“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08 ~ Keputusan keluarga Siddiq
Meutia kembali menatap jendela. “Entahlah. Hatiku menolak setiap kali logika hendak merayu, menanamkan keyakinan kalau memang priaku itu sudah pergi jauh, tak lagi membersamai kami.”
“Namun setiap kali aku merasa tidak lagi sanggup menanggung beban berat ini, dia datang dalam mimpi. Tanpa kata, tatapan mata masih sama seperti saat pertama kali kami bertemu, penuh damba. Dari sana, aku meyakini kalau dirinya masih ada didunia yang sama.” Helaan napasnya terasa berat.
“Apa dengan berpendirian teguh pada sesuatu yang kau yakini, kau merasa lebih baik, Meutia?” tanyanya hati-hati.
Meutia langsung mengangguk yakin tanpa ragu. “Iya. Adanya dia meskipun cuma sebatas bayangan, khayalan, cukup membuat diri ini kembali memiliki daya dan harapan tentang masa depan.”
"Mungkin akan lebih mudah belajar melepaskan, kalau kepergiannya tidak sesadis ini. Tanpa tanda, maupun aba-aba, tiba-tiba kabar duka itu menghantamku. Bahkan aku tidak diberi kesempatan memberikan salam terakhir, mematri wajahnya, menemani langkahnya menuju rumah peristirahatan terakhir." Dia menggigit ujung bibir guna menahan tangis.
Pernyataan dan penegasan atas keinginan Meutia, telah menjawab tentang cara bagaimana menangani ibu hamil itu untuk sementara waktu.
Setelahnya, Meutia diajak oleh Wahyuni dan kakak iparnya, dengan dalih mencari angin segar sembari membeli martabak telur.
Kini, dokter Ismi berhadapan dengan kepala keluarga Siddiq, Agam Siddiq – ditemani oleh Rizal.
“Hanya enam minggu, sampai bayi dalam kandungannya cukup bulan meskipun terlahir dalam keadaan prematur. Cuma cara ini yang aman, pak Agam. Meutia tengah hamil, obat-obatan tak cocok untuknya,” ia sedang melakukan negosiasi dengan pria bersahaja, menjaga pandangannya.
“Bukan sama saja kita menipunya, Bu? Memberikan harapan palsu, menjerumuskannya pada sesuatu yang jelas-jelas tak bisa lagi di gapai?” ia tidak setuju, tapi tak kuasa menolak.
“Lantas, apa cara yang menurut Bapak benar karena memang itu faktanya, bisa diterima oleh Meutia, tidak bukan? Dia tertekan. Satu sisi mengerti kalau kalian para anggota keluarganya sangat sayang kepadanya. Namun hati kecilnya memberontak merasa kenyataan ini sangat kejam. Kemudian hal tersebut bentrok dengan logika yang mana Meutia mencari jalan aman yakni, menciptakan dunianya sendiri. Tempat teraman memasukkan nama serta sosok Ikram, tanpa takut menambah beban kalian! Tolong pikiran lagi, Pak!”
Pada akhirnya Agam Siddiq tidak memiliki pilihan lain. Ada nyawa lain yang harus dipikirkan, tumbuh kembangnya diperhatikan, dan kesehatannya diperjuangkan.
“Enam minggu, apa kami sanggup bersandiwara sampai batas waktu itu habis? Macam mana dengan perasaan Intan dan Sabiya? Mereka masih sangat kecil untuk ikut berpura-pura kalau sang Ayah ada disekitar mereka, Bu?”
Bu Ismi menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. “Saya pun sebenarnya berat mengatakan ini, Pak. Namun kondisi Meutia berada di ambang batas sadarnya. Beban mental itu nyaris menenggelamkan akal sehatnya. Mau melakukan terapi dibarengi dengan mengkonsumsi obat-obatan jelas tak bisa dikarenakan dia tengah berbadan dua.”
Rizal mendongak menatap langit-langit ruangan psikiater. Hatinya ikut remuk memikirkan anak sekecil Sabiya dan Intan harus melakukan peran yang menyakiti perasaan mereka.
Keputusan sudah disepakati. Agam telah mengambil jalan yang bertentangan dengan hatinya demi keselamatan Meutia beserta bayinya.
.
.
Setelah tragedi yang mengikis akal sehat Meutia sampai menemukan sesuatu yang bisa dijadikan pelampiasan yakni, menyakiti diri sendiri – semua tak lagi sama. Para orang terkasih memilih cara yang diusulkan oleh psikiater Ismi.
Hidup dalam kepura-puraan, menganggap kalau Ikram Rasyid masih hidup dan menjalani hari-hari seperti sewaktu pria itu ada diantara mereka.
Pantang membahas perihal kecelakaan, maupun kabar hilangnya suami Meutia Siddiq.
Beruntung Meutia dikelilingi para orang begitu peduli, menyayanginya, mengusahakan yang terbaik.
Warga kampung Jamur Luobok pun bisa diajak kerja sama, kalau berpapasan dengan ibu hamil itu sama sekali tidak ada melontarkan kalimat penghiburan. Hanya bercanda dan mendoakan semoga lahiran nanti lancar.
Diam-diam, hunian Dhien dan Dzikri. Sudah lima malam ini mengadakan acara tahlilan untuk Ikram. Hanya di sanalah Meutia tidak curiga, dikarenakan jaraknya sedikit jauh dari rumahnya.
***
Intan dan Sabiya sedang menghitung mundur. “Empat, tiga, dua, satu ….”
“Bang! Boleh minta tolong tak? Handuk Tia ketinggalan di luar! Tolong ambilkan, ya?!”
Bergegas gadis kecil itu mendekati tembok kamar mandi. Intan berjongkok, mengangkat paha adiknya agar tingginya pas seperti ayah mereka.
Tanpa bertatap muka, tangan berlengan kecil itu terulur menggenggam handuk berwarna putih bersih.
“Terima kasih Sayang.” Pintu kamar mandi pun dia tutup lagi.
Intan dan Sabiya saling pandang, melempar senyum. Bibir mereka merekah beriringan dengan linangan air mata.
“Biya gak papa kok, Kak. Cuma, cuma disini sedikit tak nyaman.” Dadanya ditepuk-tepuknya pelan.
“Adek kak Intan hebat, kuat, kesayangan Ayah Ikram. Pasti Ayah bangga melihat Sabiya tak lagi cengeng, setabah ini.” Kening adiknya dia cium lama. Dihapusnya lelehan air mata.
Sabiya memeluk erat saudari kandungnya. “Kak Intan jua pintar. Tak lagi suka bermain, pergi ke sawah mencari Kecebong, malah betah dirumah sambil memperhatikan Mamak.”
“Ya Allah.” Tubuh terbalut handuk itu luruh. Meutia menjambak rambutnya sendiri. Dia mendengar percakapan menyayat hati putrinya. “Maafkan Mamak nak. Aku ini memang ibu tak berguna!”
“Mak, Mamak! Intan sesak pipis ini! Bisa tak lebih cepat keluar dari kamar mandinya?!” itu bentuk kekhawatiran di balik pertanyaan dusta. Itu caranya dia ingin memastikan sang ibu baik-baik saja dikarenakan sudah terlalu lama didalam kamar mandi.
Sabiya cepat-cepat menghapus air matanya, saat belum berhasil mengontrol perasaan. Gadis berumur tujuh tahun lebih itu berlari kencang masuk ke dalam kamarnya. Dia belum sepintar sang kakak dalam mengatur ekspresi.
Pintu kamar mandi dibuka dari dalam. Raut Meutia terlihat sedikit kesal, langsung dia berteriak. “Bang lihat anakmu ini! Kebiasaannya tak hilang-hilang. Suka kali mengganggu mamaknya kalau lagi mandi!”
“Bohong Yah! Mamak yang berlebihan! Jangan percaya ya Ayah tampan kesayangannya Intan!” teriakan itu dibarengi senyum jenaka gadis kecil berumur sepuluh tahun.
Intan tergesa-gesa masuk ke dalam kamar mandi, menutup kencang pintunya. Cepat-cepat dirinya bersandar pada dinding, berjongkok seraya memeluk lutut. Menangis dalam diam sambil menggigit bagian dalam bibirnya.
‘Ayah, sebentar lagi Intan dan Sabiya bagi rapor. Biasanya ayah yang paling antusias, menyemangati biar jangan takut kalau dapat nilai jelek. Menjamin akan menggantikan hukuman yang diberikan Mamak. Lantas bagaimana dengan besok Yah?’
Bukan, bukan perihal nilai jelek. Namun lebih ke kebersamaan sebuah keluarga. Tahun-tahun yang lalu kedua orang tuanya ada, hadir, ikut berpartisipasi dalam permainan seru diadakan di sekolah demi mempererat keharmonisan keluarga mereka.
***
Tiba waktunya dimana hari pembagian rapor kenaikan kelas. Sabiya, Lanira, Hazeera, Rania – sedang menunggu kedatangan anggota keluarga mereka.
Murid kelas dua sekolah dasar itu berpenampilan cantik, mengenakan baju adat. Nanti mereka akan tampil membawakan tari Lilin, tapi lilinnya tidak dihidupkan.
"Sabiya, nanti sewaktu mengikuti lomba bersama orang tua, siapa yang mendampingimu? Kau kan sekarang sudah tak punya Ayah! Ibumu pun tengah hamil, mana mungkin lari-lari sambil membawa kelereng menggunakan sendok. Jadi, siapa yang akan menemanimu?"
.
.
Bersambung.
congor kok busuk macam itu, ngaku2 bininya ayah paok pulak🤬🤬
ikram musti teguh dengan pendiriannya untuk tidak menikahi rinta,, dengan adanya kejadian ini tuh udah jelas klau dia memang udah punya anak dan istri
bungkus si arinta paok tuh buang ke laut
cakar cakar tuh dia punya wajah keluarkan jurus andalan mu tia...
👏👏👏
tia tia tia tia tia