Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senjata Tersembunyi
Bahaya yang dibawa Faris bukan sekadar mata-mata. Bahaya itu nyata dan fisik. Ia mengingat kematian Emirah sebelumnya—tidak diracuni, tapi mengalami sakit parah yang disebabkan oleh makanan yang sengaja tidak bersih, yang disiapkan oleh pelayan baru yang direkomendasikan Zahir.
Meskipun Sayyidah Ameera, ibunya, tidak meninggal karena racun, ia menjadi lemah, membuka jalan bagi Zahir untuk mendapatkan akses ke administrasi istana.
Kini, Yasmeenlah targetnya. Tanpa Tariq di sisinya untuk menjaga gerbang dan patroli, ia menjadi gadis kecil yang rentan, duduk sendirian di pusat intrik yang kejam.
Aku tidak akan membiarkan racun masuk. Aku tidak akan membiarkan diriku sakit.
Langkah pertamanya harus mengamankan area terdekat. Pakaian, udara, dan terutama, makanan.
Yasmeen segera memanggil Umm Shalimah, wajahnya yang keriput mencerminkan kekhawatiran yang ia sembunyikan. Dayang itu berlutut di depannya.
“Umm Shalimah,” suara Yasmeen rendah dan cepat. “Aku membutuhkanmu melakukan sesuatu yang sangat penting. Mulai hari ini, semua orang yang melayaniku haruslah orang yang kupilih. Dan mereka harus taat padamu.”
“Siapa yang harus saya panggil, Sayyidah?”
“Aku ingin Zahiya dan Nasima kembali sebagai dayang kamarku,” jawab Yasmeen. Zahiya dan Nasima adalah dua dayang muda yang dulunya adalah tangan kanan ibunya dan disingkirkan oleh Zahir setelah ia mengambil alih istana. “Hanya mereka yang diizinkan merapikan kamarku, menyiapkan pakaianku, dan mengganti air di tempat mandiku.”
Umm Shalimah mengangguk, mencatat. “Baik. Mereka sudah menunggu dipanggil kembali, Sayyidah. Loyalitas mereka tidak perlu dipertanyakan.”
“Dan ini yang paling penting, Umm Shalimah,” Yasmeen mendekat, memastikan suaranya hanya terdengar oleh wanita tua itu. “Mulai saat ini, hanya kau yang bertanggung jawab menyiapkan dan membawakan semua makanan dan minumanku. Air putih, teh, bahkan setetes anggur kurma. Semuanya harus datang langsung dari tanganmu.”
Mata Umm Shalimah melebar, memahami implikasinya. “Saya mengerti, Sayyidah. Saya akan menjamin keselamatan Yang Mulia dengan hidup saya. Apakah ada alasan spesifik—”
“Alasannya adalah kesehatan. Kesehatan seorang Emirah harus dilindungi dengan standar tertinggi,” potong Yasmeen, tidak memberi ruang untuk spekulasi lebih lanjut. Ia tahu dia tidak boleh menyebut nama Faris atau Zahir, apalagi saat ini. “Segera kumpulkan Kepala Pelayan dan semua staf inti dapur dan layanan. Aku akan membuat pengumuman formal di ruang audiensi utama.”
Pengumuman itu tidak menunggu waktu. Dalam waktu setengah jam, sekitar dua puluh pelayan senior berkumpul di koridor berlapis karpet di Sayap Timur, menatap bingung pada gadis sepuluh tahun yang berdiri tegak di tengah ruangan, mengenakan gaun beludru gelap. Di sebelahnya berdiri Umm Shalimah yang diam dan kaku, memancarkan aura ketidaksetujuan pada situasi tersebut.
“Saya telah memanggil kalian semua ke sini untuk membuat pernyataan penting,” Yasmeen memulai, suaranya, meskipun kecil, bergema dengan ketenangan yang menipu. “Mulai hari ini, aku sebagai pewaris sah Nayyirah, dan berdasarkan dekret mendiang Jaddī, menegaskan kembali Protokol Layanan Emirat.”
Ia menjelaskan aturannya—pembatasan ketat pada staf yang melayaninya, keharusan mendapatkan persetujuan langsung dari Umm Shalimah untuk mendekati kamar pribadinya, dan hanya Umm Shalimah yang bertanggung jawab atas makanannya.
Di antara para pelayan, bisikan mulai menyebar. Perubahan mendadak ini terasa tidak adil, sebuah pukulan telak pada hierarki lama. Ini menghina mereka, meragukan loyalitas mereka yang sudah bertahun-tahun mengabdi.
“Siapa pun yang melayani saya tanpa izin akan menghadapi hukuman terberat istana: pengusiran dan penyitaan seluruh gaji yang terakumulasi. Apakah kalian mengerti?” tanya Yasmeen, menatap setiap wajah dengan tajam. Mereka semua menunduk, mengakui otoritasnya dengan takut-takut.
Tepat pada saat itu, sebuah langkah berat terdengar dari ujung koridor. Sayyid Zahir, yang mengenakan jubah beludru mewah, muncul. Ekspresinya masam dan mata hijaunya berbinar karena kemarahan yang tertahan.
Zahir pasti mendengar rumor, atau lebih mungkin, Faris telah melaporkannya.
“Apa yang terjadi di sini, Yasmeen?” tuntut Zahir, berjalan dengan otoritas palsu, berhenti tepat di depan putrinya. Para pelayan, melihat tuannya, berdiri lebih tegak, merasa sedikit lebih berani.
“Saya sedang mengamankan administrasi pelayanan saya, Abī,” jawab Yasmeen, suaranya berubah manis dan patuh—senjata yang jauh lebih mematikan daripada kemarahan langsung.
Zahir melirik Umm Shalimah dengan tatapan tajam. “Mengamankan? Kenapa kau merombak seluruh struktur layanan? Pelayan yang lebih tua memiliki pengalaman dan telah mengabdi puluhan tahun. Tindakanmu ini, putriku, adalah bentuk penghinaan. Itu menunjukkan bahwa kau meragukan integritas semua orang di sini!”
Suara Zahir meninggi, memainkan peran sebagai kepala rumah tangga yang prihatin. Ini adalah konflik publik yang ia inginkan. Di hadapan staf, Yasmeen tidak bisa bertindak terlalu kejam. Zahir mengandalkan statusnya sebagai orang dewasa untuk membungkam anak kecil itu.
Yasmeen harus menyerang balik, menggunakan drama. Ini adalah panggung, dan dia harus menjadi aktor terbaik.
“Tapi, Abī…” Yasmeen memulai, suaranya bergetar, dan ia membiarkan air mata terbentuk di sudut matanya. Ia menyentuh pipinya, meniru kebingungan seorang anak yang ditegur ayahnya. “Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan Jaddī.”
Zahir mendengus. “Jaddīmu tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap sombong dan merendahkan. Kau baru sepuluh tahun, Yasmeen. Kau tidak tahu cara menghormati loyalitas yang lebih tua. Aku harus melindungi para pelayan yang tulus ini dari kepongahanmu!”
“TIDAK!”
Teriakan itu, yang tiba-tiba, dingin, dan tajam, mengiris ketenangan. Isakan palsu Yasmeen langsung lenyap, digantikan oleh mata yang kini merah dan berapi-api. Bukan tangisan sedih, melainkan amarah yang membara.
Semua pelayan terkesiap, termasuk Zahir yang terkejut oleh perubahan mendadak ini.
“Abī mengatakan saya pongah? Saya merendahkan?” Yasmeen melangkah maju, tangannya mengepal begitu erat hingga kuku-kuku jarinya memutih. Wajahnya yang kecil, dibasahi air mata yang sekarang nyata karena kemarahannya, memancarkan aura kegelapan yang menakutkan—bukan seorang anak, tapi jiwa yang pernah memerintah, berteriak karena penghinaan yang dialaminya.
“Jaddī sakit! Jaddīku meninggal karena penyakitnya yang mematikan, Abī!” serunya, suaranya sekarang pecah karena kekuatan yang ia masukkan. “Ia memperingatkanku, bahkan di saat terakhirnya, untuk selalu waspada terhadap hal-hal yang tidak terlihat! Aku adalah pewaris Nayyirah, dan jika aku jatuh sakit atau mati karena kelalaian kecil—atau kejahatan yang tidak disadari—siapa yang akan menanggung dosa ini? Kau, Abī? Atau kalian semua, para pelayan yang mengklaim loyalitas?”
Yasmeen menunjuk pada Kepala Pelayan, matanya setajam ujung pisau. “Kau mungkin loyal padaku, Kepala Pelayan. Tapi bagaimana dengan orang-orang di sekitarmu? Bagaimana jika ada kelalaian? Aku tidak mau ambil risiko! Emirat ini membutuhkan Sayyidah yang sehat! Aku mengambil pelajaran dari kematian Jaddī—wasiat terakhirnya—untuk memastikan kesehatanku diutamakan di atas kenyamanan staf!”
Dia berhasil. Dia menggeser narasi dari penghinaan pribadi ke perlindungan Emirat, menggunakan kematian Jaddīnya sebagai tameng emosional.
Zahir terdiam. Wajahnya pucat, tidak bisa berargumen melawan ‘wasiat terakhir’ Jaddī, apalagi ketika Yasmeen menangis sambil menggunakan otoritas Darah Nayyirah. Dia tidak bisa membalas dengan argumen politik karena akan terlihat seperti menentang Jaddī dan mempertaruhkan kesehatan putrinya sendiri di mata publik.
“Ini... ini hanya karena kau masih anak-anak, Yasmeen,” Zahir bergumam, berusaha meredakan situasi, tetapi suaranya lemah. “Kau tidak perlu sekeras itu.”
Yasmeen menatapnya, tidak menunjukkan kelembutan lagi. Hanya otoritas murni.
“Aku Emirah ini, Abī. Tidak ada negosiasi tentang kesehatan. Umm Shalimah dan Zahiya, pastikan semua orang di sini memahami aturan baru ini. Mereka yang melanggar akan segera dihukum.”
Yasmeen berbalik dan berjalan kembali ke kamarnya, meninggalkan koridor dalam keheningan total, diselimuti aroma amarah dan kekalahan yang kental. Para pelayan mulai berbisik, tetapi kali ini mereka berbisik karena ketakutan dan rasa hormat yang baru ditemukan terhadap ‘Emirah kecil’ mereka.
Zahir mengepalkan tinjunya di sisi tubuhnya. Dia menahan diri untuk tidak memecahkan vas porselen terdekat. Anak sialan itu. Bagaimana dia bisa tahu cara menanggapi? Bagaimana dia bisa memutar emosi dan kekuasaan dalam hitungan detik?
Ia kalah dalam perdebatan publik pertamanya dengan putrinya. Zahir menyuruh Faris dan beberapa pelayan senior lain membubarkan diri dengan lambaian tangan kasar. Dia membutuhkan waktu sendirian, sebuah ruang untuk merencanakan tindakan balasan yang jauh lebih senyap dan efektif.
---
Di balik pintu kamarnya, Yasmeen ambruk di sofa. Meskipun ia menang, adrenalinenya masih tinggi. Dia merasa kotor karena harus berpura-pura, tetapi itu perlu. Dia tahu Zahir tidak akan memaafkan penghinaan publik ini.
Yasmeen melirik ke pintu dan memberi isyarat kepada Zahiya. “Kau dan Nasima sekarang adalah mataku. Jangan terlalu jelas. Aku ingin tahu ke mana Abī pergi setelah pertemuan ini.”
Zahiya, seorang gadis cerdas dengan mata cepat, segera mengangguk dan menghilang seperti asap. Yasmeen menunggu, jantungnya berdebar-debar karena cemas. Jika Zahir langsung menemuinya lagi, itu akan menjadi kekerasan fisik. Tapi Zahir lebih halus dari itu. Dia adalah pemangsa, bukan tukang pukul.
Lima menit kemudian, Zahiya kembali. Dia tidak masuk melalui pintu utama, melainkan menggunakan pintu pelayan yang tersembunyi, wajahnya tegang.
“Sayyidah,” bisik Zahiya, berlutut cepat. “Sayyid Zahir... dia tidak kembali ke ruang bacanya. Dia berjalan lurus ke Sayap Timur.”
Yasmeen mengerutkan kening. Sayap Timur. Itu adalah tempat penyimpanan umum dan gudang tua.
“Spesifik,” perintah Yasmeen. “Dia pergi ke mana di sana?”
“Dia masuk ke ruang farmasi tua,” jawab Zahiya, matanya menyapu sekeliling. “Itu adalah ruang penyimpanan ramuan dan obat-obatan yang biasa digunakan oleh Jaddī sebelum kedatangan dokter baru.”
Yasmeen berdiri tegak, tiba-tiba merasakan bahaya yang dingin menusuk ke perutnya.
“Apakah kau melihat apa yang dia lakukan?”
“Saya mengintip sebentar dari celah. Saya tidak bisa masuk. Tapi saya melihat dia memegang sesuatu, Sayyidah. Dia membawa keluar sebuah kotak kayu. Ukirannya sangat rumit. Dia memasukkannya ke balik jubahnya dan berjalan pergi menuju kamarnya dengan cepat.”
Kotak kayu berukir. Ruang obat. Sayyid Zahir.
Gambaran kotak itu menyerang ingatan Yasmeen dengan kekuatan badai pasir. Itu adalah kotak berukir yang terbuat dari kayu gaharu, hadiah dari seorang kaisar asing. Jaddīnya menggunakannya bukan untuk menyimpan rempah biasa, melainkan untuk ramuan langka—termasuk ramuan tertentu yang, dalam dosis kecil, bisa memicu penyakit kronis, sulit dideteksi, dan digunakan untuk melumpuhkan musuh tanpa meninggalkan bukti.
Itu adalah tempat Jaddīnya menyimpan racun dosis kecil yang tidak terdeteksi. Yasmeen sudah mengamankan pelayanannya. Tapi Zahir baru saja mendapatkan senjata terakhirnya, yang tersembunyi di balik kekuasaan Jaddīnya sendiri.
Kotak itu adalah tempat Jaddīnya menyimpan racun dosis kecil yang tidak terdeteksi.