Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Celine diseret oleh dua pria itu yang mulai merobek pakaiannya satu-persatu.
"Tidak, tolong aku!" tangisan Celine yang mengigit tangan salah satu pria itu.
"Sialan!" ketus pria itu yang menampar wajahnya dengan keras. Plak!
"Aarrh!" tamparan keras yang diterima Celine sehingga sudut bibirnya mengeluarkan darah.
Pria itu menjambak rambut Celine dan menyeretnya ke atas ranjang dengan kasar.
"Tolong, lepaskan aku!" tangisan Celina yang ketakutan, dua pria itu melepaskan pakaian mereka dan merobek baju Celine sehingga tanpa balutan apa pun dibagian atas tubuhnya. Dengan brutal mereka mencium leher gadis itu.
Celine berteriak dan menangis berusaha melawan.
Plak! Tamparan yang dilakukan oleh mereka dengan keras.
"Diam!" bentak pria itu yang mulai melepaskan celana Celine sehingga tanpa sehelai benang.
"Aahh!" teriakan Celine yang ketakutan, wajahnya semakin pucat dan gemetaran seluruh tubuhnya. Kedua tangannya ditahan oleh salah satu pria bejat, Pria yang lain mulai melebarkan kakinya dan melakukan penyatuannya dengan kasar.
"Aahh! lepaskan aku!" teriak Celine.
Malam itu adalah malam terpanjang dan tergelap dalam hidup Celine. Dua pria asing, yang dibayar oleh keluarganya sendiri, memperlakukan tubuhnya seperti benda tak bernyawa. Selama berjam-jam ia menjerit, menangis, memohon agar mereka berhenti, namun semua teriakan itu hanya menjadi gema dalam ruang yang terkunci.
Alih-alih belas kasihan, ia hanya menerima tawa keji, tamparan tanpa henti, dan perlakuan kejam yang membuat tubuh dan jiwanya hancur. Ia tidak hanya kehilangan kehormatannya malam itu—ia kehilangan seluruh rasa aman, kepercayaan, bahkan sebagian dirinya.
"Sakit! Tolong hentikan!" teriakan dan tangisan Celine selama tiga jam lamanya. Namun, ibunya dan kakaknya tertawa gembira di ruang tamu.
Kembali ke masa kini.
Celine berdiri di dapur. Air matanya mengalir diam-diam saat kenangan itu kembali menyeruak. Tangannya gemetar saat memutar tabung gas.
Celine berdiri di dapur dengan tubuh yang gemetar. Tangannya menekan knop tabung gas, dan suara klik kecil terdengar, disusul oleh desisan pelan yang mengisi keheningan malam. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada lagi isak, hanya air mata yang mengalir diam-diam di pipinya yang pucat.
Seluruh ventilasi rumah sudah ia tutup rapat sejak tadi. Jendela-jendela terkunci, celah-celah disumpal, tirai digulung rapat. Rumah kecil itu kini berubah menjadi ruang kedap udara—penjara terakhirnya.
Bau menyengat gas mulai tercium samar, menyusup ke seluruh ruangan.
Celine melangkah kembali ke kamarnya. Setiap langkahnya seperti dentingan jam menuju akhir. Ia duduk di atas ranjang—ranjang yang dulu menjadi saksi bisu ketakutan dan luka yang tak pernah sembuh. Kini, ia ingin menjadikannya tempat peristirahatan terakhir.
Ia membaringkan tubuhnya perlahan, memeluk bantal usang yang dulu selalu ia dekap saat ketakutan melanda di malam hari.
"Selamat tinggal, Kakak Wallace," batinnya lirih, menatap langit-langit yang mulai kabur di balik genangan air mata.
"Setidaknya... sebelum aku mati, aku sudah sempat bertemu denganmu lagi. Walau kau tidak mengenalku. Aku tetap sudah puas."
Senyum getir terukir di wajahnya yang penuh luka.
"Aku bahkan tidak berani mencintaimu lagi."
Udara di dalam kamar makin berat. Celine memejamkan mata perlahan, membiarkan kesedihan terakhirnya larut bersama gas yang mulai menguasai ruangan. Sunyi. Hanya suara detik jam dan desis gas yang menemani.
***
Di sisi lain, Wallace sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Nico, yang duduk di belakang kemudi, menerima sebuah panggilan tak lama kemudian. Ia segera menekan tombol jawab.
"Halo!" sahut Nico.
"Tuan, Nona Celine sudah keluar dari rumah sakit. Nomornya tidak bisa dihubungi," lapor suara suster di seberang sana, terdengar cemas.
"Langsung ke rumahnya!" perintah Wallace cepat. Beberapa mobil anak buahnya mengikuti dari belakang dengan kecepatan yang sama.
"Baik, Tuan," Nico segera memutus sambungan.
Wallace mengatupkan rahangnya, matanya menatap tajam ke depan. "Jangan-jangan dia melakukan hal bodoh lagi..." gumamnya, khawatir.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan Nico berhenti di depan gedung tempat tinggal Celine. Tanpa menunggu lama, Wallace turun dari mobil dan segera melangkah masuk, diikuti oleh beberapa anak buahnya.
Sesampainya di lantai atas, tepat di depan pintu apartemen Celine, mereka dikejutkan oleh aroma menyengat—gas!
"Ada bau gas!" seru salah satu anak buahnya.
"Cepat dobrak pintunya!" perintah Wallace dengan suara keras dan penuh urgensi, menyadari bahaya yang tengah mengancam.
Brak!
Sebuah tendangan keras dari salah satu anggota Wallace berhasil mendobrak pintu.
"Pecahkan jendelanya!" seru Nico, cepat tanggap melihat situasi.
Salah satu pria segera mengangkat kursi dan melemparkannya ke arah jendela. Crash! Kaca pecah berhamburan. Aroma gas langsung menyebar lebih cepat ke seluruh ruangan, menusuk hidung dan membuat mereka sulit bernapas.
Sebagian dari mereka berpencar, menyusuri tiap sudut rumah untuk mencari penghuni.
"Tuan! Celine Lin ada di sini!" seru salah satu anak buah Wallace.
"Di sini juga! Ibunya... dia sudah tidak sadarkan diri!" teriak yang lain dari dalam kamar Sania.
Wallace segera berlari ke kamar Celine. Matanya membelalak saat melihat tubuh gadis itu terbaring diam di atas ranjang, nyaris tak bergerak, wajahnya pucat seperti tanpa nyawa.
"Celine!" panggil Wallace panik, segera menghampiri gadis itu. Ia mengguncang tubuhnya perlahan, berharap masih ada napas tersisa.
Sementara di belakangnya, Nico memanggil ambulans, dan anak buah Wallace lainnya mencoba mengevakuasi Sania keluar rumah secepat mungkin.
"Tidak bernapas," ucap Wallace panik setelah memeriksa nadi gadis itu. Aroma gas masih menyengat di seluruh ruangan. Tanpa pikir panjang, ia langsung menggendong Celine dan membawanya ke ruang tamu, berharap masih ada waktu untuk menyelamatkannya.