupnya tidak tenang, ia seperti berdiri di atas lumpur hidup atau pasir hisap, yang sewaktu-waktu, bisa langsung menenggelamkannya. Sering tiba-tiba kaget hanya karena suara telepon, takut jika Ivy meneleponnya, mengabarkan sesuatu yang paling ia takutkan. Baru sebulan ini ia bisa sedikit tenang, karena Ivy sama sekali tidak menghubungi. Ia fikir, waktunya sudah lumayan lama, dan dari kejadian itu, tak ada lagi yang perlu dia khawatirkan. Ternyata, dugaannya salah. Hari yang ia takutnya, ternyata hari ini datangnya.
"Sekarang, Ivy hamil 3 bulan," lanjut Agung. "Gak perlukan, saya spil siapa ayahnya?" tersenyum penuh makna.
Sani bingung, ia menatap Yasa yang hanya diam, sementara suaminya malah terlihat masih fokus dengan HP. Apa yang sebenarnya dilihat suaminya? "Ada apa ini, Yas?" tanyanya setelah sibuk menerka-nerka.
Yasa hanya diam, bibirnya kelu untuk menjelaskan kejadian malam itu.
"Nyonya Yusuf yang terhormat, tolong dengar baik-baik penjelasan saya," ujar Agung penuh penekanan. "Putra anda ini, Ilyasa, dia telah menghamili putri saya."
Deg
Tubuh Sani seketika oleng, lututnya lemas, sebelah tangannya menutup mulutnya yang menganga, syok. Ia seperti dihantam sesuatu yang berat dan keras, yang seketika, membuatnya tak bisa bernafas. Ini lebih mengejutkan dari kejutan apapun.
"Jika anda tidak percaya, lihat rekaman CCTV yang ada pada suami anda," menunjuk Yusuf yang masih belum bergerak, tetap duduk di tempatnya. "Disana sudah sangat jelas, jika putra anda, masuk ke dalam hotel bersama putri saya."
Mendengar ada rekaman CCTV, Yasa semakin gelisah. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Bukan mau mengelak, apalagi tak bertanggung jawab, yang ada di benaknya sekarang, adalah seperti apa perasaan kedua orang tuanya. Mereka pasti sangat hancur.
"Apa kamu mau mengelak?" Agung menatap Yasa. "Apa bukti CCTV itu belum cukup?"
"Kenapa Ivy tidak ikut?" tanya Yasa. Ia ingin melihat wanita itu, ingin tahu seperti apa responnya saat sekarang, ia disalahkan, dipojokkan, padahal yang sebenarnya bersalah, adalah Ivy. Mana ucapannya dulu, yang bilang tidak akan meminta tanggung jawab?
Sani kaget mendengar Yasa menyebut nama wanita itu, ekspresinya yang tidak terkejut, seperti jawaban, bahwa semua yang dikatakan Agung, adalah fakta.
"Untuk apa mencarinya, mau mengintimidasinya, atau mau menyuruhnya menggugurkan kandungan?" Agung tersenyum kecut. "Saya fikir, anak seorang Yusuf Nugraha, seorang pengusaha sukses yang kredibilitasnya diakui banyak orang, adalah laki-laki yang bertanggung jawab, tapi ternyata... "
"Apa saya ada bilang, jika saya tidak mau tanggung jawab?" potong Yasa.
"Yasa," Isani menggeleng tak percaya, air matanya mengalir. Ucapan Yasa barusan, mengukuhkan ucapan Agung, jika benar ialah yang menghamili Ivy. Kenyataan itu semakin menambah rasa kecewa dan sakit hati Sani.
"Baguslah kalau kamu mau tanggung jawab," Agung tersenyum pongah. "Jadi rencana saya untuk mengirim karangan bunga ke depan kantor Papa kamu, sekaligus ke depan kampus kamu, saya urungkan. Bayangkan, jika papan bunga bertuliskan 'Turut berduka cita atas matinya hati nuraninya Ilyasa Kaysan Nugraha, putra dari Yusuf Liam Nugraha, laki-laki yang sudah menghamili tapi tak mau tanggung jawab."
Tangan Yasa terkepal kuat, wajahnya memerah menahan emosi. Rasanya ingin berteriak sekencang mungkin, jika ia bukanlah laki-laki seperti itu. Ia dijebak Ivy, ia korban, kenapa sekarang ia malah dianggap sebagai tersangka.
"Baiklah kalau kamu mau tanggung jawab, segera persiapkan pernikahan kalian. Jangan lupa, mahar 1 milyar."
Mata Yasa membulat, pun dengan mata Isani. Namun berbeda dengan Yusuf, ia malah hanya diam saja sejak tadi, kesannya malah seperti sedang menonton pertunjukan.
"Jangan ngawur anda," tolak Yasa. "Saya cuma mahasiswa, mana mungkin ada uang sebanyak itu." Baginya, tak masalah jika harus menikahi Ivy, toh memang benar, Ivy hamil anaknya, tapi mahar itu, menurutnya terlalu berlebihan, kesannya seperti pemerasan.
"Halah, persetan kamu mahasiswa atau apa. Uang segitu, tidak besar untuk orang tuamu. Bukan begitu, Nyonya Yusuf?" ia menatap Sani.
"Baiklah." Bukan Yasa yang menjawab, namun Yusuf. Laki-laki itu berdiri, menghampiri Agung lalu menyerahkan ponselnya. "Tidak masalah uang 1 Milyar bagi saya. Tapi ada syaratnya, pertemukan saya terlebih dahulu dengan putri kamu. Saya butuh klarifikasinya."
"Untuk apa, mau mengintimidasi putri saya, hah?" bentak Agung. Ia memang sengaja tak mau membawa Ivy, takut putrinya itu kembali merusak rencananya. Ivy sulit sekali ia ajak kerjasama.
"Kenapa kamu sepertinya takut saya bertemu dengan putrimu?"
Sani dan Yasa heran, bagaimana mungkin Yusuf terlihat begitu tenang menghadapi masalah ini.
Yusuf membuang nafas kasar. "Kamu pintar sekali Agung, tapi jangan lupa, saya lebih pintar daripada kamu," ia tersenyum simpul. "Saya sudah faham trik-trik kotor seperti ini dalam dunia bisnis. Kamu sengaja mengumpankan putrimu demi bisa mendapatkan apa yang kamu mau kan?"
"Apa maksud anda?" Agung mulai gelisah.
"Gara-gara dulu kalah tender dengan perusahaan lain, bukannya meningkatkan kualitas, kamu malah bermain kotor demi bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan saya. Demi keuntungan bisnis, kamu menggunakan putrimu untuk menjebak putra saya. Di video CCTV sudah terlihat jelas, putrimu yang melakukan check in, putrimu juga yang terlihat menarik tubuh putra saya masuk ke dalam hotel." Yusuf membuang nafas kasar, mengacak rambutnya sambil tersenyum. Sungguh, ia tak percaya ada ayah yang mau mengumpankan putrinya. "Kamu salah nyari lawan!" menepuk bahu Agung beberapa kali.
Wajah Agung seketika pias, ia mulai terlihat gentar, tapi ia tak mungkin mundur. "Terserah apa kata kamu. Disini sudah jelas, anak yang dikandung Ivy adalah anak Ilyasa, dan dia harus tanggung jawab, karena kalau tidak, saya akan laporkan kasus ini ke polisi. Anak kesayangan kamu ini, akan mendekam di penjara!" menunjuk wajah Yasa.
"Apanya yang jelas," bantah Yusuf. "Tidak ada bukti jelas, kalau anak yang dikandung putrimu, adalah anak putraku. Tidak ada bukti hasil tes DNA disini. Jadi bisa saja, putri kamu yang jalangg itu, juga tidur dengan banyak laki-laki lain selain putraku. Aku tidak membenarkan perbuatan putraku, tapi disini sudah jelas, kalau putrimu yang membawa putraku ke hotel. Jadi sebelum ada hasil tes DNA, jangan pernah berkoar-koar apapun!" tekan Yusuf. "Keluar dari rumahku, atau aku panggil security untuk mengusirmu."
yg jahat bapaknya ivy
sakit hati nya sampai kesini lo el