Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bom Waktu dan Kebenaran yang Terungkap
Di dalam ruangan, Olivia dengan serius merapikan kerah jas yang baru dikenakan Arya.
"Selesai. Kamu terlihat tampan dengan setelan ini," kata Olivia, membiarkan sentuhannya bertahan lama.
"Liv," kata Arya, suaranya berat.
"Ya, ada apa?" balas Olivia.
"Apa rencanamu?" tanya Arya, tidak sabar.
"Rencana apa?" goda Olivia.
"Ayolah, come on," desak Arya.
"Oke, oke. Tenang, rileks, okay," Olivia melangkah mendekat. "Aku sudah mencari tahu tentang Amara. Dia itu..." Olivia kemudian berbisik, menjelaskan tentang perawatan rahasia Amara.
"Hah? Yang benar? Kamu yakin? Kamu sudah mencari kebenarannya?" tanya Arya, terkejut dengan informasi itu.
"Ya, aku punya buktinya. Ini," kata Olivia, memperlihatkan screenshot email dari suruhannya.
"Kirimkan kepadaku. Aku akan menunjukkannya kepada Kakek," kata Arya.
"Oke," kata Olivia, langsung mengirimkan file rahasia itu ke ponsel Arya.
"Lalu, setelah ini apa yang akan kamu lakukan dengan ini?" tanya Arya, menunjuk bukti di ponselnya.
"Aku akan menyebarkannya," kata Olivia dengan nada datar.
"Apa? Baiklah, lakukan itu, tapi lakukan setelah aku memberitahumu kapan mulai menyebarkannya," instruksi Arya, ingin memastikan waktunya tepat untuk mengacaukan Kakek Umar.
"Oke, baiklah," jawab Olivia.
Di luar ruangan, Amelia merasa sudah terlalu lama Arya berada di dalam.
"Amara, kamu tunggu sebentar di sini, ya? Tante akan menghampiri Arya. Tante mau lihat apa yang sedang dia lakukan," kata Amelia.
"Iya, Tante," kata Amara.
Amelia pun berjalan ke ruang pengukuran dan bertemu Yuka.
"Yuka, kenapa lama sekali? Apa yang dilakukan anak itu?" tanya Amelia.
"Dia sedang mencoba beberapa jas. Tadi saya menawarkan untuk membantunya, tapi dia bilang ingin melakukannya sendiri dan ingin sendirian," kata Yuka.
Amelia kemudian berjalan ke depan pintu ruang pengukuran dan mengetuk pintu.
"Arya, apa kamu di dalam? Kamu sudah selesai? Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa lama sekali?" desak Amelia.
Di dalam ruangan, Olivia yang membantu Arya mengganti pakaiannya kembali terkejut mendengar suara Amelia.
"Jawab, Arya, tapi jangan membuat Mamamu curiga," bisik Olivia.
"Ya," kata Arya.
"Arya!" panggil Amelia lagi.
"Ya, sebentar Ma! Ini sudah selesai," jawab Arya.
"Ya sudah, cepatlah! Ini sudah sore, waktunya kita kembali!" seru Amelia.
"Iya, Ma," kata Arya.
Olivia kemudian membereskan setelan jas yang sudah dipakai, menaruhnya kembali di gantungan. Ia membantu Arya merapikan kembali pakaian kasual yang ia kenakan saat datang.
"Aku akan keluar lebih dulu. Kamu hati-hati, jangan sampai ketahuan," bisik Arya.
"Oke," balas Olivia.
Arya kemudian keluar ruangan dan menutup pintu.
"Arya, kamu kok..." Amelia melihat Arya mengenakan pakaiannya yang semula. "Apa yang kamu lakukan di dalam, Arya? Kenapa lama sekali, dan kamu sudah mencoba setelan jasnya?"
"Ya, sudah. Dan aku sudah memutuskan," kata Arya datar.
"Jadi, apa yang akan Anda pakai, Tuan?" tanya Yuka.
Di dalam, Olivia mendengar pembicaraan mereka. Ia bergerak cepat, mengambil setelan jas yang sudah mereka pilih (yang diletakkan di sudut ruangan) dan menaruhnya di gagang pintu bagian dalam, sebagai petunjuk visual bagi Arya.
"Tunggu sebentar. Saya akan mengambilnya," kata Arya.
Arya kemudian masuk ke dalam lagi. Matanya langsung tertuju pada setelan jas yang tergantung di gagang pintu. Olivia, yang bersembunyi di balik tirai, mengarahkan matanya ke setelan jas itu, memberikan isyarat persetujuan. Arya mengangguk kecil, mengambil jas yang sudah dia pilih, lalu segera keluar.
"Ini dia," kata Arya, menyerahkan jas itu kepada Yuka.
Amelia hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah putranya.
"Amara, jasnya sudah dipilih. Sekarang kita harus segera kembali. Arya, bersikaplah baik pada Amara," bisik Amelia memperingatkan.
Arya mengangguk, lalu berbalik ke arah Amara. "Gaunnya bagus. Kita pergi sekarang," kata Arya, nadanya dingin, tetapi setidaknya dia mengakui Amara.
Amara hanya tersenyum samar, mencoba mengabaikan aura gelap yang menyelimuti calon suaminya.
Amelia, Arya, dan Amara berpisah di depan butik. Amara diantar pulang, sementara Arya dan Amelia kembali ke kediaman Aldridge.
Begitu mobil Arya menjauh, Olivia dengan cepat menyelinap keluar dari butik melalui pintu belakang. Ia kembali ke mobilnya yang diparkir di dekat sana.
Sambil menyetir, Olivia memegang ponselnya. Ia sudah menerima konfirmasi dari Arya. Sekarang, saatnya untuk menyerang.
Ia membuka email yang berisi bukti rahasia tentang Amara: masalah kesehatan mental 7 tahun lalu.
Saatnya memberi tahu Kakek Umar bahwa pengantin sempurnanya ternyata memiliki cacat yang fatal.
Olivia tidak akan menunggu persetujuan Arya untuk langkah pertamanya ini. Dia tahu Arya akan menunjukkan bukti itu kepada Kakek Umar secara pribadi, yang akan memakan waktu. Olivia ingin mengguncang fondasi pernikahan itu sekarang.
Dia segera menghubungi informannya, Pak Ben.
"Pak Ben, kirimkan file itu ke semua kontak pers dan majalah gosip yang kita miliki. Tekankan bahwa ini adalah 'masalah kesehatan mental' yang disembunyikan keluarga Wijaya menjelang pernikahan besar dengan Aldridge," perintah Olivia.
"Dan pastikan foto-foto lama Amara di klinik itu juga ikut tersebar. Lakukan itu dalam dua jam ke depan," tambahnya dengan nada dingin.
Olivia tersenyum. Bola panas sudah dilempar. Sekarang, dia hanya perlu menunggu kekacauan itu meledak.
...***...
Amelia dan Arya tiba di Kediaman Aldridge. Arya langsung turun dari mobil dan berjalan masuk dengan tergesa-gesa. Amelia terkejut melihat tingkah putranya.
"Eh, anak itu kenapa buru-buru sekali?" gumam Amelia.
Arya berjalan cepat. Kepala Pelayan menyambut kedatangannya di foyer.
"Kepala Pelayan, di mana Kakek?" tanya Arya.
"Ada di ruang kerja, Tuan," jawab Kepala Pelayan.
Arya berjalan cepat ke ruang kerja Kakek Umar dan segera masuk tanpa mengetuk. Di dalam, Kakek Umar dan Ethan terkejut dengan kedatangan Arya yang mendadak dan agresif.
"Arya! Apa yang kamu lakukan? Masuk tanpa mengetuk? Mana sopan santunmu?" hardik Kakek Umar.
"Kakek, ada hal yang harus diselesaikan, dan ini sangat penting mengenai kehormatan keluarga Aldridge," kata Arya, suaranya dipenuhi amarah dan keyakinan.
"Apa maksudmu, Arya?" tanya Ethan, bingung.
Arya melemparkan ponselnya ke atas meja, memperlihatkan bukti screenshot yang dikirim Olivia.
"Kakek dan Papa bilang Amara sangat pantas untukku, kan? Dia sangat sempurna? Tapi dia sebenarnya tidak sesempurna itu! Dia punya masalah kesehatan mental! Dia tidak sehat, Kakek! Dan bisa-bisanya Kakek mau menikahkan aku dengan wanita yang mempunyai gangguan kejiwaan!" teriak Arya.
"Arya! Jaga bicaramu!" kata Kakek Umar, wajahnya memerah.
"Arya, apa yang kamu katakan itu—tidak seperti yang kamu pikirkan?" tanya Ethan, nadanya hati-hati.
"Tidak seperti yang aku pikirkan maksud Papa apa?" tantang Arya.
"Hah... Arya, dari mana kamu mengetahui ini? Jawab!" desak Kakek Umar.
"Kakek tidak perlu tahu aku tahu dari mana! Yang jelas, aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak waras!" teriak Arya lagi.
"ARYA!" teriak Ethan, kemudian menampar putranya dengan keras.
Plak!
Arya terkejut. Ia memegang pipinya yang memanas. "Pa, kenapa Papa nampar aku? Apa salah aku, Pa?!" tanyanya, matanya mulai berkaca-kaca.
"Karena kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Arya!" balas Ethan.
"Ya, lalu apa? Apa yang terjadi?" tanya Arya.
Kakek Umar menjatuhkan dirinya kembali ke kursi, lelah.
"Kakek tahu kamu pasti tahu tentang ini dari wanita itu, kan? Iya, kan!" desah Kakek Umar. "Asal kamu tahu, Arya. Kakek, Papamu, dan bahkan Mamamu sudah tahu! Kami sudah mengetahuinya lebih dulu tentang itu, dan kami juga tahu apa penyebabnya," kata Kakek Umar, mengungkapkan rahasia yang mengejutkan.
"Apa?" tanya Arya, terkejut.
"Amara memang mengalami masalah kesehatan mental, tapi itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Arya. Dia tidak gila. Dia hanya mengalami traumatis, dan penyebabnya adalah kematian Ibunya!" kata Kakek Umar.
"Apa?" Arya benar-benar terkejut.
Ethan melanjutkan, suaranya lebih tenang tapi penuh emosi. "Ya, Arya. Waktu itu, saat Amara masih duduk di kelas 2 SMA, dia mengalami kecelakaan dengan Ibunya. Ada mobil lain yang menabrak mobil mereka sehingga mereka mengalami kecelakaan, dan Ibunya meninggal saat ia melindungi Amara, tepat di depan matanya."
Ethan menatap putranya tajam. "Jika kamu berada di posisi itu, apa yang akan terjadi? Orang yang kamu sayangi dan kamu cinta meninggal di depan matamu sendiri, Arya?"
"Saat itu, Zayn tidak tahu harus berbuat seperti apa. Dia kehilangan istrinya, dan anaknya dalam kondisi trauma seperti itu. Kami pun menawarkan bantuan. Memberinya perawatan terbaik untuk menghilangkan traumanya."
Kakek Umar menyambung dengan suara dingin yang mengancam. "Saat ini, Amara tidak mengingat kejadian itu. Kami telah melakukan psikoterapi yang menghilangkan ingatan itu. Jika wanita itu menggunakan ini, bahkan menyebarkan, dan Amara mengetahui... kamu dan wanita itu akan menerima konsekuensinya!"
Kakek Umar mencondongkan tubuhnya ke depan. "Jika kamu masih tetap mau ada di keluarga Aldridge, jangan pernah bertindak macam-macam, Arya. Kita akhiri pembahasan ini. Pernikahan akan tetap terlaksana. Siapkan dirimu. Sekarang, keluarlah."
Arya terdiam, tertunduk, seluruh keyakinannya hancur berkeping-keping. Dia bukan hanya salah, dia telah menghina Amara yang trauma, dan dia telah menyerahkan senjata mematikan kepada Olivia.
"Arya, kamu dengar? Keluar!" perintah Kakek Umar.
"Ah... Ya," kata Arya, suaranya nyaris tak terdengar.
Ia berbalik, meninggalkan ruang kerja dengan beban yang jauh lebih berat daripada saat ia masuk. Rencana Olivia adalah bom yang gagal meledak bagi keluarga Aldridge, tetapi bom yang baru saja menghancurkan hati nurani Arya.
...***...
Setelah Arya keluar dari ruangan, Kakek Umar menghela napas panjang, menunjukkan kelelahan luar biasa.
"Pa, wanita itu... dia, hah... sepertinya berniat untuk menggagalkan pernikahan ini," kata Ethan, wajahnya tegang.
"Ya, kamu benar. Dengan memanfaatkan trauma lama seperti ini, sungguh wanita yang sangat keji," geram Kakek Umar. "Ethan, urus para media dan blokir secepatnya. Jangan sampai dia berhasil menyebarkannya. Kita harus menghentikannya!"
Kakek Umar tahu, reputasi keluarga dan kondisi Amara adalah hal yang paling rapuh saat ini.
"Ya, Pa, saya permisi," kata Ethan.
Ethan meninggalkan ruang kerja Kakek Umar. Begitu keluar, ia segera menghubungi Bima, kepala keamanan dan orang kepercayaan keluarga. Ethan menceritakan dengan cepat tentang adanya informasi sensitif mengenai Amara yang akan disebar oleh pihak luar.
"Bima, segera cari tahu sumber informasi ini, dan lakukan apa pun yang diperlukan untuk memblokir, membeli, atau menghentikan penerbitan berita apa pun yang menyinggung nama Amara Wijaya dan masalah lamanya. Secepatnya!" perintah Ethan, suaranya mendesak.
"Baik, Tuan. Saya akan bergerak sekarang," jawab Bima.
Ethan tahu, memblokir informasi di era digital ini hampir mustahil, tetapi ia harus mencoba. Ia harus melindungi Amara, bukan hanya demi nama Aldridge, tetapi juga demi janjinya pada Zayn.
...***...
Sementara kekacauan pengendalian kerusakan terjadi di lantai bawah, di kamarnya, Arya duduk di tepi ranjang. Ia terdiam, kaku, dengan tamparan Papanya masih terasa panas di pipinya. Perkataan Kakek Umar dan Papanya masih terngiang jelas di kepalanya.
Dia tidak gila. Dia hanya mengalami traumatis, dan penyebabnya adalah kematian Ibunya!
Arya menunduk. Ia baru saja menghina seorang wanita yang terluka parah. Dia menuduhnya gila, padahal yang dia lakukan adalah berjuang untuk sembuh dari trauma melihat ibunya meninggal. Rasa bersalah menghantamnya keras.
Dia bukan hanya mengkhianati keluarganya, dia mengkhianati Amara. Dan yang terburuk, dia telah menyerahkan bukti trauma itu kepada Olivia, meminta kekasihnya untuk menggunakannya.
Olivia akan menyebarkannya, pikir Arya, panik. Aku harus menghentikannya.
Arya segera meraih ponselnya. Dia harus segera memperingatkan Olivia bahwa informasi itu adalah jebakan maut, bukan hanya untuk Amara, tetapi juga untuk mereka berdua. Jika Kakek Umar sampai tahu Olivia yang menyebar—setelah ia tahu kebenaran—konsekuensinya akan sangat mengerikan.
Namun, sebelum Arya sempat membuka chat dengan Olivia...
Ponselnya berdering. Bukan panggilan masuk, melainkan rentetan notifikasi yang masuk dari berbagai portal berita dan media sosial. Matanya menyapu cepat headline yang muncul di layarnya.
BREAKING! Calon Mantu Keluarga Konglomerat Aldridge, Amara Wijaya, Diduga Pernah Jalani Perawatan Kejiwaan Rahasia Jelang Pernikahan Kilat!
SKANDAL! Apakah Trauma Masa Lalu Membayangi Calon Istri Arya Aldridge?
Olivia sudah bergerak.
Arya terperosok ke belakang. Dia terlambat. Bom itu sudah meledak. Dia telah memperingatkan Olivia untuk menunggu, tetapi Olivia memilih untuk beraksi cepat.
Arya kini menyadari sepenuhnya: Olivia tidak hanya mencintai Arya; dia mencintai kekacauan, dan dia bersedia menghancurkan siapa pun, termasuk Amara yang tidak bersalah, demi keinginannya.
...***...
Di sebuah ruang kendali keamanan di Kediaman Aldridge, Bima, yang dikenal karena efektivitas dan jaringan luasnya, segera bertindak setelah menerima perintah dari Ethan.
Dikelilingi oleh monitor dan tim IT-nya, Bima bekerja cepat.
"Semua tim dengar! Ada serangan informasi sensitif yang menargetkan Nona Amara Wijaya! Saya ingin kalian lacak setiap sumber dan setiap link yang menyebarkan berita tentang 'perawatan kejiwaan' atau 'trauma masa lalu'," perintah Bima dengan tegas.
"Segera hubungi tim legal untuk mengeluarkan peringatan tuntutan keras ke semua portal berita yang sudah memuatnya. Beli semua slot iklan yang bisa kalian dapatkan untuk menenggelamkan berita itu. Dan yang paling penting: blokir dan hapus konten utama secepatnya!"
Tim IT Aldridge bergerak seperti mesin yang terlumasi dengan baik. Mereka melacak server penyebar, menggunakan jaringan pengaruh keluarga untuk mendesak penghapusan berita, dan menenggelamkan keyword tersebut dengan konten positif yang masif.
Dalam waktu kurang dari lima belas menit sejak berita itu muncul, mereka berhasil memblokir tautan utama dan memaksa sebagian besar portal berita besar untuk mencabut artikel tersebut karena ancaman hukum.
Di tempat lain, Amara baru saja tiba di rumahnya. Ia sedang duduk di sofa ruang tengah, masih memikirkan Arya yang dingin dan tidak ramah saat fitting tadi.
Ia membuka ponselnya untuk sedikit mengalihkan pikiran. Tiba-tiba, sebuah notifikasi headline muncul dari salah satu portal berita gosip yang ia ikuti.
Calon Mantu Aldridge Jalani Perawatan Kejiwaan Rahasia Jelang Pernikahan Kilat!
"Apa-apaan ini?" kata Amara, matanya membelalak. Nama dan fotonya terpampang di sana. Ia merasa takut dan penasaran.
Amara segera mengetuk notifikasi itu, ingin tahu apa yang sebenarnya dibicarakan media.
Namun, ketika ia membukanya, yang muncul justru hal lain.
Layar ponselnya menampilkan pesan Error 404: Page Not Found, Amara mencoba mengetuknya lagi, mencoba mencari di kolom pencarian, tetapi artikel itu seolah tidak pernah ada.
"Aneh sekali," gumam Amara, sedikit bingung, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya lagi. Mungkin itu hanya bug atau hoax yang sudah dihapus oleh pihak website.
Ia menghela napas. Rasa tidak nyaman itu segera tertutup oleh kegelisahannya memikirkan sikap Arya yang dingin tadi. Ia tidak tahu bahwa dalam beberapa menit terakhir, sebuah rahasia gelap yang disembunyikan Ayahnya dan Keluarga Aldridge nyaris menghancurkan hidupnya, dan ia nyaris membaca detail trauma masa lalunya yang telah dihapus dari ingatannya.
Bersambung......