Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09 (Part 1)
Bunga terbangun pukul setengah lima pagi, tiga puluh menit sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Jantungnya berdebar-debar dengan campuran aneh antara antusiasme dan rasa mual. Hari pertama. Ini adalah hari pertama dari sisa hidupnya.
Ia melompat dari tempat tidur, sengaja tidak memberi otaknya waktu untuk berpikir atau merasa takut. Ia bergegas mandi, menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya. Ia ingin terlihat sempurna. Bukan cantik, tapi... pantas. Pantas menjadi mahasiswi di universitas impiannya.
Dilema terbesar paginya adalah pakaian. OSPEK mewajibkan kemeja putih dan rok hitam. Tapi Bunga mematut diri di cermin, merasa penampilannya terlalu... SMA. Terlalu kaku. Ia menghela napas. Tidak ada pilihan. Ia menyisir rambutnya, mengikatnya model ekor kuda, dan memoleskan lip tint tipis-tipis.
Setidaknya aku tidak terlihat seperti anak hilang, batinnya, mencoba meyakinkan diri.
Ia meraih tas ranselnya—ransel yang berbeda, bukan yang berisi cobek—yang sudah ia siapkan semalaman dengan buku catatan baru dan botol minum. Ia membuka pintu kamarnya pelan-pelan.
Apartemen masih temaram, tapi aroma kopi yang pekat sudah menguar dari dapur.
Ia melangkah keluar dan melihat Arga sudah rapi. Laki-laki itu mengenakan kemeja biru tua lengan panjang yang digulung rapi hingga siku dan celana katun berwarna khaki. Rambutnya yang biasanya sedikit berantakan, kini tertata rapi. Dia terlihat seperti... yah, arsitek muda yang sukses.
Arga sedang berdiri di depan counter dapur, menyesap cangkir kopinya sambil menatap tablet di tangannya.
"Pagi, Mas," sapa Bunga pelan.
Arga mendongak, matanya langsung memindai penampilan Bunga dari atas ke bawah. Tatapannya profesional, seperti sedang menilai sebuah desain. "Pagi. Sudah siap?"
"Sudah."
"Bagus," katanya. Ia meletakkan cangkirnya dan menunjuk ke meja makan. "Makan dulu."
Bunga terkejut. Di atas meja, sudah tersaji dua piring berisi roti panggang dengan telur mata sapi di atasnya. Sederhana, tapi... disiapkan.
"Mas Arga yang buat?"
"Cuma roti sama telur," kata Arga enteng. "Perut harus diisi. OSPEK itu menguras tenaga, fisik dan mental. Mas nggak mau kamu pingsan di hari pertama."
Bunga duduk dan mulai makan. Keheningan di antara mereka terasa nyaman. Ini adalah rutinitas pagi pertama mereka. Arga kembali mengecek tabletnya, sesekali menyeruput kopi. Bunga makan rotinya dalam diam, hatinya menghangat. Ia teringat Ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Tindakan kecil Arga ini terasa seperti sepotong 'rumah' di tengah kota yang asing.
"Makasih, Mas," kata Bunga tulus.
Arga hanya bergumam "Hmm" sebagai jawaban, matanya masih fokus pada layarnya.
Pukul enam lewat lima belas, Arga meletakkan tabletnya. "Ayo berangkat. Rush hour."
Perjalanan dari apartemen ke stasiun KRL hanya lima menit berjalan kaki. Bunga, dengan sepatu kets barunya, hampir harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah-langkah panjang Arga. Udara pagi Jakarta terasa berbeda—penuh polusi tapi juga penuh energi.
Dan stasiun... adalah sebuah kekacauan.
Bunga terpaku melihat lautan manusia yang bergerak terburu-buru. Arga dengan sigap menempelkan kartunya dan menarik Bunga melewati gerbang. "Jangan bengong. Jalan terus," perintahnya.
Mereka berdiri di peron yang sudah penuh sesak. Saat kereta datang, Bunga bahkan tidak sempat berpikir. Dorongan dari belakang begitu kuat, membuatnya terhimpit masuk ke dalam gerbong.
Gerbong itu padat. Lebih padat dari ikan sarden dalam kaleng. Bunga terdesak ke tengah, terpisah dari Arga. Ia panik.
Tiba-tiba, sebuah tangan meraih lengannya. Arga. Dengan sekali tarikan kuat, Arga menarik Bunga ke tempatnya berdiri, di dekat pintu. Laki-laki itu lebih tinggi dari rata-rata penumpang, jadi ia masih bisa bernapas dengan leluasa.
Arga memposisikan Bunga di depannya, membelakangi pintu. Lalu, ia merentangkan satu tangannya untuk berpegangan pada tiang di atas kepala Bunga.
Hasilnya? Tubuh Bunga kini terperangkap di antara pintu kereta di belakangnya dan tubuh Arga di depannya. Lengan Arga yang kokoh di atas kepalanya menciptakan semacam... perisai.
"Selamat datang di Jakarta, Bunga," bisik Arga, suaranya terdengar geli, tepat di dekat telinga Bunga. Ia harus bicara dekat-dekat karena suara deru kereta dan obrolan orang begitu bising.
Wajah Bunga memerah padam. Ini terlalu dekat.
Ia bisa mencium wangi aftershave Arga yang segar, bercampur dengan wangi kopi. Ia bisa merasakan panas tubuh laki-laki itu di depannya. Setiap kali kereta mengerem atau berbelok, Bunga terdorong ke depan, membuat hidungnya nyaris menyentuh kemeja Arga.
Jantungnya berdebar-debar tidak karuan. Ini seratus kali lebih intens daripada tidur bersebelahan dengan 'Benteng Guling'.
"Ma-Mas... maaf, sempit," gagapnya.
"Memang begini," jawab Arga tenang. "Biasakan diri. Kamu kecil, gampang kegencet kalau nggak dijagain."
Bunga tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menunduk, menatap sepatu ketsnya, sementara seluruh tubuhnya siaga, merasakan kehadiran Arga yang begitu dominan melindunginya dari himpitan penumpang lain. Laki-laki itu berfungsi sebagai benteng manusia.
Tiga stasiun terasa seperti tiga tahun.
"Stasiun Universitas!"
"Ayo," Arga menurunkan tangannya, memberi Bunga ruang untuk berbalik. Ia menempatkan tangannya di punggung Bunga, bukan memeluk, tapi menuntun, "Keluar, cepat."
Mereka berhasil keluar dari gerbong neraka itu. Bunga menarik napas dalam-dalam, paru-parunya bersyukur.
Arga mengantarnya berjalan kaki dari stasiun. Dan di sanalah ia. Gerbang megah universitas impiannya. Mahasiswa lain—senior dan maba—berbondong-bondong masuk.
Jantung Bunga serasa mau melompat keluar.
Mereka berhenti tepat di seberang gerbang. Arga menatapnya.
"Nanti pulangnya ingat jalannya, kan? Stasiunnya di sana," katanya sambil menunjuk.
"Inget, Mas. Inget."
"Telepon Mas kalau nyasar. Atau kalau ada apa-apa."
"Iya, Mas Arga bawel," kata Bunga, mencoba terdengar berani, padahal kakinya gemetar.
Arga tersenyum tipis. Senyum tulus pertamanya hari itu. "Selamat berjuang, arsitek."
Lalu, ia berbalik badan, merapikan kemejanya, dan berjalan ke arah stasiun untuk melanjutkan perjalanannya ke kantor.
Bunga memperhatikannya pergi. Laki-laki itu, suaminya, pelindungnya. Ia tiba-tiba merasa sangat sendirian. Tapi kemudian ia berbalik menatap gerbang kampusnya. Rasa takutnya menguap, digantikan oleh gelora semangat.
Aku di sini.
Ia menarik napas dan melangkahkan kakinya masuk.
Kampus itu... sangat besar. Jauh lebih besar dari bayangannya. Gedung-gedungnya tinggi menjulang, modern, bercampur dengan pohon-pohon rindang. Bunga merasa seperti semut. Ia mengikuti kerumunan maba lain yang juga memakai seragam hitam-putih, menuju ke sebuah lapangan besar tempat apel pagi akan dilaksanakan.
Semuanya berjalan cepat. Ia diteriaki senior, disuruh berbaris, diperiksa kelengkapannya. Semuanya persis seperti yang ia bayangkan tentang OSPEK. Ia mencoba menyerap semuanya, matanya awas memindai sekeliling.
"Gila, ya. Kirain universitas keren nggak ada beginian," tiba-tiba terdengar suara cempreng di sebelahnya.
Bunga menoleh. Seorang gadis dengan rambut dikuncir dua, sepatu ketsnya berwarna hijau stabilo mencolok, sedang menatapnya sambil nyengir.
"Panas banget," lanjut gadis itu.
"Iya," balas Bunga kaku.
"Arsitektur juga?" tanya gadis itu.
Mata Bunga berbinar. "Iya! Kamu juga?"
"Iyalah! Kelihatan dari muka kita yang stres mikirin gambar," candanya. "Kenalin, gue Vina." Ia mengulurkan tangan.
"Bunga," balas Bunga, menjabat tangannya.
Dalam sekejap, mereka akrab. Vina adalah tipe orang yang bisa berteman dengan tembok. Dia cerewet, lucu, dan blak-blakan. Bersama Vina, baris-berbaris di bawah terik matahari terasa sedikit lebih ringan.
Setelah apel pagi, mereka digiring ke aula fakultas teknik untuk registrasi ulang data dan pengarahan. Aula itu dingin dan besar. Mereka mengantre di meja-meja panitia berdasarkan jurusan.
"Antrean Arsitektur! Cepat!" bentak seorang senior galak berkacamata tebal, yang Bunga kemudian tahu bernama Kak Dito.
Bunga dan Vina mengantre. Giliran Vina, semua lancar. "Oke, Vina Amelia. Beres. Ambil nametag kamu di sana."
Lalu, giliran Bunga.
Ia menyerahkan map berisi berkas-berkasnya. Kak Dito mengambil lembar data pokok mahasiswanya. Ia membacanya.
"Nama, Melati Bunga Yasmin," gumamnya. "Jurusan Arsitektur. Tempat tanggal lahir... Alamat..."
Lalu, matanya berhenti. Ia mengernyit. Ia membaca ulang kalimat itu, seakan tidak percaya.
Ia mendongak, menatap Bunga dari atas ke bawah. Tatapannya sinis.
"Status..." Kak Dito berhenti, suaranya terdengar jelas di tengah keriuhan. "Status: Kawin?"
Seluruh darah di tubuh Bunga serasa surut ke kaki. Jantungnya berhenti berdetak.
Oh, tidak. Tidak. Tidak.
Ia lupa. Ia benar-benar lupa. Data KTP-nya, yang ia gunakan untuk mendaftar ulang secara online minggu lalu, sudah diurus Ayahnya di kelurahan. Statusnya sudah berubah.
Vina, yang sedang menunggu Bunga, menoleh. "Hah? Apaan, Kak? Kawin?"
Kak Dito tidak mempedulikan Vina. Ia menatap Bunga, senyumnya mengejek. "Dek," katanya, suaranya cukup keras untuk membuat beberapa orang di antrean belakang menoleh. "Ini OSPEK mahasiswa, bukan program bimbingan ibu-ibu muda. Kamu nggak salah isi data, kan?"
Wajah Bunga memerah padam. Panas. Lebih panas dari matahari di lapangan tadi. "Nggak, Kak. Itu... itu..."
Ia tidak tahu harus berkata apa. Haruskah ia bilang 'Iya, saya sudah menikah'? Di hari pertama OSPEK? Di depan semua orang? Di depan teman barunya?
"Apa? 'Itu' apa?" desak Kak Dito, jelas menikmati momen ini. Ia tipe senior yang suka mencari-cari kesalahan.
"Mungkin salah cetak, Kak!" Vina mencoba membantu, suaranya panik. "Bunga ini temen saya, mana mungkin udah nikah! Kita baru lulus SMA!"
"Data nggak mungkin bohong," bentak Kak Dito. "Ini data resmi dari administrasi pusat universitas! Kamu kira saya bodoh?"
Kak Dito berdiri. "Heh, maba! Dengerin semua!"
Aula yang tadinya riuh mendadak sedikit hening di area mereka. Bunga ingin mati. Ia ingin tanah menelannya hidup-hidup.
"Kalian ini niat kuliah atau mau main rumah-rumahan?" lanjut Kak Dito, kini menjadikan Bunga sebagai contoh buruk. "Data resmi universitas itu bukan buat main-main! Kalau data awal saja sudah dipalsukan, gimana nanti kalian mau jadi insinyur yang jujur?!"
Dipalsukan? Bunga ingin berteriak. Itu tidak palsu! Itu...
"Saya nggak... saya nggak palsuin data, Kak," bisik Bunga, suaranya bergetar. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ini adalah mimpi terburuknya.
"Terus apa? Kamu beneran sudah nikah? Umur berapa kamu? 18 tahun? Mau jadi apa fakultas ini kalau isinya anak-anak nikah muda kayak kamu?"
Bunga menunduk. Air matanya jatuh satu tetes ke lantai. Malu. Ia sangat malu.
"Ada masalah apa, Dit?"
Tiba-tiba, sebuah suara yang tenang, dalam, dan berwibawa memotong rentetan makian Kak Dito.
Bunga mengangkat kepalanya yang berat.
Seorang laki-laki jangkung berdiri di samping meja Kak Dito. Ia mengenakan kemeja panitia BEM berwarna biru dongker, yang membedakannya dari panitia OSPEK jurusan. Wajahnya... Bunga menahan napas. Wajahnya tampan, dengan rahang tegas, alis tebal, dan senyum tipis yang terlihat sangat ramah. Dia terlihat seperti bintang film, bukan senior galak.
Kak Dito yang tadinya seperti singa, mendadak sedikit salah tingkah. "Eh... Kak Reza. Ini, Kak. Ada maba datanya ngaco."
"Ngaco gimana?" tanya 'Kak Reza' itu.
"Ini, Kak. Lihat sendiri." Kak Dito menyodorkan lembar data Bunga.
Reza mengambilnya. Ia membacanya sekilas. Matanya berhenti di kata yang sama. "Status: Kawin."
Ia lalu menatap Bunga. Bunga menahan napas. Ia sedang ditatap oleh laki-laki tertampan yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Dan ia sedang dalam kondisi paling memalukan.
Tapi tatapan Reza berbeda. Tidak ada ejekan. Tidak ada sinisme. Hanya ada... rasa ingin tahu yang tenang. Ia lalu tersenyum. Senyum yang membuat lutut Bunga lemas.
"Oh, ini," kata Reza dengan santai, seolah itu adalah hal paling sepele di dunia. Ia menoleh ke Kak Dito. "Dit, ini typo umum dari sistem administrasi pusat. Sering kejadian."
Kak Dito mengernyit. "Masa, sih, Kak?"
"Sering," tegas Reza, nadanya kini penuh otoritas, tapi tetap ramah. "Huruf 'N' di 'Belum Kawin' itu suka hilang di sistem database pas migrasi data. Jadi 'Belum Kawin' jadi 'Kawin'. Nggak sekali dua kali ini. Tahun lalu juga ada tiga kasus. Biar nanti saya yang urus ke rektorat."
Bunga menatap Reza dengan mulut sedikit terbuka. Dia... berbohong? Dia berbohong demi menolongnya?
Reza menoleh kembali ke Bunga. Senyumnya melembut. "Kamu Melati Bunga Yasmin, kan?"
Bunga hanya bisa mengangguk kaku.
"Tenang aja, ya," katanya lembut. "Ini masalah teknis. Nggak usah dipikirin. Yang penting data kamu yang lain benar, kan?"
"Be-benar, Kak."
"Ya sudah." Ia memberikan cap "VERIFIED" di berkas Bunga. "Maaf ya, Dito ini kadang semangatnya berlebihan," katanya, melirik Kak Dito yang kini cemberut karena ditegur di depan maba.
Reza mengembalikan map itu ke Bunga. "Nanti setelah acara selesai, sekitar jam empat sore, kamu temui saya di sekretariat BEM, ya. Gedung Student Center, lantai dua. Biar kita benerin datanya bareng-bareng di sistem. Oke?"
"O-oke, Kak," jawab Bunga, suaranya nyaris tak terdengar.
"Sip. Selamat datang di Fakultas Teknik," katanya sambil memberikan kedipan mata yang ramah. "Sekarang, gabung lagi sama barisanmu."
Bunga mengambil map-nya dengan tangan gemetar. "Makasih, Kak. Makasih banyak."
Reza hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu bertepuk tangan. "Oke, semuanya, antrean dilanjut! Jangan buang-buang waktu!"