Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Meskipun Damar tidak pernah lagi membahas Paramita, pekerjaan pengacaranya masih berjalan. Laporan final mengenai aset Paramita akhirnya datang. Setelah semua utang dan kewajiban hukum dilunasi, tersisa dana yang sangat besar.
Damar menatap Senja. "Uang ini adalah milik Paramita. Uang ini didapatkan dengan cara yang kotor dan penuh ambisi buruk. Aku tidak mau menggunakannya untuk kepentingan pribadi kita."
Senja mengangguk setuju. Ia tidak ingin sedikit pun uang itu mencemari kebahagiaan mereka.
Maka, Damar mengambil keputusan final. Ia mendirikan sebuah yayasan non-profit yang dinamakan Yayasan Pendidikan Tiga Cahaya. Dana tersebut dialokasikan sepenuhnya untuk beasiswa pendidikan anak-anak kurang mampu, khususnya mereka yang berasal dari keluarga dengan riwayat konflik domestik.
"Uang ini digunakan untuk memutus rantai keburukan. Paramita ingin menghancurkan masa depan anak-anakku, tapi aku akan menggunakan uangnya untuk membangun masa depan ribuan anak lain. Keburukan telah dikalahkan dan diubah menjadi kebaikan yang melimpah." batin Damar dengan tekad yang besar
Damar memeluk Senja. Mereka berdua tahu, dengan keputusan ini, Bab Paramita telah ditutup selamanya. Mereka kini sepenuhnya fokus pada masa depan, pada tiga cahaya kecil mereka, dan pada misi baru mereka menjadi pelita bagi orang lain.
tidak terasa setahun lebih sudah berlalu sekejap mata. Rumah baru itu kini dipenuhi dengan jeritan riang, langkah kaki mungil yang berlarian, dan suara tawa yang tak pernah berhenti. Fajar, Binar, dan Cahaya tumbuh menjadi balita yang sehat, cerdas, dan sangat aktif.
Senja kini bukan hanya sukses sebagai istri, tetapi studionya, "Lentera Senja Photography", telah menjadi salah satu yang paling populer. Ia tidak lagi memotret kesedihan; ia fokus pada momen-momen kebahagiaan keluarga, bayi, dan pernikahan.
Pagi itu, di halaman belakang, Senja sedang mencoba mengambil foto ketiga anaknya yang sedang bermain air bersama Damar.
"Fajar! Jangan siram Cahaya! Binar, bantu Papa!" teriak Damar, basah kuyup namun tertawa lepas.
Senja membidik kameranya, menangkap momen saat Damar menggendong ketiga anaknya sekaligus. Klik. Sebuah foto yang menangkap keutuhan cinta.
Fatimah dan Bagus sering datang membawakan mainan, mengisi rumah itu dengan kasih sayang kakek-nenek yang selama ini tak pernah dirasakan Senja. Keluarga besar Saputra benar-benar telah merengkuh Senja sebagai pusat gravitasi kebahagiaan mereka.
Sore hari, saat ketiga anak mereka sudah tertidur pulas karena lelah bermain, Damar dan Senja duduk berdua di teras atas, menatap matahari terbenam (senja) yang berwarna keemasan.
Senja menyandarkan kepalanya di bahu Damar. Ia merenungkan perjalanannya. Dari seorang wanita polos yang tersiksa di tangan Paramita, melarikan diri dalam ketakutan, hingga akhirnya menemukan "Pelita" sejati dalam diri pria yang dulu dianggapnya hanya sebagai tempat pelarian sementara.
"Kau tahu, Damar..." bisik Senja. "Dulu aku pikir aku lari dari neraka hanya untuk mencari tempat sembunyi. Aku tidak pernah mengira aku akan menemukan surga."
Damar mencium puncak kepala istrinya. "Aku bukan surga, Senja. Aku hanya pria yang beruntung bisa memegang tanganmu saat kau jatuh. Kau yang membangun surga ini dengan keberanianmu untuk sembuh."
Senja tersenyum, menutup matanya menikmati semilir angin.
"Ibu pernah bilang aku adalah Beban Kelahiran yang Tragis. Dia salah. Aku adalah berkah. Aku adalah ibu dari tiga cahaya, dan istri dari seorang Pelita yang tak pernah padam. Kegelapan itu sudah jauh tertinggal, dan di depan sana, cahaya kita akan terus bersinar, lebih terang dari matahari senja mana pun."
Damar dan Senja yang bergandengan tangan, menatap masa depan yang cerah, bebas dari kutukan, dan penuh dengan cinta yang abadi.
Waktu berlalu layaknya angin sepoi-sepoi yang membawa kedamaian. Rumah baru mereka kini benar-benar telah menjadi istana yang ramai dan penuh tawa. Fajar, Binar, dan Cahaya kini berusia dua tahun, dan mereka adalah anugerah terbesar sekaligus misteri yang memukau bagi kedua orang tua mereka.
Kelahiran prematur mereka dulu sempat mengkhawatirkan, namun ketiga anak itu tumbuh dengan pesat, tidak hanya secara fisik, tetapi juga intelektual. Mereka tidak hanya mampu berbicara dengan lancar, tetapi mereka sudah bisa beralih dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dengan mudah saat diajak bicara. Suara-suara kecil mereka yang fasih membaca buku cerita menjadi melodi harian di rumah itu.
Senja sering menangis haru saat melihat perkembangan anak-anaknya. "Paramita ingin menghancurkanku. Tapi Tuhan tidak hanya memberiku satu, Dia memberiku tiga. Dan mereka adalah yang terbaik." batin senja
Fajar Arun Saputra, si sulung, adalah anak laki-laki yang pendiam dan sangat fokus. Di usianya yang baru dua tahun, Fajar menunjukkan bakat seni yang luar biasa. Ia tidak tertarik pada mainan mobil atau bola, melainkan pada set pensil warna dan kertas gambar.
Pagi itu, Senja terkejut melihat Fajar duduk tenang di lantai, bukan mewarnai secara acak, melainkan menggambar. Ia sedang menggambar Damar yang sedang membaca koran, dan gambar itu meski masih berupa sketsa menunjukkan proporsi wajah yang akurat dan detail yang mencengangkan untuk anak seusianya.
Damar masuk ke ruang tengah dan melihat Fajar menggambar sepasang mata di kertasnya. "Wah, Fajar, itu gambar apa?"
Fajar mengangkat gambarnya dan menjawab dengan pelafalan yang jelas. "Ini mata Mama. Mama matanya sedih kalau Papa belum pulang dari office."
Senja tercengang. Fajar tidak hanya berbakat secara visual; ia juga peka terhadap emosi. Senja sering memamerkan gambar-gambar Fajar di studio fotonya, dan orang-orang tak percaya bahwa itu adalah karya balita. Keahlian Fajar dalam komposisi dan warna jelas diwarisi dari gen seni Senja.
Binar Mentari Saputra, si tengah yang juga laki-laki, adalah kebalikan dari Fajar. Binar adalah anak yang sangat aktif, namun otaknya bekerja seperti kalkulator yang terprogram. Binar tidak terlalu suka menggambar, tetapi ia sangat terobsesi dengan angka dan susunan logika.
Suatu hari, Damar sedang menonton film dokumenter tentang anatomi tubuh manusia. Binar yang sedang bermain balok di lantai tiba-tiba mendekat.
"Papa, itu namanya scapula," ujar Binar, menunjuk tulang belikat yang ditampilkan di televisi. "Dan yang ini, patella."
Damar hampir menjatuhkan korannya. Binar tahu nama-nama tulang rumit pada tubuh manusia!
"Nak, dari mana kamu tahu nama-nama itu?" tanya Damar, penasaran.
"Dari buku Mama yang bergambar. Aku suka melihatnya. Angka juga aku suka," jawab Binar, lalu ia mengambil lima balok berwarna dari tumpukan mainan. "Dua balok merah ditambah tiga balok biru, equals lima balok, Papa."
Damar memeluk putranya erat-erat. bagus, yang kebetulan sedang berkunjung, berbisik bangga, "Dia punya gen bisnis dan logika yang kuat, Damar. Dia mewarisi otakmu!"
Cahaya Surya Saputra, putri tunggal mereka, adalah penghubung yang menyatukan ketiga saudara itu. Cahaya adalah yang paling cepat fasih membaca. Di usianya yang ke-2, ia sudah bisa membaca buku cerita anak-anak secara mandiri, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris, yang ia pelajari dari bilingual nanny yang dipekerjakan Damar.
Cahaya adalah yang paling vokal di antara ketiganya. Ia sering "mengajar" Fajar tentang warna dan bentuk, dan Binar tentang cerita-cerita baru. Ia adalah pemimpin alami.
Senja sering mendapati Cahaya sedang "membacakan" dongeng pengantar tidur untuk kedua kakaknya yang sedang sakit. "Kata book ini, kita harus be brave, seperti Papa."
Melihat ketiga anaknya yang luar biasa ini, Senja dan Damar menyadari bahwa anak-anak mereka adalah simbol nyata dari kedamaian dan stimulasi yang mereka berikan. Setelah melewati trauma yang mengerikan, ketiga anak itu tumbuh sebagai superkids yang membuktikan bahwa lingkungan penuh cinta mengalahkan segala bentuk kebencian.
Perkembangan ketiga anak itu membuat Damar dan Senja berdiskusi serius. Mereka menyadari bahwa ruang bermain biasa tidak akan cukup untuk memfasilitasi minat yang begitu beragam dan maju.
Damar memegang tangan Senja. "Mereka bukan anak biasa, Sayang. Mereka adalah anugerah yang harus kita dukung sepenuhnya. Aku punya ide."