Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 — Bayangan di Pagi yang Terang
Pagi itu, rumah masih terasa basah sisa hujan semalam. Cahaya matahari menembus jendela tipis ruang tamu, membelah ruangan menjadi garis-garis terang dan bayangan samar. Aluna duduk di sofa, secangkir kopi panas di tangan, tetapi tubuhnya terasa kaku. Pikirannya berkecamuk, antara rasa bersalah, rindu, dan ketakutan — semua bercampur menjadi satu badai yang tak bisa ia kendalikan.
Di meja makan, Raka sudah menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur rebus, jus jeruk, dan kopi hangat yang baru diseduh. Wangi kopi bercampur aroma roti panggang memenuhi udara, mengundang rasa lapar yang anehnya tak sampai ke hati Aluna.
“Pagi,” ucap Raka tanpa menoleh, tapi suaranya tetap menembus hati Aluna.
“Pagi,” jawab Aluna, pelan. Suaranya nyaris terseret oleh rasa bersalah yang membuncah.
Raka menaruh piring di meja, duduk di seberangnya.
“Kamu tidur nyenyak?” tanyanya.
“Lumayan… tapi nggak terlalu,” jawab Aluna, berusaha terdengar ringan. “Kamu sendiri?”
Raka menghela napas panjang. “Aku juga… nyoba.”
Hening. Suara sendok dan gelas beradu menjadi satu-satunya yang terdengar. Aluna menatap roti di piringnya, tapi pikirannya jauh di malam sebelumnya, ketika hujan deras, tatapannya bersinggungan dengan Raka. Setiap detik terasa menahan badai yang tak bisa ia lepaskan.
“Luna…” suara Raka memecah keheningan lagi.
Aluna menoleh, tatapannya bertemu mata Raka yang dalam, lembut, tapi berat.
“Ya?” suaranya pelan.
“Aku… nggak bisa pura-pura lagi,” ucap Raka, menunduk sedikit. “Setiap pagi, aku lihat kamu, rasanya… susah jelasin. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu.”
Aluna menelan ludah. Kata-kata itu menampar dadanya seperti gelombang.
“Raka… jangan,” bisiknya, suaranya hampir pecah.
“Tapi aku nggak bisa,” lanjut Raka. “Aku sudah nyoba, Luna. Tapi tiap kali kamu di sini… rasanya kayak ada sesuatu yang nyangkut di hati, nggak bisa dilepas.”
Hening lagi. Cahaya matahari menembus jendela, menyorot wajah mereka, memperlihatkan setiap ketegangan dan keraguan. Aluna menggenggam cangkir kopinya lebih erat, menahan diri agar tidak menangis.
“Kamu sadar nggak, ini salah?” tanyanya, suaranya bergetar.
“Ya, aku sadar,” jawab Raka pelan. “Tapi sadar nggak selalu bikin perasaan ilang, kan?”
Aluna menunduk, menatap kopi yang mulai mendingin. Setiap detik di antara mereka terasa panjang, berat, dan dipenuhi rahasia yang bisa pecah kapan saja.
“Aku cuma takut… kalau suatu saat kamu nggak bisa nahan lagi,” bisiknya.
Raka mengangkat kepala, menatapnya. Ada kepedihan di matanya, tapi juga sesuatu yang tak bisa dihindari.
“Kalau aku nggak bisa nahan, Luna?” tanyanya.
“Kamu harus ingetin aku, ya?” jawab Aluna, hampir berbisik.
Mereka tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. Itu tawa yang diselimuti rasa bersalah dan keputusasaan.
Beberapa jam kemudian, pintu depan terdengar dibuka. Naira pulang lebih awal dari kantor. Aluna dan Raka berpura-pura biasa, tapi suasana berubah seketika.
Naira berjalan masuk, tas di bahu, wajah lelah tapi matanya tajam.
“Kalian berdua lagi ngobrol apa pagi-pagi?” tanyanya ringan, tapi nada itu sulit diabaikan.
“Kami cuma sarapan,” jawab Raka cepat.
Aluna tersenyum palsu. “Iya, Kak, cuma sarapan.”
Naira menatap mereka bergantian, matanya berhenti di wajah Aluna, lalu Raka. Sesuatu di sana membuat dadanya berdebar.
“Kalian… kayaknya ada yang nggak diceritain, ya?”
“Kak, enggak kok,” Aluna buru-buru menjawab.
Tatapan Naira… tajam, menembus semua topeng yang mereka pakai.
Raka menelan ludah, menahan diri agar tak membuat gerakan yang bisa disalahartikan.
Naira menarik napas panjang.
“Ya udah, nggak papa. Tapi aku cuma mau bilang, hati-hati aja ya sama satu sama lain. Aku tahu kalian sering lembur bareng.”
Aluna menunduk, menahan napas. Raka diam, menatap piringnya seolah itu satu-satunya yang ada di dunia.
Naira melangkah ke kamar, meninggalkan keheningan yang lebih berat dari badai malam sebelumnya.
Siang itu, Aluna duduk di balkon, menatap halaman rumah yang masih basah.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Raka muncul:
“Aku rasa Naira mulai curiga. Kita harus lebih hati-hati.”
Aluna menggigit bibirnya. Jari-jarinya gemetar saat membalas:
“Aku tahu. Tapi semakin aku jauhin, semakin aku nggak bisa.”
Balasan cepat muncul:
“Aku nggak mau kehilangan kamu, Luna. Tapi kita harus bisa.”
Aluna menutup mata, menahan napas. Air mata hangat menetes pelan di pipinya.
Di luar, cahaya senja mulai muncul, tapi hatinya gelap, penuh rasa takut akan hari-hari berikutnya.
Malamnya, rumah kembali sunyi. Lampu temaram menyala di ruang tamu.
Aluna duduk di sofa, mencoba menulis laporan, tapi pikirannya kacau.
Tiba-tiba pintu berderit. Raka muncul, menunduk sedikit, wajah lelah tapi matanya tetap hangat.
“Kamu nggak tidur?” tanya Aluna, suaranya bergetar.
“Belum. Lagi mikirin banyak hal,” jawab Raka, duduk di seberang.
Aluna menghela napas panjang. “Aku nggak tahu bagaimana caranya… terus menjauh dari kamu.”
Raka tersenyum tipis, tapi sendu. “Aku juga nggak tahu, Luna. Tapi aku janji… aku bakal selalu di sini, bahkan kalau cuma sebagai bayangan.”
Mereka diam, hanya suara hujan yang mulai turun di luar terdengar samar.
Detak jantung mereka seolah terdengar di seluruh ruangan.
Dan kemudian, dari kejauhan, suara langkah ringan terdengar — Naira kembali dari kamar.
Keduanya menegang. Hening.
Aluna dan Raka saling berpandangan, lalu membeku.
Naira berdiri di ambang pintu, matanya tajam. “Aluna… kamu lagi apa?” tanyanya, lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Aluna tersentak, menahan napas. “Enggak, Kak… cuma baca laporan.”
Naira menatap lama, lalu tersenyum tipis, senyum yang bukan hangat tapi dingin.
“Aku cuma pengin tahu… kamu suka sama Raka, ya?”
Aluna membeku. Napasnya tercekat. Kata-kata itu seperti peluru, menembus semua pertahanan yang dibuatnya selama ini.
Naira tersenyum tipis lagi, lalu meninggalkan ruangan.
Aluna duduk terpaku, jantungnya berdegup kencang, menatap ke luar jendela yang mulai gelap.
Di tangga ruang tamu, Raka berdiri diam, menatap Aluna dengan mata penuh rasa bersalah.
Batas aman mereka semakin menipis. Dan Aluna tahu, dari pagi hingga malam, setiap detik bersama Raka kini menjadi ujian terbesar dalam hidupnya.
Malam itu, setelah Naira kembali ke kamarnya, Aluna masih duduk terpaku di sofa. Raka berdiri di dekat jendela, menatap hujan yang turun deras di luar. Suara tetesan air menabrak genting terdengar seperti ketukan lembut di hati mereka, memanggil sesuatu yang tak bisa mereka hindari.
“Luna…” suaranya serak.
Aluna menoleh, jantungnya seakan berhenti. “Ya?”
Dia melangkah mendekat, tapi masih menjaga jarak. “Aku… nggak bisa terus kayak gini. Setiap detik tanpa ngomong apa-apa sama kamu, rasanya kayak ada yang hilang dari diriku.”
Aluna menelan ludah. “Raka… kita nggak boleh.”
“Tapi aku nggak bisa,” katanya, menatap dalam-dalam ke matanya. “Kamu tau nggak… setiap kali aku lihat kamu di rumah ini, aku ngerasa… rumah ini nggak lengkap kalau kamu nggak ada di sini.”
Hening. Mereka saling menatap, napas tersengal di antara kata-kata yang tak terucap.
Tiba-tiba, ponsel Aluna bergetar di meja. Dia menoleh dan melihat pesan dari Naira:
“Aluna… kita perlu bicara besok. Jangan pergi ke mana-mana.”
Aluna menelan ludah, pandangannya bergeser ke Raka.
“Dia tahu… dia tahu semuanya,” bisiknya dalam hati.
Raka menatapnya, wajahnya tampak tegang tapi tenang. “Luna… apa maksudnya?”
Aluna menggeleng, tak mampu menjawab. Hanya udara malam yang dingin dan suara hujan yang menelan kata-kata mereka.
Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada janji tak terucap:
tak peduli apa yang akan terjadi besok, perasaan ini sudah terikat terlalu dalam untuk dilepas begitu saja.
Lampu ruang tamu redup, hujan masih turun deras. Dan di luar jendela, bayangan hujan seakan menari di antara dua hati yang terjebak antara cinta dan kesalahan.
Di saat itu, Aluna sadar satu hal: besok, hidup mereka mungkin akan berubah selamanya. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut… takut kehilangan Raka, atau takut menghadapi rahasia yang mungkin tak bisa lagi disembunyikan.