Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Ratih tersentak. Bukan karena kesadaran penuh, melainkan karena rasa panas yang menusuk, diikuti rasa dingin yang mencengkeram. Matanya masih terpejam, tapi ia melihat.
Kilasan Pertama:
Gelap. Jeritan. Bau hangus yang menusuk hidung.
Ia bukan Ratih yang lemah, terbaring tak berdaya. Ia adalah bayangan yang melayang, menyaksikan kobaran api yang menelan rumah-rumah kayu. Di bawah langit yang diwarnai merah oleh nyala api, tampak tiga sosok berdiri di gerbang desa.
Wanita tua itu, yang kini ia kenal sebagai Penjaga Kabut, tertawa melengking, tawanya memecah keheningan malam. Matanya—bukan merah menyala—tapi abu-abu kelam, tanpa belas kasih. Di tangannya, ia memegang sebuah lentera kuno yang cahayanya menarik kabut tebal, menyelimuti Desa Tiga Batu seperti selimut kematian.
"Inilah harga dari warisan bodohmu, Tua Bangka!" teriaknya, suaranya bergema bagai guntur.
Kilasan Kedua:
Ratih melihat dirinya yang lebih muda, usia sekitar lima belas tahun, berlari sekuat tenaga. Ia memegang tangan seorang wanita yang pucat, wajahnya dipenuhi ketakutan. Itu adalah ibunya. Di sisi lain, ayahnya berdiri tegak, memegang pedang yang memancarkan cahaya merah samar.
"Pergilah, Ratih! Jangan pernah kembali! Temui Tuk Guru!" desak ayahnya dengan suara serak.
Tiba-tiba, sesosok bayangan hitam melesat, cambuk asapnya menyambar. Itu adalah pria berjubah hitam! Ayahnya menjerit tertahan saat cambuk itu mengenai punggungnya, meninggalkan luka bakar yang parah.
Ibunya menarik Ratih ke dalam terowongan rahasia di bawah batu besar. Sebelum pintu terowongan tertutup, Ratih sempat melihat wanita dengan pisau kembar itu berdiri di atas tubuh ayahnya yang sudah tak berdaya. Senyum kemenangan menghiasi wajah wanita itu saat pisau kembar berkilat perak, siap mengakhiri hidup ayahnya.
Sebuah suara bisikan menusuk ke dalam telinganya: "Tiga tahun lalu... Tiga orang jahat itu... Mereka membunuh semua yang kau cintai."
Kilasan Ketiga:
Pusaran asap keperakan memenuhi penglihatannya. Kali ini, ia melihat dari sudut pandang wanita tua itu. Penjaga Kabut berdiri di tengah puing-puing desa. Di tangannya, ia memegang dua benda: Liontin Api Merah milik leluhur Ratih, dan cetakan kosong yang kini sudah terisi.
"Dua kunci, dua kekuatan," bisik Penjaga Kabut dengan suara penuh kerakusan. "Satu untuk mengendalikan, satu untuk menghancurkan."
Ratih merasakan nyeri yang luar biasa di dadanya, tempat liontin aslinya berada. Ia menyadari. Cetakan kosong yang ia serahkan tadi bukanlah cetakan baru. Itu adalah cetakan yang digunakan untuk mencuri dan mengunci sebagian kecil dari kekuatan yang seharusnya menjadi miliknya.
Ingatan itu menghantam Ratih, membuatnya mual. Ia bukan hanya ditipu, tapi ia juga telah secara bodoh mengulangi kesalahan masa lalu, memberikan kesempatan pada pembunuh keluarganya untuk mendapatkan yang mereka inginkan.
Ratih membuka matanya dengan terengah-engah. Ia merasakan pasir dingin di bawah pipinya, dan aroma rempah kering yang asing. Luka di tubuhnya memang telah sembuh total, kulitnya mulus, tapi di dalam dirinya terasa kekosongan yang mengerikan.
Ia duduk tegak. Ia tidak lagi di dalam gubuk yang terbakar.
Ia berada di dalam sebuah gua kecil yang tersembunyi, diterangi oleh jamur-jamur bercahaya biru pucat. Di sampingnya, Jaya dan Dara masih terbaring tak sadarkan diri.
Lalu, matanya tertuju pada siluet yang duduk di seberang api kecil—seorang pria tinggi dengan jubah gelap. Di kegelapan, hanya sepasang mata biru kristal yang tampak bersinar, dingin dan tanpa ekspresi. Pria itu menatapnya, seolah telah menunggu Ratih bangun.
"Kau sudah bangun, Keturunan Api Merah," ucap suara itu, suaranya rendah dan serak, seolah jarang digunakan. "Aku sudah memadamkan api yang harusnya membakar habis gubuk itu, dan juga kalian."
Ratih mencengkeram erat liontin yang tersisa di lehernya. Ia berusaha merasakan aliran energi, tapi sia-sia. Kekuatannya telah dibatasi. Ia hanya merasakan panas yang samar dan rasa waspada yang melonjak.
"Siapa kau?" tuntut Ratih, berusaha berdiri meski kakinya masih gemetar. "Dan mengapa kau menyelamatkan kami?"
Mata biru itu menatap liontin di leher Ratih, lalu beralih ke matanya.
"Namaku bukan urusanmu. Tapi aku menyelamatkanmu karena... kalian semua belum selesai," jawab pria bermata biru itu. "Tiga tahun lalu, aku menyaksikan kehancuran Desa Tiga Batu, dan kepergianmu."
"Kau tahu...?" Ratih terkejut.
"Aku tahu lebih banyak dari yang kau duga. Tiga orang jahat itu—Penjaga Kabut, Pria Cambuk Asap, dan Wanita Pisau Kembar—mereka tidak akan berhenti. Mereka telah mengaktifkan Cetakan Kunci, dan sekarang mereka hanya perlu Liontin aslimu untuk membuka Segel Kekuatan leluhurmu sepenuhnya." Pria itu berhenti sejenak, tatapannya menajam.
"Kau harus kuat, Ratih. Waktumu untuk meratap sudah habis. Kau telah melihat kebenaran dalam tidurmu. Mereka membunuh keluargamu. Sekarang, kau harus bangkit."
"Jika aku bersama tuk guru waktu kecil, lantas kapan aku bersama nenek?"tanya Ratih pada dirinya, karena saat dia bersama neneknya hidupnya normal-normal saja.
Bahkan saat dia pamit merantau, dan neneknya yang selalu ada bukan tuk guru.
" Tuk guru" ucap Ratih pelan saat mengigat saat kematian tuk guru untuk menyelamatkan nya dan kedua temanya tadi malam.
" Sudah lah, jangan terlalu lemah Ratih. Kau ditunjuk sebagai keturunan terakhir, jadi kau harus bisa menyelesaikan apa yang leluhurmu telah mulai.
Aku menolongmu bukan untuk jadi beban " ucap laki-laki itu dengan sorot dingin, lalu melangkah keluar dari gua tersebut.
Ratih menyaksikan siluet pria bermata biru itu menghilang di balik dedaunan lebat. Rasa dingin yang ia rasakan bukan berasal dari udara pagi, melainkan dari ketidakpastian nasib mereka.
Tak lama kemudian, Jaya dan Dara mengerang.
"Kepalaku..." Dara memegang pelipisnya, matanya menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya reduh jamur gua. "Kita di mana?"
"Di suatu tempat yang aman, untuk sementara," jawab Ratih singkat.
Jaya bangkit dengan mata lebar. Ia melihat ke sekeliling, lalu mencium bau aneh. "Ini... Gua? Dan kenapa aku mencium bau seperti... rempah-rempah yang sudah tua? Kita diselamatkan oleh seorang tabib?"
Ratih menceritakan kilasan masa lalu dan kehadiran pria bermata biru itu. Jaya, yang selalu memiliki stok energi berlebih, langsung melonjak. "Pria mata biru? Seorang pahlawan misterius! Keren! Tapi kok dia menyebalkan sekali nadanya
Pagi harinya, pelatihan brutal itu dimulai tanpa basa-basi. Pria bermata biru, yang mereka sepakati untuk dipanggil 'Penjaga Bayangan' karena sikapnya yang dingin dan jubahnya yang gelap, adalah seorang guru yang kejam.
"Kelincahan adalah nyawa. Kecepatan adalah perisaimu!" adalah mantra favoritnya.
Pelatihan pertama: Lari. Bukan lari biasa, tapi lari menembus hutan yang penuh jebakan alami, sambil membawa batu besar yang harus mereka ganti setiap kali mereka gagal menyentuh titik yang ditentukan dalam waktu kurang dari satu menit.
Jaya, dengan postur tubuhnya yang paling besar, adalah yang paling menderita. Pada hari kedua, saat ia mencoba melompati jurang kecil, kakinya tersangkut akar dan ia jatuh berguling, batu yang ia bawa menghantam punggungnya.
"Aduh! Rasanya seperti dicium oleh batu yang marah!" keluh Jaya sambil merangkak.
Penjaga Bayangan muncul dari balik pohon tanpa suara, matanya berkilat biru dingin. "Batu itu tidak marah, Keturunan Pemburu. Itu hanya mendisiplinkan kebodohanmu. Bangun. Ulangi. Lebih cepat."
"Dia seperti hantu, dia tidak pernah makan, tidak pernah tidur, dan tidak pernah... tersenyum," bisik Dara pada Ratih. Dara, yang paling cepat beradaptasi dengan kecepatan lari, mengimbangi langkah Ratih yang sedang terengah-engah berusaha memfokuskan panas samar di telapak tangannya.