Gayatri, seorang ibu rumah tangga yang selama 25 tahun terakhir mengabdikan hidupnya untuk melayani keluarga dengan sepenuh hati. Meskipun begitu, apapun yang ia lakukan selalu terasa salah di mata keluarga sang suami.
Di hari ulang tahun pernikahannya yang ke-25 tahun, bukannya mendapatkan hadiah mewah atas semua pengorbanannya, Gayatri justru mendapatkan kenyataan pahit. Suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya yang cantik nan seksi.
Hidup dan keyakinan Gayatri hancur seketika. Semua pengabdian dan pengorbanan selama 25 tahun terasa sia-sia. Namun, Gayatri tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada nasib begitu saja.
Ia mungkin hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi bukan berarti ia lemah. Mampukan Gayatri membalas pengkhianatan suaminya dengan setimpal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAYATRI 09
Setelah suasana di ruang tamu sedikit mereda dan Sarita menghilang ke dapur, Keandra memberi isyarat kecil pada ibunya. Sekilas, hanya sekadar anggukan singkat, tapi Gayatri tahu arti pandangan itu.
“Ayah, habiskan tehnya, ya. Aku akan memeriksa Keandra,” katanya lalu bangkit berdiri untuk menemui sang putra.
Ia mengikuti putra keduanya menuju ruang kerja kecil di samping taman belakang. Begitu pintu menutup, aroma buku dan kayu tua menyambut mereka.
Keandra menyandarkan tubuh pada meja, kedua tangannya terlipat. “Bu,” panggil Keandra lembut.
Gayatri mengangkat wajah, mencoba tersenyum kecil. “Ada apa, Nak? Dari tadi kau kelihatan tidak nyaman. Apa yang ingin kau tanyakan?” tanya Gayatri langsung.
Keandra menarik napas panjang, seperti sedang memilih kata yang tidak ingin ia ucapkan tapi ia perlu untuk mengatakannya. “Kenapa Ibu membiarkan perempuan itu untuk tinggal di sini?”
“Namanya Nadya, Keandra.”
“Iya, maksudku adalah Nadya,” kata Keandra mengoreksi ucapannya. “Kenapa Ibu mengizinkannya tinggal di sini? Padahal, jika dia mau, dia bisa saja mencari hotel. Kenapa harus menginap di rumah kita?”
Gayatri terdiam sejenak. Detak jam dinding di ruangan itu terdengar lebih keras. Ia mencoba membaca wajah putranya, serius. Ia tahu bahwa putranya pasti merasa tidak nyaman dengan kehadiran Nadya diantara keluarga mereka.
“Andra,” kata Gayatri berkata pelan. “Apa kau tidak melihat bagaimana keadaan Nadya tadi? Dia merasa shock, Nak. Dia trauma. Coba pahami situasinya, maka kau akan mengerti.”
“Tapi, Bu.” Nada Keandra berubah lebih tegas. “Cara Tuan Mahesa melihat Nadya tadi itu bukan cara seseorang melihat rekan kerja. Apa Ibu sama sekali tidak merasa curiga?”
Gayatri meremas jarinya sendiri tanpa sadar. “Cukup, Andra. Jangan berpikiran yang tidak-tidak apalagi sampai menuduh ayahmu. Ibu tidak suka kau bersikap tidak sopan terhadap ayahmu sendiri,” ucap Gayatri tegas.
“Ibu … aku hanya tidak mau sesuatu yang buruk terjadi.” Keandra berkata lirih.
Dan Gayatri tahu dengan jelas bahwa putranya itu hanyalah sedang mengkhawatirkan dirinya.
Gayatri menelan ludah, mencoba menahan gemuruh kecil di dadanya. “Ibu tahu apa yang kau pikirkan, Nak. Tapi percayalah semuanya akan baik-baik saja jika kita tetap berpikir positif.”
Keandra menghampiri ibunya, meletakkan tangan di bahu Gayatri. “Ibu selalu saja seperti itu. Selalu merasa semua orang sama baiknya seperti ibu. Sekali saja, Bu. Pikirkanlah diri Ibu sendiri.”
Gayatri tersenyum lalu mengusap lembut pipi sang putra. “Ibu baik-baik saja. Kau yang terlalu khawatir. Ibu tidak mau kau berpikir buruk.”
Keandra terdiam. Ia ingin membantah, tapi melihat tatapan ibunya yang penuh keyakinan, ia akhirnya menghela napas. “Berjanjilah, Bu. Jika terjadi sesuatu, Ibu harus segera mengatakannya kepadaku. Andra pasti akan melindungi Ibu.”
Gayatri mengangguk pelan, merasa bangga dengan putranya yang perhatian itu. Namun, begitu Keandra keluar, ruangan itu terasa semakin menyempit. Ia menutup mata sejenak.
“Sebenarnya Ibu juga merasa sesak, Nak. Tapi Ibu tidak ingin kau merasa khawatir,” gumam Gayatri menekan dadanya yang terasa sesak.
Meski ia berkata bahwa Mahesa dan Nadya hanyalah rekan kerja, sudut hatinya yang lain tetap saja merasa cemburu melihat kedekatam mereka.
Perhatian Mahesa pada Nadya sejak datang tadi. Saat Mahesa membantunya menarik koper, menuntun langkah, dan memperhatikan apakah Nadya baik-baik saja atau tidak. Itu semua adalah sikap yang sudah lama tidak ia lihat ditujukan untuk dirinya sendiri. Ada rasa panas mengalir pelan di dada Gayatri. Bukan amarah. Lebih halus dari itu.
Cemburu. Perasaan yang bahkan ia benci untuk mengakuinya.
Untuk mengusir pikiran buruk itu, Gayatri berdiri, memutuskan untuk membuatkan teh hangat untuk Nadya. Setidaknya, itu bisa memastikan apakah Nadya benar-benar dalam kondisi buruk seperti yang diceritakan Mahesa.
Ia masuk ke dapur, membuat dua cangkir teh. Tangannya gemetar sedikit saat menuang air panas, tapi ia pura-pura tak menyadarinya. Kemudian ia membawa satu cangkir ke lantai atas tempat Nadya diberi kamar sementara.
“Semoga teh ini bisa membuat kondisinya membaik,” harap Gayatri menatap cangkir teh yang dipegangnya.
Kemudian, ia melangkah pelan, menaiki setiap anak tangga terasa seperti memanjat pertanyaan yang tidak ingin ia temui jawabannya.
Begitu tiba di depan kamar tamu , Gayatri mengatur napas dan hendak mengetuk pintu.
Tapi langkahnya terhenti, tepat di depan daun pintu. Samar-samar ia mendengar suara. Seperti dua orang yang saling bicara sangat dekat.
Gayatri mencondongkan tubuh, perlahan memutar gagang pintu yang tidak terkunci. Pintunya terbuka sedikit, cukup baginya untuk melihat ke dalam. Ia tak pernah mengintip apalagi menguping pembicaraan orang lain. Tetapi, entah kenapa kali ini ia begitu penasaran.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Mahesa dan Nadya berada di tengah kamar tengah berpelukan. Bukan pelukan kaku atau sekadar hiburan. Tapi pelukan erat, intim, seperti seseorang yang sudah lama menahan rindu.
Tangan Mahesa melingkar di pinggang Nadya, sementara Nadya menenggelamkan wajahnya di dada Mahesa, menggenggam kemejanya seperti takut kehilangan.
Teh di tangan Gayatri bergetar. Hampir saja ia menjatuhkan cangkir itu saking gemetarnya. Ia sontak menutup mulutnya sendiri. Lalu, kembali melihat ke dalam.
Dadanya terasa kosong. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum dalam waktu yang bersamaan. Sakit, sesak, kecewa, tak percaya. Semua perasaan itu bergumul menjadi satu.
Tapi Gayatri tetap diam di depan pintu. Entah apa yang ia tunggu.
“Aku lelah, Mahesa.” Suara Nadya terdengar lirih. “Hanya kau satu-satunya tempatku pulang. Kumohon jangan tinggalkan aku.”
Mahesa mengecup kepala perempuan itu. “Ssh, tenanglah, aku di sini. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Gayatri mematung seketika, tidak bisa bergerak. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang didengarnya. Entah sejak kapan kiranya air mulai menggenangi ujung matanya. Kehangatan teh justru membuat jemarinya mati rasa.
“A-apa ini? Apa artinya ini semua?” monolog Gayatri penuh tanya.
Ingin sekali rasanya ia membuka pintu dan langsung bertanya pada mereka. Tetapi, Gayatri tetap menahan diri. Ia tidak mau bersikap impulsif. Paling tidak, ia harus menemukan kebenarannya lebih dulu dengan jelas.