Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Lagi Sekedar Status
“Ada perubahan dalam partner proyek properti di BSD,” kata Sekretaris Arka saat kami sarapan.
Arka menoleh, lalu membuka berkas yang baru saja diletakkan di meja.
Aku hanya duduk di seberang, mengaduk kopi, tak begitu memperhatikan sampai nama itu disebut.
“PT Ganesha Mandiri kini beralih akuisisi ke tangan CEO barunya. Tuan Reno Dirgantara.”
Cangkir kopiku nyaris terlepas dari tangan. Tanganku membeku. Lidahku kelu.
Arka menoleh cepat, menatapku. “Nayra?”
Aku buru-buru tersenyum. “Nggak apa-apa. Cuma kaget namanya mirip seseorang yang pernah kukenal.”
Matanya menatapku lebih dalam, tapi tidak berkata apa-apa lagi.
***
Dua hari kemudian, aku ikut Arka ke lokasi proyek. Alasannya sederhana aku ingin belajar lebih banyak soal dunia kerja Arka, apalagi sejak dia mengajakku mulai membantu program CSR.
Tapi sesampainya di lokasi, aku membeku.
Di bawah tenda putih tempat presentasi akan dilakukan, seseorang berdiri dengan jas abu-abu dan senyum yang dulu pernah kuhafal luar kepala.
Reno.
Lelaki yang pernah kubayangkan akan menjadi masa depanku.
Dan kini berdiri di proyek suamiku.
“Selamat pagi,” katanya sambil menjabat tangan Arka.
“Saya Reno Dirgantara. CEO baru dari pihak rekanan. Terima kasih atas sambutannya.”
Arka menyambut dengan netral. “Arka Pratama.”
Lalu tatapan itu beralih padaku.
“Nayra?” gumamnya. “Astaga Nayra?”
Aku tersenyum kaku. “Hai, Reno.”
Reno tertawa kecil. “Aku pikir kamu ke luar negeri atau semacamnya. Ternyata kamu di sini. Bersama suamimu.”
Ada tekanan di kata terakhirnya. Arka menyadari itu. Ia melirikku cepat, seolah bertanya dalam diam siapa dia?
Dan aku... tidak menjawab.
***
Presentasi berjalan lancar. Tapi pikiranku tidak. Reno bersikap profesional, tapi sesekali aku tahu dia sengaja mencari celah untuk menatapku lebih lama dari seharusnya. Seolah ingin bilang: Aku belum selesai.
Usai acara, Reno menghampiriku saat Arka bicara dengan kontraktor.
“Nayra. Boleh ngobrol sebentar?”
Aku menegang. “Aku harus balik ke mobil.”
“Lima menit saja. Aku cuma ingin minta maaf.”
Aku menarik napas panjang. Lalu mengangguk. Kami berdiri di sisi taman kecil dekat lokasi.
“Aku nggak pernah lupa kamu,” katanya tanpa basa-basi.
“Dulu aku pengecut. Pergi tanpa menjelaskan apa pun. Tapi setelah ayahku meninggal dan aku bebas dari tekanan keluarga, kamu orang pertama yang muncul dalam pikiranku.”
Aku menunduk. “Sudah terlambat, Reno. Aku sudah menikah.”
Dia mengangguk pelan.
“Aku tahu. Tapi biar aku bilang sekali ini saja aku menyesal. Dan aku akan tetap menghormatimu sebagai masa lalu yang nggak pernah hilang.”
Aku menggigit bibir. “Terima kasih. Tapi jangan ganggu hidupku sekarang.”
Dia tersenyum miris. “Kalau hidupmu bahagia, aku nggak akan.”
***
Di dalam mobil, Arka menyetir tanpa bicara. Suasana jadi sunyi. Canggung.
Sampai akhirnya dia berkata pelan, “Dia seseorang dari masa lalu kamu, ya?”
Aku terdiam. Lalu menjawab jujur, “Iya.”
“Orang yang ada di foto yang kamu sembunyikan di rumah orang tuamu?”
Aku kaget. “Kamu lihat?”
Arka menatap ke depan.
“Aku nggak buka laci. Tapi waktu kamu ambil air, Ibumu masuk ke kamar dan tanpa sengaja menjatuhkan kotaknya. Aku lihat sekilas.”
Aku menunduk. “Aku minta maaf karena nggak cerita lebih dulu.”
Dia tidak marah. Tapi suaranya dalam. Pelan. Dan terasa berat.
“Aku bukan cemburu, Nayra. Tapi aku ingin jadi orang yang kamu percayai sepenuhnya. Kalau kamu masih menyimpan perasaan.”
“Tidak,” potongku cepat. “Aku tidak menyimpan perasaan. Aku hanya menyimpan luka.”
Dia diam.
Aku melanjutkan,
“Dan luka itu justru membuatku takut mencintai. Tapi kamu kamu yang membuatku percaya pelan-pelan.”
Mobil berhenti di lampu merah. Arka menoleh. Menatapku penuh.
“Kalau begitu izinkan aku jadi obat dari lukamu. Bukan bayang-bayang dari masa lalu.”
Aku mengangguk. Air mataku mengalir. Entah kenapa.
Dan untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar terbuka.
Dan dia, untuk pertama kalinya, tahu dia tidak sempurna. Tapi dia sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.
Malam itu, aku menulis di jurnal kecilku:
“Kadang masa lalu datang bukan untuk menghancurkan. Tapi untuk menguji seberapa kuat kita menggenggam masa kini. Dan aku memilih menggenggam tanganmu, Arka. Meski dulu sempat gemetar, sekarang... aku yakin.”
***
“Apa maksudnya aku cuma ‘penenang proyek’?” Nada suara Arka naik setengah oktaf saat membaca isi artikel yang baru saja tersebar di forum bisnis daring.
Aku berdiri di balik meja, tubuhku menegang. “Aku juga baru tahu gosipnya barusan dari grup teman kampus.”
Artikel itu menyebut bahwa hubungan ‘khusus’ antara CEO utama proyek dan “mantan kekasihnya” menjadi faktor keberhasilan kelancaran akuisisi. Meski tidak menyebut nama secara langsung, orang-orang bisa menebak bahwa yang dimaksud adalah aku sebagai istri Arka.
“Apa mereka pikir kamu nggak punya otak? Bahwa kamu cuma perempuan manis yang disimpan karena masa lalu?” Arka membanting dokumen.
Aku menunduk. “Aku bisa klarifikasi kalau kamu mau.”
“Tapi kamu nggak seharusnya perlu!” Arka berseru. “Aku... aku seharusnya yang melindungimu.”
Diam.
Lalu pelan-pelan, aku mendekat padanya. “Arka, aku bukan perempuan lemah. Dan kamu bukan pelindungku. Kamu partnerku. Suamiku.”
Matanya mulai melembut.
“Tapi aku juga tahu kamu marah bukan cuma karena artikel itu. Tapi karena aku belum sepenuhnya terbuka soal Reno. Dan kamu merasa aku belum mempercayaimu sepenuhnya.”
Dia menatapku. Lama.
“Iya,” katanya akhirnya.
“Karena aku ingin semua dirimu. Bukan sisa-sisa hatimu.”
Aku mengangguk pelan. “Malam ini... kamu akan dapat semua diriku. Tanpa sisa. Tanpa bayang-bayang siapa pun.”
Arka tampak terkejut. “Nayra... kamu yakin?”
Aku melangkah mendekat. Meletakkan tangan di dadanya. “Aku tidak hanya yakin. Aku siap.”
***
Malam itu, kamar terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena suhu. Tapi karena napas yang tertahan. Sentuhan yang tidak lagi ragu. Tatapan yang tidak lagi menyembunyikan rasa.
Arka menatapku seperti seseorang yang sedang menghafal doa dari kitab suci.
Dengan lembut, ia membuka kancing piyamaku satu per satu. Tidak terburu-buru. Tidak menuntut. Seolah bertanya lewat sentuhan, apakah aku boleh?
Dan aku menjawab lewat pelukan, lewat ciuman pertama yang tidak hanya menyentuh bibir tapi menyentuh luka yang perlahan sembuh di dalam hati.
Tubuh kami menyatu. Tidak dengan napsu yang meledak-ledak. Tapi dengan perasaan yang matang. Dengan rasa percaya yang baru tumbuh dan berani mekar.
Tangannya menyusuri lekuk tubuhku dengan sabar, dan bibirnya membisikkan namaku dengan nada yang membuatku merasa dimiliki, dicintai, dihormati.
Dan ketika semuanya selesai, ia memelukku seperti seseorang yang takut kehilangan.
Kami tidak bicara. Hanya saling menatap dalam hening.
Dan aku tahu, kami kini benar-benar suami istri. Bukan sekadar di atas kertas, tapi dalam jiwa dan tubuh.
***
Pagi harinya, aku bangun dengan kepala bersandar di lengannya. Cahaya matahari menyusup lewat celah tirai. Arka masih terlelap, napasnya stabil, tubuhnya hangat di sampingku.
Aku menyentuh pipinya pelan. Dan untuk pertama kalinya sejak kami menikah, aku tidak takut dengan keintiman. Aku tidak takut dengan kata cinta. Aku tidak takut dengan masa lalu.
Karena malam itu aku sudah memilih. Dan aku memilih Arka, bukan sebagai pelarian, bukan sebagai ganti, tapi sebagai rumah.