NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:359
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pendakian Penuh Misterius II

Dimas yang berdiri di belakangnya mengangguk pelan.

“Berarti masih sekitar setengah jam jalan lagi ya ke pos satu?”

“Iya,” jawab Nando.

“Kalau jalan terus tanpa berhenti, harusnya bisa sampai sebelum jam tujuh.”

Lala menatap pepohonan di sekitar mereka, yang mulai diselimuti kabut tipis.

“Tapi kok rasanya kayak udah jauh banget dari desa, ya? Suara ayam aja udah gak kedengeran.”

Lala menimpali lagi sambil menggigil kecil,

“Iya, padahal tadi cuma jalan naik terus, gak muter. Tapi jalannya kayak gak habis-habis.”

Citra menatap jam tangannya.

“Sekarang udah jam enam lewat sepuluh. Jadi kita udah jalan dua jam setengah dari desa, tapi suasananya udah kayak di tengah hutan banget.”

Dimas menatap ke arah barat, lalu kembali ke peta.

“Bisa jadi mereka lewat jalur lama. Mungkin jalur pendakian ini udah berubah. Apalagi katanya dua bulan gak ada yang naik.”

Nando berdiri dan menepuk-nepuk celananya.

“Udah, gak usah khawatir. Nih peta masih jelas, patokannya juga ada. Di depan harusnya kita nemu batu besar yang mirip kepala kerbau—itu tandanya udah dekat pos pertama.”

“Udahlah,” kata Nando pelan tapi cukup jelas terdengar oleh semua.

“Terasa aneh itu wajar… karena kita gak biasa sama suasana sepi gini. Tiap hari di kota kan kita hidup di tengah keramaian. Suara motor, orang lewat, musik dari warung kopi — semuanya rame. Sekarang tiba-tiba cuma ada suara angin sama jangkrik. Pasti bikin gak nyaman.”

Lala menatap Nando sambil mengangguk pelan, meski matanya masih waspada.

“Iya juga sih. Tapi entah kenapa sepinya beda. Kayak… bukan sepi biasa.”

Dimas menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski suasana terasa semakin ganjil. Ia menatap satu per satu teman-temannya.

“Yaudah,” kata Dimas akhirnya dengan nada tegas namun lembut.

“Kita lanjut aja kalau gitu. Jangan lupa baca Bismillah.”

Mereka semua mengangguk pelan. Hampir bersamaan, enam suara lirih terdengar menyebut,

“Bismillahirrahmanirrahim…”

Langkah kaki kembali terdengar di jalur berbatu itu, perlahan dan berhati-hati.

Benar saja, hampir satu jam lebih menempuh perjalanan tak jauh dari situ, terbentang sebuah batu besar yang di atasnya mengalir air tipis menetes ke bawah — Batu Menetes, persis seperti di peta.

Citra bersorak pelan,

“Akhirnya! Berarti ini pos pertama!”

Mereka semua tampak lega. Di dekat batu itu terdapat area datar yang cukup luas untuk beristirahat. Lala duduk di tanah sambil membuka tas, sementara Novi mengambil air dari botol dan memercikkannya ke wajah.

Nando akhirnya duduk bersandar di tiang kayu pos pendakian yang sudah lapuk. Nafasnya masih sedikit tersengal setelah perjalanan panjang tadi. Pos itu tampak seperti peninggalan lama — atap sengnya banyak yang bolong, beberapa bagian bahkan sudah berkarat dan nyaris roboh. Lantai kayunya berdebu, sementara di pojok ruangan ada papan tanda pudar bertuliskan “Pos Pendakian 1 – Batu Menetes”.

Sinar matahari pagi yang mulai menembus kabut masuk melalui celah atap, membentuk garis cahaya yang redup. Di tengah suasana sunyi itu, pandangan Nando tanpa sengaja tertuju ke arah depan.

Di sana, Novi sedang berdiri membelakanginya — rambutnya terurai, tertiup angin pelan, dan dari posisinya, tubuh Novi tampak siluet di bawah sinar matahari yang menembus kabut.

Tanpa sadar, Nando tersenyum kecil dan berpikir dalam hati,

“Heh… Novi cantik juga, ya.”

Ia menunduk sedikit, berusaha menutupi senyumnya sendiri.

***

Pagi itu di desa Mekar Sari sinar matahari sudah mulai terasa panas.

Pak Arman berjalan cepat menyusuri jalan setapak yang mengarah ke rumah Samidin dan Joko, dua warga yang dikenal paling sering naik ke Gunung Arga Dipa untuk mencari kayu dan madu hutan. Wajah Pak Arman tampak cemas, langkahnya sedikit terburu-buru.

Begitu sampai di depan rumah Samidin, ia langsung mengetuk pintu kayu yang catnya sudah mengelupas.

Tok… tok… tok!

Pak Arman langsung menjawab tanpa basa-basi.

“Din, Joko di rumah?”

“Masih di dalam, Pak. Kenapa?”

“Panggil sekalian. Ada hal penting. Anak-anak dari kota itu… sepertinya naik juga ke Arga Dipa pagi ini.”

Wajah Samidin langsung berubah tegang.

“Naik? Astaghfirullah… padahal sudah dua bulan Ndak ada yang berani lewat jalur itu!”

Joko keluar dari dalam rumah dengan sarung melilit pinggang.

“Lho, siapa yang naik, Pak?"

"Anak-anak dari Jok tadi malam mereka menginap di rumah saya tapi pagi ini saya bangun mereka sudah Ndak ada,"

"Pak Arman,” katanya perlahan,

“kami saja sudah lama ndak cari kayu ke sana, Pak. Ke kaki Gunung Arga Dipa aja udah ndak pernah… saya takut, jujur.”

Pak Arman menatapnya.

“Takut kenapa, Jok? Karena longsoran?”

Samidin menatap ke arah hutan yang perlahan diselimuti kabut tipis. Angin pagi berhembus dingin, membawa aroma tanah basah yang aneh—seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Dengan suara pelan namun berat, ia berkata,

“Inikan bulan Juni, Pak… bulan seperti inikan biasanya Dewi Pertiwi minta tumbal.”

Ucapan itu membuat Pak Arman spontan menoleh, wajahnya menegang. Seketika, pikirannya melayang pada kisah lama—tentang sosok jin wanita penjaga Gunung Arga Dipa, yang oleh penduduk setempat disebut Dewi Pertiwi.

Ia bukan sekadar cerita rakyat. Di masa muda, Pak Arman pernah melihat sesuatu yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Malam itu, sekitar dua puluh tahun lalu, ketika ia dan ayahnya sedang mencari rotan di lereng gunung, mereka melihat sesosok perempuan tinggi berjubah hijau lumut, rambutnya panjang hingga menyentuh tanah, dan matanya.

“Ayahmu dulu juga pernah bilang begitu, Din,” gumam Pak Arman perlahan.

“Katanya setiap bulan keenam, gunung itu minta penyeimbang… kalau tidak, tanahnya akan ‘memakan’ sendiri.”

Joko menelan ludah, wajahnya mulai pucat.

“Penyeimbang maksudnya apa, Pak?”

Samidin menjawab tanpa ragu,

“Tumbal, Jok. Selalu ada yang hilang di bulan Juni—entah pendaki, entah pemburu. Dulu juga gitu. Waktu lima tahun lalu, dua orang warga nyari damar ke sana… ndak pernah balik.”

"Yang dua orang bapak-bapak dari kota itu ya Din?" kata Joko dengan nada bertanya.

Joko menggeleng cepat, wajahnya pucat pasi. Ia mundur satu langkah sambil menatap ke arah gunung yang tertutup kabut.

“Kalau begitu… saya ndak berani ikut, Pak,” katanya dengan suara gemetar.

“Saya masih inget waktu almarhum bapak saya ke sana, pulangnya cuma bawa bekas luka bakar di kaki. Katanya… ada yang narik di tengah kabut.”

Samidin menimpali, nadanya tak kalah cemas.

“Saya juga ndak berani, Pak Arman. Maaf ya, bukan saya Ndak mau bantu. Tapi… saya masih mau hidup, Pak. Bulan-bulan begini… hawa di hutan sudah beda. Saya bisa ngerasain dari tadi malam.”

“Kalau begitu, kalian bantu saya satu hal aja. Tolong kabari Pak Asep… bilang saya mau menyusul anak-anak itu sendiri. Jangan biarkan orang lain ke sana, ya?”

Joko buru-buru menahan,

“Pak Arman, jangan sendiri! Nanti malah ikut hilang! Sudahlah, biarkan saja mereka, mungkin nanti turun sendiri!”

Pak Arman hanya menatap Joko lama, lalu menepuk bahunya pelan.

“Kadang, Din… Jok… kita gak bisa cuma nunggu. Kalau mereka memang belum jauh, masih bisa kita tarik balik. Kalau sudah lewat batas…”

Ia menatap ke arah gunung yang tertutup kabut putih pekat, lalu melanjutkan lirih,

“…berarti mereka sudah bukan di dunia kita lagi.”

“Kalau begitu saya pamit dulu assalamualaikum” Pak Arman segera beranjak meninggalkan rumah Samidin dan Joko.

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!