Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jaminan
"Tuan, mereka lah yang menggunakan uang pajak itu untuk keperluan sendiri," kata Emelia, suaranya masih sedikit bergetar karena adrenalin yang baru saja berlalu, namun matanya menunjukkan tekad yang kuat.
Duke Gideon melepaskan pelukannya perlahan, tetapi tetap menjaga tangannya di bahu Emelia, pandangannya beralih dari Emelia ke arah para tahanan yang tangannya diborgol. Wajahnya kembali mengeras, topeng bangsawan yang dingin dan penuh perhitungan kembali terpasang.
"Bawa mereka ke ruang bawah tanah," perintah Duke dengan suara datar dan berwibawa. "Interogasi mereka secara terpisah. Aku ingin semua nama yang terlibat, dari atas sampai bawah."
Para penjaga mengangguk serempak dan menyeret kelima pria yang tersisa keluar dari ruangan yang berantakan itu.
Setelah ruangan kembali sunyi, hanya ada mereka berdua di tengah sisa-sisa baku tembak, Duke berbalik menghadap Emelia sepenuhnya. Cahaya lampu minyak yang redup menyorot ekspresinya yang sulit dibaca.
"Kau mendengarnya saat mengintai mereka?" tanya Duke, alisnya terangkat sedikit.
Emelia mengangguk cepat, merapikan gaun tidurnya yang sedikit kusut. "Ya, Tuan Duke. Saya tidak sengaja mendengar semuanya pagi tadi. Mereka panik karena Anda sudah ada di sini dan mereka takut ketahuan soal uang pajak yang hilang." Dia berhenti sejenak, sedikit ragu. "Saya mencoba memperingatkan Anda, tapi... situasinya jadi begini."
Sebuah keheningan singkat terjadi. Duke Gideon mengamati Emelia, seolah melihat wanita itu untuk pertama kalinya. Keberaniannya, inisiatifnya, dan ketajamannya dalam menangkap informasi penting telah menyelamatkan situasi—dan mungkin juga nyawanya sendiri.
"Kau melakukan hal yang benar dengan menguping," kata Duke akhirnya, nada suaranya terdengar tulus, sebuah pujian langka darinya. "Dan tindakanmu di sini tadi... sangat berani."
Pipi Emelia merona sedikit mendengar pujian itu. Jantungnya masih berdebar kencang, tetapi bukan hanya karena ketakutan lagi.
Duke kemudian berjalan menuju perapian, mengambil sebotol minuman keras dari lemari kecil, dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Dia menawarkan gelas itu pada Emelia, yang dengan sopan menolak.
"Emelia," panggil Duke, kembali duduk di kursinya. "Masalah ini lebih besar dari yang terlihat. Korupsi ini sepertinya sudah mengakar kuat di wilayah ini. Kita membutuhkan bukti yang kuat dan saksi yang bisa dipercaya." Dia menyesap minumannya, matanya menatap api. "Sepertinya petualanganmu di sini tidak bisa berhenti hanya karena insiden malam ini."
Emelia mendekat, rasa lelahnya sirna digantikan oleh rasa ingin tahu dan semangat baru. Dia merasa berguna, bukan hanya seorang istri yang dinikahi karena paksaan politik.
"Apa yang harus kita lakukan, Tuan Duke?" tanya Emelia, penuh antusiasme. "Saya bisa membantu."
Duke Gideon tersenyum tipis—senyum yang jarang terlihat dan hanya berlangsung sesaat. "Untuk saat ini, kau butuh istirahat. Percayalah, ini baru permulaan."
Dia berdiri, mengantarkan Emelia keluar dari ruang kerja yang kini telah diamankan. Saat mereka berjalan kembali menuju kamar tidur, Emelia merasakan tangan Duke menggenggam tangannya lagi, kali ini bukan karena ancaman, melainkan sebagai isyarat perlindungan dan, mungkin, kemitraan baru.
Di bawah sinar bulan yang masuk melalui jendela koridor, Emelia menyadari bahwa perjalanannya dengan Duke Gideon bukan lagi sekadar pernikahan tanpa cinta, melainkan sebuah misi bersama yang penuh intrik politik dan bahaya. Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, dia menantikan hari esok.
menemukan tiga peti uang tunai, buku besar yang asli, dan korespondensi rahasia antara Baron dan beberapa nama lain."
Duke Gideon tersenyum lebar, senyum tulus yang mencapai matanya. Emelia ikut tersenyum, hatinya menghangat melihat ekspresi lega di wajah suaminya.
"Kerja bagus," puji Duke. Dia kemudian menoleh ke Emelia. "Sepertinya pengamatanmu sangat jitu, Nyonya Adipati."
Emelia tersipu. "Sama-sama, Tuan Duke. Kita tim yang hebat."
Duke Gideon mengangguk setuju. "Sekarang kita memiliki cukup bukti untuk mengirim Baron Von Hess ke tiang gantungan. Misi kita di sini hampir selesai."
Namun, saat Duke mengucapkan kata "hampir selesai", Emelia merasakan sedikit kekecewaan. Petualangan singkat ini, bahaya yang mereka hadapi bersama, dan rasa kemitraan yang tumbuh di antara mereka, telah mengubah cara pandangnya terhadap pernikahan mereka. Dia tidak lagi merasa terperangkap, melainkan menjadi bagian dari sesuatu yang penting.
Malam itu, di kamar tidur mereka, Emelia tidak bisa tidur. Dia memikirkan semua kejadian itu. Ketika Duke Gideon masuk ke kamar setelah menyelesaikan beberapa urusan administrasi, dia menemukan Emelia duduk di tepi ranjang, menatap api perapian.
Emelia terperanjat ketika Duke tiba-tiba menggendongnya. Gerakan itu begitu mendadak dan kuat hingga membuatnya spontan melingkarkan lengan di leher Duke.
"Tuan, ada apa?" Emelia bertanya, napasnya sedikit tersengal karena kaget.
Duke Gideon tidak langsung menjawab. Dia membawa Emelia ke ranjang berkanopi yang empuk, menurunkan tubuh Emelia perlahan, lalu naik dan berbaring di sampingnya, menatap lurus ke mata Emelia dengan intensitas yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Mari tidur bersama," kata Duke, suaranya rendah dan sarat makna.
"Apahhhhh?" Emelia memekik pelan, pipinya langsung memerah padam. Dia berusaha menjauh sedikit, jantungnya berdebar kencang.
"Iya, Emelia, istriku. Kau istriku," ulangnya, tangannya dengan lembut menahan pinggang Emelia agar tetap di tempatnya.
Emelia bingung, pikirannya berputar. Mereka sudah menikah selama beberapa waktu, tetapi selalu tidur di kamar terpisah. "Tapi Tuan punya kamar sendiri..."
Duke Gideon menghela napas, ekspresinya berubah menjadi serius. Sisi dingin dan kalkulatif sang Duke kembali muncul, menyingkirkan kehangatan yang sempat ia tunjukkan.
"Hemm, lagian ngapain saya nikahin kamu?" tanyanya retoris, suaranya kini terdengar tajam. "Ayahmu melunasi hutangnya dengan aku menikahimu. Tapi kalau dianggurin buat apa? Mending saya kembalikan."
Kata-kata itu bagai tamparan dingin bagi Emelia. Kebahagiaan dan rasa kemitraan yang baru saja tumbuh di hatinya langsung runtuh. Jadi, semua kebaikan dan pujian tadi malam tidak berarti apa-apa? Dia hanyalah barang jaminan untuk hutang ayahnya?
"Tuan Duke..." bisik Emelia, matanya berkaca-kaca.
"Sudah saatnya kau menjalankan kewajibanmu sebagai istri Adipati," lanjut Duke dengan suara datar, tanpa emosi. Dia mendekatkan wajahnya, pandangannya dingin dan menuntut, bukan penuh kasih sayang.
Emelia menatap mata abu-abu Duke Gideon, mencari jejak kehangatan yang ia rasakan sebelumnya, tetapi yang ia temukan hanyalah pragmatisme seorang bangsawan yang keras. Malam itu, di bawah cahaya api perapian, Emelia menyadari bahwa meskipun mereka telah memecahkan misteri korupsi bersama, rahasia hati suaminya masih menjadi misteri yang paling sulit dipecahkan. Perjalanan mereka masih sangat panjang, dan mungkin tidak akan seindah yang ia bayangkan.